Kamis, 29 Oktober 2009

Kisah Wajah
Pameran Tunggal Gatot Pujiarto


Penyelenggara:
Selasar Sunaryo Art Space

Waktu Mulai:
06 November 2009 jam 19:30
Waktu Selesai:
22 November 2009 jam 12:00
Tempat:
Bale Tonggoh, Selasar Sunaryo Art Space
Jl. Bukit Pakar Timur No.100
Kota/Daerah:
Bandung, Indonesia

Pameran :
6 - 22 November, 2009

Pembukaan Pameran :
Jumat, 6 November 2009
Pkl. 19.30 WIB
di Bale Tonggoh, Selasar Sunaryo Art Space

Artist Talk :
Minggu, 8 November 2009
Pkl. 15.00 WIB
di Bale Tonggoh, Selasar Sunaryo Art Space

Visage: wajah-wajah lain Gatot Pujiarto

“Ada berlaksa manusia, tetapi ada lebih banyak wajah, sebab setiap orang punya lebih dari satu. Ada orang yang mengenakan wajah yang sama bertahun-tahun, tentu saja muka itu jadi aus , kotor, retak di jahitan-jahitanya, jadi logro seperti sarung tangan yang dipakai dalam sebuah perjalanan panjang….”.

Kisah Wajah
Hari-hari ini para pemikir diberbagai banyak belahan percaya bahwa wajah kita sesungguhnya tak bisa lepas dari wajah orang lain, ibarat sebuah kata dalam sebuah rangkaian kalimat. Dengan lain perkataan, kata tersebut tak bisa memiliki makna secara mandiri jika tak berdampingan dengan kata yang lain. Lebih jauh, bahkan pada saat kata tersebut memisah sendiri pun juga akan selalu membayang kata-kata yang lain.

Dan wajah manusia kendati tampil secara soliter, juga akan membayang wajah orang yang lain. Betapa ingin kita untuk selalalu berupaya agar lepas dari wajah orang lain itu, kenyataannya wajah orang yang lain tersebut tetap membayang samar dan tipis-tipis. Seperti halnya jika kita menatap karya-karya Sadali maka secara tak sadar wajah Reis Mulder juga membayang disana, atau saat menikmati karya Picasso disana juga hadir wajah Cezanne, Matisse dll. Terkadang pernyataan itu membuat kita masygul, sebab seolah-seolah daya upaya kita seperti tak pernah ada, namun ada yang membuat kita juga menghela nafas dalam-dalam, sebab dengan demikian kita dituntut untuk selalu menghargai wajah orang yang lain yang secara sepintas-pintas hadir dan memberi makna dalam kehidupan kita.

Wajah, baik secara referensial maupun secara metaforik telah banyak mengundang daya tarik bagi para seniman. Ada yang secara khusus melukis potret diri, merekam wajahnya yang tampak muda dan bergairah hingga sampai wajah itu jadi logro dan penuh garis-garis, semua dengan suka cita mereka rekam. Bahkan setiap seniman hampir tak pernah ada yang absen dari melukis wajahnya sendiri.

Demikian pada karya-karya yang hadir dalam pameran ini, Gatot Pujiarto memiliki ketertarikan untuk merekam pelbagai kisah dalam wajah orang-orang. Wajah kata Gatot meski terlihat, sering ada yang tersembunyi dan disembuyikan. Ambivalensi antara tampak dan sembunyi, diperlihatkan dan ditutupi, antara komedi dan tragedi, menjadi daya tarik tersendiri baginya. Pameran Kisah Wajah adalah jejak dari upaya Gatot untuk menyaksikan ambivalensi wajah serta menuturkan dalam karya rupanya.

Wajah dalam kamus biasanya diterjemahkan sebagai bagian dari kepala manusia dari bagian atas kepala depan hingga dagu, serta lebarnya terbentang antara telinga ke telinga. Wajah adalah bagian utama yang dipakai untuk mengidentifikasi atau membedakan antara orang yang satu dengan yang lain. Dalam kepercayaan lama, dipercayai bahwa dengan melihat wajah seseorang, maka karakter atau kepribadian sang pemilik wajah bisa diketahui. Misalnya bentuk muka, oval, lebar atau bundar menyiratkan sebuah peribadi tertentu. Jika kita melihat pelbagai topeng atau wayang yang ada, di situ terdapat suatu penanda simbolik yang menyatakan bahwa si pemilik wajah masuk pada kategori ksatria atau golongan raksasa dengan melihat karakter mata, hidung, serta mulutnya. Bentuk simbolik dari topeng dan wayang adalah petunjuk bahwa manusia pada dasarnya memiliki pelbagai sifat yang terekam dalam topeng dan wayang tersebut.

Namun saat ini apa yang tampak manis dan rompak justru menampilkan sesuatu yang bertolak belakang, dengan kata lain bisa jadi wajah yang tampak rompak dibaliknya tersimpan laku yang arif bijaksana atau wajah yang manis dan elok dibaliknya terdapat laku yang buas dan brutal. Terlebih lagi saat ini tampilan yang necis justru jadi hal yang utama.

Tentang tema
Karya-karya yang hadir dalam pameran ini adalah karya yang lahir dari kegemarannya menyambangi teman, tetangga atau kerabatnya. Dalam pertemuan dengan sahabat dan tetangga serta kerabatnya ini, ia biasanya memperoleh kisah. Cara yang seperti inilah yang biasanya banyak memikat Gatot Pujiarto untuk dijadikan tema-tema dalam karya. Kendati dalam proses ia tak selalu memulai proses berkaryanya dari tema atau kisah-kisah.

Gatot juga berangkat melukis dengan tanpa tema pada mulanya, yang demikian biasanya hanya didorong oleh semangat dan keinginannya untuk membuat garis, pada kanvas, bisa dengan cat, kain, benang, atau dengan kertas. Setelah menjadi sedikit tampak, biasanya ia akan mengintenskan tema sesuai dengan apa yang diinginkan. Kebiasaan yang seperti ini seperti menegaskan bahwa seringkali hasrat berkaryanya juga ditarik oleh keterpesonaannya pada ruang, bidang dan warna. Pada karya dengan judul Ketika Hitam Jadi Putih dan Lelanange Jagad Gatot Pujiarto didorong oleh pemilihan materi yang penuh warna dan motif-motif yang menantang, dan cenderung ramai.

Karya-karya yang hadir saat ini hampir sepenuhnya dilatarbelakangi ambivalensi antara tampak dan sembunyi serta targedi dan komedi. Tema-tema ironis itu bisa dilihat dari beberap judul karyanya: Helping The Hero, Ketika Hitam Menjadi Putih, Just Me And My Self, Pretender. Pada satu karya yang berjudul Helping The Hero menunjukkan betapa seorang pahlawan yang hebat toh justru membutuhkan pertolongan orang lain. Di sini Gatot Pujiarto, beroleh kisah bahwa banyak orang yang sebenarnya membutuhkan pertolongan, tapi menjadi gengsi dan tak mau ditolong, mungkin sikap itu menjadi muncul karena sebelumnya orang tersebut dikenal banyak menolong, hebat dan lain-lain, karena itu ia seperti tak butuh pertolongan. Tema itu katanya sama seperti selorohan: “Preman kok lara untu!” (preman kok sakit gigi, atau “Rocker juga manusia!”.

Sedangkan pada karya Pretender, Gatot menampilkan sesosok wajah sangar dengan menggigit sebuah anak panah besar, di berbagai bagian tubuhnya terdapat beberapa anak panah yang berukuran lebih kecil menancap dimana-mana. Barangkali ini sebuah isyarat dari Gatot yang coba dibisikkan bahwa kecenderungan orang hanya memperhatikan hal-hal yang besar saja. Sedangkan hal kecil selalu luput dari tatapannya.

Tema-tema garapannya, sesungguhnya tak jauh dari karyanya yang terdahulu, yang membedakannya adalah sudut pandang persoalan yang dilihatnya dari sisi yang terbalik. Jika Charlie Chaplin menyatakan bahwa hidup jika dilihat dari jarak yang dekat nampak sebagai tragedi, namun jika dilihat dari jarak yang jauh nampak komedi. Maka Gatot melihat persolan yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-harinya dengan jarak pandang yang jauh, karena itu seringkali lebih tampil sebagai komedi ketimbang tragedi. Ironi yang hadir sebenarnya juga lahir dari cara memandang yang seperti ini. Suatu tragedi yang dilihatnya dari jarak yang jauh. Dalam sajiannya yang komikal itu, tak hanya menanggungkan tawa yang riuh, namun disitu justru dibangun sebuah kritisme dalam hal memandang. Layaknya candaan seorang the Fool dalam lakon King Lear. Tiap lontaran yang mengundang tawa, justru membuat orang yang dikritisi tersenyum kecut. Karya dengan judul Helping the Hero, Lelanange Jagad dan Pretender berada pada semagat kritisme ini.

Kritisme yang dibangun oleh Gatot juga tidak berada pada tataran tema-tema besar macam isu politik, ekonomi dan persoalan yang sedang hangat dibicarakan, ia justru lebih memilih suatu persoalan sosial yang dekat dan cederung remeh. Namun, meski remeh persoalan itu layak dikritisi. Salah satu karya yang berjudul Final Solution,misalnya adalah karya yang menyoroti persoalan wabah Demam Berdarah yang tak kunjung usai. Anjuran, tindakan mulai membersihkan jamban, mengubur timbunan kaleng bekas, penyemprotan massal tak pernah berakhir. Ketika musim DB datang kembali anjuran dan tindakan yang sama juga dikumandangkan lagi.....itu terus berulang seperti tak pernah selesai.

Memang tak semua karya yang ia hadirkan selalu bersifat kritik, ada beberapa karya yang lahir dari sejenis keluh kesah (kritisme dalam nada rendah) mengenai berbagai hal, misalnya tindak tanduk rekan-rekannya yang terlampau terobsesi. Sang teman tak sadar bahwa obsesi yang sedang dikejar dan diupayakan dapat mengakibatkan kemalangan yang bisa jadi kemalangan itu bakal berkepanjangan.

Teknis da pencitraan
Memang pada beberapa proses karyanya yang terdahulu, Gatot Pujiarto , banyak menampilkan figur yang imajinatif , bahkan komikal. Dalam sebuah pertemuan, saya menemukan jawaban atas pertanyaan, mengapa figur-figur yang imajinatif dan sering komikal itu mucul? Dalam pertemuan itu ia menyatakan bahwa: “kalau saya menggambar orang menganga, atau ikan menggigit, rasanya kalau hanya ditampilkan seperti apa adanya kurang enak, biasanya gigi ikan yang menganga itu saya ganti dengan struktur gigi harimau, sehingga kesan garangnya lebih terasa” .

Gatot menghadirkan figur yang imajinatif adalah sebentuk upaya untuk memberikan kekuatan metaforis. Teknis ini juga yang menyebabkan karyanya tidak tampil halus, manis tertib dan hal ini juga mejadi pembeda dengan para rekan seprofesinya di Malang yang pada umumnya halus, teknis pencitraan yang realistik. Bangunan simbol dalam beberapa karya memang telah lama dikenal dalam masyarakat seperti hitam dan putih untuk baik dan buruk, serta bentuk binatang (KDRT), untuk menunjukkan prilaku manusia yang buas dan brutal serta bentuk kepala buaya (Lelanange Jagad) sebagai simbol perayu. Pencitraan simbol yang distortif membuat simbol-simbol yang telah lama dikenal, menjadi tampak berbeda. Seolah-olah simbol lama itu dintensifkan dengan distorsi dan penggayaan.

Karya-karya berbahan kolase kain ini, secara teknis, butuh perhatian khusus terutama bagi Gatot yang mulanya banyak menggunakan medium cat. Perubahan-perubahan media dari cat ke kolase kain bukan sesuatu yang mudah, meski sering susah namun Gatot tak menyerah untuk berupaya menghasilkan citraan-citraan yang kurang lebih seperti pada saat ia menggunakan cat. Persoalan demi persoalan dilalui hingga menemukan beberapa jalan, salah satunya adalah upaya meredam warna yang terlampau terang pada saat menjadi bagian dari komposisi, upaya yang dilakukan adalah menemukan kain yang trasparan berwarna putih kemudian ditempelkan di atas warna yang dianggap terlampau terang. Teknis yang demikian menjadi teknis yang spesifik dalam menggunakan kolase kain. Keinginan untuk mereproduksi citraan seperti dalam penggunaan cat juga ia upayakan dengan menggunakan jahitan-jahitan benang. Semula benang-benang itu memang hanya diniatkan untuk menjadi penguat tumpukan kain di atas kanvas. Hadirnya benang-benang itu justru menambah penjelajahan garis yang menjadi-jadi layaknya membuat garis dengan torehan kuas atau tarikan pensil.

Gatot adalah termasuk seniman yang tidak jenak terhdap apa yang telah dicapai, karena itu penjelajahan-penjelajahan dari medium ke medium senantiasa terus bergulir. Seperti dalam pemilihan medium ini, prosesnya cenderung jauh dari kesan sekenanya karena memang proses ini dimulai dari beberapa langkah yaitu diawali dari kolase kertas diantara sampuan kuas, kemudian merambah pada kolase kertas tanpa sapuan kuas dan terus bergerak pada kolase kain.

Gatot Pujiarto, lahir di Malang, 6 Maret 1970. Tahun 1991 kuliah di IKIP Malang Jurusan seni Rupa S1 (lulus th. 1995).
Pameran:
Biennale Jatim, di Surabaya, th 2008; Pameran Bersama “Informo”, One Gallery Jakarta & Gracia Art Gallery 2006; Pameran Metamorphosis, Puri Gallery, Malang, th 2006; “After the Affair Art Project”, Puri Gallery Malang, th 2004; Oversized”, Kelompok Holopis Kuntul Baris di Surabaya, th 2002;
“Pameran Nusantara II”, TIM Jakarta, th 2002; Pameran Tunggal, Indoart, Malang, th 2000;
Gelar Akbar Seni Rupa Jawa Timur, di Surabaya, th 2000; Pameran Bersama Perupa Empat Kota di Benteng Vrederburg Jogja, 1998;
Pameran Bersama Pelukis Kota Malang, di Taman Budaya Solo, Museum Barli Bandung, dan TIM Jakarta, th 1998; Pameran Peksiminas, di Jakarta, 1996; Pameran Anak Negeri, Jogja, Surabaya, Malang, Bogor, th 1995; Aktif Pameran di HMJ Seni Rupa IKIP Malang, th 1991

Penghargaan: Juara III Pameran Peksiminas, 1996


Tidak ada komentar: