"PANCAROBA"
Painting Exhibition by I Nyoman Suyasa; I Wayan Gede Budayana; Tjokorda Bagus Wiratmaja
Penyelenggara:
Museum Dan Tanah Liat
Waktu Mulai:
07 November 2009 jam 19:35
Waktu Selesai:
14 November 2009 jam 12:00
Tempat:
Museum Dan Tanah Liat
Nama Jalan:
Menayu kulon no. 55 Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul
Kota/Daerah:
Yogyakarta, Indonesia
Artist :
I Nyoman Suyasa
I Wayan Gede Budayana
Tjokorda Bagus Wiratmaja
Opening by : M. Dwi Marianto
Performer : Slamet Man Band
---------------------------------------------------------------------------------
Muscle
Tanda-tanda banyak ditemukan di sekitar kita, di banyak tempat umum, tanda yang terwujud pada banyak media untuk menjadi sebuah sinyal bagi kehidupan bersosial, sebuah petunjuk untuk kegiatan sehari-hari maupun kegiatan momentum, baik secara individual ataupun bersamaan.
Sinyal yang muncul secara alami dan yang di buat sengaja oleh manusia, mempunyai fungsi yang sama sebagai acuan untuk beraktivitas yang mengarah pada keseimbangan sebagai salah satu jaminan kelangsungan hidup. Sinyal yang tercipta secara alami bisa ditemukan pada bintang di langit sebagai penunjuk arah hingga sebagai alat pengenal pada musim, begitupun pancaroba yang menjadi pemahaman akan pergantian musim.
Sinyal yang tercipta secara sengaja oleh manusia bisa ditemukan untuk acuan dalam kehidupan bersosial, dimana dalam hubungan antar manusia di butuhkan kesepakatan yang berasal dari kebiasaan yang sudah lama di lakukan secara umum untuk bisa memberikan keseimbangan dalam berinteraksi. Sebagaimana kita temukan lampu lalu-lintas terdiri dari tiga warna tercipta karena warna tersebut mempunyai perbedaan yang menonjol dari warna lainnya hingga secara umum manusia mudah memahami apa yang dimaksudkan dari warna tersebut.
Kebiasaan yang sudah lama dilakukan manusia dan menjadi terluaskan karena sebagian besar manusia yang lebih luas terbiasa dengan itu, hingga menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh masarakat umum. Tanda-tanda yang semakin akrab di lingkungan menciptakan keterbatasan pada dunia di sekitar kita dan kesadaran akan realitaspun semakin terasa setiap saat, pola berpikir yang terkungkung oleh banyak tanda atau sinyal untuk melakukan aktivitas dan menciptakan kreatifitas terbentur oleh kebiasaan yang tercipta dari sinyal yang merupakan hasil dari kebiasaan itu sendiri.
Menciptakan ide individual dan baru adalah hasil dari pemikiran manusia sebagai mahkluk yang kreatif dan imajinatif, banyak tafsiran dari sebuah hal merupakan peluang untuk membuka sebanyak mungkin tentang wacana, melihat sesuatu dari sebanyak mungkin sudut pandang, dan sebuah karya seni dapat memberi peluang tentang penafsiran yang tidak terbatas.
Dan karya seni dari tiga seniman yang tergabung dalam pameran lukis bertajuk pancaroba ini mengingatkan akan tanda-tanda alam yang di pahami oleh manusia untuk bisa melangsungkan kehidupan di muka bumi tanpa harus merugikan kehidupan mahkluk hidup lain dan selalu ingat akan sistem alam yang membutuhkan sifat perawatan tentang simbiosis mutualisme. Penyampaian tanda melalui karya seni merupakan hal yang kreatif dan imajiner, karena sebuah karya seni (lukis) dapat tampil dengan sedikit gambar namun mempunyai unsur narasi yang luas.
Sebuah karya lukis sebagaimana bisa terjadi seperti halnya lampu pengatur lalu-lintas, yang pada awalnya sangat asik untuk di nikmati karena sifat warnanya yang berbeda dan mudah di jadikan penanda untuk bersosial, namun karena banyak ditemui di jalan raya dan pergerakannya yang monoton menyebabkan lampu tersebut kehilangan nilai imajinatif dan tergantikan hanya sebatas rambu pengatur lalu-lintas semata.
Sebuah cerita yang terulang-ulang dan gambar sebagai media penyampai cerita tersebut juga mengalami pengulangan terus-menerus dapat mengakibatkan kebosanan yang akan mengurangi unsur kejut ataupun kesegaran yang menghilang dari estetika karya tersebut. Hal demikian bisa terjadi karena wacana yang terbentuk oleh sinyal yang mengatur kehidupan sosial, sinyal yang hanya menciptakan kesadaran tentang realitas.
Mungkinkah keterkungkungan berpikir yang merupakan hasil dari sinyal pengatur sosial dapat menjadi segar dan tidak membosankan jika kreatifitas dan imajinasi tidak terbentur atau berada di luar sinyal maupun kebiasaan dan tabu yang tersepakati di tatanan sosial? Apakah keterbatasan kita pada dunia sekitar kita membatasi kreatifitas dan imajinasi kita?
Mari kita cari bersama kesegaran kreatifitas dan imajinasi pada karya dalam pameran ini.....
30 oktober 2009
Yoyok MDTL
---------------------------------------------------------------------------------------
Keunikan dan Kekhasan tentang Pancaroba
Sampai sekarang ini lebih banyak orang yang mengatakan bahwa otak mempengaruhi dan mewarnai budaya sehari, ketimbang sebaliknya – budaya mempengaruhi otak manusia. Namun dalam berbagai studi, eksperimen, dan observasi melalui pemindaian atas peta-peta neuron di otak manusia (juga pada otak binatang) ditemukan fakta-fakta bahwa ternyata stimuli dari lingkngan dan budaya yang hidup dikitar seseorang sangat mempengaruhi pemetaan yang ada di otaknya. Kecenderungan untuk memakai ekspresi visual, simbol-simbol, dan metafor dalam berkesenian sangat dipengaruhi oleh apa yang merangsang pikiran dan perasaan sang seniman. Kita adalah apa yang kita tonton, atau apa yang kita dengar, atau apa yang kita serap dari gelaran-gelaran alam dan budaya melalui indra kita. Namun tidak berati kita hanya sebagai objek pasif yang dipengaruhi oleh apa yang mengejala. Sebagai manusia kita bisa memilih lingkungan macam apa yang sekiranya dapat membentuk otak kita. Kita dapat berpindah tempat, memilih teman, lingkungan sosial-budaya yang paling cocok untuk survival kita. Kalau keadaan tidak memungkinkan dilakukannya secara fisik, kita bisa membayangkan apa-apa yang kita inginkan itu secara imaginatif, untuk disugestikan kepada bawah-sadar kita. Ketika hasil pembayangan itu direpresentasi jadi karya seni, representasi itu harus dibuat menarik dan impresif bila ingin diingat orang; subjek yang mau direpresentasi itu harus dinyatakan secara khas, unik, dan dengan faktor-faktor pembeda yang menarik. Pendekatan hiperbolik atau karikatural sering dipakai untuk menyeberangkan suatu ide ke berbagai kelompok audience. Inilah kompleknya berkarya seni. Mudah membuat imaji-imaji secara visual, yang tidak mudah adalah membuatnya sebagai art dengan kekhasan dan partikularitas yang tak tertandingi.
Kali ini di “Museum & Tanah Liat” hadir tiga perupa yang semuanya kelahiran Bali, menghadirkan karya-karya lukis mereka dalam satu pameran bertajuk “Pancaroba”. Mereka adalah I Wayan Gede Budayana (kelahiran Singapadu, 1984), Nyoman Suyasa (kelahiran Badung, 1976) dan Tjokorda Bagus Wiratmaja (kelahiran Ubud, 1984). Gede Budayana menampilkan karya-karya yang melukiskan berbagai aktivitas keseharian secara ekspresif. Keakuratan anatomi, struktur, dan tampilan manusia-manusia secara keseluruhan tidak dilukiskan secara representasional, melainkan dengan tampilan-tampilan visual yang dinyatakannya secara ekspresif. Ia cenderung menggambarkan impuls-impuls tentang realita keseharian secara bebas. Detil-detil olehnya tidak dibuat secara apa adanya, melainkan mengikuti impuls-impuls spontan yang selalu bergrak dalam diri, untuk dipetik sejenak agar dapat dibekukan sebagai suatu image, lalu direpresentasi kembali secara bebas dan spontan.
Nyoman Suyasa menampilkan karya-karya yang ide-ide dasarnya dipetik dari refleksi-refleksinya atas relasi antara manusia dan lingkungan kultural dan lingkungan alam sekitarnya. Lebih spesifik lagi ia melukiskan insight-insightnya akan hubungan yang saling menguntungkan antara manusia dan lingkungan alam, walaupun sebenarnya yang terjadi tidaklah demikian, karena semakin lama manusia telah menjadi terlalu eksploitatif terhadap alam. Sebaliknya, Tjokorda Bagus Wiratmaja bersikap jauh lebih kritis terhadap perlakukan manusia terhadap alam, dan kecenderungan budaya manusia secara global merusak dan mencemari alam sehingga mengancam kesinambungan ekosistem.
Mereka bertiga tampil bertiga, menjadi subjek yang ingin menampilkan karya-karya yang secara langsung maupun tidak adalah representasi dari pemahaman mereka akan dunia yang menggejala seperti sekarang ini. Berpameran boleh memilih tajuk, cara mempresentasi, dan memilih strategi positioning serta marketing sendiri. Namun ada salah satu point strategis yang tidak boleh dilupakan, yaitu poin-poin, atau aspek-aspek, atau kebolehjadian-kebolehjadian yang khas dan partikular yang harus disoroti pada subjek-subjek yang akan diangkat jadi karya. Apakah subjek itu tentang aspek psikhologis manusia, atau tentang relasi antara manusia dan dunia, atau tentang hubungan mutualis simbiosis antar makhluk hidup dan lingkungan alam, apapun ujud dan sifatnya, poin-poin atau area-area yang mau disoroti dan diangkat jadi karya haruslah sesuatu yang unik, khusus, dan menawarkan suatu kejutan.
Salah satu masalah dari berpameran adalah menampilkan suatu yang segar, lebih menarik dan imaginatif. Tentu saja ini bukan perkara sederhana. Selamat berpameran.
M. Dwi Marianto
---------------------------------------------------------------------------------------
PANCAROBA
Ruang dan Kerja Seniman
Dua hari sekembali dari Bali, tiba-tiba sobat saya, I Wayan Gede Budayana (Yande), bertandang ke rumah. Seperti biasa kami tenggelam dalam perbincangan, ngalor-ngidul entah mana ujung-pangkalnya, sampai kemudian dia mengungkapkan sebuah ungkapan yang selama ini hanya menjadi angan-angan dalam setiap perbincangan kami. Yaitu rencana dia bersama Tjok. Bagus Wiratmaja (Coki) dan I Nyoman Suyasa (bli Kaca) untuk menggelar pameran bersama karya-karya terbaru mereka. Di tepi perbincangan itu dia menitipkan sepenggal kata yang dipilih sebagai judul pameran mereka “pancaroba”.
Ada apa dengan pancaroba?
Pancaroba, untuk sesaat pikiran di bawa pada hal yang berbau lingkungan dan fenomena alam. Memang dalam pengertian umum pancaroba terkaitkan dengan kondisi iklim. Pancaroba merupakan batas peralihan dua musim yang berbeda yaitu musim panas dan musim hujan. Pada masa ini, seperti yang tengah kita alami, sering terjadi perubahan cuaca dari terik matahari yang panas di musim yang sudah masuk pada kemarau menjadi hujan lebat kadang disertai petir dan angin ribut dengan udara yang tiba-tiba dingin. Demikian sebaliknya. Suhu udara jadi sering berganti. Pagi dan malam hari yang biasanya dingin menjadi terasa sangat panas, gerah, tidurpun bermandikan keringat. Kondisi seperti ini menuntut untuk mampu beradaptasi dengan cuaca.
Namun di sini, Pancaroba coba saya perluas jangkauannya, tidak hanya berhenti pada pergantian musim. Pancaroba sebagai masa peralihan, juga dapat diartikan sebagai suatu ruang. Ruang yang terbentuk oleh kesadaran akan adanya dinamika. Bahwa hidup adalah proses, yang penuh dengan perubahan, bukan sesuatu yang statis. Tidak ada sesuatu yang langgeng atau abadi. Lahir - tumbuh - mati, anak kecil - dewasa - tua adalah contoh adanya tahap-tahap perkembangan itu. Dari setiap tahapan perkembangan akan memunculkan tahap peralihan. Tahap peralihan memiliki karakter yang sangat khas, yang terkondisikan oleh tarik-ulur antara dua wilayah yang berbeda. Dapat dikatakan tahap peralihan dapat memunculkan suatu ruang tersendiri. Ruang peralihan inilah yang ingin saya sebut sebagai ruang pancaroba.
Meminjam konsep Victor Turner, titik ini sering disebut dengan istilah liminoid. Hal ini menunjuk pada kondisi yang terbedakan dengan keadaan normal atau terbebas dari rutinitas. Keadaan ambigu menjadi ciri khas tahap ini. Liminal berarti ambang pintu. Berarti dia tidak di sini, dan juga tidak di sana (Winangun, 1990). Ikatan-ikatan, sistem mapan dan aturan-aturan baku hampir ditiadakan, kondisi ini cenderung mengarah pada posisi anti-struktur.
Ruang pancaroba: ruang kerja seni
Belakangan penyelenggaraan pameran tampak semakin marak nan meriah. “boom” seni rupa yang kembali singgah dan menggelegar dengan kuat tentu menjadi salah satu alasannya. Hal ini menjadi kondisi yang mengembirakan pada sebagian insan yang berkecimpung di seni rupa. Selain meningkatkan frekuensi pameran, terjadinya “boom”, juga memicu tumbuhnya galleri-galleri dan ruang-ruang seni, pertumbuhan seponsor pameran, dan bertambahnya kolektor seni. Di samping itu, terlihat bertambahnya seniman yang terlibat, peningkatan luar biasa harga lukisan, dan sejumlah gejala lainnya seperti pelelangan lukisan, pemalsuan dan pencurian lukisan dll.
Maraknya pameran dapat mengindikasikan bergairahnya kerja seniman. Kerja seniman, dihubungkan dengan kemampuan untuk mencipta karya seni. Pekerjaan yang tadinya dipandang sebelah mata, sekarang semakin banyak digauli. Bahkan sebagian tidak ragu-ragu memilih kerja ini sebagai sebuah profesi. Profesi dalam kaitan kerja seni masih merupakan istilah baru. Dalam pandangan “masyarakat awam”, kerja seniman dianggap sebagai kerja sampingan. Dalam tradisi masyarakat kita, kesenian hanya disebut sebagai kelengkapan manusia; seorang gadis yang berpendidikan di Jawa di masa lalu harus bisa membatik, dan di Bali harus dapat menari dll. Maka lebih tepatnya hal itu dianggap sebagai suatu kemampuan khusus, dan jelas bukan mata pencaharian (Soedarso sp.,2006). Tetapi tidak sedikit pula pendapat yang menyebutkan kerja seniman sebagai kegiatan bermain-main. Membuat corat-coretan di kanvas, bergumul dengan aneka warna, menciptakan bentuk-bentuk baru yang kadang aneh, lucu atau tidak dapat dikenali.
Kerja seniman lebih dekat dengan “permainan”. Konsep tentang “permainan” menjadi menarik karena dia sesungguhnya elemen dasar kebudayaan. Permainan itu merupakan aktivitas yang bersifat bebas, tanpa tekanan, mengalir begitu saja, tanpa instruksi; kalaupun ada aturan, aturan tidak juga menghilangkan kebebasannya, sebab pemain (seniman) memilih sendiri masuk dalam aturan, dan ia bermain di dalam aturan (Simon, 2006).
Permainan dapat dikaitkan dengan gagasan mengenai “pekerjaan intelektual”, kontemplasi, perayaan, kreativitas, dan inovasi. Kerja seniman yang terkesan bermain-main adalah pekerjaan intelektual yang memiliki posisi strategis dalam kehidupan manusia. Namun dalam pandangan masyarakat, kerja seni terkesan eklusif dan berbeda. Pandangan ini ternyata tidak hanya berkembang pada jaman sekarang, tetapi sudah sejak kelahirannya kesenian di tempatkan pada posisi yang berbeda. Dia adalah anugrah yang istimewa yang dimiliki manusia. Anggapan nyeleneh, agak sedikit gila, bentoyongan, sudah terbiasa didengar. Memang sebaiknya kerja seni diletakan pada ruang berbeda, di sini saya ingin menyebutkan kerja seni adalah kerja di ruang pancaroba.
Dalam ruang pancaroba inilah kerja seni dilakukan. Sesuai dengan karakternya, pancaroba menawarkan peluang yang sangat terbuka bagi munculnya kreativitas, sikap kontemplatif, maupun revolusioner. Di sini kerja seni berpeluang menjadi agen perubahan, perbaikan dan penyadaran dalam kehidupan manusia. Karya seni dapat berfungsi sebagai pencair terhadap kondisi yang membatu, memberikan penyejukan atau melehkan baja nan keras. Karena hanya lewat medan kesenian kita bisa masuk dan bermain-main dalam ranah yang sensitif, tabu, atau transendental yang memang sulit untuk dibicarakan secara verbal. Hanya kerja seniman yang bisa mengangkat tempat kencing ke ranah intelektual, seperti yang dilakukan Marcel Duchamp. Kerja seni di ruang pancaroba adalah kerja yang menekankan sensibilitas, dinamika, pemberontakan, kekaguman dan kegelisah-kegelisahan yang dirungkapkan lewat karya seni.
Hal seperti itulah juga tercermin pada karya sobat-sobat saya ini. Secara konseptual, ketiga perupa ini berangkat dari titik tolak yang hampir sama. Ide-ide dan goresan karya mereka menyiratkan pergerakan dalam ruang pancaroba. Pertanyaan-pertanyaan, kontemplasi, kegelisahan akan realitas sosial dan alam yang ditemui, mereka curahkan ke dalam bentuk karya seni.
Berkunjung ke studionya coki, dari luar, halaman rumahnya yang sempit tampak hijau ditumbuhi tanaman. “saya merindukan kondisi lingkungan alam seperti ketika saya masih anak-anak” katanya mengenang kondisi lingkungan alam di masa kecilnya yang masih asri. Masuk ke dalam studionya, mata ini disergap dengan visual ikan. Objek ikan terlihat pada setiap karya yang terpajang di setiap sudut dinding rumahnya.
Mengapa Ikan? Menurut dia, ikan sebagai penghuni dunia air, sedang dalam keadaan yang menyedihkan. Eksploitasi manusia terhadap laut semakin menjadi-jadi. Hanya untuk memenuhi kebutuhan industri, manusia berlomba-lomba memperkosa kehidupan di laut.
Dalam karyanya, Coki memakai ikan tidak cuma sebagai ikan yang ditempatkan pada habitatnya. Objek ikan dia coba tempatkan dalam berbagai kondisi atau ruang. Pada satu karyanya dia menghadirkan ikan pemangsa, piranha, di dalam sebuah tabung televisi. Ikan piranha yang dikenal ganas dan rakus, terekam pada layar kaca berlatar merah. Kotak televisi ditempatkan di atas pagar kayu usang kecokelatan, antenna kembar berbentuk “v” terpasang menyerupai tanduk. Dari batang antena logam itu tumbuh beberapa ranting pohon yang tengah merangas, menyisakan beberapa helai daun. Di belakangnya suasana tampak mencekam, dari kejauhan samar-samar siluet bangunan pabrik tinggi menjulang dengan tiga cerobong asap yang terus mengepul asap pekat menutupi langit yang tidak lagi biru. Karya ini diberi judul World Look Like Piranha. Suatu bentuk kegelisahan akan keserakahan manusia atas kepenting-kepentingan yang tersajikan lewat hegemoni informasi media massa.
Manusia dan tumbuhan menjadi objek sentral pada karya-karya bli’Kaca. Bapak yang tengah menunggu kelahiran buah hatinya, memiliki titik tolak yang hampir sama dengan Coki, dia memperkarakan manusia dan lingkungan alamnya. “Para pemimpin seluruh dunia selalu berwacana tentang pentingnya perhatian terhadap keberlangsungan lingkungan alam, seminar yang menghamburkan jutaan dollar terlalu sering dilakukan, namun realitasnya penganiayaan terhadap alam terus terjadi” katanya, ketika saya kunjungi di studionya.
Pada satu karyanya, bli’Kaca menghadirkan sejumlah sosok wajah manusia, terkelompok, terangkai, menyembul pada batang-batang pepohonan yang layu, kering kecoklatan, dengan akar tidak menyentuh tanah. Bangunan beton buatan manusia telah menutup setiap jengkal tanah sebagai harapan kehidupan pohon. Dengan kalimat seru, karya ini diberi judul “di Mana Aku Tumbuh”. Karya ini memperlihatkan kegundahan bli’Kaca atas realitas yang pernah dialaminya. Pada karya-karya yang lain, dia ingin mengingatkan kepada kita bahwa manusia dan tumbuhan diciptakan untuk selalu berdampingan dan membutuhkan.
Sobat saya yang terakhir, Yande, pada karyanya terlihat kekuatannya dalam bergulat di ranah mental dan emosi manusia. Si-rambut gimbal ini mengaku sumber idenya berasal dari pengalaman pribadi dan dari pribadinya sebagai mahluk sosial. Setiap lembar demi lembar karya drawingnya, tampak tebaran tubuh-tubuh dalam beragam pose. Di sini dia mencoba bermain-main dengan tubuh dan identitas. Tubuh memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia, melalui dan dengan tubuh manusia hadir, mengenali dan dikenali serta berpartisipasi di masyarakat. Tubuh dapat dibagi dua yaitu tubuh fisik dan tubuh sosial. Tubuh fisik adalah ciri yang melekat sejak lahir, sedangkan tubuh sosial adalah tubuh yang terberikan oleh kontruksi sosial. Sehingga secara pasih kita mengenal dualistik, laki-laki dan perempuan, beserta identifikasi prilaku dan bentuk fisik tertentu yang melekat atau dilekatkan.
Pada beberapa karya Yande, dapat dilihat adanya usaha mempermainkan identifikasi atas tubuh. Seperti pada salah satu karyanya, dia menampilkan dua sosok tubuh. Satu, tubuh memakai atribut wanita: dadanya dibungkus dengan “BH” dan mengenakan “CD” bermotif “renda”, tetapi secara fisik sosok ini bertubuh kekar dengan bulu dada lebat dan kumis tebal. Di sisi lain tubuh satunya dihadirkan bertelanjang dada, kebiasaan yang dilakukan oleh laki-laki, tetapi secara fisik tubuh sosok ini tampak halus, dengan buah dada menonjol layaknya wanita, di sampingnya ada meja beserta pas bunga yang tak berbunga. Lewat karya ini Yande sepertinya mencoba mengangkat suatu polemik yang bagi kebanyakan orang tabu untuk dibicarakan, yaitu mengenai cross gender: dimana karakter perempuan diperankan laki-laki, atau karakter laki-laki diperankan wanita. Karya ini diberi judul “Polemik Identitas”
Pembahasan di atas dapat menegaskan medan kerja seniman terletak pada ruang pancaroba. Ruang anti-struktur yang penuh dengan letupan-letupan energi kreatif, energi segar dan baru. Seperti dikatakan Sutton Smith: “Struktur normatif mencerminkan keseimbangan yang berlaku, “anti-struktur” mencerminkan potensi sistem tandingan yang terpendam, yang kebaruannya akan muncul saat keadaan sistem normatif memintanya. Kita dapat menyebut sistem kedua ini secara lebih tepat sebagai sistem protokultural karena ia adalah cikal bakal bagi bentuk-bentuk pengaturan yang inovatif. Ia merupakan sumber bagi budaya baru” (Marvin Carlson, 1996).***
W. Agus Eka Cahyadi “gatef”
---------------------------------------------------------------------------------------
BIODATA
Nama : I Nyoman Suyasa
Tempat/tgl.lahir : Bali, 16 Juli 1976
Alamat : Rt.03, Desa Geneng, Sewon, Bantul, Yogyakarta
: Br. Langon, Ds. Kapal, Mengwi, Badung Bali
Pendidikan : ISI Yogyakarta
Hp : 0818253085
KONSEP KARYA
Manusia diciptakan memiliki rasa cinta dan kasih sayang terhadap sesama manusia, terutama terhadap lain jenis karena kewajiban manusia adalah meneruskan keturunan. Dengan rasa cinta, kasih sayang dan kerinduan yang dimiliki manusia selanjutnya menimbulkan perasaan senang, simpati dan akhirnya timbul rasa cinta (asmara). Di dalam kehidupan asmara pasti menghadapi permasalahan baik itu suka maupun duka yang merupakan suatu keajaiban yang sangat romantis di dalam kenyataan.
AKTIVITAS PAMERAN
1994
• Pameran bersama SMSR di Taman Budaya Bali
1995
• Pameran bersama “Pelukis Citra Bali” di Ubud
1998
• Pameran bersama “Sanggar Dewata Indonesia” di Benteng
Vredeburg Yogyakarta
• Pameran para seniman Kab. Badung di gedung PWI Bali
1999
• Pameran bersama “Pratisara Afandi” di Gallery ISI Yogyakarta
• Pameran Detik96 di Benteng Vredeburg Yogyakarta
• Pameran jelang Millenium di Hotel Natur Garuda
• Pameran FKY XI di Benteng Vredeburg Yogyakarta
• Pameran SDI di Museum Bali
• Pameran bersama di DPD REI Bali
2000
• Pameran bersama “Paramitra” di Galllery Mon Décor
Yogyakarta
• Pameran bersama Perupa Muda di Purna Budaya Yogyakarta
2001
• Pameran bersama kelompok Benang-benang 96 “BRUMBUN” di
Purna Budaya Yogyakarta
• Pameran bersama SDI di Galeri Nasional Jakarta.
• Pameran FKY XII di Benteng Vredeburg Yogyakarta
• Pameran bersama Benang-benang96 di Sika Galeri, Ubud Bali
• Pameran bersama “Globali” di Galeri Gelaran Yogyakarta
2002
• Pameran FKY ke XIV di Sociatet Militer Yogyakart
• Pameran bersama SDI di Gedung Sositet Taman Budaya Yogyakarta
• Pameran bersama “Diversity In Harmoni” di Gedung Sositet Taman
Budaya Yogyakarta
• Pameran bersama Ayah (I Wayan Beratha Yasa) “Father & Son” di
Hotel Matahari Resort Buleleng Bali
2003
• Pameran Sanggar Dewata Indonesia di Museum Neka
• Pameran bersama “Pratisara Adikarya Affandi” di Gallery ISI
Yogyakarta
2004
• Pameran Benang-benang 96 di Santi Gallery Jakarta
2005
• Pameran “Bali Neng Rasa” di Balai Roepa Tembi
2006
• Pameran “Ruang dan Rasa” di Sika Art Gallery
2007
• Pameran bersama HUT Bali TV ke-5 di Gedung Bali TV
• Pameran Father & Son di Hotel Tropic Nusa Dua Bali
2008
• Pameran bersama Sanggar Dewata Indonesia “Re Inventing Bali” di
Sangkring Art Space, Yogyakarta
• Pameran Bali Art Now “Hibridity” di jogja Galery
SOLO EXHIBITION
2008
• Pameran “Titik Balik”, V-Art Gallery, Yogyakarta
---------------------------------------------------------------------------------------
Nama : I Wayan Gede Budayana
Tempat/tgl.lahir : Singapadu , 25 April 1984
Alamat : Br. Mukti, Singapadu, Sukawati, Gianyar, Bali.
: Ds, Jomblang, Ngireng-ngireng, Rt 7, Sewon, Bantul,
Jogyakarta
Telp : 0817260574
KONSEP KARYA
Segala kejadian, fenomena dalam lingkaran prilaku, sikap disfungsi sosial atau yang menyangkut penyimpangan sosial yang melibatkan komponen individu dan masyarakat dalam kehidupan keseharian semisal pelacuran, pencopet, pengemis, pengamen jalanan, kekerasan atau kriminalitas dan lainnya. Kota Jakarta sebagai sebuah kota yang Hedonis mempunyai banyak referensi kehidupan yang menyimpan berbagai prilaku – prilaku disfungsi tadi. Berjuta fakta telah terungkap melalui berbagai media yang menceritakan keadaan lingkungan sosial yang mempengaruhi pola pikir serta prilaku masyarakat penghuni kota – kota besar. Tanpa harus menutup mata permasalahan atau fenomena sosial seperti ini masih ada di kehidupan masyarakat perkotaan yang notabene sangat besar. Bisa kita lihat prilaku penyimpangan ini tak hanya dilakoni oleh masyarakat pinggiran sebagai simbolis masyarakat yang terhimpit dilema kemiskinan, melainkan juga para pejabat yang notabene adalah orang -orang yang mewakili rakyat untuk mempertahankan eksistensi sebuah bangsa, kedamaian serta kemakmuran masyarakat itu sendiri. Tapi lain hal yang terjadi malah banyak pejabat yang menjadi artis film porno atau menjadi pemain dalam cerita lama tukang korupsi bagi – bagi duit rakyat. Banyak membahas tentang kesejahteraan rakyat, tapi ujung- ujungnya duit untuk kesejahteraannya sendiri. Jadi prilaku mereka sama sekali tidak mencerminkan seorang wakil rakyat. Melainkan pelaku disfungsi sosial yang mempengaruhi keseimbangan sikologi lingkungannya sendiri. Dan mereka tak ada bedanya dengan para pelaku kejahatan di jalanan, hanya saja sekopnya lebih besar dan lebih biadap.
AKTIVITAS PAMERAN
2008
• Pameran bersama Sanggar Dewata Indonesia “REINVENTING BALI”
di Sangkring Art Speace, Yogyakarta
2007
• Pameran bersama Kelompok KAYON “ Beauty In The Beast” Toko
Buku Gramedia, Solo
• Pameran bersama “ Desa Kala Patra” di V ART Galeri, Yogyakarta
2006
• Pameran bersama Sanggar Dewata Indonesia “ Kepala Busuk”
Taman Budaya Art Center, Denpasar, Bali.
• Pameran bersama Sanggar Dewata Indonesia “ Having Fun” Galery
Langgeng, Magelang.
2004
• Pameran bersama “NGERUMPI DI MALL” di Intro Plaza Magelang.
• Pameran “HAVING FUN” Bersama Sanggar Dewata Indonesia di
Galery Langgeng Magelang.
2003
• Pameran Sketsa di gedung FSR ISI Yogayakarta
• Pameran bersama Kelompok Lampu Andong di Benteng Vredeburg
Yogayakarta.
• Pameran Seni Rupa “Borobudur International Festival” di Magelang.
• Pameran bersama Sanggar Indonesia, “TERMOGRAM” di Museum
Neka Bali.
Penghargaan
• Sketsa Terbaik FSR Seni Murni Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
---------------------------------------------------------------------------------------
Nama : Tjokorda Bagus Wiratmaja
Tempat/tgl.lahir : Ubud, 17 Februari 1984
Alamat : Br, Kebon, Puri Kariasa, Singapadu, Sukawati,
Gianyar, Bali.
: Ds, Jomblang, Ngireng-ngireng, Rt 7, Sewon, Bantul,
Jogyakarta
Telp : 081337119544
E- mail : Lordkasta1@yahoo.co.id.
KONSEP KARYA
Pada masa ini banyak stetmen menyatakan bahwa kita berada pada musim yang tidak menentu karena ulah dari manusia yang terlalu berlebihan dalam memaanfaatkan dan mengolah alam sehingga alam menjadi rusak atau dikenal dengan istilah global Warming. Alam memiliki peranan penting di dalam kehidupan manusia. Saat ini alam telah menjadi salah satu lahan untuk menopang pertumbuhan ekonomi, politik dan tempat manusia bersosialisasi. Kehidupan sosial di masyarakat berdapak pada ketidak seimbangan antara penggunaan dan pemeliharaan alam itu sendiri. Manusia terlalu egois dalam penglolaan alam dan juga dalam berkehidupan antar manusia sehingga sangat merugikan kdua belah pihak.
AKTIVITAS PAMERAN
2008
• Pameran bersama Sanggar Dewata Indonesia “REINVENTING BALI”
di Sangkring Art Speace, Yogyakarta
• Pameran bersama “BALI ART NOW” di Jogja Galery, Yogyakarta
2007
• Pameran bersama Kelompok KAYON “ Beauty In The Beast” Toko
Buku Gramedia, Solo
• Pameran bersama Lana Gallery di Hotel Melia Purosani
2006
• Pameran bersama “Pratisara Afandi Adi Karya” di SOKA gallery
Jakarta
• Pamrean berama LANA GALERY di Hotel melia Purosani Yogyakarta.
• Pameran bersama Sanggar Dewata Indonesia “ Kepala Busuk”
Taman Budaya Art Center, Denpasar, Bali.
• Pameran bersama Sanggar Dewata Indonesia “ Having Fun” Galery
Langgeng, Magelang.
2005
• Pameran bersama kelompok BACPECKERS “PORTION” di Galery
Sembilan, Bali.
• Pameran bersama International Momen’s Day” di Taman Budaya
Yogayakarta.
• Pameran bersama “BAR MOLOR” di Lotus II, Magelang.
• Pameran baersama PORTAL dalam “HERO” di dewan kesenian
Malang.
2004
• Pameran bersama “NGERUMPI DI MALL” di Intro Plaza Magelang.
• Pameran bersama Kelompok Ujung Lontar “Antara Muka dan
Topeng” di Taman Budaya Tembi yogayakarta dan Taman budaya
Surakarta (solo).
• Pameran FKY “BARCODE” di Gedung Taman BudayaYogayakarta.
• Pameran Pekan Seni Mahasiswa Nasional di Kampus Sanata Dharma
Yogayakarta.
• Pameran “HAVING FUN” Bersama Sanggar Dewata Indonesia di
Galery Langgeng Magelang.
• Pameran bersama Kelompok Bekpeckers di Hotel Maharani, kuta
Bali.
• Pameran bersam Kelompok Ujung Lontar “OPRASIONAL IQ” di
Taman Budaya Solo.
2003
• Pameran sketsa tokoh dalam harlah FSR ISI Yogyakarta, 53, di
Galeri ISI yogya
• Pameran Sketsa di gedung FSR ISI Yogayakarta.
• Pameran bersama Kelompok Lampu Andong di Benteng Vredeburg
Yogayakarta.
• Pameran Seni Rupa “Borobudur International Festival” di Magelang.
• Pameran bersama dengan Kelompok Akar Bambu di Godean
Yogyakarta.
• Pameran islami menyambut Lebaran di Galeri ISI Yogyakarta.
• Pameran bersama Sanggar Indonesia, “TERMOGRAM” di Museum
Neka Bali.
Penghargaan
• Sketsa Terbaik FSR Seni Murni Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
• Juara II Pekan Seni Mahasiswa Nasional (PEKSIMINAS) se
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar