Jumat, 26 Maret 2010

Pameran Seni Rupa "Oasis To Be"



Pembukaan Kamis, 25 Maret 2010, pkl 19.00 wita
Pameran sampai 10 Mei 2010
Maha Art Gallery
Club House Bali Beach Golf Course (Sector)
Jl. Hang Tuah 58 Sanur

Seniman:
Affandi
Mella Jaarsma
Titarubi
Nyoman Erawan
Jompet Kuswidananto
S.Teddy D.

Kurator: Afrizal Malna

Pameran-pameran senirupa kini, sudah menjadi kian umum
membawa sebuah tajuk berdasarkan tema-tema tertentu, dan membuat pameran tersebut menjadi “pameran pernyataan”. Ini terjadi untuk pameran tunggal maupun pameran bersama. Tetapi sering juga terjadi, antara tajuk pameran dengan karya yang dipamerkan, ternyata tidak cukup terjadi kaitan signifikan antara keduanya. Ini hanya semacam prolog ringan untuk mengantar pintu masuk pameran Oasis To Be ini. Kenapa Oasis To Be? Ada tiga hal yang ingin dipertemukan di sini, untuk membangun narasi pameran ini:


1. Jalinan To Be
Pameran ini tidak terlalu jauh dari pembentukan opini di sekitar global warming dan pelanggaran hal asasi manusia (HAM) dalam pergaulan internasional masa kini. Topik ini sudah menjadi bagian dari agenda seni rupa untuk advokasi lahirnya bentuk-bentuk kemanusiaan baru yang memberikan hak, penghargaan maupun penghormatan kepada seluruh wujud kehidupan sebagai kehidupan dan keberadaan bersama. Opini ini untuk menjalin norma dari kosmologi bahwa kerusakan sekecil apapun yang kita lakukan, membawa efek yang signifikan ke seluruh jaringan kehidupan.

Seluruh jaringan kehidupan kita adalah jalinan yang sedang menjadi (to be). Seniman yang terus membaca wilayah kreativitas antara dirinya dan dunia di luarnya, antara batas seni dengan yang bukan seni, antara tubuhnya dan media di luarnya, serta antara karya-karyanya dan wacana-wacana kritis yang berkembang di sekitarnya, diandaikan memiliki apresiasi yang mendalam terhadap proses-proses menjadi ini.

Namun istilah menjadi di sini, dengan menggunakan latar global warming dan mencairnya ketegangan-ketegangan ideologis pascaperang dingin, otomatis tidak lagi dimaksudkan mengacu kepada wacana-wacana eksitensialisme. Senirupa tidak lagi dibaca sebagai sejarah stylistic. Melainkan sejarah gagasan-gagasan, tema maupun teknik. Teknik bukan dibaca sebagai bagaimana seniman mempertahankan gaya lukisan-lukisannya, melainkan bagaimana ia menggunakan teknik untuk menopang gagasan-gagasannya dalam berkarya. Karena itu jalinan menjadi ini dibaca sebagai post-identitas.

2. Oasis To Be
Bali memberikan konteks sosial-historis yang menarik untuk berbagai proses menjadi yang berlangsung di wilayah ini. Terutama lewat kebudayaan. Halaman belakang dan halaman depan dari seluruh proses-proses kualitatif maupun kuantitatif kebudayaan berlangsung bersamaan di Bali. Tradisi dan kontemporer tetap kita saksikan ada di sini dan kini. Arus globalisasi, realitasnya juga paling konkrit kita hadapi di kawasan ini: bahasa asing, uang asing, beredar bersamaan dengan berbagai entitas domestik. Perbedaan dilihat sebagai keberadaan dan kenyataan bersama.

Dalam konteks Bali sendiri, proses menjadi itu mungkin untuk dibaca sebagai siklus dari kelahiran menuju ke kelahiran baru (reinkarnasi-pencerahan) dengan menjalani karma sebagai pembersihan untuk sampai kepada kesempurnaan. Proses menjadi dalam siklus kelahiran kembali ini, dengan sendirinya tidak mengandaikan premis perubahan lewat revolusi. Setiap perubahan radikal menjadi berlawanan dengan siklus itu. Pada sisi lain kita bisa membaca siklus ini sebagai pengaman untuk liberalisasi global yang merembes ke Bali.

Kedua hal di atas membuat Bali memberikan konteks yang khas untuk senirupa, yang membedakannya dengan kawasan lain di Indonesia. Konteks itu adalah “oase untuk menjadi”. Dalam pameran ini oase ini dijadikan sebagai tajuk pameran. Selanjutnya menjadi: Oasis To Be.

3. Affandi Sharing
Pameran ini juga melibatkan karya Affandi. Menghadirkan Affandi dalam pameran ini merupakan bagian dari usaha mendapatkan efek pembacaan terhadap Oasis To Be itu. Affandi merupakan tonggak penting dalam sejarah senirupa kontemporer Indonesia. Seniman yang paling keras menjalani proses menjadinya di tengah kancah perang dunia dan perang kemerdekaan.

Dalam konteks perjalanan senirupanya, Affandi mengalami beberapa hal yang penting sebagai bahan pembacaan. Pertama, Affandi menggunakan tubuhnya sendiri sebagai tubuh-pertama dalam melukis. Tubuh menjadi sentral untuk berbagai gejolak maupun strategi visual saat melukis. Affandi boleh dikatakan hampir tidak pernah melukis dalam studio: tubuhnya, alam terbuka, reaksi orang-orang di sekitar saat melukis, objek dan kanvas, serentak seluruhnya berada dalam waktu dan ruang yang sama dan selesai pada saat itu juga. Melukis baginya sama dengan momen kreatif dengan durasi yang tidak terputus dan tak tergantikan. Tangannya langgsung berhubungan dan merasakan sensasi cat saat menyentuh tekstur dari permukaan kanvas yang dilukisnya.

Hal itu menghasilkan ekspresionisme yang disimpulkan Eric Newton sebagai: “Affandi tidak melukis kenyataan, melainkan melukis perasaan yang ia dapatkan dari kenyataan yang dialaminya.” (Bambang Bujono, 2007). Ekspresionisme yang kemudian mengantar Affandi memasuki peristiwa maupun apresiasi senirupa internasional yang penting di India, Eropa, Jepang dan Amerika. Ia dianggap membawa ekspresionisme baru dengan cara Affandi sendiri dalam kanon ekspresionisme Barat yang sudah biasa waktu itu (Herbert Read, 1959).

Kedua, dalam perjalanan senirupanya, Affandi memasuki satu tahapan lain, yang tampaknya masih menggantung hingga akhir hidupnya. Kritikus Dan Soewarjono merumuskan tahapan ini sebagai: “Affandi meloncat dari bahasa klasik ekspresionistis figuratif, ke bahasa visual abstrak-ekspresionistis” (1970). Periode ini berlangsung saat Affandi menghadapi guncangan dari perkembangan teknologi yang dilihatnya dalam pameran Expo Osaka’70 di Jepang. Anatomi garis-garis Affandi yang sebelumnya meliuk-liuk menyerupai garis wayang, alam tropis, atau budaya pesisir yang pernah melatari masa lalunya, tiba-tiba terguncang berhadapan dengan bentuk-bentuk kubistik dan lurus dari dunia teknologi. Soewarjono lebih rinci mengidentifikasi abstrak-ekspresionistis Affandi ini di mana: garis-garis ekspresif Affandi bergerak tidak lagi mengikuti atau mewakili objek, seperti mulai terlepas dari objek dan bergerak ke arah fenomena yang lain.

Periode ini tampaknya tidak berlanjut, karena untuk Affandi sendiri merasa dirinya lebih sebagai seorang naturalis. Abstrak untuknya masih merupakan dunia yang asing. Cara-cara Affandi melukis dengan tubuh pertamanya di alam terbuka, juga merupakan faktor kuat yang tidak memungkinkan Affandi bersentuhan dengan senirupa abstrak, karena objek masih merupakan alasan pertama untuknya melukis. Di samping penghayatannya yang mendalam atas humanisme kerakyatan yang ikut menentukan emosi maupun pilihan-pilihan objeknya. Tetapi karya-karya menjelang kematiannya, memperlihatkan kembali kecenderungan abstrak pada lukisannya, emosi muncul tidak provokatif lagi lewat minimalisasi garis. Ada kesan Affandi memasuki substansi dari kodrat kemanusiaannya.

Ketiga, Bali dan Affandi hampir tidak terpisahkan dalam konteks perjalanan senirupa Affandi sendiri. Bali tampaknya lebih memenuhi tubuh senirupa yang dijalani Affandi. Pameran ini disertai dengan pemutaran video tentang Affandi (Affandi After Epoch), serta diskusi untuk sharing di sekitar Affandi.(Afrizal Malna)


Tidak ada komentar: