Rabu, 02 Maret 2011

BAGAIMANAKAH SUATU KARYA DISEBUT BERKUALITAS ? (2)

o

Hang Ws :
memang secara akedemis banyak berkiblat pada dunia lukis barat, meskipun dari negri timurpun banyak ragam teknis melukis sebagai teknis tradisi seperti china dan india dan menurut pandangan saya juga termasuk cerdas, lantas kita bandingkan ...dengan negri sendiri yang punya keragaman budaya tentunya punya tradisi visual gambar juga yang tentunya patut untuk disikapi sebagai wacana dan tentunya ada para seniman yang mengambil idiom tradisi nusantara ini untuk karyanya maka tergantung pada sikap dan kenyamanan si artis sendiri untuk memilihnya sebagi proyek atau bahkan menjadi ciri khasnya.
06 Februari jam 22:46 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi :
Bicara normal-abnormal-supernormalitas, El Greco buta warna sebagian namun warna2 karyanya luar biasa, Rembrandt punya penglihatan yg tdk stereo tapi ini membantunya menangkap flatness/kedataran dua dimensional dari objek2 riil karyanya, Da... Vinci punya IQ di atas 200 dan seorang renaisans sejati karena merangkap ilmuwan dan penemu, sementara analisis kejiwaan Van Gogh menunjukkan bahwa sakit mentalnya sudah dimulai sejak kerusakan otak sebelum lahir dan dipicu ketergantungannya akan absinthe, sejenis miras.

Di Inggris, sebuah galeri justru hanya menerima karya2 dari seniman pinggiran, tidak terkenal atau rejected dari pusat2 artworld.
Bagaimana pula menilai karya yg dihasilkan oleh orang2 cacat mental maupun sakit mental?
06 Februari jam 23:02 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
SP : apa terus jawaban yg menentukan berkualitas tidaknya karya krn takdir...? lak ngglethek ae nek ngono rek ....?! hehehehe......
06 Februari jam 23:18 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi:
‎@Wahyu: Takdir sejarah? Hahahaha....

Ada macam2 periode ketika suatu bentuk seni yg luar biasa mengalami penyempurnaan dan diakui kualitasnya melalui proses2 yg anonim. Seni rakyat melewati tantangan besar sejarah melalui kejeniusan kolekti...f yg anonim, namun suatu ketika tetap melahirkan maestronya yg diingat orang.
Seni lukis sebagai tradisi punya daftar nama maestro yg sangat panjang, hingga mengalami tantangan gagasan dan bentuk dari gerakan avant-garde dan selera estetik baru di luar lukisan.
Tetapi bentuk2 lokal kesenian lukis memang sering dipinggirkan dari Sejarah, atau minimal dianggap sebagai sesuatu yg antik.

Kecenderungan penyejarahan yg lepas dari konteksnya kupikir bertanggungjawab thdp ketimpangan macam ini. Kalo aku belajar seni di akademi sejarah yg kupelajari pastilah didominasi sejarah barat. Tapi apa fungsi dan sejarah seni lukis sejak muncul dan diserap Nusantara bagi masyarakat kita sendiri, kita tak pernah tau. Namun tentu juga tak perlu bernostalgia dan menghidupkan mitos kuno sebab ini lagi2 sejarah yg tak pernah hidup sejati di jamannya, hanya konstruksi manusia di masa depan.
06 Februari jam 23:51 · SukaTidak Suka · 2 orangAgung Sitiyang Mblonten dan Jokn Sulis menyukai ini.
o
Gus Wang:
WN: saya jadi ingat pernah ada seorang kolektor bicara sbb: dalam mencari koleksi, harus hasil karya lulusan ISI supaya di jual lagi. Selain itu sebuah lukisan yg orientasinya portrait tidak boleh di koleksi karena tidak laku dijual lagi.
07 Februari jam 0:16 · SukaTidak Suka
o
Agus Merlung Art :
Mungkin yg perlu sdkt disederhanakan disini adalah makna 'kwalitas' dan..dg apa yg disebut 'karya seni' itu sendiri.

Kt takkan pernah habis2nya mengurai ini krn cakupannya begitu luas dan sgt holistis,apalagi dikompetisikan bisa jg menjadi a...bsurd pd sebagian orang krn penilaian akan menimbulkan tanggapan2 diluar yg nantinyapun akan berbeda2 pula,apalagi yg dinilai adlh hasil karya dr pemikiran 'jiwa' para seniman,dg juri penilai sgelintir orang itu pasti akan mengalami bnyk perdebatan2 atau ketidakpuasan pd yg lain dikarenakan yg dinilai adlh 'rasa'..dan ini berbeda skali tentunya jika membandingkan dg mengukur emas yg berkwalitas sgt baik tentu dg mudah kt mengukur kadar karatnya dsb.itupun bkn berarti kt tdk bisa menilai kwalitas sbuah karya,tetapi memastikan yg terbaik diantara yg baik mgkn sgt sulit..apalagi menyangkut suka atau tdk suka.

Pendapatku sederhana saja..karya yg berkwalitas adalah karya yg mampu membuat sugesti yg baik pd yg melihatnya.mempunyai kekuatan yg lebih dari makna visual dan tdk mati ditelan jaman.terlepas dr latar belakang seniman itu sendiri otodidak atau berpendidikan,bermoral ataupun tdk,karena pd asal mulanyapun seni itu tdk dilahirkan atau hanya dimiliki oleh org2 dr bangku sekolahan atau pd sgolongan org2 yg bermoral saja.

Salam seni dan budaya...
07 Februari jam 1:52 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Zaenal Arifin:
saya sependapat dgn saodara agus,memang sangat mustahil mengukur kualitas karya seni dari sudut pandang yg berbeda dari sudut pandang senimannya .biarkan jaman yg menentukannya.seperti gambaran yg saya kemukakan diatas.APAKAH KUALITAS KARYA... VAN GOGH BERTAMBAH BAIK SETELAH DIA MATI? ATAO APRESIASI PARA PECINTA SENI YG BERTAMBAH BAIK? karya seni bagai manapun sebuah benda mati yg memiliki kualitas kualitas nya sendiri.pertanyaan.apakah nilai pd sebuah karya seni bisa bertambah atao berkurang ?ini juga tergantung kualitas maupun selera /permainan pasar nya.lalu kalao semua penilaiyan kembali berpulang pada kualitas selera bukankah seyoganya kita pengkarya tidak berkutat mempertanyakan perihal kualitas karya yg kita ciptakan .tapi lebih pukus pd pertanyaan KUALITAS DARI SELERA itu sendiri.kerena banyak juga faktor yg dapat mempengaruhi selera dlm mengambil keputusan nya selain educated dan juga laku gaglaku nya sebuah karya.
07 Februari jam 10:56 · SukaTidak Suka
o
Sagabiru Galeri:
Menurut saya : secara sederhana Lukisan yang berkualitas itu adalah yang bisa menimbulkan " transfer of feeling" bagi penikmatnya....jika penikmatnya itu punya wawasan seni dan pengalaman estetik yg tinggi maka makin tinggilah kualitas sen...i yg ada pada lukisan itu....ok? Ok?
07 Februari jam 11:49 · Tidak SukaSuka · 1 orangMemuat...
o
Sagabiru Galeri:
Repotnya...kadar yang ada pada itu berbeda, antara KOLEKTOR, GALERY, KRITIKUS, maupun ORANG AWAM dan PENIKMAT SENI....namun biar bagaimanapun suatu lukisan punya aturan estetik yg secara umum harus diikuti...
07 Februari jam 11:57 · SukaTidak Suka
o
Sagabiru Galeri:
Makanya sebagai pelukis kita jangan merasa rendah diri dengan Kolektor, Kritikus maupun Kurator...krn wawasan estetis dan berkesenian mereka belum tentu lebih baik daripada kita...Perkara lukisan laku dengan harga berapapun itu hanya masala...h rejeki dan strategy manajemen saja.
07 Februari jam 12:12 · Tidak SukaSuka · 2 orangAnda dan Zaenal Arifin menyukai ini.
o
Zaenal Arifin:
jelasnya seniman tempatnya bukan pd PELENGKAP DAN PENDERITA
07 Februari jam 12:34 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi:
Lagi2 masih terjebak konstruk lama.

Saya akan kasih 2 contoh perbandingan:
Barusan saya mau liat pameran karya seniman lokal dari Anhui, Hung Kin Wah; sayangnya tutup. Karyanya berupa tempat pensil dari bambu yg diukir dng motif Cina klasik, ...dan ya, pameran ini di sbh mall Hong Kong jantung kapitalisme dunia. Kita tau tradisi seni Cina sudah sejak lama mengapresiasi kejeniusan individual dan tidak anonim karena sastra dan visual artnya berhubungan erat. Dalam leaflet pengantar dikatakan bahwa karya maestro Hung lahir dari warisan tradisi lokal provinsi Anhui, Cina.
Contoh kedua: dalam situs dinas pariwisata Papua dikatakan bahwa misi pembinaan pariwisata terhadap warisan kultur lokal adalah mendorong agar terintegrasi dng proyek pariwisata, satu contoh yg diajukan adalah bagaimana membina pengrajin patung Asmat agar kualitasnya meningkat sebab pernah terjadi sebuah patung totem yg orisinil laku puluhan juta di balai lelang Sotheby's (ato mungkin Christie's, bagiku sami mawon).

Kedua contoh di atas adalah peristiwa ketika kehidupan seni dilepaskan dari konteks yg menghidupinya karena penetrasi pasar kapitalistik yg gila-gilaan. Yang satu dng pretensi globalisasi local cultural heritage (disebutkan bhwa Hung Kin Wah "the first aboriginal artists [sic] to be recognized by the National Palace Museum) yg satu dng pretensi industri pariwisata dng nilai2 lokal.

Dua contoh itu masih masuk kategori mekanisme pasar yg terang2an. Contoh lain adalah ketika patron seni bukan kolektor privat melainkan institusi dng political agenda dng misi membentuk mindset audiens seni dan tentunya adalah mindset seniman mesti dibentuk dulu. Contoh paling terkenal adalah proyek2 kebudayaan CIA, Ford Foundation, Clement Greenberg dng Abstract Expressionism, dst.

Yang kita ributkan dari tadi baru taraf ulah kapitalis lokal, belum yg global dng political-economic agendanya sendiri....
07 Februari jam 12:44 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Agus Merlung Art:
Berawal dr konteks bgmn suatu karya disebut berkwalitas ; menjadi bagaimana agar karya bertambah berkwalitas...dua pencapaian proses yg berbeda..
07 Februari jam 13:10 · SukaTidak Suka
o
Dadang Christanto: ‎
@Sindhu: Kenapa aku memakai analogi monyet? Sekadar memudahkan peta wacana dan praktik seni rupa kontemporer di Indo . Resikonya memang terjadi penyederhanaan persoalan, sebab seniman (manusia) bukanlah monyet. Dimana dalam realita ada ruang "Komunikasi" atau negoisasi antara pemerintah/negara dan pemilik sirkus di satu pihak, dengan seniman dipihak lainnya. Ruang "bargening" inilah yang terasa hilang dalam tulisan Tiga Jenis Monyet tersebut.
07 Februari jam 13:33 · SukaTidak Suka
o
Zaenal Arifin:
hm. . .yang kita bicarakan ini KUALITAS KARYA SENI atao PENAMBAHAN NILAI EKONOMIS PD KUALITAS KARYA SENI ??
07 Februari jam 13:57 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Agus Merlung Art:
Hehehe..kok bnyk tulisan ngelantur dr persoalan..yang merasa tdk punya komunikasi mungkin batu atau monyet ya?,kurasa batupun mempunyai komunikasi apalagi monyet.apalagi manusia.wah...kayaknya mesti banyak belajar mengartikan makna tulisan dulu drpd bnyk cakap..jadi lucu kalau uraian kt panjang lebar bila hanya mengandalkan eksistensialis semata apalagi lepas dr tujuan semula..yg terjadi malah ribut di kita sendiri..ujung2nya..moral lagi..kacaw dech..
07 Februari jam 14:41 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Zaenal Arifin:
maaf aku jadi penasaran nih pingin tau anda ini berada pada posisi monyet yg mana? Tentu hubungan ini pada kesenimanan anda.
07 Februari jam 14:44 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Sindhu Pertiwi: ‎
@Zaenal, menurut anda apa itu definisi kualitas seni? Apakah itu bersifat universal, langgeng, objektif, atau seperti dunia idea-nya Plato?
07 Februari jam 14:47 · SukaTidak Suka
o
Zaenal Arifin:
kan justru iv yg sedang kita bahas sekarang
07 Februari jam 14:50 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi:
Ya, dan apa pendapat anda?
07 Februari jam 14:55 · SukaTidak Suka
o
Zaenal Arifin:
pendapat saya kualitas nya langgeng .tapi ada faktor lain yg memberi nilai tambah diluar dari kualitas itu sendiri. Misalnya history dari pd karya .pengetahuan yg berkembang pd karya .bahkan perawatan dan jumbelah asuransi yg dibayar kan p...d karya seni itu bisa memberi nilai tambah yg luar biasa.seperti cotoh yg saya kemuka kan..APAKAH KARYA VAN GOGH MENJADI TERKENAL SETELAH DIAMATI. padahal karya tersebut tidak punya kemampuan meningkatkat kualitas nya sendiri. Pasti ada nilai lain yg ditambahkan unvk meningkatkan nilai tambah pd karya tersebut.ini pikiran saya ketika saya berhadapan langsung dgn karya belio di amsterdam.
07 Februari jam 15:23 · SukaTidak Suka · 4 orangAgus Merlung Art, Zaenal Arifin dan 2 orang lainnya menyukai ini.
o
Zaenal Arifin:
maksut saya.APAKAH KUALITAS KARYA VAN GOGH KULITAS NYA BERTAMBAH SETELAH DIA MATI.padahal karya iv tidak punya kemampuan memperbaiki diri
07 Februari jam 15:28 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi:
Dengan demikian anda tau bahwa faktor sosiologis mempengaruhi nilai sebuah karya.
Lalu, faktor sosiologis seperti apa yg bisa menambah nilai karya itu? Bagaimana apresiasi itu dibentuk? Apakah itu melalui proses sosiologis juga? Yg seperti ...apa?

Sederhananya, kita mengenal karya van Gogh apa karena karya itu mak bedunduk hadir di hadapan kita?
07 Februari jam 15:36 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi :
Saya mengenal van Gogh pertama kali dari pelajaran di sekolah yg mengatakan bahwa karya itu bagus, mempengaruhi perkembangan seni di barat, dst.
Tidakkah apresiasi saya muncul dari sini?
Jika saya mampu mengapresiasi van Gogh, dapatkah kemamp...uan itu saya pakai utk mengapresiasi karya lainnya? Atau dng kata lain MENGENALI KUALITAS KARYA SENI LAINNYA?

Argus, apa anda tdk menghargai pendapat saya sebelumnya BAHWA SENIMAN PERLU BERPOLEMIK, ADU GAGASAN, BUKAN CUMA SEMBUNYI DI BALIK KARYA? Jika tdk setuju, kenapa komentar saya yg didukung Agung dari tadi tdk anda bantah?
07 Februari jam 15:44 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho :
Dan perlu diketahui dlm omong2an ini, kita membahas ttg KUALITAS KARYA, bukan bgmn SEBAIKNYA MENJADI SENIMAN, walau akhirnya juga mgkn ada kaitan.

Dari bbrp komentar di atas, saya mencoba utk mengingat kembali dgn berangkat dr realitas, ba...rangkali bisa lebih memberi kejelasan.

Utk mengapresiasi suatu karya seni musik, kita tdk terlalu butuh mengetahui ; apa konsep penciptaaannya, berbicara ttg apa, atau tdk terlalu perlu juga mengapreasiasi karya2 yg lain dr pencipta karya tsb. Karya itu bisa berdiri sendiri sbg karya di hadapan apresiatornya.
Dan utk mampu menciptakan karya musik, ada bbrp persyaratan yg hrs dicapai dgn intensitas yg relatif tinggi, agar mencapai karya yg berkualitas, krn ada parameternya. Ya minimal memiliki ketrampilan memainkan alat musik utk memainkan komposisi yg telah diciptakan.

Demikian juga pada karya seni sastra, semisal novel. Dari mengapresiasi langusng karya tersebut, kita bisa menangkap seberapa dalam muatan yg dikandung, dan lagi2 kita tidak terlalu butuh juga utk mengetahui ttg konsep yg melatarbelakangi penciptannya. Karya sastra, spt halnya musik, bisa berdiri sendiri sbg karya. Dan utk mampu menciptakan karya sastra yg berkualitas, dibutuhkan penguasaan kosa kata sampai filsafat.
Dan ini mungkin berlaku juga utk bentuk2 seni yg lain.

Apakah dmkn juga pada karya seni rupa ?
Seni rupa ( lukis) memiliki bermacam2 teknik, dari yg paling rumit dan perfek, sampai yg paling sederhana. Dari yg membutuhkan waktu dgn intensitas yg tinggi sampai cukup dipelajari 2-3 jam saja. Dan yg perlu diingat, semua teknik bisa menghasilkan karya yg berkualitas.

Juga, kualitas karya seni rupa biasanya dikaitkan dgn konsep penciptaan, konteks ketika karya itu lahir, lebih2 utk saat ini. Oleh sebab itu dibutuhkan seorang kritikus atau kurator, agar lebih bisa mengapresiasi karya seni rupa lebih dalam. Artinya kualitas suatu karya seni rupa berkaitan dgn peran kritikus atau kurator.

Dan yg sering menjadi bahan pergunjingan, jika karya2 dari seorang seniman diacarakan oleh galeri top, didukung oleh kolektor2 top, dan dikuratori oleh kurator top........ adakah yg berani membuat penilaian, bahwa karya2 tsb kuawlitasnya kurang ?
Kalaupun ada yg mengktirik, paling dianggap angin lalu, tdk berarti apa2 ....dan bisa jadi dianggap sdg iri hati......
07 Februari jam 15:50 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi :
Jujur, meski punya kemampuan bikin karya seni rupa dan pernah belajar di ISI Yogya, saya saat ini senang dng posisi saya sebagai AUDIENS SENI yg cerewet, bawel dan tidak puas dng penjelasan para seniman, kritikus, kurator, penulis seni, kolektor dsb. Sebagai AUDIENS saya punya hak menilai kapasitas intelektual para insan seni karena di hadapan saya sbg AUDIENS-lah karya dan kebesaran nama anda dipertaruhkan.
07 Februari jam 15:52 · SukaTidak Suka
o
Zaenal Arifin:
seniman itu setiap detik berpikir tentang penciptaan karya nya berporeses terus dlm mengali potensi2 yg ada di dlm dirinya untuk menghasil suatu karya.tampa memikirkan kualitas kerena itu bukan tujuan.kualitas akan tercipta dgn sendirinya.setelah berdarah2(meminjam istilah mboh siapa) dia menyelesaikan karya nya .grujuk2 anda datang dan memvonis kualitas karyanya tidak berkualitas. . Hm bisa2 anda gak jadi di suguhi kopi bro ha. .ha. .ha. .
07 Februari jam 15:52 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Sindhu Pertiwi:
Saya tidak mudah percaya dng ocehan kurator ato yg ngaku kritikus sekalipun yg bilang ini karya bermutu, yg itu jelek, konsepnya tidak menggigit, dst.
Saya paling malas dng cocomeo otoritas seni macam kurator atau kritikus atau sosok2 berpen...garuh di bidang seni.
07 Februari jam 15:57 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Karno Kaji:
‎Saya kok tidak yakin. Sebab kurator, kolektor bukan agen 007 yang diberi mandat (lisensi) untuk membunuh. Memang yang di 'atas' ini getaran 'dawai'-nya (fisika quantum) melebihi kita, tapi satu-satunya yang punya otoritas sebagai akim pe...nentu 'estetika'. Mas Wahyu, ujung-ujungnya 'susuk' (kembalian). Kalau yang ber'tanda' dilukisan itu nama besar, saya tidak ragu-ragu (andai duit saya banyak) beralih ke kolektor, atau jika saya bergelar S3, saya akan jadi kurator. Orang tidak akan 'nyalon' walikota, bupati dengan beaya milyar rupiah jika dari sana tidak ada 'susuk' nya. Jadi, di mana kualitas karya seni bersembunyi? Mari kita cari ramai-ramai.
07 Februari jam 16:00 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Sindhu Pertiwi:
Lah, kalo anda bikin pameran itu artinya anda mengundang orang dan mesti siap dng respon dia. Anda yg minta direspon!
Kalo takut dibilang jelek ya tulis saja nama saya-dilarang masuk.
07 Februari jam 16:01 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi:
Lama2 jengkel juga, JADI SELAMA INI SENIMAN MENGELUH2 SOAL PASAR KARENA BUKAN DIA YG PUNYA UANG/KUASA TOH?
Hahahahaha....
Hipokrit!

Kan soal mekanisme pasar sudah saya pertanyakan dng huruf besar! APA AKTIVITAS SENI MESTI DITOPANG MEKANISME PA...SAR?
Totem Asmat, artefak Inuit, Maori, Afrika, flamenco Andalusia....itu tidak besar dari market!
07 Februari jam 16:09 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Zaenal Arifin:
mungkin hal sederhana untuk dilakukan. MENCINTAI NYA. lalu mencaritau mengapa kita mencintainya.tampa harus berpikir kenapa orang lain mencintainya.
07 Februari jam 16:13 · SukaTidak Suka · 1 orangSindhu Pertiwi menyukai ini.
o
Sindhu Pertiwi:
Nah, itu baru tepat! Saya sepakat dng bung Zaenal.
07 Februari jam 16:16 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Halim Hade:
SUDAH DI BILANG, KELUH KESAH PARA PERUPA INI, MEMILIKI NADA HIPOKRISI. cek komenku sejak awal, dan beberapa komen aku dalam diskusi tentang senirupa di jaringan cxak wahyu nugroho.
07 Februari jam 16:22 · SukaTidak Suka
o
Zaenal Arifin:
mas sindhu tadi saya sempat berpikir sampeyan ini kok ngeyelan pingin jadi kurator po?ha. .ha. .ha.. Bergurao ya mas sindhu jangan di eyelin lagi .wesmumet aku maklum wes ujur
07 Februari jam 16:26 · SukaTidak Suka
o
Karno Kaji:
Juga cek comment saya di awal. Kepuasan saya, kualitas saya untuk diri saya sendiri, saya ber'onani' untuk diri saya sendiri. Mau jelek mau bagus. AAAAh......asyiik. sesudah itu saya tertidur pulas. Cek sekali lagi comment saya awal.
07 Februari jam 16:28 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi: ‎
@HH: Aku tau, cuma pengen nampar langsung aja. Karena sepertinya gak pernah merasa, nek wong jawa ngarani ora bisa ngrumangsani.
07 Februari jam 16:29 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi ‎:
@Karno, kalo ada audiens yg tdk punya duit macam saya, anda gak perlu onani!
@Zaenal, saya bukan ngeyel, justru penyakit hipokrisi itu yg ngeyel tntg kuasa pasar.
07 Februari jam 16:32 · SukaTidak Suka
o
Zaenal Arifin:
kita semua bisa menjadi hiprokit selama kita percaya dgn etika dan sopan santun.toh tidak seharus nya hiprokit menjadi suatu yg salah terus.kalao boleh saya ngomong agama juga punya kata lain dari hiprokit yaitu menahan hawa napsu.SALAM BUDAYA
07 Februari jam 16:54 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Sindhu Pertiwi:
Wah, kuwi campur aduk definisi, mbulet neng jawaban retoris jenenge.
Dasar wong jowo, angel dikritik!
07 Februari jam 16:57 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Zaenal Arifin:
ha. .ha. . .ha. .
07 Februari jam 17:20 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
menciptakan karya seni utk kepuasan diri sendiri mmg tdk ada yg melarang, tp berarti masih lebih bernilai tempat sampah, banyak dimanfaatkan utk orang menjaga kebersihan. xixixixi.......
07 Februari jam 19:08 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Sindhu Pertiwi:
Betul cak, dan masyarakat serta audiens-lah yg mestinya jadi sasaran komunikasi gagasan seniman melalui karyanya. Bukan pertukaran ekonomi dan pretensi menjadi seniman maestro atau mainstream yg menjadi tujuan seni.
07 Februari jam 19:15 · Tidak SukaSuka · 2 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten :
kalau gak ada gagasan yang ditawarkan untuk publik dan menjadi kebaikannya, maka ya bukan seniman. karena kata "seniman" adalah sebuah kata predikat yang disandangkan, bukan menyandangi dirinya sendiri dengan kata itu...
07 Februari jam 19:19 · Tidak SukaSuka · 2 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho ‎:
'Seniman' adl predikat yg disandangkan, ungkapan Mas Agung itu perlu digarisbawahi. Sayangnya utk mendpt predikat seniman tdk ada lembaga yg mengesahkan ttg keprofesionalannya, semacam dokter atau pengacara. Xixixixi.....
07 Februari jam 19:33 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
sebenernya kan kesenimanan itu seperti merebut hati publik, yang sayang hari ini publik itu menjadi sempit, hanya sebatas pasar. sehingga yang seolah memiliki otoritas menentukan layak dan tidaknya seseorang menjadi seniman adalah pasar. in...i juga seperti sebuah kekalahan seniman, bukan sekedar pada nilai ekonomis, tapi juga tidak mampu membuat publik turut menentukan nilai sebuah seni dan berkesenimanan. hanya saja hal itu masih ada tapi kesenian populer, yang itupun publik seperti direkayasa kesadarannya untuk menentukan bentuk kesenian oleh modal2 besar lewat televisi dan media2 maenstreem...nah seharusnya memang pertarungannya adalah wilayah publik yang luas, bukan sekedar publik seni semata.
07 Februari jam 19:35 · Tidak SukaSuka · 2 orangAnda dan Umar Gundul menyukai ini.
o
Gus Wang:
WN: lha jaminan kesehatan dari gubernur kemarin itu apa kriterianya? aku kira ada kartu anggota seniman yg dibagikan.
07 Februari jam 19:36 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten:
cak yu, seperti kyai, adalah sebuah predikat. tapi hari ini juga tak beda dengan seniman, yang menentukan kebanyakan juga rekayasa modal atas kesadaran publik. hingga lahirlah kyai2 besar atau seniman2 besar yang digodok oleh media dengan instan dan dramatik haha...karena sesungguhnya seniman sejati atau kyai sejati ya seperti itulah kayaknya jaman2 dulu....
07 Februari jam 19:38 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho:
Saya sepakat dgn pandangan Mas Agung. Sayangnya lagi, idealisme itu hanya sekedar impian di tengah realitas semacam ini.
Cobak kita bayangkan, tanpa kegairahan pasar, masih berbondong2kah orang2 ingin jadi seniman, masih ramaikah anak2 lul...usan SMA berebut utk bisa masuk ISI atau ITB seni rupa ?!......huehehehe.....
07 Februari jam 19:44 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten :
maka kepalsuan yang sesungguhnya harus didekonstruksi habis-habisan itu adalah kemenangan kesadaran modal yang telah menguasai kesadaran publik dunia ini. sehingga jika kemenangan modal itu masih tegak berdiri, seluruh hal dan kesejatiannya... akan tetap kabur, karena memang semua bisa dimanipulasi dengan modal. dan jaman modal begini siapa sih yang tidak akan mengamini adanya. karena jatuhnya kalau tidak mau dibilang munafik ya miskin. karenanya sedikit banyak kegelisahan itu haruslah setidaknya digunakan sebagai energi untuk melawan dominasi kekuatan modal yang telah menjadi kesadaran dunia dengan kemenangannya yang kita hadapi ini...kita hanya bisa mengelus dada atau kita menyatakan diri siap menghadapi seoal adalah tantangan nyata bagi siapapun yang menghendaki kejelasan seluruh definisi identitas tanpa manipulasi...
07 Februari jam 19:45 · SukaTidak Suka · 1 orangUmar Gundul menyukai ini.
o
Wahyu Nugroho ‎:
GW : aku dapat lho kartu jamkes dr ghuvernoor Jatim. Berarti saya sah disebut SENIMAN.....huahahaha.....
bersyukurlah berarti saya ini....!!!
07 Februari jam 19:46 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
cak yu, tentu masih ada dong. cuman kita harus mencari akar dasar permasalahannya. ISI dan ITB ternyata hari ini termasuk bagian dari yang memproduksi masalah itu ketimbang memproduksi kemurnian kesenian. tapi memang tidak hanya dua kampus itu, karena hampir seluruh sekolah juga seperti itu. karena lagi-lagi ini adalah bentukan sistim global...
07 Februari jam 19:49 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
ini tentu adalah desain kapitalism, secara gamblangnya seperti itu...
07 Februari jam 19:51 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
satu2nya cara, ya robohkan kapitalism..=)) karena itu biang dari segala biang, bukan hanya didera oleh seniman, tapi oleh seluruh kehidupan...maka seharusnya seniman tidak bisa mengalahkan sendiri kapitalism jika terpisah secara kesadarannya dengan unsur mayoritas kehidupan lain yang menjadi korban...
07 Februari jam 19:54 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
karenanya dalam kesadaran itu, perjuangan melawan kapitalism adalah perjuangan untuk diri sendiri sekaligus untuk kehidupan....
07 Februari jam 19:56 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
saya kurang sependpt kalo disebut desain global, krn kesan dr kalimat itu adl tuduhan adanya rekayasa yg direncanakan.
Saya berprasangka baik thd lembaga2 pendidikan seni itu.
07 Februari jam 19:57 · SukaTidak Suka
o
Eddy Hermanto:
Salah satu yang menghantui kegiatan berkarya adalah indentitas terus terang saja sayapun masih belum memiliki indentitas yang ajeg. lantas apakah indentitas masih diperlukan saat ini?. Hal ini bukanlah persoalan sepele, sebab pada hakekatny...a persoalan ini diutarakan karena adanya gejala KETERASINGAN. Padahal mungkin saja orang tidak bakal bertanya tentang identitas terhadap yang biasa atau bagian dari dirinya. Persoalan identitas ini mungkin berangkat dari adanya KESENJANGAN antara karya dan publik, zaman dan habitatnya. KESENJANGAN mungkin juga sebuah keniscayaan yang musti disikapi oleh saya atau siapapun yang bergelut dengan proses berkesenian.
07 Februari jam 19:59 · Tidak SukaSuka · 1 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten:
maksude cak, ini masalah bukan sekedar sekolah seni, tapi semua sekolah sudah terbentuk seperti itu. dan bukan sekedar dunia pendidikan, hampir seluruh unsur kehidupan telah terdesain seragam sesuai planing kapitalism...
07 Februari jam 19:59 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
EH : Saya pikir kesenjangan itu adl tanggung jawab seniman utk mencairkannya. Tdk bisa ditudingkan pd pihak lain, aplg masyarakat.
07 Februari jam 20:08 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
ASM : yg dibutuhkan adl bgmn kita tetap punya sikap dan strategi di tengah kepungan kapitalisme. Krn jika dilawan, akan beresiko mjd orang asing di lingkungannya.
07 Februari jam 20:15 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Zaenal Arifin:
mas wahyu membaca tulisan anda tentang tempat sampah lebih bermamfaat dari pd lukisan yg dipakai untuk diri sendiri..saya jadi teringat dng oberolan beberapa kolekdol yg mengeluh kalao di gudangnya banyak tersimpan sampah2.(yg dia maksut ad...alah lukisan2 yg dia beli tapi tidak laku di jual lagi)saya jadi mendukga2 kukisan seperti apa yg dia maksutkan,tetapi setelah membaca tulisan mas wahyu di atas saya sedikit mempunyai dugaan atao gambaran karya yg seperti apa yg dia maksutkan. Saya merasa pembicaraan disini sangat bermamfaat buat saya. Thanks 4 u all. GBU
07 Februari jam 20:43 · SukaTidak Suka
o
Eddy Hermanto:
Mas Wahyu : Seni secara hakiki tidak pernah punya niat "busuk" dalam arti memecah- belah dan mereduksi manusia menjadi bukan manusia. Seni bisa menjadi ungkapan dunia dengan segala macam keinginan, perasaan, dan pikiran. Membaca karya seni,... apapun medium dan subtansinya, secara fenomenologis adalah menelusuri jejak-jejak dalam rangka memahami keduniaan yang ditampilkannya. Penanda dan petanda apa yang terbaca akan membangun suatu realitas . Realitas yang tidak sekonyong-konyong dibangun dari fakta-fakta, namun mengenali fakta-fakta yang terlibat dalam permainan "pemekarya" ....
07 Februari jam 22:36 · Tidak SukaSuka · 1 orangMemuat...
o
Sindhu Pertiwi:
Dan realitas yg dibangun karya2 sampah adalah realitas palsu alias semu.
Contoh: sinetron, musik2 pop sekarang, dan karya sampah yg numpuk di gudang kolekdol.
07 Februari jam 22:53 · SukaTidak Suka
o
Daun Sanggarlukisanak:
karena kami masih anak-anak dan berusaha belajar tentang karya yg berkualitas, maka untuk saat ini kami menyimak saja. telah banyak pendapat para pakar bertebaran di sini
08 Februari jam 0:56 · SukaTidak Suka
o
Karno Kaji ‎:
Sinetron, seniman salon, cowoknya pakai bedak dan gincu, nangis di meja makan yang penuh makanan, ceritanya mesti tentang 'juragan', balas dendam, tapi disukai para pembantu, babu dan 'gedibal'.
08 Februari jam 6:01 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho :
Karya seni sampah ( dianggap tdk bermutu atau merusak moral )..... selalu wacana yg membuat kontroversial.
- Ingatkah lagu popnya Betharia Sonata yg dibredel Harmoko, krn dianggap melemahkan semanagat, tp malah mendapat penghargaan di AS ?...
- karya Pramudya jaman ORBA dilarang beredar, malah mendpt penghargaan di Philipina ?
- karya instalasi Tisna Sanjaya, yg benar2 dianggap sampah oleh petugas kebersihan, malah mendapat simpati yg luar biasa dr masyarakat seni rupa ?
- musik dangdut pd th 70'an dianggap musik sampah oleh kalangan musisi sendiri, tidak bermutu, dan itu diperkuat oleh pernyataan Franky Sahilatua, tp malah sering mendpt undangan pentas di luar negeri. Bahkan ada dua orang peneliti, dr AS dan dr Prancis masing2 yg telah membuat riset ttg lagu dangdut krn tertarik atas keunikannya ?

- Juga keterangan dr Mas Zainal ttg lukisan sampah, cobak andaikan karya2 itu suatu saat malah laris di pasaran, apakah masik disebut karya sampah ?

Jadi.... Disebut karya berkualitas atau karya sampah, tergantung KEPENTINGAN dan SIAPA yg memberi label.
Begitu menurut saya.....
08 Februari jam 12:32 · SukaTidak Suka
o
Agus Merlung Art:
Toh jikapun ingin mengoleksi secara pribadi atau lukisannya gak dijual (atau krn g laku2 dijual) itu hak dr seorang pelukis.bs jg dia hanya hobby melukis dan tdk butuh uang dr hasil karyanya atau enggan komersil krn mgkn hdpnya memang sdh b...erkecukupan,jadi tinggal kt melihat latar belakangnya pantas g pantasnya disebut 'sampah' krn setidak2nya kt harus menghormati proses atau perjalanan bgmn ia menjadi sebuah karya..terus jika boleh saya bertanya disini,apakah karya seni kita memang ada keharusan untuk di JUAL ? atau jangan2 kt sdh teropini bahwa lukisan yg berharga mahal adalah lukisan yg berkwalitas atau sebaliknya ?
08 Februari jam 13:12 · Tidak SukaSuka · 3 orangAnda, Agung Sitiyang Mblonten, dan Zaenal Arifin menyukai ini
o
Zaenal Arifin:
wah bung wahyu kalao ini kalao ya lukisan yg katanya buat dinikmati sendi itu payu berar tempat sampah nya juga gak berpungsiya. . ?toh istilah sampah itu juga membuat aku sedih dan tersinggung.mungkin dasar mereka memiliki karya juga berda...sarkan nilai nominal buka kecintaan.jadi begitu nilai nominalnya hilang yg begitulah comen mereka.coba kalao dasarnya cinta pasti lain lagi comennya.ora payu ora opo2 aku seneng tak sawang2 wesmarem aku.kalao aku ya ngono liyo duwe pikan seje ya ora opo2 tho jenenga ae bebas ber expresi dan ber pendapat.
08 Februari jam 13:12 · Tidak SukaSuka · 2 orangAnda dan Eddy Hermanto menyukai ini.
o
Sindhu Pertiwi:
Jika terkait kepentingan tertentu, kepentingan itu bnyk manfaatnya ato mudharatnya buat bnyk orang?
Jika penelitian, seberapa luas cakupannya, jgn menggeneralisir. Periksa juga perspektif pemikirannya apakah netral atau dimuati kepentingan t...ertentu yg bnyk mudharatnya...
08 Februari jam 16:08 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi:
Nobel sastra sbg institusi yg dianggap prestisius saja dianggap tidak netral ideologi dan terlalu Eurosentris, apalagi institusi lain yg gak jelas.
08 Februari jam 16:10 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho:
AMA : scr realitas mmg begitu. Jika harganya sdh melambung, hampir tdk ada yg mempermasalahkan ttg kualitasnya.

tinjauan ttg tentang netralitas institusi yg memberi penghargaan itu, saya kira juga dlm koridor debatable. contohnya yayasan R...amon Magsaysay yg telah memberi penghargaan kpd Pramudya, saat rezim Orba th 1995, di dlm negeri tjd polemik, baik kelayakannya Pram mendptkan penghargaan itu, maupun ttg netralitas institusi tsb. Perdebatan itu tdk pernah selesai.

saya sepakat jika kualitas suatu karya sebaiknya ditinjau dr azas manfaat dan mudaratnya, krn berkaitan dgn peranan kesenian sbg salah satu pilar utk meningkatkan kualitas budaya, khususnya utk masyarakat di lingkungan dimana karya tsb dihadirkan.

Dulu sekitar th 80-an saya pernah membaca suatu artikel, entah di kompas atau jawa pos saya sdh lupa, yg judulnya 'moralitas dan seni'.
Inti dari artikel itu, seingat saya, seharusnya memisahkan antara seni dan moralitas, baik moralitas agama mapun sosial. Dan bukti praktik itu terjadi CP Biennale 2005 yg bertema "Urban/Culture", menampilkan foto Anjasmara dan Isabel menggambarkan Adam dan Hawa, menampilkan foto nyaris telanjang, karya Agus Suwage. Karya itu menuai protes keras dr kaum agamawan, khususnya kelompok FPI ( hehehe....)

YG PERLU DITINJAU, HARUSKAH KREATIFITAS SENI DIPISAHKAN DARI NILAI2 MORALITAS YG DIANUT OLEH MASYARAKAT SETEMPAT ?
08 Februari jam 19:23 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
kang wahyu, jika anda menganggap realitas yang terjadi itu adalah apa yang terjadi. maka lagi-lagi yang menentukan adalah kekuasaan, dan kekuasaan itu tidak melulu politik. karena nyatanya hari ini yang berkuasa adalah kapital maka uanglah ...yang menentukan kwalitas karya....jika buruh yang berkuasa, maka buruhlah yang menentukan kwalitas karya...bla bla bla...maka intinya ini adalah perang kekuasaan, maka yang perlu kita timbang itu adalah kekuasan yang bagaimana? dan ujung2nya kita akan membicarakan kebenaran...maka pembicaraan ini masih akan jauh, jika memang menginginkan jawaban yang pasti, karena ini bukan semata pertanyaan seniman atas kwalitas karya, tapi juga pertanyaan hampir setiap manusia dan pekerjaannya, adala apa yang menentukan kwalitas mereka dan pekerjaan mereka..
08 Februari jam 19:34 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten:
karena kalau kita bicara ruang publik maka tak mungkin melepaskan diri dari moralitas yang berkuasa. kalau tidak hendak merebut ruang, ya gak masalah, tidak perlu mengharap nilai kwalitas karya dari publik, seperti kang karno yang berkarya ...untuk diri sendiri, karena mungkin dia tidak sepakat dengan sistip kekuasaan modal/pasar yang jadi penentu kwalitas karya. tapi selama masih mengharap nilai dari publik luas, maka mau tidak mau harus berhadapan dan siap bertarung dalam perebutan moralitas dan kekuasaannya...apapun itu moralitasnya, entah moralitas buruh, tani, modal, agama, adalah moral2 yang berkembang dalam masyarakat, jika tidak sepakat ya tinggal menghindari ruang publik dan berbuat aja seni untuk sesama seni...
08 Februari jam 19:48 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
ASM : jangankan kesenian, sejarah lebih banyak ditentukan oleh siapa yg berkuasa.... Ini adl realitas.
Mas Agung, saya ingin tanggapan Anda ttg hubungan kreatifitas seni dan moralitas, yg tl sy tulis di komentar atas.
08 Februari jam 19:50 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
ASM : Hehehe...krn sy pake hp, ternyata komen anda muncul, stl permintaan utk komen Anda. Maaf notifikasinya nggak langsung keliatan spt pake komputer.
08 Februari jam 19:53 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
Artinya Anda setuju kreatifitas seni dilepaskan dari kaidah norma yg dianut oleh masy setempat ?
08 Februari jam 19:57 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
aku setuju saja, pada prinsipnya adalah kalau sesat ya diri saya sendiri, saya tidak mengajak orang lain. tapi jika kita mempublikasikan karya, apalagi berharap orang lain menilai dan mengambil sesuatu dari karya kita, maka kita harus siap ...bertarung dengan apa yang ada dipikiran orang lain, tidak harus masyarakat, tapi adalah individu per individu, karena masyarakat adalah kumpulan individu, dan ini lebih rumit, dibanding dengan masyarakat yang berjamaan atau memiliki banyak kesamaan pandangan atas nilai.

namun yang menjadi kontraproduktif adalah keindividualan dan keliberalan ini cenderung menjadi pembenaran para pelacur....

bagiku sendiri, adalah tentukan diri sendiri dulu sebelum berkarya dan menilai karya atau ingin tahu nilai karya. karena jika diri telah menentukan siapa dirinya, maka dia akan tahu karya itu adalah kwalitas dirinya. diri dalam arti yang lebih luas adalah identitas kemanusiaannya. sehingga kita tidak perlu meminta orang lain menilai kemanusiaan kita lagi, kecuali saran dan kritik. itu jika kita tidak memiliki kesamaan pandangan atas identitas kemanusiaan kita.
08 Februari jam 20:03 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
Berarti pernyataan Anda yg ini bertolak belakang dgn pernyataan2 Anda sebelumnya, yg intinya menghendaki aktifitas kesenian bagian dr kehidupan masyarakat.
08 Februari jam 20:11 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
inikan kita bicara kreativitas to kang, aku prinsipnya menjunjung atau menghormati kebebasan individu sebagai individu. lain hal jika tentang kwalitas karya dia sebagai makhluk sosial dengan mempublikasikan karya itu bagiku adalah aktivitas... sosial, yang mau tidak mau harus berhadapan dengan masyarakat. itu semua adalah konsekwensi logis dari karya dan berkarya. jika untuk diri sendiri, ya sebebas-bebasnya. tapi selama karya itu dipersembahkan untuk publik, maka mau tidak mau harus bertarung dengan kekuassaan masyarakat, entah itu moral, politik, atau uang, atau bahkan ketiganya....tidak mungkin tidak bertarung, kecuali ada permainan manipulasi oleh bandar2, namun itu cepat atau lambat akan juga ketahuan..
08 Februari jam 20:16 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
dan poin pentingnya adalah bagi seniman yang ingin mendahului masyarakatnya adalah, dia harus membaca, membaca, membaca...
08 Februari jam 20:17 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho:
Kalo saya sepakat dg pendpt Mas Edy Hermanto, kreatifitas seniman melalui karya2nya adl sbg saksi atau penanda jaman. Maka karyanya seharusnya selaras dgn nilai2 yg dianut oleh masy pd jamannya, dimana si seniman itu dibesarkan. Dan bagi ...saya, suatu karya seni baru memperoleh eksistensinya jk sdh disodorkan ke ruang publik.
08 Februari jam 20:24 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
Meski seniman itu mendahului jamannya, tp tdk berarti merusak atau memudarkan nilai2 moral yg dianut oleh masyarakat setempat.
08 Februari jam 20:27 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten :
ya, seperti itu bisa juga, tapi juga karya bisa menjadi rancangan atau gambaran masadepan dan masalalu...intinya sebenarnya sederhana. jelas aku lebih sepakat dengan bukan hanya seniman tapi juga semua manusia harus berguna bagi kehidupan d...an jamannya. tapi bagaimanapun ada yang terbebani dengan itu, maka kita hormati yang seperti itu, asal tidak justru mengganggu perjalanan yang anda sebut sebagai jaman itu. nah yang menjadi masalah adalah apa sama pendapat atau persepsi seniman dengan masyarakatnya tentang yang dimaksud jaman itu...kan selalu hanya itu pertarungannya ya selalu pertarungan kebenaran pandangan atas kehidupan ini, dari dulu hingga nanti, karena adalah hukum alam jika dua kepala bertemu, pasti harus ada hal atau kebenaran yang menemukan mereka, tidak bisa kebetulan2 belaka, apalagi dengan seluruh masyarakat dan dunia.
08 Februari jam 20:30 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade:
yen ing tawanag ana lintang, cah ayu
aku ngentheni tekamu......
08 Februari jam 20:41 · Tidak SukaSuka · 5 orangMemuat...
o
Agus Merlung Art:
Hehehe..Bung Wahyu,Sepertinya kesimpulan anda tentang kwalitas karya seni sdh jelas di tentukan oleh uang..mungkin ini adalah jalan pemikiran anda bagaimana anda mengenal 'karya seni' dan mgkin jg ini adalah kesimpulan pertanyaan tema anda ...diatas.saya menghormati pendapat anda.cuma jika berkiblat pd pemahaman anda,sangat sayang sekali jika seorang pelukis nantinya akan dikecewakan oleh uang gara2 lukisannya tdk terjual,ini bisa menghilangnya jati diri seorang seniman secara mental yg paling mendasar.selebihnya lagi karya2 kita hanya akan dimiliki para penguasa uang,lebih parah lagi jk plutokrasi bermain,kita bakalan kehilangan pengabdian kpd masyarakat sekaligus kpd negeri ini.rasa nasionalisme kt akan mudah digembosi virus uang,imprealis kolonial yg berkedok kapitalis bs lenggang tanpa sandungan dr seniman.belum lagi begitu banyaknya nanti rekayasa2 uang atau penipuan pd kompetisi2 berhadiah yg memang sdh ada konspirasi2 terselubung antara curator dan seniman,jk ini terjadi sgt disayangkan pd kesenian kita.

Seni dan moral:

seni dan moral secara 'umum dan perspektif' memang tdk bs dipisahkan.(anda mengangkat tema baru yg lbh luas,dan ini sdkit mengaburkan,dan panjang krn menyangkut prilaku scr global).

tetapi yg kali ini adalah 'moral' yg anda bicarakan dg dedikasi seorang seniman dlm karya seni,bs saja ini bertentangan bila anda mengangkat aksi moral tertentu dg pelaku seni,karena yg terjadi bisa berlawanan..aksi moral bisa menolak pelaku seni begitu jg sebaliknya.
08 Februari jam 22:35 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho :
AMA : Mas Agus....kesimpulan saya tdk sebatas itu. Bisa jadi krn Anda tdk mengikuti obrolan ini sejak awal. Baiklah akan saya kutipkan lagi kesimpulan saya yg sh saya tulis pd awal2 obrolan serta pendpt saya pada pengantar obrolan ini.

Pe...ndapat saya pada pengantar :
Berkaitan dengan pertanyaan BAGAIMANAKAH SUATU KARYA DISEBUT BERKUWALITAS ?
............
Kalau saya berpendapat, dengan menggunakan pengantar di atas, maka tidaklah mudah untuk menentukan kuwalitas suatu karya, mengingat ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dan faktor-faktor yang turut mempengaruhi, yaitu ;
1. Ideologi seni dari si seniman yang bersangkutan.
2. Tampilan karya, yang berkaitan dengan teknis, komposisi, dan kreatifitas
3. Maistream wacana dan mainstream selera pasar seni rupa, ketika karya tersebut dibuat.
4. Yang tidak kalah pentingnya, 'SIAPA' yang menjadi menejer dari karya tersebut.

Kesimpulan saya yg sdh saya tulis pd awal2 obrolan :
- Jika kita ingin mencapai kualitas sesuai standar kita, berarti hrs memenuhi SELERA yg kita inginkan.

- Jika ingin mencapai kualitas yg diharapkan dari suatu lomba, berarti harus berusaha memahami SELERA jurinya.

- Jika ingin mencapai kualitas yg dikehendaki pasar, berarti harus berusaha memahami SELERA pembelinya.

- Jika ingin dibicarakan dlm wacana seni rupa, berarti harus berusaha memahami SELERA.......
hehehe......seleranya SIAPA YA...????

Pendapat dan kesimpulan saya tsb atas dasar pengamatan saya selama ini, dan mungkin kurang atau tidak benar.

Begitu Mas Agung.....
08 Februari jam 22:56 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
mengenai kaitan seni dan moralitas, saya pikir ndak terlalu melebar jauh.ini malah sbg penajaman ttg kualitas, krn utk berbicara ttg kualitas kan sebaiknya ditinjau dr bbrp sudut.
08 Februari jam 22:59 · SukaTidak Suka
o
Agus Merlung Art:
Hehehe..ma'af bung wahyu..sy membacanya kok,cm sy jadi sgt terkesan skali pd kata2 anda:
'tentang lukisan sampah dan tong sampah'...ini obrolan berjalan..bs saja ada pembelotan..

Memang btl pandangan itu harus dr semua sudut,tetapi jika mengu...pas seni dan moral secara spesifik sepertinya ruangan ini terlalu sempit..lagian tema yg kt bahas diatas tdk membicarakan hal ini.
08 Februari jam 23:17 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho :
sebetulnya titik tekan saya waktu berkomentar ttg karya utk kepuasan diri sendiri dgn membandingkan tong sampah adl pd nilai manfaat utk kehidupan.

utk mengupas seni dan moral dlm forum spt ini mmg bisa jd terlalu sempit dan kurang terarah..., tp paling tdk kita punya gambaran.
08 Februari jam 23:24 · SukaTidak Suka
o
Agus Merlung Art :
Bung wahyu,makna mengoleksi lukisan pribadi untuk kepuasan sendiri,mgkn jelas sekali tdk dijual tetapi belum tentu jg lukisan ini hanya bisa kt lht secara pribadi bukan? bs juga dia hanya memamerkan tanpa menjual.sprt membuat museum pribadi... yg memang khusus untk tdk dijual,dmn masyarakat umum,dr kelas paling bawah bs menikmatinya skaligus bermanfaat tanpa harus mempunyai dan lbh2 gratis..daripada lukisan yg berkwalitas tinggi yg terjual dg mahal tetapi berada di dalam rumah mewah,gedung2 mewah yg temboknya tinggi..hehehe...kok malih kakean ngomong aku...
08 Februari jam 23:40 · Tidak SukaSuka · 1 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho :
mmg nilai fungsi pd karya seni bukan pd wujud fisiknya, spt halnya tong sampah, tp pd segi spiritnya. Mmg tdk ada yg menyalahkan jika aktifitas berkarya semata2 utk kepuasan diri sendiri, tp saya mencoba menarik nilai karya seni pd fungsi... sosial.
Saya setuju dgn pendpt Anda, cumak saya menyayangkan seandainya kita berkarya, kmdn stlh selesai kita simpan dlm peti atau kita bakar. Dan sy ndak yakin hal itu ada, tp Mas Agung Sitiyang Mblonten mengatakan dan memberi illustrasi, hal itu bisa sj terjadi.
(.....podho Den, aku yo malih kakean ngomong. Tapi babah wis, bekmenowo moro iso nggarai pinter......hehehehe......)
08 Februari jam 23:57 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho ‎:
HH : lagu sampeyan enak Pak Halim. akeh wong2 sing njempoli.....xixixixi..........
08 Februari jam 23:59 · SukaTidak Suka
o
Zaenal Arifin:
melukis untuk diri sendiri juga sebenarnya bukan lah total terlepas dari urusan jual menjual.siseniman hanya mencoba menawarkan gagasan tapa pertimbangan pasar atao mencoba berkompromi terhadap dirinya sendiri ketika berhadapan dgn perkemba...ngan seni global yg memang di dukung oleh kekuatan pasar.pasar bukan musuh yg harus ditakuti atao dihindari.tapi yg harus disikapi dgn bijak agar kita tidak terperosok kedalam hal2 yg sesungguhnya kita sendiri tidak mengerti.apa lagi kalao sampai kita percaya kaulitas karya terletak pd nilai nominal nya.apa lagi sampai percaya kalao kualitas seni tergantung dgn laku gak laku.kalao ini pendapat anda wajarsekali para pemodal mengatakan sampah pd koleksi2 mereka yg tidak laku di jual. Kerena dimata mereka memang kualitas karya seni terletak pd nilai nominalnya .wajar mereka memang pedagang.tapi akan sangat menyedihkan kalao kita pengkarya juga menganggab karyanya sendiri sampah ketika karya tersebut tidak laku.atao kehilangan nilai nominalnya.hal yg sama tidak terjadi pd seniman yg menempatkan cinta pd karyanya.walao pun tidak laku dia tetap menempatkan karyanya bahagian dari jiwanya .apa itu salah atao takber MORAL.
09 Februari jam 0:48 · Tidak SukaSuka · 2 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten :
cak yu, beberapa contoh seniman yang gagal dalam berkarya untuk disebut sebagai seniman yang berkualitas pada jaman dan sekitarannya, tapi karya itu kahirnya menjadi terkenal setelah dia meninggal, seperti van goch atau penulis kafka, terut...ama kafka adalah seorang yang begitu ragu dan menyesali karya2 yang dilahirkannya dan mewasiatkan pada temannya untuk membakar semua karyanya setelah dia benar2 meninggal. mereka berdua ini menyimpan karya2 mereka ketika mereka masih hidup, yang bisa jadi karena tidak ada respon dari publik, dan juga harapannya atas karya itu tidak sesuai dengan apa yang dia kira untuk tersiar dan menghidupi.

jadi maksudku, menyimpan karya itu belum tentu si seniman tidak ingin berbuat untuk publik, tapi bisa jadi sebaliknya jika publiklah yang tidak merespon karyanya. dan tidak ada yang salah dengan keduanya, baik publik atau seniman yang saling tidak merespon itu. karena itulah bisa sedikit dibaca dari hal itu bahwa, berguna dan tidaknya karya dan berkarya kita untuk kehidupan itu tidak bisa memlulu memakai ukuran ketersiaran atau keterkenalan sebuah karya dan senimannya. yang lagi-lagi semua itu, atas perjalanan waktu/jaman, adalah perjalanan kesadaran dan pembentukan kesadaran itu sendiri.
09 Februari jam 9:48 · Tidak SukaSuka · 2 orangMemuat...
o
Karno Kaji ‎:
Yah pokoknya banyaklah motivasi-motivasi itu.Atau masih ada tambahan lagi? Silahkan, saya tinggal dulu, saya sedang 'ngdoli' soto. Ngapunten.
09 Februari jam 9:53 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho:
Masih berkaitan dgn hubungan KEBEBASAN BEREKSPRESI SENI dan ETIKA, saya mencoba membayangkan seandainya ada perhelatan seni di kota kecil Pasuruan mendatangkan artis2 body painting dr luar negeri dgn menampilkan figur2 telanjang. Siapa y...g salah bila akhirnya 'digruduk' oleh masyarakat setempat ? Perlukah pengagasnya ngambek atau kebakaran jenggot ?
Walau scr pribadi saya sukak melihatnya....hehehe.....

Kemudian baru saja terjadi insiden berkaitan KEBEBASAN BEREKSPRESI SENI dan ETIKA. Tp sebelumnya saya mohon maaf kpd keluarga, Komunitas Gelaran, Greget '95, serta handai tolan ybs, saya mengangkat kasus tsb dlm forum ini semata2 sbg bahan kajian. Tdk ada tujuan apapun selain itu. Juga kasus tsb penting utk menguak kesadaran kita, bahwa kesadaran estetika perlu dibarengi dgn kesadaran etika.

Barangkali ada yg belum membaca, ada baiknya utk meng-klik---http://indonesiaartnews.or.id/newsdetil.php?id=184

jadi....seartistik atau setinggi apapun kualitas suatu karya seni, termasuk karya iklan, akan lebih elok jika dibarengi kepekaan etika dan kesadaran budaya ttg masyarakat yg akan menkonsumsi.
Begitu pendapat saya.......
09 Februari jam 11:12 · SukaTidak Suka · 1 orangAgung Sitiyang Mblonten menyukai ini.
o
Wahyu Nugroho:
Maka saya pikir, kurang elok bila ada artis, ketika melakukan adegan2 yg dianggap kontroversial di tengah masyarakat, dgn menyatakan krn tuntutan skenario atau permintaan sutradara, mengingat mereka bukanlah robot, tp jg memiliki hak utk ...bersikap dan berpikir.
Serta kita sering mendengar perilaku yg melanggar norma2 dgn mengatasnamakan kebebasan seni.
09 Februari jam 11:40 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten :
oh aku pikir selama ini sampeyan ada dalam barisan mereka cak..haha...ya maaf untuk prasangka dalam diri yang tak aku ungkapkan ini...untung sampeyan ngomong..haha
09 Februari jam 11:43 · Tidak SukaSuka · 2 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho ‎:
Hehehe...ah yo nggak....aku cuma sekedar berpendapat.....
09 Februari jam 11:48 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Zaenal Arifin:
saya setuju dgn kebebasan expresi.berexpresi dlm peroses pembuatan karya DENGAN mempertontonkannya adalah suatu hal yg berbeda.menurut saya ketika karya masuk kewilayah publik adat istiadat nya harus menjadi pertimbangan
09 Februari jam 12:00 · SukaTidak Suka
o
Hanafi Muhammad :
Kini, mungkin esok tidak lagi ada semacam kecemasan, yang menjadi praduga: bahwa pasar tidak mampu mengurus dirinya sendiri, bahwa pasar tidak mampu tumbuh sendiri sehingga tangan kita bukan hanya sedang berkarya, tetapi juga merawat pasar ...yang jelas bukan bidang kita. Upaya melampaui kewenangan, memaksakan kemampuan, merawat sesuatu yang bukan bidangnya apa bukan pelanggaran Etika?, setidaknya Nashar pernah bilang: Bagaimanapun juga saya bukan pedagang Asongan!. Biarlah mereka akan kapan menyadari hal itu. Kita sedang tak banyak waktu.
09 Februari jam 13:25 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Agus Merlung Art:
HM~Peran ganda apa dilarang bang ya,atau mgkn itu saling menjaga..?
09 Februari jam 13:30 · SukaTidak Suka
o
Zeni Nugroho :
Salaam, maaf saya nimbrung (ini etika masuk dalam ruang yang bukan milik saya :)
Membaca komentar diatas ada yang mengelitik dalam pikiran saya, adakah kebebasan berekspresi dalam aturan2 etika tertentu yang sering kali membatasi? Karena men...urut saya batasan2 etika dalam konteks kebebasan berekspresi adalah sekat2 yang mempersempit ruang kebebasan tersebut, harusnya kebebasan berekspresi lebih tepat dihadapkan pada pertanggung jawaban dari kreatornya sendiri, mengingat sebuah karya seni adalah tafsir atau persepsi seorang seniman atas realitas yang dihadapinya, belum tentu ketika seorang seniman menampilkan gambar telanjang dia ingin megeksploitasi sensualitas atau ketelanjangan saja tanpa maksud apapun, bisa jadi dia mengkritik moral hazard yang sedang terjadi dlm kehidupan sosial. Jadi menurut saya ketika sebuah gagasan kreatif mesti dihadapkan pada etika sosial yang cenderung represif lalu dimana kita tempatkan gagasan kebebasan berekspresi? Tidakkah itu hanya sebuah gagasan yg semu semata? Dan parahnya lagi etika selalu mengacu pada kesadaran mayoritas yang seringkali pula tidak toleran... :)

Salaam
09 Februari jam 13:35 · Tidak SukaSuka · 3 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten :
zeni, siapa dulu yang hendak kamu kritik? ketika kau menghadapkan karya itu pada publik dan karya itu kau maksudkan untuk mengkritik, berarti kamu mengkritik publik. karenanya harus jelas dong. jika publik yang kamu kritik, ya resiko yang wajar jika kamu akan berhadapan dengan publik. dan kalau kamu siap dengan tantangan publik ya jawablah tantangan itu, tapi kalau tidak siap ya jangan menyalahkan saja publik, karena memang pasti akan seperti itu.
09 Februari jam 13:48 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Hang Ws:
Kehendak berekpresi bukannya disekat oleh suatu tradisi yang mengakar dimasyarakat jika kita mencoba melanggar sekat itu tentunya punya resiko perlawanan dari masyarakat, sedangkan negri ini masih lekat dengan norma2 agama dan budaya lokal ...yang satu sama lainnya punya presepsi tersendiri dalam menyikapi sebuah ekspresi seni yang masuk didalamnya, tingal sikap pribadi kita sendiri apakah akan menajadi pendobrak sekat itu atau berekpresi seni dengan masih menghormati kaidah tradisi dimana kita menginjak tanahnya, lainnya halnya kalao ekspresi itu diperuntukkan pada dunia yang bisa menerimanya dan menutup auratnya atau tidak dipublikasikan pada ruang yang belum mampu menerimanya.
09 Februari jam 13:49 · Tidak SukaSuka · 2 orangMemuat...
o
Zeni Nugroho:
NB: mengenai pasar khusunya seni rupa, pernyataan banyak kolektor yang tidak mudah kagum ketika melihat karya rupa, saya kira ini adalah kenyataan sesungguhnya dari para kolektor di kita, minusnya visi dari kolektor (baca;tidak semua kolekt...or tentu saja) terhadap kemungkinan perkembangan seni rupa indonesa, sebagai akibat ketergantungan mereka terhadap kurator seni rupa yang sangat tidak bisa lepas dari suka atau tidak suka itu ( baca;selera). Pasar dikita adalah folower bukan trend maker, makanya selalu butuh ajang2 pertandingan untuk mencari juara dalam seni rupa untuk lebih memudahkan siapa yang pantas dikoleksi dan laku dijual meskipun cara ini sangat relatif jugakarena cara seperti ini juga tidak imun dari trend yang berkembang secara global. Lalu pantaskah seorang seniman mengkhawatirkan pasar ketika hidupnya dia curahkan sepenuh hati untuk berkarya?

Salaam.
09 Februari jam 13:50 · SukaTidak Suka
o
Agus Merlung Art:
Seni bukan manusia.manusia hanya pelaku dr seni..jk moral mengekang seni tentu tdk benar,tetapi jk moral membatasi pelaku seni,itu tergantung pelaku seninya mau apa enggak..?
Punya moralkah?agamakah?budayakah?

Sy tdk hbs pikir bila suatu saat... nanti dibumi ini moral sdh dianggap kolot olh publik (sprtinya hal ini sdh mulai dan berjalan),apkh seniman jg brtahan dg moral itu ?jk bgt ia akan dijauhi publik,apa yg ia karyakan adlh yg trjd d msyarakat sndr bkn?..lihatlah bgt mudahx kt mendptkan tayangan2 pornograpi dr bermacam2 media.

Apakah seniman itu pembela kebenaran semacam nabi2?
Atau ia tersendiri dg dunianya tentu jg tdk mgkn.
09 Februari jam 14:04 · Tidak SukaSuka · 2 orangAnda dan Agung Sitiyang Mblonten menyukai ini.
o
Zeni Nugroho:
Saya tidak sedang melakukan kritk atas siapapun, karena yg kita bicarakan bukan sesuatu yg bisa dilihat sebagai objek kritik, tapi kebebasan berekspresi dan hubungannya dengan nilai2 etis yg berkembang di masyarakat. Saya setuju apa yg dibi...lang mas hang, bahwa tradisi bukanlah sekat yg harus membatasi kebebasan berekspresi, tapi mari kita juga kaji kesenian sebagai satu hal dan berkesenian sebagai hal lain. Kesenian adalah wilayah kekayaan sosial yg sifatnya umum, disana ada pranata dan aturan yang berlaku umum yg mesti disepakati, sedang berkesenian adalah wilayah privat yg sifatnya personal, termasuk nilai2 yg berlaku adalah perspektif personal yg mungkin saja sangat privat.nah ketika kita bicara kebebasan berekspresi dalam berkesenian artinya kita membicarakan kebebasan privat yg dimiliki seseorang yg dalam hal ini adalah seniman, tapi meskipun kita bicara mengenai kebebasan individu, tidak lantas dengan serta merta kita melepaskan tatanilai dan etika yg dimiliki seniman itu, selalu saja lengkap dengan itu semua.yang sedang saya persoalkan adalah sering kali benturan nilai atau etika privat dan sosial sering kali miskin tafsir, yg sering muncul adalah boleh dan tidak boleh atau sopan dan tidak sopan, tanpa muncul kajian kenapa sebuah karya dimunculka atau diciptkan? Etika sosial tidak hanya menyangkut pornografi, tapi saat ini sudah berkmbang sangat jauh, penghinaan terhadap adat, SARA, pencemaran nama baik dll. Nah sebagai seniman bagaimana melihat itu semua? Karena yg tadinya wilayah sosial tok, kini sudah dipayungi hukum yg salah satunya bernama UU tentang pornografi dan UU tentang pencemaran nama baik yg menurut saya sangat bias itu..
Maaf jika ada yg tersinggung.

Salaam
09 Februari jam 16:29 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten :
‎"bisa jadi dia mengkritik moral hazard yang sedang terjadi dlm kehidupan sosial."

itu adalah kalimat anda, lalu apa maksud dari kata mengkritik itu?

ya aku sepakat, tradisi memang tidak seharusnya menjadi sekat. dan jika anda berbicara kebeb...asan kepada dan terhadap publik, maka mau tidak mau anda harus berbicara kebenaran, sehingga publik bisa menilai kebenaran apa yang kau tawarkan terhadap nilai-nilai yang mereka anut atau yakini. karena masyarakat tentu kalau anda memahami hal-hal sosiologi, tentu dibentuk oleh kesepakatan nilai, karena tanpa nilai tak akan ada masyarakat. karenanya jika anda menawarkan sebuah nilai, anda harus bisa menjelaskan kebenaran apa yang anda bawa. karena dengan begitu agar seniman bertanggung jawab atas nilai dan tidak membohongi masyarakat dengan kebebasan tanpa arti selain sampah dan kerusakan.
09 Februari jam 16:48 · Tidak SukaSuka · 2 orangAnda dan Agus Merlung Art menyukai ini.
o
Zaenal Arifin:
hm beretika kah kita menyuguhkan makanan jenis babi kepada seorang yg kita ketahui oleh agamanya di haramkan untuk memakan babi? Padahal menurut anda babi itu enak.
09 Februari jam 17:01 · Tidak SukaSuka · 3 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho:
@Hanafi Muhammad : saya pikir masalah etika yg disampaikan oleh Mas Hanafi adl dlm kerangka jaringan kerja.. Memang idealnya dalam suatu jaringan kerja ada pembagian wilayah, dimana masing2 fihak saling menghormati peran masing2. Akan dis...ebut sebagai pelanggaran etika manakala ada fihak yg memaksakan kehendak atau mengintervensi wilayah kerja fihak lain. Sebagai contoh, fihak galeri terlalu dalam mengendalikan kreatiftitas seniman. Demikian juga sebaliknya, misalnya seniman melanggar kontrak kerja yg telah disepakati bersama dgn bekerja sama dengan galeri lain, tanpa sepengetahuan dengan galeri yg telah mengikat kontak dengannya.

Kemudian, salahkah bila seniman dalam memenej karyanya dengan tidak menggunakan jasa galeri ? Saya pikir tidak masalah, karena itu adalah plilhan seniman ybs, dan tentu saja pilihan itu disertai beberapa konsekuensi, misalnya selain berkonsentrasi pada proses kreatif, perhatiannya juga akan terpecah untuk bangaimana menjangkau pasar.
09 Februari jam 17:02 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten :
seperti contoh yang bang zaenal ajukan itu, jika anda dapat menjelaskan kebenaran bahwa suguhan daging babi anda kepada mayarakat yang mengharamkan, maka akan menjadi sah dan dapat diterima. misal anda dapat membuktikan bahwa daging itu tidak haram, bahwa dalil yang digunakan untuk mengharamkan itu dalil palsu, dan anda dapat membuktikan kebenarannya. maka kebebasan yang seperti itulah yang seharusnya diekspresikan, adalah sebuah kebebasan yang disertai dasar kebenaran nilai atas nilai publik.
09 Februari jam 17:27 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho:
yg sering menimbulkan konflik, ketika karya seorang seniman adalah ekspresi dari rasa ketidakadilan atau tragedi kemanusiaan tapi bertentangan dgn kepentingan suatu rezim yg tiran, tapi didukung oleh masyarakat mayoritas, sehingga akhirny...a terjadi pemberangusan2 thd karya2 dari suara hati para seniman idealis. Dan itu akan menjadi dilema yg sangat berat, krn penilaian thd karya ditunggangi kepentingan2 yg bobrok.
09 Februari jam 20:16 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Agus Merlung Art:
Seorang seniman yg mentuhankan seni dan menyatakan kebebasannya lebih dari segala2nya..tiba2 mempunyai inspirasi untuk melukis istri,dan ibunya dikeramaian pasar kliwon dg BUGIL...alias TELANJANG.

Ia benar2 membawa istri dan ibunya sendiri k...e pasar,lalu ditelanjangilah kedua orang ini,di depan umum,..mulailah ia melukis..
Kemudian apa yang terjadi?
Bisa anda bayangkan sendiri...

(saya mengangkat mslh pornograpi krn ini sering menjadi krontroversi bagian dr 'seni')
09 Februari jam 20:20 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten :
bener kata agus, kalau tentang kemanusiaan dan ketidakadilan, di negri ini, saat ini paling tidak sudah begitu leluasanya untuk berekspresi, bahkan anak SD pun kemarin ikutan ngumpulin koin untuk presiden. tapi kalau tentang urusan syahwat itu yang belum terpecahkan kesepakatan nilainya. masih begitu tajam perbedaannya, antara ekstrem kiri dan kanan begitu mencolok dan saling arogan.
09 Februari jam 20:23 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
entahlah, secara naluri aku tuh bener-bener gak suka urusan ranjang atau sahwat itu dibawa-bawa ke publik. bagiku urusan ranjang yang urusan kamar masing-masing, toh apa nikmatnya mempertontonkan syahwat, kalau alasannya tentang pendidikan ...seksual atau apalah alasan2 yang biasanya jadi pembenar, bagiku itu hanyalah mendramatisir belaka. karena sifat alamiah makhluk hidup adalah memiliki naluri kebinatangan yang tanpa diajari hal itu akan terjadi dengan sendirinya dan alamiah. kalau mengeksploitasi keindahan atau mengekspresi erotism menjadi sebuah karya seni, ini yang aku pikir sebagai tirani seksual, karena kita digoda tapi tidak boleh berhasrat. seolah kita diimpotenkan...haha...dirangsang tapi akan dicap otak kotor kalau ngaceng, itukan gak normal atau pengingkaran pada hasrat...
09 Februari jam 20:30 · Tidak SukaSuka · 1 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho:
kalo menurut saya ttg tafsir pornografi sebaiknya berangkat dari norma2 yg agama atau sosial yg dianut oleh suatu komunitas yg akan disuguhi karya tsb, Masing2 komunitas masyarakat memliki parameter tersendiri ttg pornografi.Contoh elek2a...n, tafsir pornografi di masyarakat Aceh dan Bali jelas ada perbedaan. Dan itu tdk bisa dipaksakan menggunakan parameter yg sama.
09 Februari jam 20:38 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten:
pada akhirnya kita menyerahkan nilai pada kondisi atas kwalitas karya. di aceh, bali, atau tempat2 lain, nilai itu akan berbeda2, baik di sini belum tentu di sana. lalu pertanyaannya masihkan percaya kalau seni itu universal? atau porno itu bukan seni karena membuat seni menjadi tidak universal?
09 Februari jam 20:52 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
karena kalau memaksakan pornografi ke dalam wilayah seni yang universal, yang ada adalah konflik. bukan saja pertentangan karya itu menimbulkan perdebatan, tapi juga sebab dan akibat pronografi itu atas kehidupan manusia...
09 Februari jam 20:56 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
Dari sudut apa ya pendapat yg mengatakan seni itu universal ? Apa itu hanya sekedar slogan ?
09 Februari jam 20:58 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
nah itulah yang harus dijawab seniman, yang selama ini menjadikan jargon2, entah pembenaran atau beneran, bahwa seni itu universal bla ble blo... kalau menurut cak wahyu sendiri gimana, karena tentu perdebatan kwalitas seni sejak pertama disini (foto cak wahyu ini) adalah perdebatan yang sudah kemana-mana, bukan semata seni di indonesia tapi juga dibelahan manapun, jadi untuk apa kalau itu bukan tentang pembicaran seni untuk semua kondisi dan kehidupan manusia secara umum atau global atau universal...bla ble blo
09 Februari jam 21:03 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho:
hhehehehe.....saya ndak pernah lho berpendapat seni itu universal....saestu menika..... moga2 saja ada orang, khususnya yg di-tagg dlm diobrolan ini, sudi memberi penjelasan, da lebih khusus lagi para intelektual seni, krn obrolan ini a...khirnya deadlock pd jargon SENI ADALAH BAHASA UNIVERSAL......hahaha.... mandhek wis...!!!!
09 Februari jam 21:16 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
waaahhh cak wahyu pokoke kudu usaha cak, lha sampeyan lho sik uri-uri diskusi ini haha..kelihatannya kalau sampeyan bisa memecahkan teka-teki ini, maka akan ada hal baru dan cukup penting sebagai lompatan seni dan berkesenian cak, serius aku hehe
09 Februari jam 21:26 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
yo embuh...mugo2 ae onok sing gelem mbantu....
WIS POKOKE .....SENI ADALAH BAHASA UNIVERSAL....!!!!!
09 Februari jam 21:30 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
adakah yg mau memberi penjelasan tentang pendapat "SENI ADALAH BAHASA UNIVERSAL....", kerna obrolan kami akhirnya deadlock pada kalimat ini.......atau mmg istilah itu hanya OMONG KOSONG DOANG ?!
09 Februari jam 21:46 · SukaTidak Suka
o
Agus Merlung Art:
Lanjutkan ! Hahahahaha..
09 Februari jam 21:49 · SukaTidak Suka
o
Jokn Sulis:
borobudur....
09 Februari jam 21:50 · SukaTidak Suka
o
Eddy Hermanto :
Mengenai universal yang di usung mungkin tidak lain merupakan representasi dari hegemoni Barat, lanataran segala hal yang diakui sebagai universal pada kenyataanya adalah hal yang mencerminkan nilai-nilai yang dikonsep Barat. Yang bukan Barat sepertinya tidak turut ambil bagian dalam wacana universalisme ...sudah pasti dengan definisi ini banyak budaya lokal yang terpinggirkan...
09 Februari jam 22:19 · Tidak SukaSuka · 2 orangMemuat...
o
Zaenal Arifin:
bahasa universal. ?mungkin hanya allah yg tau. Yg kita butuhkan adalah bahasa yg sangat sederhana tidak saja gampang dimengerti tetapi juga dapat diterima
09 Februari jam 22:40 · Tidak SukaSuka · 2 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho:
obrolan kita selama seminggu ini nyaris dalam kesefahaman. Kita mengharap, barangkali ada yg berpendapat lain, yaitu SENI ADALAH BAHASA UNIVERSAL, dgn disertai argumentasi. Dengan dmkn ada perspektif lain dr pendapat2 kita selama ini, se...hingga akan memproleh pemahaman yg lebih utuh....
Apalagi saya sering mendengar jargon itu, dan saya anggap sbg kebenaran. Tanpa mencoba mengkritisi.
09 Februari jam 22:52 · SukaTidak Suka
o
Zeni Nugroho:
Jika seni sebagai bahasa ungkap manusia, bisa jadi memiliki nilai yang universal, karena dimanapun dibelahan bumi ini tau dan memahami bahwa seni adalah medium ungkap seseorang (baca manusia)yang didalamnya berisi pesan yang ingin disampaik...an, tapi ketika masuk dalam subject matter atau content atau isi dari sebuah karya seni sangat sulit dikatakan memiliki muatan universal, bagaimana tidak, karena karya seni merupakan produk budaya spesifik yang didalamnya memuat sistem nilai dan cara pandang manusia yg juga spesifik dan tidak bisa dijeneralisir penilaiannya.tapi meskipun bermuatan atau bercirikan lokal tidak bisa tok dicap lokal dan tidak universal yg kemudian berimbas pada kualitas nilai karya itu menjadi berkurang, nah jika ini yang jadi persoalan jadi ada benarnya apa yg dibilang mas eddy hermanto, universalisme menjadi alat hegemoni nilai2 artistik yg dimunculkan oleh barat yg mengklaim dirinya sebagai kelompok yg lebih beradab ( hal ini juga sering di kritik oleh edward w. Said sebagai arogansi intelektual barat dalam melihat timur yg berbeda dari mereka.
Kembali pada masalah universalisme, mungkin pertanyaannya adalah kemana arah kalimat seni yang universal itu? Apakah yg lokal menjadi tidak memiliki nilai ketika tidak memiliki muatan yg universal?

Ini share dan mudah2an memperpanjang diskusinya...suwun :)

Salaam
09 Februari jam 22:55 · Tidak SukaSuka · 2 orangMemuat...
o
Hang Ws:
Muatan lokal justru menambah nilai yang unik dan sangat bisa menjadi universal.
09 Februari jam 23:05 · SukaTidak Suka
o
Eddy Hermanto :
Mas Wahyu : Rupanya setiap konsep tidak pernah berdiri sendiri namun senantiasa merujuk pada konsep lainnya dalam perbedaan-perbedaannya. Untuk mengetahui bagaimana sebenarnya suatu konsep punya hakekat yang menjadikannya adanya suatu kejadian diperlukan penelusuran jejak dan pengenalan struktur kejadianya. Untuk itulah diperlukan pembongkaran terhadap konsep itu agar bisa dikenali struktur dan unsur-unsur yang membuatnya hadir sebagai deskripsi obrolan yang tidak sekadar Omong kosong..hehehe:)
09 Februari jam 23:08 · Tidak SukaSuka · 1 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho:
Mas Eddy : nah mmg itulah Mas tujuan obrolan ini, yaitu maksudnya ingin memperoleh paradigma dgn dibangun melalui obrolan2. Sayang obrolan melalui FB ini terkadang melebar, krn nggak ada moderator. Tapi ya nggak apa, spy ndak terlalu for...mal, sambil barangkali dr obrolan pendek2 atau melebar akan menemukan kaitan dan mendptkan inspirasi utk diperoleh paradigma seni itu, meski agak remang2.....
09 Februari jam 23:21 · SukaTidak Suka
o
Edo Pop:
Wahyu:Skedar nambah catatan kaki lihat dan buka lalu baca buku, Terry Eagleton, The Ideology Of The Aesthetic, hehehehe biar lebih memicu untuk mendapatkan inspirasi bro...
09 Februari jam 23:53 · SukaTidak Suka
o
Edo Pop:
Wahyu: dan lebih membuka cakrawala paradigma, barangkali baca juga buku, See Mikhail lifshitz, The philosophy Of Art Of Karl Marx dan Margaret Rose, Marx's Lost Aesthetic.
10 Februari jam 0:06 · SukaTidak Suka
o
Edo Pop:
Wahyu:Oh ya biar gak remang2 baca juga buku, Friedrich Schiller, OnThe Aesthetic Education of Man dan buku See Howard Caygill, Aesthetics and Civil Society.
10 Februari jam 0:19 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho:
oke mas edo tengkyu atas info bukunya sip. Tapi sayang sekali buku2 itu sulit saya dapatkan di tempat saya. Moga2 suatu saat jika ke Jogja bisa bertandang ke studio Anda, krn spertinya Anda cukup banyak memiliki buku pustaka yg sangat p...enting.
Oya h baru sj saya dpt info dr seorang teman di Malang, ia memiliki The Ideology Of The Aesthetic, semoga bisa saya pinjam.....
sekali lagi tengkyu atas infonya. dan semoga ada teman lain yg bersedia meminjami buku2 tsb, selain yg dr Malang itu...hehehe... dr pinjam ke pinjamlah ceritanya....Lihat Selengkapnya
10 Februari jam 0:46 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho:
Edo : saya juga pernah membaca ulasan ttg karya Anda ' seniman sahabat Tuhan' yg ditulis oleh Wahyudin. Cukup menarik. Nggak salah dugaan saya, membaca status2 Anda di FB, meski anda seorang perupa tapi sangat akrab dg karya2 Iqbal. Bahka...n karya2 Anda juga terasa warna sastranya, khususnya terinspirasi dr karya2 Iqbal, yg kental nilai2 fiosofisnya.
Saya berharap suatu saat semoga bisa berbincang2 dgn Anda. Jelas suatu hal yg sangat menarik.
10 Februari jam 1:10 · SukaTidak Suka · 1 orangEdo Pop menyukai ini.
o
Edo Pop:
Wahyu: hmn...oke bro kalau kejogja slalu tak tunggu pintu pondok ku slalu terbuka... Sdikit koreksi, karya tsb, judulnnya"seniman mitra tuhan" bro hehehe
10 Februari jam 1:32 · Tidak SukaSuka · 1 orangMemuat...
o
Sindhu Pertiwi:
Memang sebaiknya kembali ke referensi, bgmnpun ruang di fesbuk terlalu sempit utk pembahasan yg kompleks.

Ngomong2 soal marxisme dan pemikiran leftist lainnya, keliatannya lagi ngetren di Indo sampe2 GM ikut2an bikin lakon TM. Bukan cuma apr...opriasi pemikiran leftist oleh kapitalisme/liberalisme saja yg bikin cemas. Tapi pemikiran2 kritis itu sendiri cuma berhenti di taraf konsumsi intelektual kelas menengah, selebihnya hanya rasan2 kegelisahan tanpa perubahan sosial atau minimal transformasi sosial yg radikal.
For the true radicals, pessimism is still being dominant mood.
10 Februari jam 9:46 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten:
sindu, apropriasi itu apa, dan maksudnya gimana?
10 Februari jam 9:50 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi:
Maksude pemikiran atw gerakan kiri yg ditafsirkan ato diserap oleh kap-lib dan balik menghantam tujuan/nilai2 kritis yg diperjuangkan kaum kiri. Contohnya psikoanalisa Lacan, dekonstruksi, ikon Che Guevara, dst.
10 Februari jam 10:54 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten :
sip, yoi :)
10 Februari jam 10:55 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho:
Sebetelunya saya mengajak mengobrol ini adl utk variasi di tengah rutinitas kita berkarya.
Sekaligus pengobati kerinduan utk berpikir dgn obrolan2 seni yg ceria tapi juga terkadang serius utk saling berbagi informasi dan wawasan. Walau... keseriusan itu terbatas pd format FB, tapi bukan berarti keterbatasan itu memutus manfaat FB utk kegiatan yg relatif positif, hanya tergantung ketrampilan kita dlm memformulasikan pikiran2 dlm kalimat yg padat, enak dibaca, dan dlm suasana yg hangat.
@ ASM : aprosiasi dlm seni rupa, biasanya ditafsirkan penjiplakan karya orang lain yg dirubah atau ditambah2i sedikit utk menciptakan karya baru.
10 Februari jam 11:00 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten :
yoi kang, berbahaya memang mengadabtasi gagasan atau karya untuk kepentingan jual beli, apalagi mengkapitalisasi perjuangan menjadi dagangan. begitupun dalam dunia seni, lebih sering kita dengar tentang wacana kegilaan, sebagai upaya melawa...n keterasingan akibat kapitalisasi yang hampir merambah segala sektor hidup ini, tapi justru kegilaan itu menjadi barang dagangan yang ampuh. karena itulah sifat2 khianat itu tumbuh dimana-mana, termasuk seni rupa, yang bagiku bukan sekedar menjiplak karya yang menjadi masalah, tapi jauh lebih berbahaya adalah sabotasi atas gagasan-gagasan original itu untuk perdagangan dan kepentingan perut sendiri...
10 Februari jam 11:07 · Tidak SukaSuka · 3 orangMemuat...
o
Edo Pop:
Wahyu n sindu: bbrapa referensi yg saya usul buat mas bro wahyu buat memahami lebih dalam lagi wacana universalisme, coba dibuka lagi sejarah seni rupa indonesia yg terdahulu sudah didengungkan dlm perdebatan diera th 60an dua kubu lekra vs manikebu...
10 Februari jam 15:19 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho :
yg saya tahu pertentangan antara kubu lekra vs manikebu lebih pada perang ideologi politik. Karya2 seniman Lekra berfaham seni adl untuk rakyat, yg maksudnya diabdikan utk kaum buruh dan kaum tani. Kerna Lekra adl bagian perjuangan dari ...PKI, maka karya2 seninya digunakan sebagai alat propaganda, sehingga karya2 seniman Lekra dikatakan monoton dan klise, terutama pd sastranya, misalnya karya A.S. Dharta atau Sobron Aidit, yg selalu menceritakan tentang penderitaan rakyat yg ditindas oleh kaum feodal-kapitalis.

Sedangkan Manikebu berfaham seni universal, yg maksudnya seni ya utk seni itu sendiri. Dan dikatakan karya2 seniman yg tergabung dlm lembaga ini sangat dinamis, krn murni utk mengungkapkan ekspresi individu.

Menambah komentar dari Mas Zeni, mmg saya pikir yg dimaksud seni adl universal adl rasa untuk menikmati dan mengungkapkan keindahan dimiliki oleh setiap manusia di setiap jaman, homo aestheticus., tapi konsep tentang keindahan itu berbeda-beda di setiap jaman, bahkan setiap individu manusia. Maka jika kita coba paksakan adanya parameter sebagai pengukur keindahan adl tindakan yg sia2. Termasuk juga utk membuat penilaian thd kualitas karya seni.

begitu menurut pendapat saya.....
10 Februari jam 19:35 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Eddy Hermanto:
saya jadi teringat sebuah gerakan yang dipelopori oleh psikolog Johann Fredrich Herbart dan Hanslick yang membedakan antara kandungan dan bentuk seni. Menurutnya, kandungan seni tidak mempunyai nilai estetik, tetapi hanya sekadar alat untu...k memunculkan efek artistik. Apa yang disampaikan lewat seni, baik atau buruk, benar atau salah, sesuai dengan kaidah atau tidak, tak menjadi msalah & tidak berpengaruh pada nilai seni; yang penting adalah bagaimana penyampaiannya, pada bentuknya. Nilai estetik berkenan dg bentuk, relasi atau pertalian, sehingga slogan "seni untuk seni" berubah mnjadi "bentuk untuk bentuk" Artinya, cita rasa artistik adalah hasil pemahaman yang klop terhadap relasi yang dibentuk oleh unsur-unsur yang kompleks.
10 Februari jam 22:09 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Halim Hade:
@Wahyu, saya pernah kirim sms kepada anda tentang 3 judul buku penting tentang fondasi pemikiran kesenian. buku karyanya PLEKHANOV n CHERNEVSINKY, dan satu lagi perkembangan pemikiran sastera-seni tahun 50-60, karya A.S. DHARTA.
11 Februari jam 0:45 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
yg saya punya : lekra vs manikebu, perdebatan kebudayaan Ind 50-65.
11 Februari jam 1:00 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade:
Bboleh setuju atau tidak, buku PLEKHANOV n CHERNEVSINKY membentuk alam pemikikiran kritis, bukan hanya di indonesia tapi juga di segala penjuru dunia. bukunya chervenisky adalah sejenis das kapitalnya kesenian.
11 Februari jam 1:02 · Tidak SukaSuka · 2 orangMemuat...
o
Sindhu Pertiwi :
Keterbatasan fb adalah gak mungkin menguraikan setiap perspektif estetika dan filsafat tntg seni, tinjauan seni dr berbagai cabang ilmu, maupun pemikiran-manifesto seni secara komprehensif.

Semestinya seniman bnyk membaca tntg hal2 tsb sbg d...asar pijakan konseptual bagi aktivitas seninya.
11 Februari jam 7:16 · SukaTidak Suka · 2 orangEdo Pop dan Agus Merlung Art menyukai ini.
o
Eddy Hermanto :
jika saya perhatikan, wacana estetika di Indonesia, terdapat kecenderungan meminggirkan para pemikir lokal. Hampir setiap kajian berkaitan dengan estetika dan kesenian, cenderung mengutip pemikir-pemikir Barat, memuja teori-teorinya dan men...jadi tolak ukur kebenaran. Kondisi itu terjadi pula di lingkungan perguruan tinggi, termasuk para peneliti, pemujaan terhadap gagasan -gagasan pemikir Barat sangatlah besar dan kurang pas jika buku-buku bacaan atau kajian estetika tidak menyebut; Plato, Munro, Beardsley, Popper, Khun. Langer, Lader, Baulldiard, Adorno, Derida, Lacan, Barthes, Kristeva, Guattari dll...tapi asyik juga hehe...Lanjutttt !!
11 Februari jam 7:33 · Tidak SukaSuka · 3 orangMemuat...
o
Sindhu Pertiwi:
Kalo barat-timur mungkin tidak juga, pemikir renaisans Arab, Cina, India bnyk juga dan tradisi keilmuan bangsa timur tsb sangat kuat sejak lama. Di Indonesia tradisi keilmuan tdk pernah mendapat tempat yg leluasa utk berkembang. Bukan cuma ...karena tekanan politik, tapi kupikir masyarakatnya ignorant juga.
Kata kunci memahami karakter masyarakat kita adalah pragmatis (dan cenderung konsumtif) serta konformis terhadap otoritas serta hierarki. Yg terakhir menjadi sumber bercokolnya watak2 patriarkal, primordial atau 'feodal'.
Sementara keilmuan dan seni merupakan wilayah yg harus terbuka terhadap perubahan.
11 Februari jam 9:30 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho ‎:
Terkecuali kualias karya tulis kritikus atau peneliti seni, APAKAH KUALITAS KARYA SEORANG SENIMAN DIPENGARUHI OLEH SEBERAPA BANYAK WAWASAN FILSAFAT DAN SEJARAH YG DIA PELAJARI ?
11 Februari jam 10:48 · SukaTidak Suka · 2 orangLembu Jagiran dan Zaenal Arifin menyukai ini.
o
Sindhu Pertiwi:
Bisa tidak, bisa iya.
Sekali lagi karena ukuran kualitas karya seni adalah hal yg relatif.
Lagi pula wawasan keilmuan menentukan kualitas intelektual seniman, bukan kualitas karya seni.
11 Februari jam 10:56 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho ‎:
Maaf, yg saya maksud adl sejarah umum, bukan sejarah karya2 seni rupa yg tlh diciptakan.
11 Februari jam 10:58 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
kalo berbicara senimannya, saya pikir yg dibutuhkan adl kepekaan rasa/ batin dan kreatifitas.
11 Februari jam 11:01 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Sindhu Pertiwi:
Sama saja.
Kalau anda hendak berkarya dng bobot yg kuat sbg kritik sosial-politik, maka mutlak anda mesti menguasai ilmu2 sosial dan sejarah umum, atau memiliki kepekaan analisis sosial.
Pada sudut pandang subjektif, viewer yg memiliki bnyk w...awasan biasanya punya penafsiran yg lebih kaya.
11 Februari jam 11:06 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho:
Tdk sedikit karya yg dianggap berkualitas berangkat dr pengamatan subyektif seniman thd lingkungan sekitarnya.
Kemampuan analisis yg didasarkan pd ilmu2 sosial, mmg sangat berpengaruh pd kualitas konsep penciptaannya.
....tak oflen dulu, ta...k jum'atan sik...
11 Februari jam 11:14 · SukaTidak Suka · 2 orangZaenal Arifin dan Agung Sitiyang Mblonten menyukai ini.
o
Wahyu Nugroho:
Membahas ttg kebutuhan mutlak atau primer, sebaiknya dibedakan antara kebutuhan seniman dan kebutuhan kritikus atau peneliti seni.

Spt yg tlh saya tulis pada komentar di atas, kebutuhan primer seniman adl kepekaan rasa / batin, yaitu kepek...aan estetis dan kepekaan menangkap setiap gejala yg ada di lingkungannya, bisa sosial, bisa alam. Dua hal tsb akan mjd sumber inspirasi bagi kreatifitasnya.
Kepekaan itu akan diperoleh dan dipertajam dgn intensitas mengapresiasi, eksplorasi dan berkarya seni. Serta, intensitas dlm keterlibatannya dgn kehidupan sosial masyarakat dan lingkungannya.

Sedangan ketrampilan teknis menulis, wawasan filsafat estetika dan filsafat2 terkait, sejarah perkembangan seni, serta ilmu2 sosial yg terkait adl kebutuhan mutlak utk kritikus dan peneliti seni. Sedangkan bagi seniman adl sebagai pelengkap saja, yaitu utk membantu memperkaya sumber inspirasi, kerna wilayah utama seniman adl penciptaan.
11 Februari jam 13:30 · SukaTidak Suka · 3 orangMemuat...
o
Sindhu Pertiwi:
Begitu boleh juga, tetapi ketika dialog antara pemikir seni dan seniman tidak nyambung karena gap wawasan kepada siapa kesalahan dilemparkan?

Dlm sbh tulisan kritikus barat yg pernah saya baca ada satu tugas kritikus yaitu sbg penerjemah kar...ya2 yg kompleks kepada masyarakat. Tentu dng latar wawasan audiens yg beragam, adalah sebuah tantangan bagi kritikus menyambungkan gagasan tanpa mengurangi kompleksitas karya. Ini entah anda tafsirkan bagaimana...
11 Februari jam 15:42 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Karno Kaji ‎:
Tidak demikian bagi Sudjojono, bahwa kepekaan terhadap lingkunganyalah menjadikan seorang seniman menjadi kreatif. Kalau tidak, siniman akan pasif, sendiko dawuh, dan hanya sebagai 'pengagum karya orang lain.
11 Februari jam 15:46 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Hang Ws:
belajarlah dipasar maka akan banyak menemui karakter disana, demikian salah satu saran Affandi untuk para pelukis.
11 Februari jam 15:58 · Tidak SukaSuka · 1 orangMemuat...
o
Sindhu Pertiwi:
Tentang S. Sudjojono apakah ada yg sudah membaca buku Aminuddin Siregar tntg beliau? Saya belum, sepertinya ada sisi2 menarik dr pemikirannya yg pantas digali; pun dng catatan bahwa ketika membaca buku/tulisan tntg seni rupa Indonesia ada bnyk klaim2 penulis yg harus dicermati lagi.
11 Februari jam 16:08 · SukaTidak Suka
o
Karno Kaji:
Ada banyak merah, kumpulkan sebanyak-banyaknya, pasti akan kau temukan warna merah yang paling 'sangar'.
11 Februari jam 16:08 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
Dialog akan selalu berlangsung jika dlm suasana kehangatan. Dan yg lbh penting, selama masing2 fihak mengesampingkan arogansinya.
11 Februari jam 17:01 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
Kerna hakikat dialog/ komunikasi adl berbagi wawasan/ informasi.
11 Februari jam 17:07 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Zaenal Arifin:
hm. .aku jadi terinprasi dari ungkapan fahma pembuat software termuda di dunia.menjadi juara membahagiakan tapi menciptakan juara lebih membahagiakan mungkin dlm hubungannya dgn tulisan bung wahyu diatas kita bisa berpedoman sebagai berikut .menjadi pintar itu penting tetapi memintarkan orang lain jauh lebih penting!! Ayoh semangat
11 Februari jam 17:18 · Tidak SukaSuka · 2 orangMemuat...
o
Sindhu Pertiwi:
Persoalan dialog bukan kehangatan dan arogansi saya kira. Karena penilaian macam itu subjektif. Ini sebabnya profesi kritikus mati: sudah penghargaan atas profesi rendah, ia bakal dicaci-maki orang gara2 "seenaknya" menghakimi karya dng argumen2 yg "sulit."
11 Februari jam 18:59 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho ‎:
profesi kritikus TIDAK ADA YG MENGHARAPKAN KEBERADAANNYA dan TIDAK ADA YG MAU MENEMPATI, karena...... ???
Ahxhixhixhixhi.......( biar Bernard Bear saja yg njawab )
11 Februari jam 23:17 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi:
Sori, masih dlm bhs. Inggris. Ini link tulisan Clement Greenberg ketika ia masih seorang Trotkyist (ditulis th 1939) lama sebelum ia bergabung dng proyek budaya CIA. Ada bagian yg tdk saya sepakati, tetapi ini tulisan yg bagus utk me-resume... diskusi kita:
http://www.sharecom.ca/greenberg/kitsch.html

Catatan lain, peran kritikus selain tidak mudah juga kontroversial. Bisa karena ideologi dan kepentingan ybs (dan perubahannya), bisa juga karena salah menilai karya, atau malah sebaliknya mampu mengangkat karya yg belum dipahami audiens.
12 Februari jam 0:18 · Tidak SukaSuka · 4 orangAnda, Zaenal Arifin, Dadang Christanto, dan Edo Pop menyukai ini.
o
Karno Kaji ‎:
Dialog itu ada syaratnya, yaitu keseteraan isomorfisme (Budaya, latar belakang pendidikan, bacaannya, alirannya, ideologinya, agamanya, partainya, 'podo' senimannya, sama 'rendah hatinya) baru bisa 'nyambung'. Kalau 'ndlurung' wah biso antem antem-an. Misalnya, ketika saya baca puisi di hadapan tukang becak (maaf, mohon jangan setelah ini tukang becaknya yang dibahas) mereka berkomentar; Walah nggak ngurus, sing penting nggelek pangan. He...he...
12 Februari jam 6:09 · SukaTidak Suka
o
Karno Kaji ‎:
Antara 'komunkator' dan 'komuniken' ini harus setara. Ada humor, saat itu tidak lucu, tapi setelah satu tahun kemudian, orang itu baru tertawa terpingkal-pingkal. Kalau podo senimannya, pastilah njambung, bukan berarti tidak ada eker-ekeran justru itulah dialog yang dinamis. Kalau 'inggah inggih' itu namanya tidak ada kesetaraan; antara 'juragan dan gedibal' Tak iye kanaaak.
12 Februari jam 6:15 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Agus Merlung Art:
Bender jielah mas Karno mak taoh keah kakeh...
12 Februari jam 6:25 · SukaTidak Suka
o
Karno Kaji:
Bo...abo.... Dor! dinnak mateh dis-sak. He...he...
12 Februari jam 6:32 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho:
tentang karya kitsch dan avant garde, saya teringat pemahaman di antara kami, teman2 sesama perupa, sekitar th 80'an. Kami sangat mengharapkan karya2 kami disebut karya avant-garde, dan sangat tersinggung bila dikatakan kitsch. Utk itu ka...mi sangat bersemangat dan berlomba2 melakukan berbagai macam eksperimen dan eksplorasi teknik, bentuk, juga konsep. Intinya bagimana bisa mencapai karya 'aneh', lain daripada yg lain. Tidak peduli terkesan 'kemproh', warna yg 'lethek', atau 'nggedibal'. Justru seperti itu yg dianggap punya greget. Kami menghindari karya2 yg terkesan manis, mewah, obyek2 yg indah atau artistik (menurut pandangan umum).
Tapi ketika th 2000-an ini,pandangan itu berbalik, justru karya2 yg rapi, terkesan tanpa cacat (spt keluaran pabrik), obyek2 yg cantik, teknik yg perfek, .... menjadi trend.

Hal itu terjadi sebenarnya tak lepas dari pengaruh perkembangan seni rupa dunia. Sayangnya kami selalu telat mendpt informasi. Padahal kondisi senimam2 di AS sejak th '70-an, sudah merasa jenuh utk terus-menerus berkejaran menjadi seniman avant-garde. Lagi pula, galeri2 di sana juga sudah jenuh pula memajang karya2 konsep dan karya2 eksperimen, yg tak dapat dijual itu.

Yustiono, dlm bukunya th 85 menyatakan, bahwa konsepsi seni modern telah membelenggu para seniman pada segi bentuk dan medium. Para seniman mulai menyadari keterasingan, keterpisahan, dan kehampaan hidup. Mereka merindukan konsep seni yg lbh manusiawi, yg dekat dgn kehidupan.

Sayangnya kami selalu telat memaknai aktifitas kesenian kami.

------Tentang komunikasi yg dijelaskan oleh Pak Kaji karno, ".....Dialog itu ada syaratnya, yaitu keseteraan isomorfisme.... dsb."
Saya piikir tidak harus begitu. Dalam ilmu komunikasi, yg terpenting adl kepekaan terhadap kondisi komunikan (penerima pesan). Juga si komunikator mampu dan memiliki ketrampilan dalam penyampaikan pesan kepada komunikan. Kemampuan dan ketrampilan itu adalah penguasaan bahasa/ simbol dan mampu memformulasikan pikirannya sehingga difahami oleh komunikan.

Karya seni juga berfungsi sebagai media pembawa pesan atau gagasan seniman, hehehe....ini lain masalahnya.....masak harus menyelaraskan dgn tingkat pemahaman dan idiom2 dr si apresiator....waaahhh....!!!!
12 Februari jam 16:29 · SukaTidak Suka · 6 orangMemuat...
o
Sindhu Pertiwi:
Keren komentarnya cak Wahyu barusan. Sebagai generasi yg muda banget, rekaman pengalaman generasi sebelumnya sulit saya dapatkan referensinya secara langsung.
Itu sebuah pengalaman berharga yg mestinya tercatat bwt generasi berikutnya.
12 Februari jam 16:34 · Tidak SukaSuka · 1 orangMemuat...
o
Karno Kaji:
‎:Itu namanya ada kesetaraan 'isomorfisme' Kang Wahyu, ada reaksi sehingga komunikasi jadi aktif. Metodologi penyampaian yang 'wiiih' mungkin menyenangkan bagi komuniken, tetapi materi yang disampaikan tidak dimengerti olehnya.Loh..lah..loh.....lok. Tulisan teman-teman bisa menjadi sebuah diskusi yang menarik, tetapi tidak menarik jika dibaca oleh SBY, Karena tidak mempunyai kesetaraan 'isomorfisme' (ideologi, pangkat jabatan,agama, sistem nilai, partai)
Isi di kepala masing-masing orang tidak sama, oleh karena itu konsep berkesenianpun berbeda pula. Keindahan ada di kepala masing-masing, dan kita tidak boleh memaksakan kehendak kepada seniman lain; lukisan era sekarang itu harus begini, harus begitu.Oleh karenanya bukan tidak mungkin di antara kita ada kesetaraan; latar belakang pendidikan, pengalaman berkesenian, sistem nilai, kesamaan estetika, sehingga ada orang yang berlama-lama memandangi lukisan Mas Wahyu, dan ada pula cuma lewat, tanpa lirikan sedikitpun.Sah-sah saja. Keindahan di kepala masing-masing. Kalau sama, he...he..he...istri orang sedunia ini wajahnya sama.
12 Februari jam 19:27 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Zaenal Arifin:
perlukah kita menyertai ideologi pd karya2 kita untuk menggiring para penikmat pd titik temu seperti keinginanpengkarya. Sedang pd sisi yg lain mereka penikmat kita berikebebasan untuk menikmati karya dari sudut yg berbeda sesuwai dg latatar belakang mereka?
12 Februari jam 20:44 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
ada yg perlu Anda simak tulisan Pak Kaji karno tentang "Morfologi Warna", yaitu di Indonesia Art News. Silakan klik---- http://www.indonesiaartnews.or.id/artikeldetil.php?id=91

saestu menika.....Ahxhixhixhixhi.......
13 Februari jam 11:55 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Jokn Sulis :
hohohohoho
13 Februari jam 12:12 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
nang Den Kuss Indarto gambarku lho sing digawe illustrasi.....hehehe...
lha pancene cocok karo judhul artikele hare....
13 Februari jam 12:15 · SukaTidak Suka
o
Karno Kaji ‎:
Mas Zaenal, perlu sekali. Walaupun setiap masing-masing orang mempunyai batasan batasannya sendiri tentang karya yang dilihat, paling tidak distorage-memory mereka telah memperoleh tambahan informasi sebagai bahan analisinya.
13 Februari jam 13:52 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Zaenal Arifin :
thanx cak karno
13 Februari jam 15:31 · SukaTidak Suka
o
Hang Ws ‎:
@Mas Karno kaji..saya meyakini selapas dari tangan sipelukis, lukisan akan bertempur sendiri, menang atau kalahnya sebuah lukisan dalam pertempurannya tentunya tergantung dari si seniman bagaimana mempersipakan sebuah lukisan untuk berlaga di medan pertempurannya, dan sejauh ini dialog yang meriah di wall ini tentunya merupakan salah satu strategi untuk menyikapai bagaimana sebuah karya dapat memanangkan pertempurannya, saya menikmati uraian demi uraian yang menyehatkan otak saya, terimakasih
13 Februari jam 15:45 · SukaTidak Suka
o
Zaenal Arifin :
sebenarnya masih banyak pertanyaan2 bagaikan benangkusut dikepala saya.misalnya. Bagai mana dgn pesan moral yg ingin di sampaikan seorang pengkarya tapi di analisa oleh audien justeru menjadi unmoral.dan lalu bagaimana tanggungjawab pengkarya terhadab moral itu sendiri?mumet saya kalao memikirkannya.ha. .ha. Ha. . Sory sepertinya saya ngomong sendiri nih
13 Februari jam 16:06 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Hang Ws ‎:
@Mas Zaenal Arifin..sing penting gambar sesuai dengaam kemampuan emosi kita seterusnya biarkan gambar itu bertempur sendiri setidaknya secara praktis kita sudah mendapatkan melalui latihan2, berdiskusi semacam ini dan belajar dari orang lain baik secara teori maupun teknisnya.
13 Februari jam 16:11 · SukaTidak Suka
o
Zaenal Arifin :
memang itu juga yg menjadi jawaban saya selama ini walaopun tidak memuaskam saya untuk sementara ini ok lah .soal nya kalao dipikirin terus bisa gak gambar saya.ha. .ha. .ha. . .jadi tambah ruwet. ok lagi thanx 4 u all
13 Februari jam 16:20 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho :
( tanggapan ini juga utk yg mengomentari status saya, krn yg berkomentar di status tsb sebagian besar di-tag di obrolan ini )

WS Rendra pernah mengatakan,"kegiatan seni itu tdk penting."
Ya...saya pikir kenyataannya mmg begitu. Karena kese...nian tidak menyentuh kehidupan orang banyak atau menjadi kebutuhan masyarkat umum, maka sewajarnyalah jika mereka (dan mgkn dari kalangan seniman sendiri) tidak peduli dan malas membicarakan ttg seni, karena sebagian besar hanya seputar kebutuhan kalangan seniman sendiri, kalaupun menyentuh kebutuhan orang lain, hanya sekelompok kecil orang saja. Kecuali seni terapan.

Maka.....karena kenyataannya begitu, apakah layak kita menuntut terlalu banyak kpd masyarakat, juga kpd pemerintah ? Apakah kita perlu mengeluh, jika kesenian dianaktirikan dlm kebijakan2 pemerintah ?
13 Februari jam 16:43 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Hang Ws:
kegiatan seni itu penting sebagai bentuk ekspresi berkesenian tanpa kita sadari setiap hari kita disuguhi dengan kegiatan bekesenian baik itu simetron, iklan, orang menawarkan barangpun itu perlu seni bahkan untuk menyuguhkan secobek sambal oleh seorang istri pada suaminya tentunya terbesit suatu naluri untuk menata sebaik mungkin diatas meja..hidup selalu diliputi oleh kesenian, tinggal bagaimana kita mebyikapi secara estetika untuk memanfaatkan potensi yang sudah ada.
13 Februari jam 16:54 · SukaTidak Suka
o
Karno Kaji ‎:
Waduh! kadung tak klik rek. Sory lali sing kate tak omongno.
13 Februari jam 16:58 · SukaTidak Suka
o
Zaenal Arifin:
seni itu tidak penting. Mungkin ini bahasa sinis terhadap sikap pemerinh orde baru saat itu.yg sering sekali mencekal pementasan derama maupun puisi yg bernada protes terhadap kebijakan2pemerintah orde baru saat itu. Atao belio ingin mengatakan seni hanyalah bahagian dari kegiatan manusia bisa menjadi penting bisa juga tidak.kalaolah ini yg dimaksutkan oleh mas willy(panggilan akrapnya)saya setuju.
13 Februari jam 17:01 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten:
penting dan tidaknya seni, sama seperti hal lain diluar kebutuhan pokok manusia, adalah ketika dia berpihak pada kemanusiaan dan kebenarannya. seni menjadi penting ketika dia menjadi bagian penting perjuangan. karena tanpa itu semua, bahkan... seni bukan lagi sekedar tidak penting, tapi bahkan seni bisa menjadi pengkhianatan pada kemanusiaan dan kehidupan. seperti misal ketika begitu banyak orang kelaparan dan ketimpangan dimana-mana, tapi kesenian dibuat justru untuk melayani kelas ketimpangan yang atas, seorang seniman dengan mudahnya menjual harga yang melangit, menginjak2 harga-diri kemiskinan dengan keindahan seni yang dibuatnya, maka bukan lagi tidak penting, dalam hal itu seni telah menjadi pengkhianatan....
13 Februari jam 17:07 · Tidak SukaSuka · 3 orangAnda, Agus Merlung Art, dan Hang Ws menyukai ini
o
Agus Merlung Art:
Ngomong2 kapan kt pameran bersama?
13 Februari jam 17:08 · SukaTidak Suka
o
Hang Ws:
padahal banyak ide yang disajikan oleh karena fenomena sosial, lantas sepatutnya bagaimana kita menyikapinya, apakah biarkan karya itu dicermati tanpa ada nilai materinya ?
13 Februari jam 17:11 · SukaTidak Suka
o
Zaenal Arifin :
bisa saya tambahkan tencekalan kegiatan berkesenian tidakhanya sebatas pementasan derama juga dlm pergelaran seni rupak ,buku2 sastra .pemberitaan media surat kabar dll yg dianggab tidak mendukung kebijakan pemerintah orde baru kala itu
13 Februari jam 17:13 · SukaTidak Suka
o
Zaenal Arifin:
ngajak siapanih? Kalao ngajak aku jawabannya any time bro
13 Februari jam 17:15 · SukaTidak Suka
o
Agus Merlung Art:
Ngajak semuanya yg ada disini..ngobrolx kan udah bnyk..
13 Februari jam 17:21 · Tidak SukaSuka · 3 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho ‎:
ZA : pernyataan Rendra tsb diungkapkan dlm dialog di televisi,bbrp tahun setelah reformasi. Sayang saya lupa konteks dialog itu. Tapi yg jelas ttg politik.
13 Februari jam 17:24 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho:
HW : apa yg Anda sampaikan adl seni dlm ranah terapan, bukan seni murni. Meski katanya membicarakan seni murni dan seni terapan sdh ndak jaman. Tapi kenyataannya sampai saat ini praktiknya masih dibedakan antara seni murni dan seni terapa...n.Lihat Selengkapnya
13 Februari jam 17:29 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten :
seperti seniman afandi, ketika pra kemerdekaan (perjuangan), berkeseniannya dia menjadi faktor penting untuk menumbuhkan semangat perjuangan. tapi setelah kemerdekaan, berkeseniaannya dia kehilangan semua itu selain pada pihak elit dan kala...ngan seni itu sendiri. keseniaan afandi paska kemerdekaan justru meninggalkan keberpihakannya pada kemanusiaan lalu justru memihak kemapanan kelas tertentu. karena perjuangan tentu bukan sekedar kemerdekaan, terlebih dijaman bebas ini....

karenanya kesenian memang dikutuk seolah harus berada pada anti kemapanan. karena tanpa keadilan yang merata, sehebat apapun seni itu tidak akan penting bagi orang-orang yang kebanyakan menjadi korban ketidakadilan...

karenanya bukanlah kesenian atau aktivitas kesenian itu yang harus menjadi penting. tapi adalah bagaimana menciptakan kesadaran akan pentingnya seni dengan menciptakan keadilan. karena tanpa keadilan dan kemapanan yang nyata, kesenian akan tetap tidak ada artinya selain menjadi bagian dari kemapanan palsu milik golongan penindas.
13 Februari jam 17:33 · Tidak SukaSuka · 4 orangMemuat...
o
Zaenal Arifin:
mas wahyu kalao pembicaraan itu tentang politik . .tentu pernyataan rendra juga berhubungan dgn politik yg semangkin memancing banyak tafsiran.kerena pd hemat saya tidak mungkin seorang rendra mengeluar pernyataan seperti itu setelah dia mempergunakan seni sebagai alat komonikasi nya di dlm perjuangan2 nya.yg sekaligus telah membesarkannya.
13 Februari jam 18:01 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho :
Terlepas yg mengatakan itu seorang Rendra atau bukan, kenyataannya jika aktifitas kesenian itu spt yg dilakukan kebanyakan kita selama ini, ya sewajarnyalah kehidupan kesenian menerima perlakuan dr masyarakat maupun pemerintah spt sekaran...g ini.

Beda bila aktifitas kesenian itu, spt yg diceritakan oleh Mas Dadang Christanto, dlm artikelnya yg sdh ditulis di pertengahan obrolan ini yg berjudul "TIGA JENIS MONYET". Dlm artikelnya itu, Mas Dadang menceritakan suatu aktifitas seni yg dilakukan seniman Taiwan, yg menggunakan seni sbg sarana dialog budaya dgn masyarakat sekitar yg kompleks, sekaligus sbg edukasi ttg nilai gotong-royong. meski di Indonesia ada juga aktifitas kesenian semacam itu.
13 Februari jam 18:53 · SukaTidak Suka · 1 orangHang Ws menyukai ini.
o
Zaenal Arifin:
tulisan dadang bisa juga menjadi permasalahan kita semua mungkin dlm menempatkan ato memposisikan diri tidak saja di dlm perkembang kesenian tetapi juga di dlm menyikapi peran pasar pd kususnya tidak saja pengaruhnya pd perkembangan kesenia...n tetapi juga dapat mempengaruhi kehidupan sipengkarya itu sendiri.kecuali kalao kita melihat sejarah para mestro yg berada di bali yg terlahir sebagai petani2 yg sederhana dlm kehidupan keseharian meraka.saya kira adekdot tentang monyet 2 yg digambarkan oleh dadang tidak berlaku bagi mereka.mungkin juga tidak berlaku terhadap saodara dadang sendiri.kalao negara jeli menyikapi seni sebagai .komonditi yg tidak saja dapat mengharumkan bangsa tetapi juga dapat menghasilkan devisa yg tidak sedikit seyoganyalah negara memperhatikan para senimannya.
13 Februari jam 21:50 · Tidak SukaSuka · 3 orangAnda, Agus Merlung Art, dan Hang Ws menyukai ini
o
Kuss Indarto:
Mohon dukungan dan solidaritas Anda bagi warga korban Merapi yang artefak berharganya dijual oleh Jogja National Museum (JNM). Klik http://www.indonesiaartnews.or.id/newsdetil.php?id=197
13 Februari jam 22:36 · Tidak SukaSuka · 5 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho ‎:
KI : inilah yg pernah kita bahas dlm obrolan Mas Kuss, yaitu tentang kepekaan estetis dan kepekaan moral/ sosial.....
13 Februari jam 23:02 · SukaTidak Suka
o
Kuss Indarto:
Ya, cak... Semoga diskusi yg seru ini bisa cukup nyambung dengan konteks persoalan yg saya "selempitkan" ini. Silakan dilanjut. monggooo... :-)
13 Februari jam 23:07 · Tidak SukaSuka · 3 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten :
hahaha
14 Februari jam 11:17 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade:
kalow soal kepekaan emang paling enak dalam diskusi....:)
soal praktek......kapan-kapan (koes plus)
14 Februari jam 12:43 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho:
Mmg tak salahlah disebut kepekaan itu hanya eclem (enak) didiskusikan, tp tdk sesuai dgn prakteknya. Tdk hanya para oknum pemerintah saja, yg sering kita tuding sbg personil yg sering berlaku tdk simpatik ketika menyelenggarakan even2 ke...senian, dr kalangan seniman sendiripun tak jauh2 amat bedanya. Contoh yg sering kita temui, ketika ada dana yg dikuncurkan, entah dr pemerintah atau pihak swasta, utk menyelenggarakan even kesenian, antara oknum pemerintah ( dinas yg menangani seni, misalnya DISPORABUD atau Taman Budaya) dan oknum seniman yg nangani institusi seni ( misal Dewan Kesenian atau lembaga2 informal seni ) serta para senimannya sendiri sbg pengisi even, hehehe.... ternyata saling banter2an, saling sikut, saling beradu strategi demi utk mendptkan keuntungan pribadi.
Tapi saya dan Pak Kaji Karno, serta teman2 Pasuruan yg lain tdk begitu lho....hahaha....
krn setiap even yg kami selenggarakan, dananya dr swadaya. Hasil urunan. Saestu meniko...!!!
Walau akhirnya bingung ketika menghadapi pertanyaan, APA YG INGIN DICAPAI DGN MELAKSANAKAN EVEN KESENIAN ITU, HINGGA RELA MENGORBANKAN WAKTU, BIAYA DAN TENAGA ?
Terlalu sombonglah jika kami katakan: krn cinta, krn kebutuhan berekspresi, krn ingin memberi pendidikan seni pd generasi muda dan masy, memberi sarana pada siswa utk mengenal dan belajar apresiasi.... Di samping memang sbg sarana kami utk aktualisasi diri sbg praktisi seni.
Walau sebenarnya itulah misi kami sebenarnya....hehehe....sok idealis deh.....
14 Februari jam 13:51 · SukaTidak Suka · 3 orangMemuat...
o
Halim Hade :
bubarkan institusi kesenian yang ada,
minimal dalam konteks kerja kebudayaan
dan cara berpikir....
14 Februari jam 14:03 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten:
kadang aku berfikir, tidak adakah yang disebut kesenian itu adalah aktivitas di luar even kesenian seperti yang akhir2 ini telah menjamur dan telah membudaya, yang seolah mempatentkan jika kesenian itu adalah pameran, lukisan, patung, dan e...ven kontemporer lainnya dalam sebuah galeri dan museum2..dan kalaupun tidak ditempat2 formal seperti itu, even kesenianpun pada akhirnya seperti melaksanakan even ditengah masyarakat yang tiba-tiba saja ada, dan selalu membutuhkan sokongan dana dari luar (penyelenggara n seniman), habis itu tidak ada yang diingat dari masyarakat selain sesuatu yang pernah lewat, seperti halnya ada kendaraan yang pernah lewat di kampungnya...

apakah kesenian memang seperti itu? harus ada dana dan even penyelenggaraan. tidak adakah mode kesenian sebagai bentuk yang melekat dengan kehidupan atau masyarakat, sehingga tidak perlu harus menunggu even atau penyandang dana...karena kesenian adalah milik masyaraka...ahh, entahlah jaman sudah mengubur semuanya...
14 Februari jam 14:04 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten:
seperti memimpikan setiap hal adalah kesenian dan semua orang adalah seniman. sehingga tak perlu even kusus untuk mengatakan aktivitas dan diri sebagai masing2 kesenian dan seniman...
14 Februari jam 14:08 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Halim Hade :
kerja kebudayaan mesti dilakukan dengan cara cara subversif, jika dia mau tahan kepada kehidupan.
jika ada piloihan lain melalui penyandang dana, masalah utama adalah pertanggungjawaban. ini sisi yang paling lemah. bagi aku, tanggungjawab ad...ministrasi, keuangan dsbnya adalah sebagai komitmen bahwa dunia kesenian dan kebudayaan memang bukan hanya menyelenggarakan saja tapi juga mempertanggyungjawabkan dana yang dari pajak warga itu.
14 Februari jam 14:08 · Tidak SukaSuka · 2 orangMemuat...
o
Halim Hade :
pernahkah anda membayangkan, ketika puluhan seniman pengelola festival seni surabaya tahun 1996, diminta pertanggungjawaban oleh boss jawa pos, dan jawabnya hanya selalu mengelak.
saya setuju dengan manajemen jawa pos yang meminta pertanggun...gjawaban mingguan, agar dana bisa lebih jelas dan bisa dilihat nominalnya.
aneh bin ajaib, seniman, budayawan, pekerja kesenian yang selalu protes kepada korupsi, diminta soal soal administrasi saja menguindar.
jika hal administrasi saja tak mampu diwujudkan, lalu, bagaimana dengan hal-hal yang paling mendasar.
lika liku korupsi di lingkungan kesenian adalah juga karena ada seniman dan budayawan yang masuk ke dalam sikap LALAI pertanggungjawaban, sehingga birokrat dengan gampang bermain, dan disitulah kolaborasi terwujud...
14 Februari jam 14:13 · Tidak SukaSuka · 2 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten:
wkwkwkwk....dan kelalaian itulah yang akan melahirkan otoritarian..
14 Februari jam 14:17 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
pendpt yg disampaikan oleh Mas Agung keliatannya menarik, tp sayangnya saya belum faham, bgmn bentuk kesenian yg dimaksut.....
14 Februari jam 14:21 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonte :
sik-sik cak aku harus ke kandang burung dulu haha... becanda dengan sriti haha
14 Februari jam 14:23 · SukaTidak Suka
o
Putut Puspito Edi :
maaf jika saya salah menelaah, membaca diskusi ini : menjadi seniman spt nya memikul beban dan memanggul banyak harapan dan tuntutan yg demikian rumit ya? padahal banyak juga seniman yg blm selesai dgn persoalannya sendiri, dari urusan kejiwaan sampai urusan perut )kendil nya dewe! hahaha.. salam..
14 Februari jam 14:30 · Tidak SukaSuka · 2 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho:
HH : ketika even FSS itu, saya juga ikut sbg peserta pameran, saya juga mendengar ttg kekacauan itu. Dan kekacauan itu juga selalu berulang, termasuk di even2 yg lain. Juga kekacauan itu terjadi ketika pelaksanaan festival wayang di jakar...ta, entah yg keberapa saya lupa, dan saya juga selalu saya terundang sbg peserta, shg tahu ttg kekacauan itu.
14 Februari jam 14:31 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade:
chaos to cosmos.
tapi di lingkungan kita,
chaos to more chaos than before.
14 Februari jam 14:40 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
kekacauan berarti sdh tradisi....
14 Februari jam 14:42 · SukaTidak Suka
o
Sagabiru Galeri:
Ada lho Festival Seni yang Sukses tetapi rugi...ini juga disurabaya.
14 Februari jam 15:15 · SukaTidak Suka
o
Putut Puspito Edi:
acap kali banyak dari kita sendiri dan orang atau apapun diluar dari wilayah kesenian menganggap dan seolah membebankan 'sebuah nilai dan atau apa yg terkait dgn idealisme' pd seniman, diwilayah ruang pikir atau pun praktek seni nya sehingg...a -seolah2- seniman memiliki jarak beda dgn profesi laen. pdhal toh dia juga manusia pd umumnya dgn sgala kekurangan dan kelebihannya. menjadi lumrah dan memasyarakat itulah yg sulit agar tdk terlalu dianggap beda dgn profesi liyan. tentang dunia pasar dan kwalitas saya tak komentar karna ada banyak pihak yg trlibat sbg pemain didalamnya bukan???
14 Februari jam 16:00 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten:
kang putut, aku pikir di sini kita telah sedari awal membicarakan itu. ini bukan tentang membebani seniman seolah berbeda dengan profesi lain. karena justru sedari awal kita membicarakan seniman layaknya petani dll...dan yang harus kita ket...ahui adalah bahwa beban ini tidak hanya milik seniman, sehingga seniman harus merasa terbebani sendiri. tapi ini adalah masalah kemanusiaan, atau beban kemanusiaan, sebagaimana kesenimanan ada didalamnya dan termasuk bagian dari yang menuntut kebebasannya. tentu karena bicara kebebasan, maka tentu tidak bisa berlepas dari realitas lain atau menurut anda liyan. dan kebebasan itu mahal, karena pasti akan menyangkut liyan-liyan lain, pertarungan-pertarungan, dan segala pertaruhan di dalamnya. itu adalah konsekuensi dari tuntutan, maka jika kebebasan itu hanya milik sebagian golongan dan golongan lain merasa tidak mendapatkan kesepadanan/kesetaraan, maka kebebasan itu tentu menindas atau tidak bertanggung-jawab, kan... ya ini adalah tentang kesenian dan kenyataan kehidupan yang kita tidak mungkin akan memisahkan. begitupun seharusnya dalam setiap bidang kehidupan atau profesi lain, tentu dong harus berfikir pula tentang sebab akibat dan hukum2 yang saling membentuk..bla bla bla..
14 Februari jam 16:22 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Halim Hade:
jika kesenian dianggap sebagai karya dan produk seniman. dan seniman sebagai makhluk sosial, konsekuensi logis dari posisi dan fungsi seniman dan kesenian adalah dia mesti terbuka dan membvuka diri.
bicara soal profesi dan menganggap bahwa ...ada beban karena 'ikut campur' bisa bias. biasnya: kalou dipesan, kalou ditanggap, kalou dibeli oke oke saja...........wkakakakakak.
15 Februari jam 0:04 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade:
ANEH JUGA DI JAMAN SEKARANG MASIH ADA ORANG YANG BICARA SOAL 'OTONOMI' SENIMAN DAN KESENIAN, apalagi dengan alasan profesi dana beda profesi.
saya khawatir orang yang bicara soal profesi apalagi dengan cara 'otonom', jangan jangan ................
15 Februari jam 0:05 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten :
sepertinya gunawan muhamad sesegera mungkin harus ditelanjangi... sebagai konsekuensi mengeksklusivekan seni dan berkesenian ke dalam ruang peternakan. sungguh itu melecehkan seni atas nama keexlusivan, kemegahan, dan penghambaannya pada ke...merdekaan golongan, layaknya fasis-fasis agama, atasnama surga dan keindahan kesenian menjadi alat penindasan. paling tidak itulah yang dipelihara dan terus disuburkan dalam benak berkesenian di indonesia ini,,shit, itu pembodohan yang nyata dan terus kita dibuat untuk menghamba pada modal, bajingan benar wakakakak
15 Februari jam 0:41 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade :
dia sedang belajar jadi borju....:))
15 Februari jam 0:51 · SukaTidak Suka
o
Widodo Djiancuk :
djiancuuuk..tambah mumet...rek..trus ..trus..
16 Februari jam 0:14 · SukaTidak Suka
o
Karno Kaji:
Jancuk! Gun...itu. Carok maren.Wani tah?i
16 Februari jam 6:53 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho :
'CAROK' itu singkatan : cari rosokan..... hehehe..
'ARGOBEL' : arek golek beling.
'MOKONDO' : modal konth.. doang.

...Mas Agung pd komentar di atas membuat penggambaran seni yg keliatan menarik, sayang tdk disertai contoh bentuk seni yg dimaksut, shg pemahaman saya masih kabur.
Kini membuat lagi wacana baru dgn istilah seni ekslusif....
wah.... berarti ada seni inklusif dong....
Ehm....kayaknya ini ada kesatuan konsep dgn bentuk seni, yg bagi saya masih kabur tsb.
16 Februari jam 9:41 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
Putut PE : menurut saya obrolan ini mencoba menempatkan seni secara proporsioanal.
Tp saya ndak punya kapasitas lho utk menyimpulkan, bgmn seni yg proporsional itu...hehehe...
16 Februari jam 10:07 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Zaenal Arifin :
mungkin yg dimaksutkan mas agung tentang seni EXKLUSIF adalah nilai tambah pd kualitas seni itu sendiri,yg bisa saja di dongkrak dgn strategi pasar yg memang penambahan nilai tersebut salah satunya untuk memgangkat nilai nominal.mudahan2 aku gak keliru
16 Februari jam 10:18 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten :
yoi cak, aku tuh entah ini mungkin sekedar bayangan atau sekedar harapan, tentang bentuk kesenian yang tidak terpisah dari realitasnya atau inklusive secara muasal sosio-kultural. karena bagiku kesenian yang selama ini berkembang adalah ben...tuk-bentuk kesenian yang diimpor dari sosio-kultural yang berbeda dengan bangsa ini. sehingga bukan tidak mungkin hal itu bisa berkembang di sini, bisa aja sih, toh selama ini juga sudah berjalan, entah terpaksa atau tidak. tapi hal itu bukan saja menjadi bentuk invasi kebudayaan lain atas kebudayaan yang ada, tentu tidak sesederhana dan secenggeng itu dari maksudku. karena mau tidak mau waktu akan terus berjalan dan memaksa manusia menuju kesadaran alam global bahwa semua manusia itu sama, tak ada barat dan timur. tapi itu kan tidak berarti pula yang menjadi identitas global itu adalah bangsa yang mampu memenangkan pertarungan global, yang dalam tempo hari ini adalah barat atas timur. atau bukan juga jika sebaliknya jika timur memenangkan pengaruh dunia atas barat. tentu tidak sesederhana itu kan. kita perlu jauh menilai identitas/fitrah manusia yang sesungguhnya sebagai identitas kemanusiaan global itu sendiri, tak lagi ada manusia barat dan timur atau selatan dan utara bla bla..dan itulah yang menjadi kegelisahan hampir semua orang, dan kita berkesempatan membicarakan dan mencapainya, demi masa depan manusia dan kemanusiaannya. yang salah satunya adalah melalui aktivitas kesenian untuk membaca lalu menggambarkannya realitas itu, dan dibagi pada sesama.

wah, ini memang penjelasan yang harus perlu pembicaraan bertahap kok cak wahyu. yang aku sendiri sedang dalam berproses didalamnya, dan masih jauh dari jalan terang yang aku maksud, jadi ya memang perlu waktu dan usaha untuk mewujudkannya.

hanya saja aku telah meninggalkan bentuk2 berkesenian yang selama ini terdefinisi sebagai aktivitas kesenian, yang bagiku selama ini semakin hari semakin melembaga dan terpisah dari kehidupan meski yang dibicarakan adalah kehidupan, layaknya agama dan lembaga pendidikan yang menjadi begitu formal dan ritual saja, meski kesenian hari ini seolah melawan formalitas dan ritualism, tapi nyatanya tetep tak berkutik pada kenyataan yang formal.

bagiku panggung kesenian itu adalah kehidupan ini, bukan lagi sekedar galeri dan museum, yang bagiku semakin memojokkan seni dan berkesenian ke wilayah exlusive, seolah adanya penonton dan kreator itu hanyalah bentuk sandiwara dan basa-basi formal yang tak lagi bisa dibedakan mana bentuk kraton dan mana bentuk kethoprak, mana realitas mana mimpi, semua kabur dan basa-basi.

entahlah, aku sendiri masih sulit menjelaskan, karena mungkin aku harus lebih banyak praktek, untuk mengimbangi teori-teori dan pembacaan realitas yang aku capai, disamping sesering mungkin berbagi ide dan gagasan seperti pada diskusi kesenian yang jauh dari kemapanan seperti di sini. karena diskusi di sini tentu akan lebih mudah dan lebih dekat dengan kenyataan yang sulit, daripada berbicara pada kalangan kesenian yang telah kokoh dan dimapankan oleh menstrim pasar, yang tentu mereka akan merasa terganggu dengan pembicaraan seperti ini, yang seolah pembicaraan seperti ini didasari oleh kecemburuan semata atas kemapanan yang mereka capai, seolah terlihat mau merebut kemapanan itu dan menggulingkannya atasnama kepentingan pribadi. padahal tentu tidak sesederhana logika yang dibentuk oleh kemapanan pasar itu. ini jauh lebih manusiawi, sebagai usaha memanusiakan manusia dan seniman melalui kesenian dan kehidupan.

hahahahahahaha...mungkin ada yang bisa membantuku mengurai semua ini? entahlah, tapi lambat laun aku optimis, semoga aku diberikan jalan untuk mewujudkan semua ini...

mungkin ini berangkat dari latar-belakangku, yang sewaktu kecil, dulu di desaku itu semua orang itu seperti seniman. setiap desa ditempatku dulu itu pasti ada kethoprak, ada barongan, ada krawitan, ada bentuk2 kesenian lain yang kesemuanya itu "sambatan"/gotong-royong,....dan aktivitas kesenian itu benar2 menyatu dengan realitas sosial....guyub dan jauh dari kesenian sebagai alat memperkaya diri, malainkan kesenian sebagai alat pendidikan, pemersatu, hiburan, dan kehidupan yang hidup itu sendiri. ya, mungkin ini adalah keprihatinanku pada kesenian di desaku yang hampir mati oleh serangan definisi kesenian sebagai bentuk bisnis, serangan definisi kesenian dari masyarakat/bangsa individual dan menyerah mekanisme kapital. bahwa kita pernah punya kesenian dan kebudayaan yang hebat, tapi kita bangga karena telah membunuhnya hanya demi perbudakan pada kegagalan bangsa2 kolonial mendefinisikan kehidupan, termasuk didalamnya adalah kesenian sebagai faktor pembentuk masyarakat menuju ke kegagalan itu....Lihat Selengkapnya
16 Februari jam 10:37 · SukaTidak Suka
o
Zaenal Arifin :
mungkin maaf lagi ya ke okehan mungkin maklum gak mampu ngapalin buku.ya dimaksut seni yg menindas adalah sejenis seni propaganda yg memisahkan manusia dari realitas kehidupan sehari2 dan meninabobokan manusia di dunia mimpi..atao propaganda yg dilakukan secara terus menerus dgn menggunakan media seni dgn tujuan menciptakan imid seperti yg diinginkan para propaganda.(tolong di dandani rek)
16 Februari jam 11:57 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten :
bagiku, seni adalah sebuah media itu sendiri, seperti halnya ilmu pengetahuan atau politik atau apapun aktivitas dasar kehidupan. nah ketika media itu, baik seni, pengetahuan, politik, pertanian, dll, ternyata dikuasai kepentingan tertentu,... misal dalam konteks realitas sekaran adalah golongan pemilik modal melalui pasar yg diciptakan mekanismenya sehumanis mungkinpun, dan dijadikan media/alat transaksi dan pengeruk keuntungan sebagai orientasinya, maka janganlah pernah berharap kesenian akan menjadi media kemanusiaan. karena tak lain akan menjadi layaknya sekolah, kesehatan, dll yang telah mengkhianati kesejatiaannya untuk mencerdaskan dan menyehatkan, melainkan sebagai alat penghisab dan penderita saja.

bukan keseniannya dan pengetahuannya yang menindas, tapi penindas itu sendiri yang telah memenangkan pertarungan dan menguasai media-media kehidupan, yang dalam hal kesenian ini telah menguasai dunia kesenian sebagai alat penindasan mereka, dan telah mampu menundukkan para seniman dari pasukan pembebas menjadi budak dan tentara penindasan, dibalik kepahlawanan dan kemaestroan yang disandangkan oleh para penindas (penguasa modal/mekanisme pasar) kepada seniman menjadi sekedar sebagai pekerja seni-penindasan.

aku pikir ini adalah tentang komitmen seniman dalam berkesenian, dan pengetahuannya dalam berkesenian, atas kehidupan dan pembebasan dan perbudakannya. seperti halnya komitmen para politikus, atau guru, atau dokter. apakah mereka bekerja hanya sekedar bekerja, atau mereka bekerja untuk kehidupan? apakah sekedar profesional atau masih ada dalam hatinya adalah seorang manusia, karena kalau hanya sekedar profesional maka kelak akan ada mesin yang bisa mengatasi semua pekerjaan seniman atau dokter atau politik. lalu dimana hakikat kemanusiaan kalau semua itu diserahkan pada mekanisme pasar yang diciptakan oleh kepentingan pemodal/borjuis kapital?

mending aja sekalian jadi perampok jika berkesenian tak lebih dari bekerja untuk memperkaya diri pada kaum borjuis. karenanya omong-kosonglah jika seniman yang menjadi budak borjuis itu bicara kemanusiaan dan keadilan, karena nyatanya mereka menjadi budak ketidakadilan yang diciptakan para borjuis kapital itu.
16 Februari jam 12:20 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Karno Kaji:
‎: Free value, bebas nilai. Teman saya tidak suka lukisannya; Ilya Mashkov, Fiodor Bogorodsky, Kuzma Petrov-Vodkin yang berjudul 'Bird-cherry Twig in a Glass (1932), karena mereka 'komunis'.Dan ada seorang teman yang 'muntah-muntah' ketika ...melihat lukisan 'kaligrafi Arab'-nya Anwar. Seni kita masih seni 'kotak-kotak', hipokrit, dan 'yahanno'. Dibilang; subyektif nggak mau, dibilang obyektif juga nggak mau. Dialog di sisni menurut saya ini lebih asyik, tiada akhir kayak 'telenovela' Lanjut!
16 Februari jam 13:49 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Putut Puspito Edi :
ketika dunia terbuka melalui berbagai kemajuan teknologi, maka batas batas makin samar. dan friksi2 keterpecahan tentang arus kebudayaan terjadi. jika ada perkawinan dari lalu lintas budaya itu pasti terjadi. mungkin yg terpenting kita tak tercerabut dari akar budaya sendiri,meski pengaruh mempengaruhi adalah hal pasti dlm siklus akulturasi budaya kan?
16 Februari jam 14:12 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Karno Kaji ‎:
Oke saya setuju, dalam tataran manifest (kulit) akulturasi budaya tidak dapat kita cegah. Namun dalam persepsi 'sistem nilai budaya' tidak pernah terjadi akulturasi. 'Manis' adalah nilai, sedangkan manifestnya bisa berupa apa saja; es teh, donat, permen karet, 'mulut manis' dan sebagainya.
16 Februari jam 14:57 · SukaTidak Suka
o
Putut Puspito Edi :
kemudian pertanyaannya: berdayakah anda, menghindari laju 'sistem nilai' yg anda maksud tadi? mampukah? sedang setiap hari diakui atau tdk kita telah menjadi 'konsumen' mereka?dan daya tahan kita terus menerus digerus dari bangun tidur sampai tidur lagi? hehehe...
16 Februari jam 15:48 · SukaTidak Suka
o
Karno Kaji ‎:
'Nilai' tetap, yang berubah itu manifestnya. Sampai kapanpun rasa 'manis' itu tidak berubah, yang berubah itu kemasannya, bungkusnya (manifest). Maksud sampean mampukah menghindari laju 'sistem nilai'? Ya jelas mampu, wong nilai itu kata sifat. Nah, kalau laju 'manifest' nya saya tidak mampu membendung dan 'tidak berhak' membendung. Kita bisa berbuat apa ketika (maaf) 'kondom' diolesi pemanis. He...he...
16 Februari jam 18:56 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Zaenal Arifin :
memang kontenporer itu stok lama kemasan baru.?
16 Februari jam 18:59 · SukaTidak Suka
o
Karno Kaji:
He...he....
16 Februari jam 19:25 · SukaTidak Suka
o
Zaenal Arifin :
guyu seorang politikus yg menulis ha. .ha. .ha. . .langsung di lanjut bung. . .
16 Februari jam 19:31 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho :
nilai itu bisa menipis bisa menebal, bisa berkurang bisa bertambah.
Jika istilah nilai yg dimaksud adl 'kadar' atau kandungan, misalnya niilai iman atau nilai budaya, ya bisa berkurang bisa bertambah. Dan hal ini sangat dipengaruhi oleh ko...ndisi serta kesadaran ttg nilai tsb dari yg bersangkutan.

menurut saya, setiap karya yg diciptakan sbg tanggapan atas kondisi aktual ketika karya tsb diciptakan, ya disebut kontemporer. Entah itu karya jaman baheula sampek jaman sekarang.
16 Februari jam 20:15 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten :
secara makna bahasa memang "kontemporer" artinya adalah "hari-ini". tapi bagaimanapun itu, atas klaim kesenian kontemporer sekarang ini, terdapat hegemoni didalamnya. dan wacana kontemporer yang diusung hari ini ternyata adalah dominasi mereka-mereka yang menghamba pada modal. sehingga ketika kontemporer ini tidak dilihat sebagai sebuah gerakan tertentu, atau hanya melihat kontemporer sebagai arti bahasa, maka tentu bisa menyesatkan dan menjerumuskan pada hegemoni kalangan dan pelaku atau golongan tertentu.
16 Februari jam 20:29 · SukaTidak Suka
o
Zaenal Arifin :
bener itu bung wahyu kalao dasanya hanya kekinian .
16 Februari jam 20:42 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
kalau berbicara tentang hari ini kan tentu akan berbeda tiap kepala. karenanya penyikapan hari ini menurut siapa, dan atas kepentingan apa? semua orang bisa menanggapi hari ini, bahkan dari dua pihak yang berlawanan sekalipun, kerena setiap... orang memiliki pembacaan yang berbeda-beda pada realitas. dan bahkan pada satu kejadian diruang waktu yang sama dua orang bisa memiliki persepsi yang berbeda dalam membaca atau melihat kejadian tersebut, begitupula tanggapan yang akan mereka masing2 kabarkan. karenanya bukan masalah nama kontemporer yang menjadi masalah, melainkan adalah klaim atas dominasi kontemporer ini akan dibawa kemana, dan sejauh apa pembacaan atas realitas aktual itu sehingga harus ditawarkan pada publik sebagai realitas? karena pada nyatanya kontemporer bukan sekedar penamaan, tapi telah menjadi klaim dari persepsi para penentu pasar. sehingga tidak lain gerakan kontemporer yang terjadi sekarang ini adalah senjata bagi pasar dan kepentingan modalnya untuk melanggengkan dominasi dan pengaruh kesadarannya.Lihat Selengkapnya
16 Februari jam 20:48 · SukaTidak Suka
o
Zaenal Arifin :
bener itu bung wahyu kalao dasanya hanya kekinian .karya dulu juga bisa dikatakan kontenporer.tapi bagai mana dgn karya yg judulnya flas gordon dia itu menembus kekiniannya pd waktu itu.bahkan melewati jaman kekinian sekarang kenapa tidak dimasuk kan kedalam kontenporer ya. .
16 Februari jam 20:49 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho :
ttg yg dijelaskan oleh mas Agung, saya kira tdk hanya pd karya seni kontemporer saja, karya2 seni sejak jaman klasikpun pd awalnya mmg utk melayni gereja, tp setelah itu adl utk melayani kaum bangsawan atau pemilik modal.

ttg karya kontemp...orer, selain sbg tanggapan atas kondisi aktual, juga bermakna yg mengangkat tema2 pop.
16 Februari jam 21:00 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten :
yoi, pada akhirnya hidup ini adalah untuk menyerah atau terus bertahan. dan diskusi ini kembali lagi, lagi-lagi harus kembali, ujung-ujungnya tetap kembali pada pertanyaan bahwa kita dihadapkan dengan hegemoni pasar, dan setelah itu tidak ada keputusan apa-apa seperti biasa, seperti kemarin2 yang sudah kita tahu, bahwa modal begitu menggoda dan membuat kita tak mampu bertahan dan menyerah pada pertarungan....huuff...
16 Februari jam 21:19 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Sindhu Pertiwi :
Lalu apa beda menyaksikan pameran seniman top di galeri/museum waah, dengan menyaksikan pameran karya seni/craft hasil terapi sosial~seni thdp orang cacat mental dan ibu rumah tangga yg suntuk dng pekerjaan2 domestik?

Apa beda menyaksikan pa...meran kelompok seniman dng manifesto~statement~kritik sosiopolitik dan teori2, dengan pameran tugas seni anak2 sekolah?

Apa bedanya melihat pertaruhan bursa seni di bale-lelang dng menyaksikan pameran dan aktivitas seni masyarakat mentawai?

Apa bedanya menyaksikan atraksi seni masyarakat mentawai di tempat asalnya dengan di sebuah galeri prestisius di New York?Lihat Selengkapnya
17 Februari jam 7:19 · SukaTidak Suka · 1 orangPutut Puspito Edi menyukai ini.
o
Sindhu Pertiwi :
Lalu......tertawalah tergelak-gelak membaca berita ini:
http://news.id.msn.com/okezone/regional/article.aspx?cp-documentid=4647816

BWAHAHAHAHAHAHA.....
17 Februari jam 7:55 · SukaTidak Suka
o
Dadang Christanto ‎:
@Sindhu: Aku kira bedanya pada kekuasaan (kebranian/kreatifitas) melegitimasikan. Siapa menganggap rongsokan rel kereta api teronggok sehari-hari ditempatnya sebagai karya seni (kontemporer)? Baru setelah Yoseph Bueys memboyong dan memamerkannya di museum dan mengklain ini karya seni? Tentu ada dua institusi (kekuasaan), Bueys dan pihak museum.
17 Februari jam 8:12 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi :
Yg itu kan udah diuraikan secara 'abstrak' oleh Agung...
Bahwa kekuasaan dan pengetahuan (seni-bukanseni) itu dua sisi mata uang yg sama
17 Februari jam 8:23 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi :
Makanya enak balik ke Marx ato mungkin lebih tua lagi ke Ibnu Khaldun: kalo gak ada relasi ekonomi yg menindas (perbudakan-feodalisme-kapitalisme) rasa-rasanya lebih tenang menikmati seni ....
17 Februari jam 10:03 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho :
‎: pemberitahuan-----

"ANSAMBLE PERFORM"
Naskah : Membeli Cahaya Bulan (adaptasi novel "Membeli Cahaya Bulan", karya Kaji Karno)

...20 Februari 21010. Jam : 15:00 - 18:00
Gedung Serbaguna IKIP
Jl.Ki Hajar Dewantara 27
Kota PasuruanLihat Selengkapnya
17 Februari jam 14:51 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho :
SW : jelas sdh bahwa untuk mengapresiasi karya seni rupa tdk bisa spt karya seni musik atau sastra, yg bisa dibaca semata2 berdasarkan wujud karyanya. Pd seni rupa, selain berdasarkan wujudnya, perlu dicermati pula :
- siapa penciptanya
- b...gmn kualitas karya2nya yg lain
- utk periode seni rupa sekarang ( khususnya kontemporer ) sangat dibutuhkan utk mengetahui bgmn konsep penciptaannya.
- Juga yg tdk bisa diabaikan begitu saja pengaruhnya dlm apresiasi karya seni rupa adl bgmn kepercayaan dan opini masyarakat seni rupa ( galeri, kolektor, intelektual/ kritikus seni, atau pemerhati seni lainnya ) thd pencipta dari karya yg bersangkutan.

Dengan dmkn apresiasi thd karya tsb akan proporsinal. Karya anak SD tdk akan dibaca menggunakan kacamata utk seniman profesional. Karya seniman yg diciptakan utk mengisi waktu luang atau sekedar carik sensasi, juga tdk akan dibaca dg kacamata seniman yg mencurahkan sebagian besar waktunya utk kesenian.....dsb... termasuk contoh2 yg telah Anda deskripsikan di atas.
Begitu menurut pendapat saya....
17 Februari jam 20:08 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
haha..ya sama ajalah kang, penilaian pada apapun juga akan seperti itu, tidak hanya seni rupa. bahkan masakan dapur atau warung pun akan dinilai seperti itu. sastra juga musik juga semua juga seperti itu....

lagian siapa yang bisa menjamin ...karya anak SD lebih rendah dari karya profesional. toh penilaian seperti ini tidak hanya pada seni rupa kan. bahkan akhir2 ini aku melihat karya2 seniman kontemporer tidak ubahnya seperti PR anak SD, dalam tataran konsepnya....
17 Februari jam 20:23 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho:
Karya musik atau sastra akan terbaca dgn jelas, mana karya berbobot mana yg biasa2 saja, tanpa hrs mengetahui siapa penciptanya.
Pd karya seni rupa, contohnya yg paling jelas adl lukis, kalo diamati hanya berdasarkan wujudnya terkadang td...k banyak berbeda antara karya seniman top dg seniman blajaran. Jugak contoh spt yg Anda ungkapkan di atas.
17 Februari jam 20:35 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten :
tetep aja dua mata sisi cak. sastra juga tidak bisa sembarangan dinilai begitu saja. tergantung siapa yang membaca dan menulisnya juga. begitupun musik tergantung siapa yang mendengar dan memainkannya. tidak beda juga seni rupa, tergantung ...siapa yang melihat dan membuatnya.

dan disisi lain, justru dasar penilaian suatu karya harus melihat siapa yang membuat, apakah seniman top atau tidak top, akan menjadi penghalang dan ajang diskriminasi. karena pertanyaan mendasar adalah "kenapa harus dibedakan jika memang karya itu bagus, entah buatan orang tak dikenal atau orang terkenal, karya adalah karya, kalau masalah top dan tidak top, itu kan hanya lipstik saja, dan jika karena faktor lipstik itu justru yang dipelihara, maka seni rupa akan terjebak pada ikon-ikon semu, dan bukan pada inti dari seni itu sendiri. karena apakah yang disebut seni itu adalah seniman? kan tentu tidak.

nambahin sedikit, tentang sastra...tentu juga tidak bisa sembarangan dong cak. karena pada tataran yang lebih jauh bahasa adalah bukan sekedar media....tapi kuasa dan bla bla bla...
17 Februari jam 20:47 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
Ya tentu saja kualitas apresiator sangat menentukan juga. Orang yg tdk akrab dgn karya musik atau sastra, mana mungkin memiliki kedalaman yg sama dgn seorang dg penekun seni seni tsb dlm pembacaan karya.
17 Februari jam 20:53 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten :
seorang seniman yang bijak, tentu akan menilai suatu karya tanpa melihat siapa pembuatnya.

berbeda dengan kolektor atau pedagang seni, mereka lebih melihat siapa yang membuatnya dari pada apa karya seni itu. itulah logika terbalik cak, logi...ka dagang. melihat karya kok harus melihat orangnya. karya ya karya, mau dia seniman top kalau karyanya buruk ya buruk, mau dia seniman gembel jalanan kalau karyanya bagus ya bagus...itulah sesungguh seni, dia tidak melihat siapa tapi apa....
17 Februari jam 20:54 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho ‎:
Spt yg dicontohkan Mas Dadang di atas, penilaiannya akan berbeda jika yg memajang rosokan rel tsb adl saya, bukan seniman ybs.
17 Februari jam 20:56 · SukaTidak Suka
o
Zaenal Arifin:
peroses penciptaan karya seni tidak terlepas hubungannya dgn rasa logika dan berbuat.walaopun siseniman berkarya dgn konsep untuk menghidupi anak istrinya tetap konsep yg tidak kalah pentingnya dgn konsep panjang lebar bahkan kadang2 gak sesue dgn hasil perbuatan nya. Tidak memiliki konsep juga konsep .yg penting menjalani peroses bekkesenian dgn iklas dan jujur .itu pdndapat saya
17 Februari jam 21:04 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten :
hahaha...itu sebenernya kesadaran kang dadang sebagai seniman yang lambat dan harus dirangsang oleh keterkenalan seorang seniman lain. kenapa terhadap hal yang sama kita menjadi bergantung pada keputusan orang lain untuk menentukan sikap ki...ta? atau maksudku kenapa kang dadang sebagai seorang seniman, harus menunggu seniman lain yang orang top untuk menyadari bahwa barang rongsokan itu adalah barang seni? tentu ini bukan berarti bahwa keterkenalan seseoranglah yang menentukan seni dan tidaknya suatu barang, karena tentu ada orang lain yang tidak sepakat dengan kang dadang bahwa rongsokan itu bukan karya seni meski seorang seniman terkenal yang menaruhnya dalam pameran. jadi ini adalah tentang kesadaran akan seni itu sendiri, bukan tentang kesadaran seni haruslah bentukan seniman terkenal, meski banyak orang yang memiliki kesadaran seninya dibentuk oleh ikon-ikon seniman....tapi tentu itu adalah sikap yang bergantung, kesadaran yang tertidur dan menunggu mata orang lain untuk melihat, menunggu telinga orang lain untuk mendengar, mulut orang lain untuk bicara...
17 Februari jam 21:08 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho ‎:
Yg Anda sampaikan adl bgmn idealnya, yg saya sampaikan adl fakta di lapangan.
17 Februari jam 21:16 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten :
bukan dong cak. kalau bicara lapangan atau realitas, maka tentu lapangan menurut siapa? karena yang aku bicarakan itu tentu juga sebuah realitas. yang pada nyatanya, kita sama-sama melihat realitas yang sama, yang dalam hal ini adalah kesadaran cak dadang terhadap aksi seni seniman terkenal itu, tapi anda dan saya memiliki kesimpulan yang berbeda. jadi apa yang dimaksud dengan lapangan, karena kita sedang membicarakan lapangan yang sama?
17 Februari jam 21:21 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten :
bukankah ini hanya masalah kesadaran kita akan seni?
17 Februari jam 21:22 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho ‎:
Yg saya maksut adl yg terjadi selama ini adl spt itu, yaitu penilaian thd sebuah karya seni rupa juga ditentukan oleh perangkat2 yg lain, yg telah saya sebutkan di atas.
17 Februari jam 21:26 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten :
maksud cak wahyu ini kan :

{Pd seni rupa, selain berdasarkan wujudnya, perlu dicermati pula :
- siapa penciptanya
- bgmn kualitas karya2nya yg lain
...- utk periode seni rupa sekarang ( khususnya kontemporer ) sangat dibutuhkan utk mengetahui bgmn konsep penciptaannya.
- Juga yg tdk bisa diabaikan begitu saja pengaruhnya dlm apresiasi karya seni rupa adl bgmn kepercayaan dan opini masyarakat seni rupa ( galeri, kolektor, intelektual/ kritikus seni, atau pemerhati seni lainnya ) thd pencipta dari karya yg bersangkutan.}
.............
iya cak, itulah maksudku juga. bahwa seharusnya dan memang itu terjadi pada setiap hal, baik karya rupa, sastra, musik, masakan, dll dll

misal dalam dunia kuliner, pasti akan tergantung siapa penciptanya, bagaimana konsepnya, pengaruh opini masyarakat bla bla bla..semua perangkat yang cak wahyu sebutkan itu pasti akan diperlukan.

karena misal, ada dua masakan soto yang sama, bumbu dan penyajian dan rasanya sama, tidak beda. dan pada tataran realitas tentu masyarakat juga akan melihat siapa kokinya, bagaimana konsep memasaknya apakah sehat -alami -dll....dan bagaimana opini masyarakat terbentuk bla bla bla...

semua akan seperti itu cak, karena itu hanya teknis, atau kalau cak karno kaji menyebutnya itu hanya manifesnya. sedangkan manis ya tetap akan manis, sampai kapanpun....
17 Februari jam 21:37 · SukaTidak Suka
o
Dadang Christanto :
Yang aku contohkan di atas tadi hanya salah satu institusi (standard/kekuasaan) dalam melihat karya yang baik/menarik/berkwalitas. Yakni institusi museum atau publik galeri. Ada beberapa institusi yang lain, yang mempunyai standard dalam me...nilai, mengapresiasi karya yang berkwalitas.
Ada beberapa "institusi" yang menilai karya yang berkwalitas, yakni:
1. Museum/publik galeri
2. Akademisi
3 Pasar
4. Kritikus seni/penulis seni/media
5. publik/masyarakat.

Jika karya yang dihasilkan seniman mampu menembus atau diapresiasi oleh ke semua institusi di atas, maka karya tersebut adalah karya yang berkalitas bahkan karya yang ideal.
Tentu hal ini tidak mudah. Mungkin hanya satu atau dua institusi yang diapresiasi seorang seniman.

Sebagai museum/galeri publik yang difasilitasi dan biayai pemerintah, yang didalamnya mempekerjakan team kurator secara permanen, profesional, gaji besar, tentu dengan cara kerjanya sesuai dengan etik permeseuman dan tujuan pemerintah dalam pengembangan seni. Apalagi setingkat Museum Nasional, menyandang "barometer" kwalitas dan tanggung jawab terhadap apa yang dipamerkan.

Akademisi atau universitas, sekolah seni adalah institusi keilmuan, disanalah berkembangnya atau kepedulian research dan teori seni disimak. Para ilmuwan seni, para teoritikus ilmu-ilmu humaniora ini punya otoritas dan etis yang dijunjung terhadap bidang keilmuannya. Mereka menerbitkan buku-buku sesuai dengan kebutuhan mereka di bidang research.

Pasar, juga punya kekuatan dalam pembentukan selera, citra rasa, bentuk seni dan estetikanya. Mereka tersebar melalui galeri komersial/private, dealer seni, art fair dan balai lelang-balai lelang. Yang tentunya memberi imbalan ekonomi. Seniman bisa berdalih; "Uang bukan segala-galanya" Tapi pasar juga bisa berdalih; "Tidak punya uang, bikin repot segala-galanya".

Kritikus, juga institusi yang punya otoritas, termasuk mempunyai otoritas "penghakiman" terhadap mana karya yang bermutu dan tidak bermutu, melalui media massa, jurnal-jurnal seni. Mereka orang yang mumpuni, berwawasan seni dan pergulatan pemikirannya mengenai seni. Dibeberapa negara mereka punya assosiasi.

Publik atau keremunan orang banyak (kolektor dan art lover termasuk di dalamnya) Dan sejak Simon Cream (pencipta American Idol), sistim lewat publik vote di media tv, pengertian publik ini menjadi meluas dan sangat berpengaruh.
Sistem ini ( lewat tv) belum merambah ke seni rupa. Tapi dibeberapa kompetisi mulai diberi ruang, seperti pemenang kompetisi sebagai karya pilhan publik.
Jumat pukul 6:04 · Tidak SukaSuka · 1 orangMemuat...
o
Sindhu Pertiwi :
Hahahaha!
Jumat pukul 6:25 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten :
yoi cak dadang. tapi masalahnya adalah kekuasaan (institusi seni itu yang anda sebutkan lima diantaranya) akan dibawa kemana?

lagian yang aku tidak sepakati dari cak wahyu adalah pembedaan dia terhadap senirupa lebih dari seni atau hal lain.... itu awalnya, tentu aku tidak sepakat jika dia menjadi fanatik dan menganggap hal lain lebih rendah atau lebih tinggi dari seni rupa, dalam kontek nilai kwalitas. aku tidak bisa menerima pendapat cak wahyu itu, lalu cak wahyu sampai mengambil contoh terhadap apa yang anda lihat tentang seniman top yang memasang rongsokan dalam geleri sebagai barang seni, lalu anda pada akhirnya turut tersadar terhadap apa yang selama ini tidak terlihat sebagai seni, tapi oleh seniman terkenal rongsokan pun menjadi barang seni...karena hal itu juga bisa terjadi bukan hanya pada seni rupa, dalam hal apapun, kalau ada orang terkenal atau master, jika dia melakukan hal2 aneh atau sepele pasti akan dilihat sebagai bentuk yang istimewa dan menjadi penanda atau simbol sesuatu, karena memang ini tentang kesadaran, bukan semata tentang seni rupa...

dan kesadaran itulah yang aku gugat? kenapa melihat sesuatu harus melihat keterkenalan seseorang? gugatanku tentu bermaksud agar tidak terjebak pada idol-idol yang bagaimanapun bisa dimanipulasi pencitraannya dan bla bla blanya....karena karya adalah karya, meski memang tidak menampik keterkenalan seseorang yang memang master akan membuat sesuatu yang biasa menjadi hebat itu bukan sekedar karena keterkenalan, tapi memang karena dia paham dan memiliki pemahaman yang tinggi. tapi juga tidak menutup kemungkinan jika itu dilihat dengan fanatik yang membuta maka akan menjerumuskan pada manipulasi nilai atau kwalitas

kurang contoh apalagi didunia kapitalism ini, bahwa keidolan dan pencitraan itulah yang selama ini menjadi ajang penipuan dan penggiringan kesadaran publik pada kepalsuan dan sekedar kesadaran kulit semata, yang kesemuanya itu bisa dengan mudah digarap dan dicipta.....

dan lima unsur institusi yang anda sebutkan itu memang, merekalah yang selama ini menjadi penguasa atau penentu sebuah karya atau hal apapun. tapi bukan itu yang menjadi masalah. tapi adalah apa yang mereka tentukan sehingga kesenian hari ini menjadi manipulative. yang tidak lain adalah ke lima institusi itu ternyata masih dalam kendali uang. ke lima institusi itu hari ini ternyata tak berkutik untuk tertipu agar terus menuruti pasar dan kepentingan modal :

1. Museum/publik galeri
2. Akademisi
3 Pasar
4. Kritikus seni/penulis seni/media
5. publik/masyarakat.

semua itu, hari ini tunduk pada modal. jadi bukan menyalahkan atau tidak sepakat dengan kenyataan bahwa memang lima institusi itulah yang menentukan karya. tapi ketidaksepakatanku adalah pengaminan atau penyerahan diri para seniman untuk membiarkan semua itu tunduk pada modal. karena jika hal ini terus diamini maka ya seniman sendiri yang membunuh dan mengubur kesenian itu sendiri. tak beda dengan mengagungkan kesenian tapi disisi lain adalah membunuhnya. bagaimana jiwa-jiwa yang demikian itu bisa disebut seniman? seniman sejati atau seniman gadungan?
Jumat pukul 11:26 · SukaTidak Suka · 2 orangAgus Merlung Art dan Zaenal Arifin menyukai ini.
o
Dadang Christanto :
Kelima ukuran karya yang baik atau berhasil yang aku sebutkan di atas adalah mencoba menjawab diskusi yang di ajukan dipegantar diskusi ini. Tidak menyangkutkan seniman, tetapi karyanya diapresiasi atau niilai oleh pihak luar. Aku sebutkan ...5 institusi. Bisa saja institusi ini kita perpanjang ditambahi, misal: garis partai (pada negara-negara sosialis, korea Utara) yang menentukan berkwalitas atau tidaknya adalah ara camerad partai. Atau ditambahkan institusi: moral agamalah yang menentukan berkwalitas atau tidaknya sebuah karya, seperti yang terjadi pada abad kegelapan di Eropa (moral kristen/teokrasi) atau negara yang dipimpin para mullah misal.

Dan pertanyaan sampean, @Agung mengenai ke 5 standar "ukuran sukses" itu mau dibawa kemana? Tentunya ini pertanyaan yang bermuatan ideologis. Silahkan analisis dan simak realitas kesenian di tengah kita, apakah memandang Politik sebagai panglima, atau Ekonomi sebagai panglima?

Sebenarnya ada ruang lain diatara kedua ukuran ideologi di atas, yang sayangnya tidak masimal hadir. Katakanlah 5 lima institusi sebagai infrastruktur seni. Adakah mereka berjalan beriringan dan seimbang, setara? Apakah kita punya publik galeri yang memadai dalam budget operasionalnya? Publik galeri yang tidak mudah diintervensi kepentingan ekonomi? Tidak mudah tunduk pada pasar?

Lha wong Galnas sebagai publik galeri puncak saja belepotan (aku pernah menulis kritik terhadap Galnas di Kompas beberapa tahun lalu). Apakah kita punya jurnal-jurnal seni dimana para pakar/akademisi/intelektual menulis tentang pandangan-pandangannya tentang seni Indonesia? Berapa banyak sih kolektor di Indonesia, apakah sebanding dengan para kolekdolnya?

Mampu membangun sistim pasar (galeri. dealer) yang sehat dan etis dalam menjalankan bisnis?
Aku kira, yang kerap jadi masalah karena di Indonesia ini, pasarlah yang jadi acuan. institusi yang lain, akademisi, para kritikus, galeri publik/museum idak diperdulikan. Maka beberapa orang kritis menjadi kecewa (termasuk @Agung) terhadap seni yang menjadi diseragamkan bentuk dan estikanya oleh pasar. Tulisan-tulisan yang ada juga merujuk kepada sensasi pasar. Ini sebenarnya sebuah kemiskinan dalam melihat seni.

Yang harus diberdayakan sekarang ini adalah infrastruktur yang membuat seni ini mempunyai banyak dimensi. Bukan satu dimensi, pasar semata. Inilah PR para pekerja seni (seniman, pemerintah, pasar, akademisi, kritikus/kurator, masyarakat).
Jumat pukul 12:40 · SukaTidak Suka · 4 orangMemuat...
o
Zaenal Arifin :
hanya sekedar cerita.bagaimana para wanita menilai pria idamannya.wanita pertama mengatakan yg penting ganteng.wanita kedua lebih mengutamakan kelembutan hati .wanita ketiga lebih mementingkan pisang yg besar dan panjang. Wanita lainnya tid...ak memerlukan hal2 yg telah di sebutkan oleh para wanita sebelum nya kerena buat dia yg penting peria itu kaya raya.penilai apa pun yg telah diberikan oleh wanita2 tersebut sah2 saja.beruntung lah aku kalao memiliki salah satu, mungkin dua atao semuanya yg menjadi idaman mereka. Kalao tak satupun daya tarik yg mereka inginkan kumiliki ?apa yg harus kulakukan? Bersabar siapa tau mereka berubah pikiran.atao aku mencoba berusaha berkompromi terhadap diriku sendiri agar bisa emiliki apa2 yg mereka harapkan. Atao aku racun saja mereka supaya mati.
Jumat pukul 13:33 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Dadang Christanto:
Coba kalau ada waktu mampir dan lihat video ini, @Agung pasti suka deh, hehehe...

Sotheby's protest with subtitles
www.youtube.com
Sotheby's protest with subtitles Feb 15th 2011
Jumat pukul 14:10 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten :
entahlah, mungkin aku tuh pingin para seniman itu marah dan tidak terima atas perlakuan modal yang membuat bukan hanya berekspresinya menjadi miskin, tapi juga memiskinkan begitu banyak faktor2 kehidupan lain. aku ingin para seniman itu mar...ah besar pada kemapanan palsu ini, semarah-marahnya, bukan sekedar mengkritik dengan karya terhadap galeri dan dalang2 kematian seni ini, tapi juga dengan menghadapi semua itu sebagai momok yang harus diubah atau disingkirkan dari dunia kesenian. aku ingin seniman bangun dan menunjukkan harkatnya sebagai manusiaaa...
Jumat pukul 14:23 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten:
aku tuh sedih dengan para seniman yang mengetahui keprihatinan atas kemandulan dan ketimpangan yang tidak sehat yang terjadi baik dalam realitas atau dunia seni sendiri, tapi mereka juga tidak berdaya menghadapi realitas dan ampuhnya modal...aku ingin mereka tidak setengah2 dalam berkeyakinan...bla bla bla...
Jumat pukul 14:27 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten:
ah, tapi gimana mau marah, lha wong mereka dimanjakan pasar kok...prekklah dengan seniman....
Jumat pukul 14:38 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho :
SP : tertawa Anda penuh misteri....!!!!

ASM : dari komentar2 Anda rupanya berkeinginan menempatkan kualitas/ nilai seni adl melekat pada karya, dan penilaian2 yg dilakukan oleh institusi2 seni tidak bisa mempengaruhi kualitas dari karya ts...b.
Nilai itu spt halnya pada kadar emas.

tentang komentar saya yg membandingkan antara karya musik atau karya sastra dengan karya seni rupa adalah berangkat dari pengetahuan saya. Yg moga2 saja salah.
Maksut saya sederhana saja, dlm suatu pertunjukan seni musik atau pembacaan novel, diperlukankah catatan pengantar atau kuratorial untuk memahami konsep atau filosofi yg melatarbelakangi penciptaan karya tsb, spt halnya pd pameran seni rupa ?
Oleh sebab itu, menurut saya, karya musik atau sastra lebih bisa berdiri sendiri sbg karya drpd karya seni rupa.
Jumat pukul 14:41 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten :
ho'o cak, pada prinsipnya seperti itu. aku tuh gak suka dengn orang2 yang terilusi dengan nama besar, haram bagiku, ketika dia karena seorang pejabat atau seorang terkenal lainnya menjadi mendapat perlakuan berbeda, termasuk terhadap berkes...eniannya. karena itulah kebudayaan korup dan diskriminatif, dan justru mencederai keprofesionalan dalam berkarya. atau bahkan tidak menanusiakan manusia dan tidak mengkaryakan sebuah karya. dan kekacauan pemahaman diskriminative itulah yang membentuk institusi kekuasaan seni hari ini (kontemporer pop), karena memang pemahaman mereka dibentuk oleh diskriminasi modal dan diskriminasi modal itu dihasilkan oleh diskriminasi realitas. maka bukan aku tidak sepakat pada institusi seni yang cak dadang sebutkan itu tadi, tapi ruh atau semangat yang menunggangi itulah yang bagiku adalah iblis pembunuh semangat murni dalam berkesenian dan berkehidupan.

kalau untuk sastra dan musik, tetep kok cak dua hal itu juga tidak bisa berdiri sendiri, tetep butuh institusi2 lain demi kebaikan dan tegaknya sebagai nilai karya bagi publik.

tetep saja yang menjadi masalah, bukan hanya dalam dunia seni, adalah apa dan siapa dan bagaimana yang menggerakkan dibelakang semua itu. karena itulah jantung sebuah nilai.
Jumat pukul 14:54 · SukaTidak Suka
o
Titarubi Tita :
waaah... ini pertanyaan yang sulit sehingga jadi obrolan yang panjang sekali, sampe gak sanggup membaca dari komentar pertama ;)). Maafkan, kalau terkesan nyelonong. Mungkin sebaiknya dibuat ringkasan atau kesimpulan dari obrolan ini dan di...jadikan 'note'. Sehingga gak puyeng buat peserta bontot macam daku ini.

Dari beberapa komentar, sepertinya kita kesulitan dengan bahan bacaan. Sekarang ini, semacam buku-buku, ada beberapa situs mesin pencari untuk mengunduh buku2 dalam bentuk digital, baik membeli (misalnya gutenberg.com ada buku2 sastra yg juga bisa didownload gratis). Maupun situs yang memang sudah gratisan, biasanya berupa mesin pencari, agar tidak diblokir karena diduga melanggar kode etik dan melanggar hukum beberapa negara.

Di 4shared.com atau library.nu, yg terakhir ini ada banyak sekali e-book bahkan beberapa buku terbitan Routledge yg mahal2 itu (harga buku e-book resminya bisa sekitar US$100!!! sinting!) seperti: "Is Art History Global" atau "The State of Art Criticism" tulisannya James Elkins, bisa didapat dengan gratis. Kukira, beberapa buku yg disebut oleh Edo ada di sini. Yg harus diperhatikan adalah kodenya 'en' untuk english dan juga software untuk membacanya, umumnya dalam pdf (atau juga epub, dimana perlu alat khusus) atau juga software lainnya yg bisa diunduh untuk alat membacanya.

Lalu beberapa situs yang mungkin berguna untuk baca2, semacam Art Knowledge News di artknowledgenews.com yang bisa memilih bahasa (kukira ini terjemahan bhs Indonesianya dikerjakan oleh mesin penerjemah sehingga harus diedit lagi).

Dalam salah satu jurnal seni rupa, Open => http://www.skor.nl/set-635-en.html ada beberapa artikel di dalamnya yang juga bisa dibaca online secara gratis, sisanya bisa diunduh dengan membeli atau berlangganan. Jurnal ini kukira cukup baik dan menarik, harga terbitan cetaknya cukup mahal sekitar 24 euro, jadi kalau harga berlangganan secara elektronik lebih murah, maka itu lebih baik.

Apa yg aku sebut itu mungkin sedikit saja dari yg beredar. Tentunya teman-teman lain bisa menambahkan lagi.

*mudah-mudahan informasi ini berguna. ;)
Jumat pukul 15:03 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
ah, apa yang bisa dipercaya dari mereka sehingga ditawarkan disini... aku pikir ini diskusi pinggiran yang membenci kemunafikan...
Jumat pukul 15:22 · SukaTidak Suka
o
Dadang Christanto ‎:
@Agung: "prekklah dengan seniman...." Hahaha...
Baru tahu ya?
Jumat pukul 15:30 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Kuss Indarto :
Jogja Art Share (JAS) secara resmi telah melaporkan Jogja National Museum (JNM) dan KPH Wironegoro kepada Polda DIY atas kasus penggelapan artfeka Merapi. Silakan klik www.indonesiaartnews.or.id
Jumat pukul 16:09 · Tidak SukaSuka · 2 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten :
cak dadang, hahaha...setahuku sih gak gitu. tapi kalau ternyata seperti itu, ya itu hanya masalah realitas yang palsu dan dinormalkan. aku tetep percaya pada definisi atas nilai-nilai seni yang bukan terpampang pada realitas, meski pada kenyataan kepalsuan itulah yang disebut seni. seharusnya aku tidak bilang prekklah dengan seniman, tapi preekklah dengan para gadungan.
Jumat pukul 16:46 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Titarubi Tita:
Mungkin ada teman2 tertarik untuk datang di acara LAF- Langgeng Art Foundation, dialog/artist talk bersama Chris Cook ( artis visit di LAF ) dan Tony Godfrey, pada hari Selasa, 22 Februari 2011 pukul 10.00 - selesai di ruang Audio Visual Se...ni Murni ISI Yogyakarta.

Tony Godfrey adalah juga Direktur akademik di Sotheby's Institute, London yang juga penulis buku "Conceptual Art" (Phaidon 1998) dan beberapa buku lainnya, seperti "Painting Today" (Phaidon 2009). Mungkin, bisa ngobrol2 tentang apa itu yg disebut dengan karya yang berkualitas dari sudut pandang dia. Atau siapa tahu dia punya waktu dan kesempatan jika ada yang mau mengundangnya untuk memberikan kuliah pendek untuk umum di kota lainnya.Semacam upaya kita menjemput bola ;)
Jumat pukul 16:55 · Tidak SukaSuka · 3 orangAnda, Edo Pop, dan Halim Hade menyukai ini
o
Putut Puspito Edi:
wah tambah rame REKKK ! aku ya ketinggalan sepur je !!! huah gak entek2 dibahas!! malah ada yg menawarkan situs2 juga.. ini sebenere pye??? hahaha...
Jumat pukul 16:59 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
ini belum dijawab pertanyaan yang awal kok sudah menawarkan tawaran2 lain itu lho...emang semua yang diskusi disini adalah makhluk yang harus digiring2 pada mereka2 orang2 yang tak tahu akar permasalahan disini. emang siapa mereka semua itu? kalaupun mereka hebat di eropa, apa itu harus menjadi standar kesenian disini ahhh..apa-apaan itu...
Jumat pukul 16:59 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho ‎:
ASM : nah.... Kalo pernyataannya direvisi gitu, jadi agak enak nih..
Masalahnya di situs Indonesia Art News, dlm artikel yg berjudul "Morfologi Warna", Mas kuss telah membaptis saya sbg seniman Pasuruan lho.....
Wakakakak....
Jumat pukul 17:01 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten :
jadi seniman kok gak punya kepercayaan diri atas tanah dan airnya, bagaimana dia akan percaya pada keyakinannya? aku pikir eropa telah gagal dalam semuanya, kenapa kita harus berguru padanya, toh kalau cuma nilai-nilai yang kita bicarakan, ...semua akan menjadi sama saja, tidak untuk timur dan barat, karena nilai yang sesungguhnya adalah nilai yang universal, jadi disinipun kita bisa mempelajari. aku menjadi tidak suka ketika kita (bangsa ini) diposisikan lebih rendah, lebih ketinggalan, dari mereka orang2 eropa dan dunia pertama dalam hal nilai dan kwalitas. kecuali tentang teknis, ya mungkin mereka lebih maju. tapi itu tidak menjamin tentang kwalitas seni disini, karena kwalitas nilai tentu tidak bisa terbelenggu oleh kwalitas teknis.
Jumat pukul 17:13 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten:
bangsa ini telah habis dirampas oleh mereka yang dari luar, itu karena kita tidak pernah percaya pada tanah, air, dan diri sendiri. sehingga harus terus mengekori bangsa2 yang dibilang maju. ya bangsa ini telah dijual oleh anak-anak bangsanya sendiri baik yang di kiri atau kanan. aku membenci dan aku tak akan merelakan itu terus terjadi. cukup sudah perbudakan ini harus diakhiri.
Jumat pukul 17:18 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade :
yang memulai perampokan itu juga dari dalam. konflik elite, dan mereka menjadikan dirinya kuli, agen, calo...
Jumat pukul 18:55 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten :
ya, tidak lain adalah anak-anak bangsa sendiri yang terus-terusan memberi jalan pengurasan. tidak pemerintah dan tidak pelaku kebudayaan dan intelektualnya. sama-sama tidak memiliki kepercayaan diri untuk bisa berdiri sendiri dan setara.

da...n kebudayaanlah yang turut andil besar membentuk wajah suatu bangsa. karenanya jika pelaku-pelaku kebudayaannya (baik dalam pemerintahan atau diluarnya) tidak lebih mempercayai bangsa dan orang2nya karena lebih mengunggulkan pengetahuan kebudayaan yang dibentuk oleh kolonialism, maka apa yang bisa diharapkan untuk tumbuh dari kebudayaan bangsa tersebut? tidak lain kita akan terus mengejar mereka yang dengan senang hati menyiapkan rel untuk kita selalu dibelakang mereka.

bangsa ini hanya dipenuhi calo2....yang dengan niat mulia untuk mencerdaskan bangsa, tapi ternyata justru menjerumuskan bangsa pada perbudakan abadi.

ayolah wahai saudara yang merasa mau dan ingin menyumbangkan hidupnya untuk kemerdekaan. bahwa kita memiliki kepala yang sama dengan kepala mereka yang sedang diunggulkan dunia.
Jumat pukul 19:06 · SukaTidak Suka · 3 orangMemuat...
o
Halim Hade :
kanibalisme nusantara.
Jumat pukul 19:06 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten :
aku ingin bermental tempe atau tiwul atau lonthong, karena itu memang aku. aku tidak ingin bermental keju atau kurma atau lainnya yang bukan milikku karena itu bukan aku. bolehlah sesekali menikmati yg lain karena memang kita tidak ingin pongah selain harapan untuk menghargai diri sendiri dan saling menghargai. marilah kita menjadi bangsa kita tanpa kita meninggalkan nilai kebersamaan seluruh alam. lawan dominasi konsumsi n produksi.
Jumat pukul 19:22 · SukaTidak Suka · 3 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho :
ASM : Saya kagum dgn jiwa nasionalisme Anda. Tapi sebaiknya kita tidak terlalu fanatiklah, apalagi sampai menutup mata terhadap perkembangan kebudayaan asing. Hal ini karena, saya mengambil dr komentar Anda terdahulu, bahwa Anda menghend...aki tidak ada perbedaan antara timur dan barat, utara dan selatan. Dgn dmkn, berarti kita hrs saling belajar antar budaya yg berbeda.
Terlebih Indonesia, yg banyak ketinggalan dlm segala hal, mk utk akselarsi sangat dibutuhkan mempelajari budaya asing, mmg tdk jangan diserap mentah2. Jk kita terlalu percaya diri, khawatirnya kita menjadi spt katak dlm tempurung. Bgmnpun kita tdk bisa menghindar dr arus budaya global. Tapi mmg perlu utk menancapkan kesadaran, bahwa kita adl bangsa yg berdaulat, memiliki hak dan kebebasan mengembangkan kebudayaan yg sdh kita miliki.
Jumat pukul 19:53 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
lha ya iya dong cak. aku tetap percaya dengan prinsip yang kutemukan bahwa sosialis terbaik adalah individu2 terbaik, internasionale terbaik adalah nasionalis2 terbaik. karena tidak ada seseorang bisa dikatakan bermental global tanpa dia bi...sa mencintai tanah tempatnya berpijak terlebih dulu. aku sama sekali tidak merujuk untuk menolak kebudayaan asing, tentu sama sekali tidak dong cak. kalau hal seperti itu aku pikir sudah selesailah cak

justru karena kita ketinggalan banyak hal itulah kesedihan dan kemarahanku cak. karena selama ini kita sibuk mengejar apa yang ada diluar diri (bangsa) kita, sedangkan apa yang ada di dalam kita tidak pernah menganggapnya sebagai kekayaan, karena memang kita terpesona dengan apa yang nampak dari kulit tentang kemajuan yang mereka capai. sedangkan nilai-nilai yang sesungguhnya tidak pernah kita perhatikan.

dan yang terpenting adalah apalah arti identitas global kalau kita tidak mengenal diri sendiri, kecuali memang kita menghendaki perbudakan arus global.

bacalah dengan jelas cak wahyu pertarungan identitas global ini agar tidak terjebak pada permainan penguasaan dunia. karena tentu selalu ada kejahatan yang selalu mengintai di dalamnya.

dan justru apa yang aku lakukan ini adalah mempersiapkan diri dalam pertarungan global. karena bagaimana mungkin kita bisa dan siap bertarung jika kita tidak memiliki kedaulatan diri yang utuh dan merdeka dan terbebas dari dekte dan doktrin yang bukan milik kita.

dan aku percaya bahwa setiap tanah dan air di muka bumi ini akan melahirkan identitas yang berbeda-beda, yang bukan berarti mengingkari nilai identitas kemanusiaan secara global.

aku hanya prihatin pada kenyataan bangsa ini selama ini hanya menjadi ajang pertempuran pengaruh dominasi identitas timur tengah dan barat. tapi karena itu pula justru kita memiliki potensi yang kauh lebih besar dari barat dan timur-tengah itu sendiri.

ini bukan sikap ortodok dan apalagi pesimisme. bahkan ini adalah sikap progresive dan optimisme. untuk kembali pada diri dan mempersiapkan sepenuh diri identitas kemanusiaan kita agar tidak orang lain semena mena menggambar dan membentuk wajah impian kita. karena impian kita tentu hanya kita yang memiliki/..\\

bla bla bla bla ............
Jumat pukul 20:10 · SukaTidak Suka




bersambung ke jilid 3......


BACK........................................................................................................NEXT



sumber :
pameran virtual karya WAHYU NUGROHO di FACEBOOK: PLURAL PAINTING
http://www.facebook.com/album.php?aid=106633&id=1197141376&l=ee57da086c

Tidak ada komentar: