pameran tunggal CORNELIUS DELANEY
"WERUH SADURUNG WANARA"
Penyelenggara:
Jatiwangi art Factory
Waktu Mulai:
14 Desember 2009 jam 10:00
Waktu Selesai:
27 Desember 2009 jam 0:00
Tempat:
J a F gallery
makmur 604
Jatiwangi, Indonesia
WERUH SADURUNG WANARA
Pelukis Jerman, nama Gerhard Richter berkata: “Kami ketahui lukisan kami tidak akan memperbaiki dunia, tetapi kami masih harus membuat lukisan seperti bisa memperbaiki dunia.”
Saya sendiri tidak mau menjelaskan lukisan saya. Mungkin lebih baik kalau saya berkata tentang apa yang terjadi dan apa pikiran saya selama saya melukis. Karya saya adalah sebuah hasil dari pengamatan dan percakapan dengan orang lain. Mungkin ini adalah kolaborasi. Dan saya juga tidak mau berkhotbah untuk semua orang dengan lukisan saya; tanggung jawab saya adalah membuat lukisan. Tetapi, saya percaya seni adalah seperti sebuah senjata dan seorang seniman harus mengunakan humor, kecantikan atau ironi untuk membuka dan melebih-lebihkan kebohongan juga kesalahan di dunia yang dia lihat.
Gagasan dan gambaran sering membuat saya heran karena gagasan itu datang kadang terdengar sedikit aneh dan tak masuk akal, tetapi jika saya mempercayai mereka, mereka sering mempunyai cerita untuk saya. Orang lain yang melihat lukisan mungkin pikir cerita berbeda. Tetapi cerita berbeda ini bisa mengilhami lukisan saya, dan menolong saya untuk mengkonsolidir gagasan dan tema di karya saya. Harapan saya gagasan dan diskusi ini akan mendapatkan hasil yang lebih.
Ketika saya sedang di Bali tahun yang lalu, saya melihat statua dan topeng setan yang diukir di kayu dan saya bertanya-tanya bagaimana saya bisa membuat terjemahan yang ini untuk menjadi setan Australi. Di Jatiwangi mungkin setan "Bule" ini sudah berubah bentuk menjadi sebuah peran di pertunjukan Wayang, dengan bercerita penuh canda tapi masih mengingatkan kita tentang bahaya globalisasi dengan kebudayaan konsumen.
Dan saya sekarang di Indonesia saya mau melihat monyet karena di Australi tidak ada monyet. Ini adalah sesuatu baru untuk saya seperti orang Indonesia melihat kangguru. Saya memberi kacang juga kepada segerombolan monyet di Plangon Cirebon. Setelah itu saya kembali ke sanggar membuat rentetan lukisan dari foto-foto yang sudah saya buat. Kemudian, saya mendengar antara Sumedang dan Cirebon adalah tempat monyet dan kramat juga. Tempat di mana orang bisa pergi dan menginginkan sesuatu seperti mau cepat punya jodoh, kekayaan atau kesehatan. Di kramat itu mungkin dapat mengabulkan keinginannya. Saya pikir monyet di kramat itu juga bisa mengabulkan keinginan adalah metafora menarik untuk pemasaran yang konon katanya kini masih berkembang.
Ketika saya mulai melukis saya pikir juga, pemasaran ini mencoba menjual impian kepada kita; tentu saja, impian itu adalah dusta dan sudah bukan rahasia umum lagi. Tetapi, mereka masih juga melakukan hal ini. Kita ketahui konsumerisme tidak bisa dipertahankan lingkungan alamnya, tetapi, kita masih membeli dan mereka masih menjual. Seperti sekarang perusahaan besar baru yang berpindah ke negera lain, seperti India, di mana mungkin perkerja di bayar murah dan tidak ada pembatas kuat atas industri yang mengandung polusi yang membahayakan.
Apakah ekonomi global (yang padahal hanya cara basa-basi untuk merujuk pada kartel perusahaan super-kaya sangat kuat dan dengan rencana membahayakan) menghancurkan kebudayaan lain tanpa diskusi sebelumnya? Seperti bandara internasional mungkin akan cepat dibangun dan akan banyak benda-benda baru yang berkilauan dari toko baru yang berkilauan juga. Tetapi pertanyaan saya, apakah identitas dan hak orang desa harus melepaskan agar supaya barang-barang baru dan toko baru ini bisa masuk desa? Yang selalu harga tersembunyi dan konsumen (atau lebih tepatnya “warga”) harus membayarnya tanpa basa-basi lagi.
Saya ingin bertanya, apakah penjajah sudah meninggalkan Indonesia? Atau mungkin penjajah lain yang dipakaikan di topeng datang untuk memperkosa hak dan kebebasan bangsa Indonesia dengan janji hampa seperti kulit halus, gigi putih dan makanan instan? Apakah demokrasi sejati ditukar untuk pilihan konsumen seperti ini?
Saya pernah mendengar cerita dari India konon katanya. Di Neraka orang diberi sendok dengan tangkai panjang dan mereka tidak bisa makan sendiri. Tetapi di Surga, mereka diberi sendok yang sama. Orang bisa menyuapi makanan satu sama lainnya. Di Australi, saya percaya kami masih mencoba makan sendiri. Dan kami tidak mempunyai rasa komunitas seperti di Jatiwangi. Kami tidak biasa saling sapa dengan tetangga. Karena, masing-masing mempunyai TV besar untuk menyilaukan kami dari dunia ini. Kami tidak saling kenal dengan tetangga karena mereka tidak selalu menetap dan selalu berpindah-pindah rumah. Dan orang orang yang memiliki rumah, hidup di kota lain dan mereka menyewakannya dengan harga mahal untuk orang orang lokal. Juga banyak keluarga-keluarga berantakan atau berpisah dengan orang tuanya. Barangkali ini akibatnya kebanyakan orang menderita depresi dan banyak juga anak muda bunuh diri. Mungkin di negera saya seperti cerita Neraka dari India.
Di kota kecil Australi. Enam belas tahun yang lalu kota itu dekat pantai dan masih asli sunyi. Kota itu malas dan lambat juga pada malam hari yang panas orang bisa tidur nyaman di pantai. Tetapi sekarang wisatawan datang dari penjuru dunia. Dan dengan cepat orang orang di kota itu merespon dan pelayan melayani wisatawan kaya saja. Juga ada yang menyewakan rumah menjadi sangat mahal. Jalan raya baru dari Brisbane dibangun di seberang persawahan dan hutan untuk supaya lebih banyak orang datang ke daerah tersebut. Bisnis luar biasa ini menjadikan kota kecil gaduh, penuh-sesak dan mahal. Seperti di Bali, orang lokal sudah menjadi warganegara kelas dua sedangkan wisatawan adalah kelas satu, tapi kalau disadari wisatawan akan kembali meninggalkan kota itu karena liburan sudah berahir.
Dari pengamatan saya selama saya tinggal di Jatiwangi dua bulan, saya melihat disini orang saling membantu dan gotong-royong. Saya melihat anak muda dan mudi saling mengisi dengan hormat, bermartabat dan penuh percaya diri. Ini membuat saya terharu. Di mata saya, Jatiwangi adalah kota yang masih asli dan asri kaya dengan segalanya, tetapi saya merasa risi bila kebudayaan konsumen dari perusahaan besar akan mempengaruhi kota ini juga.
Saya tidak mau menyokong bahwa orang harus menolak atau dicabut pembaharuan teknologi. Tetapi, pemimpin komunitas harus pikir bijak untuk masa depan yang masih panjang. Mereka harus pikir tentang manfaat yang benar untuk komunitas. Tidak cuma untuk perkembangan saja. Bila sistem setan (seperti Kapitalisme tanpa pembatas) masih berkeliaran kita akan sulit untuk menggantikannya dan bagaimana cara untuk mencegahnya.
Dan benar seseorang di sini mengatakan kepada saya: “weruh sadurung wanara”, atau, mengetahui sebelum monyet. Saya pikir kita harus, karena arus globalisasi sudah membuat semua manusia di dunia sama.
Cornelius Delaney
Jatiwangi
Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar