Rabu, 02 Maret 2011

BAGAIMANAKAH SUATU KARYA DISEBUT BERKUALITAS ? (1)

Tulisan-tulisan di bawah ini adalah hasil diskusi di FACEBOOK, yang terbagi dalam 6 jilid : 1 - 2 - 3 - 4 - 5 - 6
Ada lebih dari 2300 buah komentar , silakan klik : DISKUSI DI FACEBOOK*


Saya tergelitik untuk menanggapi pertanyaan yang disampaikan oleh Sodara Arya tentang karya yang berkuwalitas. Pertanyaan Sodara Arya itu menanggapi sebuah tulisan di situs Indonesia Art News “Sekarang Kolektor Tidak Mudah Kagum”, hasil wawancara dengan pemilik galeri Semarang, Chris Dharmawan. Saya mengharapkan pandangan dari Sodara untuk saling berbagi memperluas wawasan tentang :
BAGAIMANAKAH SUATU KARYA DISEBUT BERKUWALITAS, SEHINGGA ADA SUATU FIHAK ATAU LEMBAGA BISA MENENTUKAN SUATU KARYA MENJADI JUARA FESTIVAL, BERHARGA SANGAT MAHAL, ATAU DIPUJA-PUJA DAN DIBURU OLEH BANYAK ORANG ?

Sebagai pengantar saya :
Seorang praktisi seni/ seniman, khususnya seni rupa, mau tidak mau,akan berhadapan dengan tiga tegangan ;

1. Konstruksi ideologi berkeseniannya yang sekian lama ia bangun. Saya sebut sekian lama, karena berkaitan dengan tempaan pengalaman, pandangan hidup, serta tantangan yang telah dan sedang dihadapi, maka tentu tidak akan dengan mudah untuk berpaling atau dipalingkan.

2. Mainstream wacana seni rupa. Hal ini berkaitan dengan isu-isu di wilayah seni rupa sendiri, serta isu-isu yang turut mempengaruhinya, misalnya ; kondisi politik, ekonomi, sosial masyarakat, atau yang lain. Lebih-lebih pada era kontemporer ini, seorang seniman akan terus tertantang untuk memacu diri agar selalu peka terhadap gejala-gejala yg sedang terjadi.

3. Mainstream selera pasar seni rupa. Sebagaian orang memandang miring jika ada seniman dalam proses berkaryanya, bertolak dari mainstream ini, yang memang lebih menjanjikan keuntungan finansial. Padahal untuk melakoni pilihan ini tidaklah mudah. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu :
- memiliki beberapa macam kemampuan teknis,
- memiliki gagasan-gagasan karya yang kontekstual,
- memiliki kefahaman tentang kondisi medan sosial seni rupa yang aktual,
- memiliki kemampuan membangun komunikasi dan network.

Memang yang paling beruntung, jika ideologi kesenian yang dibangun oleh seorang seniman, ternyata klop dengan mainstream, baik wacana atau selera pasar seni rupa. Dan itu kayaknya sangat dimungkinkan terjadi jika si seniman tersebut tinggal di tempat atau di sekitar pusaran-pusaran kesenian. Dan menjadi sangat berat jika terjadi sebaliknya, yaitu di lingkungan yang sangat gersang; gersang apresiator, gersang wacana, dan gersang pasar.

Berkaitan dengan pertanyaan BAGAIMANAKAH SUATU KARYA DISEBUT BERKUWALITAS ?
Kalau saya berpendapat, dengan menggunakan pengantar di atas, maka tidaklah mudah untuk menentukan kuwalitas suatu karya, mengingat ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dan faktor-faktor yang turut mempengaruhi, yaitu ;
1. Ideologi seni dari si seniman yang bersangkutan.
2. Tampilan karya, yang berkaitan dengan teknis, komposisi, dan kreatifitas
3. Maistream wacana dan mainstream selera pasar seni rupa, ketika karya tersebut dibuat.
4. Yang tidak kalah pentingnya, 'SIAPA' yang menjadi menejer dari karya tersebut.

DAN BAGAIMANA MENURUT PENDAPAT ANDA ?

Sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas sumbangan pemikiran Anda.
Salam


KOMENTAR-KOMENTAR :

o
Gus Wang :
Wah mas, pertanyaannya makin lama makin sulit. Tidak ada standar baku kualitas karya seni. Kalau pipa pralon gampang, ada SNI. Dari 3 tegangan diatas saja pasti menghasilkan standar acuan yg berbeda pula. Saya sendiri menggunakan standar sbb: jika hasil karya saya dapat di mengerti oleh audience sesuai dengan ide saya maka saya berhasil. Saya sudah berhasil menyampaikan ide, rasa, perasaan saya. Dan saya anggap karya saya itu KW1.
02 Februari jam 23:26 · Tidak SukaSuka · 2 orangMemuat...
o
Djoko Irianto J T :
manajer karya seni atau manajer senimannya...?
02 Februari jam 23:27 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
DIJ : hehehe....berarti dua2nya ya..?!
02 Februari jam 23:28 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Djoko Irianto J T :
lha iki nok kalisuren art space bbrp minggu iki yo agek ngomongke kiprah seni dan lain2....
02 Februari jam 23:30 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
hasil omongane berarti ya perlu disumbangkan ke teman2 yg lain, cek podho pintere....ngoten Den...
02 Februari jam 23:33 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Karno Kaji ‎:
Kita selalu terjebak pada cara berfikir 'konvergen' sehingga segala sesuatu ada standartisasinya.Kalau kita masih tidak mau keluar dari dan masih bersikukuh dengan cara berfikir 'kuatitatif' sampai kapanpun hidup kita dihantui oleh persoalan bermutu dan tidak bermutunya karya seni. Pekerjaan kita yang pertama adalah me-'muksa' kan validitas; benar-salah.
02 Februari jam 23:37 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten :
kwalitas atau isi..hmm..sepertinya, mau menjadi apa saja, petani, seniman, presiden, dll, intinya ya ada pada kwalitas atau isi itu. sebuah kwalitas atau sebuah isi itu ya hanya satu, baru teknis itu akan menyertai dalam situasi dan kondisi (ruang dan waktunya)..nah kwalitas satu itulah semoga kita beruntung untuk paling tidak sejauh mungkin mendekatinya....salam cak yu :)
02 Februari jam 23:39 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
KJ : itu idealnya, tp dlm relaitasnya kita mengahadapi relaitas itu. Dan realitas itu tdk bisa dihindari.
ASM : ya....faktor keberuntungan....
salam juga Cak Agung.
02 Februari jam 23:46 · SukaTidak Suka
o
Raden Prakiyul Wahononotosusanto :
YANG KUAT YANG PELIHARA

Anjing Babi
Kau
Yang bicara Bangsat binatang
...Adalah sebangsa,
Negara-negarannya binatang
Yaitu berkelahi darah mati demi kuasa

Wahai yang maha ghaib
Ini adalah aib
Bumimu bumiku bumi hanguskanlah,
Darah-darah tak berdosa mengalir
berdo'a
Yang kuat yang pelihara
Setan
Terbakar air mata neraka.
02 Februari jam 23:46 · Tidak SukaSuka · 1 orangMemuat...
o
Raden Prakiyul Wahononotosusanto :
SANA SINI SENI 'sirna' SENI SINI SANA

idealis dan egois beda tipis
realis dan surealis sama persis,
optimis dan pesimis ini yang kritis.
...
yang murni itu dari hati dan hati-hatilah, karena dunia ini tidak punya hati
02 Februari jam 23:51 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten :
cak yu, sebenere kalau udah kwalitas satu itu kan semua menjadi keberuntungan, entah secara teknis dia di bawah dan terbatas atau di atas dan berada, toh dia telah sampai pada kwalitas satu. sedangkan pasar dll itu kan masalah teknis to, se...dangkan pasar yang ramai kan belum tentu berkwalitas satu, jadi keberuntungan kwalitas itu tentu tidak bergantung pada pasar. dia merdeka, dan bersama waktu, dia tahu apakah dia pada situasi sepi atau ramai, dia akan tetap sibuk terjaga dan menjaga isi atau kwalitas itu...dia tahu waktu dan sadar posisi...mmm...
02 Februari jam 23:56 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
masalahnya kalo sdh bicara keberuntungan, itu berkaitan dgn nasib baik. Artinya kita perlu belajar langkah2 atau strategi.
03 Februari jam 0:03 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
artinya lagi, terlebih kan kita harus sadar posisi atau nasib dulu kan cak, baru itung2an strategi bisa dirancang, biar ndak selen/tlingsingan (boso mblorone, mbuh boso jowo etane haha
03 Februari jam 0:06 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
pancen betul, hrs sadar posisi. Cek gak tolah-toleh koyok pitik....
kwkwkwkwkwk.....
03 Februari jam 0:08 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten :
atau ben ora ndisiki kerso, atau biar gak tabrakan fatal dengan realitas, jikapun pilihannya adalah untuk membentur dinding realitas, tetep aja harus itung2...lha piye wis siap tabrakan karo mestreem po'o cak, yo ayo maju, tak ewangi :))
03 Februari jam 0:09 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
saya tetap berprinsip, kesenian bukan agama, maka penyikapan dan strateginyapun jugak berbeda. Tpai jugak bukan sekedar barang komoditas atau hasil industri. Jd di sinilah keunikan seni.
03 Februari jam 0:13 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten :
itu hanya untuk seni saja atau semua bidang (pekerjaan/profesi) kehidupan?
03 Februari jam 0:15 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
hehehe...wah gimana ya....itu kan tergantung prinsip hidup masing2 orang...?!
03 Februari jam 0:17 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade :
JIKA 'itu kan tergantung prinsip masing-masing orang', MAKA ......let flowers blossom together.....
03 Februari jam 0:21 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten :
lha yo kabeh bidang kan sebenere (seharusnya) bukan agama tapi juga bukan sekedar komoditas to cak. seperti halnya bertani, dia juga bukan agama, tapi dia juga bukan sekedar komoditas karena petani bekerja bukan sekedar untuk uang, melinkan menanam adalah tugas kehidupan...karena sesungguhnya profesi itu kan masalah teknis, sedangkan yang cak wahyu tawarkan untuk diskusi ini kan tentang isi atau kwalitas, kan....
03 Februari jam 0:23 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
HH : iya Pak Halim...tapi dlm setiap bidang kan ada semacam kesadaran bersama ttg penyikapan thd bidang yg ditekuni tsb. Sbg contoh elek2an, bidang kersenian tentu berbeda dgn dunia pedagang kelontong....
03 Februari jam 0:25 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
ASM : kembali ke masalah yg ditanyakan Sodara Arya di IAN, BAGAIMANAKAH SUATU KARYA DISEBUT BERKUWALITAS ?
itulah yg jg mjd pemikiran saya...
03 Februari jam 0:28 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade :
kata "BERSAMA" tentunya bukan untuk membuat suatu konklusi bahwa semuanya "SETUJU". 'bersama' bisa saja beberapa orang, dan mereka menciptakan 'paham', 'ism', 'isme'. dadaisme, realisme, ekspresionisme, semuanya - kalou kita mau mengambil c...ontoh dari negeri lain - adalah berangkat dari bbrp sosok.
ketika sujoyono menyatakan 'jiwa kethok', hanya 2-3 orang. ketika chairil anwar menyatakan 'pewaris kebudayaan dunia', dia hanya bertiga.
03 Februari jam 0:30 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten:
yoi, ini kwalitas teknis, yang bagaimanapun itu, bagiku tetep harus ngoyot (mengakar) cak, iku sik penting...
03 Februari jam 0:30 · SukaTidak Suka
o
Eddy Hermanto :
Saya setuju dengan Mas Karno Kaji: Bahwa pemberian cap berkuwalitas tidak ada salahnya; bahwa segala sesuatunya memang digiring ke arah itu, dan dengan syarat bahwa subyek-subyek musti bersikap selaras...sepertinya kita terperngkap dalam si...stem. yaitu subyek-subyek yang tunduk pada subyek, subyek-subyek yang dianugrahi jaminan absolut, namun dengan pengecualian "subyek -subyek sakit" seolah-olah turut intervensi dan mengoyak-ngoyak karakter ideologi perupa ...dengan mengatas namakan wacana pasar.atau apapun sebutannya... tapi hal itu sepertinya dirancang oleh persoalan senang dan tidak senang, penting dan tidak penting, mudah-mudahan itu hanya sekadar kecurigaan saya saja!
03 Februari jam 0:34 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade :
BACK TO BASIC:
jika sesuatu dinyatakan berkualitas,
apa argumentasinya. inilah yang TEERPENTING.
03 Februari jam 0:34 · Tidak SukaSuka · 1 orangMemuat...
o
Hang Ws :
seberapa jauh penilaian sebuah lukisan, apakah ditentukan oleh pasar hingga membelenggu seorang seniman untuk dapat secara utuh mengekspresikan karyanya, atau biarkan lukisan itu berperang sendirian selepas dari tangan seniman yang telah me...masukkan rohnya dalam karyanya yang berarti si seniman mampu untuk tidak terbelenggu oleh pasar yang kita tau dikuasi oleh pemilik galery, jadi kembali pada pribadi masing2 untuk menyikapi dirinya sendiri dalam berkesenian atau jika mampu tidak melepaskan diri idiom2 pengalaman bathinnya tapi disuguhkan lewat dimensi karya yang baru diinginkan oleh pasar yang dalam pengertian sederhanya adalah mensiasati pasar.
Lepas dari itu semua saya berkecenderungan bahwa sebuah karya lukis akan berperang sendirian selepas dari tangan seniman, jadi biarkan dia berperang yang tinggal hanya kalah atau menang.
salam seni dan tetap berkarya, semoga sukses selalu.
03 Februari jam 0:35 · Tidak SukaSuka · 2 orangMemuat...
o
Halim Hade ‎:
@Hang: lihat saja kenyataan. dan hadapi dengan tegar. dan jangan emmasuki akrobat intelektual yang rtak memiliki argyumentasi.
03 Februari jam 0:36 · SukaTidak Suka · 1 orangHang Ws menyukai ini.
o
Halim Hade:
apa yang dinyatakan oleh @Agung Sitiyang, tentang teknis yang mengakar, itu penting. kita slelau bicara soal teknis dengan kaca mata sebelah, dan menganggap hal itu tidak penting. padahal, te4knis adalah perwujudanm darim seluruh rangkuman ...proses perasaan dan pemikiran yang dirumuskan dan diwujudkan.
itulah makanya ada 'aliran', isme, atau paham, yang hanya bisa dipahami melalui teknis yang digunakannya.
03 Februari jam 0:39 · SukaTidak Suka · 1 orangHang Ws menyukai ini.
o
Halim Hade:
dikotomi, mitos, tentang 'rasa' di dalam dunia kesenian kita sellau membuat kita kacau balau di dalam memandang masalah kesenian. dianggap yang penting isinya, yang lain teknisnya. padahal, isi tanpa teknis yang matanag yang berangkat darei akarnya, jelas tak akan muncul sebagai karya yang berarti.
03 Februari jam 0:41 · SukaTidak Suka · 3 orangMemuat...
o
Hang Ws :
pendalaman teknis menurut hemat saya sangat perlu sekali sebab dari situ akan terbentuk koordinasi yang sinergi antara keinginan bathin dengan ketrampilan dalam membahasakan bathin dalam karya, ini berlaku untuk bidang seni secara keseluruhan.
03 Februari jam 0:45 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Aming D. Rachman:
hai gondrooong!!
eh maaf salah....
03 Februari jam 0:45 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
saya sependapt, seringkali kita mendengar bbrp orang memandang sebelah mata ttg teknik dan menomersatukan konsep atau isi . kalo menurut saya, dua2nya ya hrs saling bersinergi.
03 Februari jam 0:47 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Hang Ws ‎:
...maka Raden Saleh pun mendatangi guru untuk meperdalam teknis lukisannya.
03 Februari jam 0:50 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade:
BACK TO BASIC:
di dal;am sejarah pendidikan di manapun, yang terpenting adalah bagaimana mengembangkan kapasitas teknis, dan dari sanalah lalu dikembangkan VISI.
03 Februari jam 0:52 · SukaTidak Suka
o
Jokn Sulis:
kungfu...
03 Februari jam 0:54 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
dan mohon maaf lho ya, mungkin ini pertanyaan bodoh.....
apa sebab suatu karya bisa menjadi juara, berharga fantastis, diperebutkan di bale lelang.....itu tdk semata2 perkara teknis lho.....hehehe.....
03 Februari jam 0:56 · SukaTidak Suka
o
Aming D. Rachman:
itu merah putih yg terbelah......dalem banget bung HH
03 Februari jam 0:56 · Tidak SukaSuka · 1 orangMemuat...
o
Halim Hade:
that is....
dalam shao lim, kenapa begitu mampu mereka menciptakjan puluhan ribu jurus sejak perguruan itu didirikan? karena dasar, fondasi dari teknisnya ditanamkan, dan lalu lahirlah pribadi-pribadi.
BUKANKAH SESUNGGUHNYA TRADISDI YANG BERN...AS ADALAH TRADISI YANG MAMPU DAN BISA MENCIPTAKAN PRIBADI-PRIBADI.
DAN DI DALAM JARINGAN (KE)PRIBADI(AN) ITULAH TERCIPTA KEBUDAYAAN.
03 Februari jam 0:57 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Halim Hade:
‎@Aming : kalow mau rujuk yang mesra, mesti talak dulu....:))
03 Februari jam 1:00 · SukaTidak Suka
o
Lugi Lugiono:
ha ha kayaknya ada faktor x yg tidak kasat mata , yg kadang diluar jangkauan kemampuan kita , krn sudah punya jaringan dan wilayah sendiri.
03 Februari jam 1:01 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Hang Ws:
bagaimanapun yang mampu masuk dalam bale lelang tentunya sudah melalui seleksi yang ketat hanya saja dalam hal perdagangan tentunya ada faktor2 komersil yang mendasarinya antara lain lukisan itu mampu untuk meningkat harganya di masa2 akan datang jadi bisa dijadikan barang komoditas yang akan dijual kembali plus mendapatkan keuntungan dan hal ini sudah masuk dalam ranah para pedagang, diluar kapasitas kita sebagai seniman atau pelukisnya.
03 Februari jam 1:05 · SukaTidak Suka
o
Aming D. Rachman HH :
betul...ternyata nekad doang gak cukup ya....musti ikuti prosedure.....rujuk dg kolektor = talak pd karya. tapi yng penting walau terpisah tetap berkibar....!!! hahaha
03 Februari jam 1:05 · SukaTidak Suka
o
Jokn Sulis:
dewa mabuk dan tendangan tanpa bayangan sama sama mempunyai kuda kuda yang sangat kuat dan menghasikan pukuIan yang sama sama dahsyatnya, dan itu di capai dengan Iatihan disipin, serta pengasahan pemahaman pemikiran serta perasaan yang tidak mak jegagik sakti...
03 Februari jam 1:14 · Tidak SukaSuka · 3 orangMemuat...
o
Halim Hade:
‎@Lugi: semuanya bisa diprediksi. semuanya di depan mata.
@Hang: palinbg baik memasuki semua ruang: pedagang, kolektor, kolekdol, lelang atau apapun. sebab, realitas biasanya meruntuhkan asumsi yang biasanya asumsi itu datang dari silat lida...h di warung.
@Aming: biar setara........
@Jokn: semua gerak memiliki ruang dan bumi-langitnya.
03 Februari jam 1:20 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Hang Ws ‎:
@Halim Hade..saya lapar dan perlu makan, gak munafik saya tidak mau mati dengan idealis yang tidak realistis.
03 Februari jam 1:41 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Halim Hade:
itulah @Hang, saya anjurkan, saya usulkan, saya sarankan - jika anda berkenan - untuk memasuki semua ruangan.......tak ada salahnya.
numpang nanya @Hang, apakah idealisme itu bisa membunuh? bisa mematikan? apakah 'realistis' itu bisa menjadi...kan anda atau seseorang lebih dahsyaaat......?
03 Februari jam 2:26 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Hang Ws:
‎@Halim Hade..dalam dimensi ruang yang tepat dan tetap mempertahankan eksitensinya,suatu keberhasilan bisa dibentuk andai punya kapasitas yang baik dalam pekerjaannya dan secara relatip orang menilai dia mampu dalam bidang pekerjaannya baik itu yang realis maupun idealis, jika tidak pada kapasitas yang memadai maka sama saja bunuh diri, lebih baik pindah haluan mencari bidang yang lebih dikuasi.
03 Februari jam 2:46 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade :
well, @Hang, plisss deeeh, BACK TO BASIC.......
03 Februari jam 2:49 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Rypo Art:
Selamat, sukses selalu. Setuju, terutama pd "Butir 2" pada uraian-terakhir anda !
03 Februari jam 2:51 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Hang Ws:
‎@Halim Hade..kedahsyatan sutau karya seiring dengan berjalannya waktu apakah sejak memenangkan pertempurannya masih sanggup bertahan hingga dekade tertentu sehingga orang mengatakan itu sebuah karya yang dahsyat, bukan karena perilaku pasa...r tapi karya itu waktu demi waktu senantiasa eksis dalam mempertahankan kemenangannya yang mungkin saja awal kemenangannya bisa berangkat dari faktor2 butir 1 s/d 4 yang telah disebutkan diatas.
mohon koreksi.
03 Februari jam 3:10 · SukaTidak Suka
o
Lembu Jagiran:
waduhh seru banget'e...... ngopi ngopi dulu om......

nek pedagang, keuntungan itulah yg terbaik..
nek seniman, rasane wis gatuk itulah yg terbaik..

...naa.. kalau saya mencermati sebaiknya saudara2 seniman/kreator mestine ngerti'apa yg sedang dikerjakan,apa yg sedang dilakukan dan untuk apa 'itu' diciptakan....(biar gak bingung) nyuun sewo.. bukan maksud menggurui...

menurut saya.. seni itu sangat luas penilaiannya pun sangat relative sesuai dengn landasan dan tujuanya..
1. seni yg bersifat religius
(masak solat dibayar' ra mungkin to..?)
2.Seni yg bersifat sosial religius
( gotong royong membangun mesjid,gereja, menghias wihara,memperindah pura yg didasari bakti dan pengbdian tulus iklas)
3. seni yg bersifat sosial
(mau nolong orang kok minta imbalan...)
4.seni yg bersifat individu
(sak karep ku' yg penting puas)
5.seni yg bersifat terapan.
'tidak ada istilah penabuan diantaranya" sesuai dengan kebutuhan dan tujuan penciptaanya......
(masak kepingin nasi jagung dikei nasi goreng' gak sreeeg..)

MAAF SEKALI LAGI BUKAN MAKSUD MENGURUI....

Dengan memahami terjemahan di atas sekiranya kita punya pijakan/landasan berkarya dengan jelas.... JADI GAK USAH BINGUNG2
BISA MEMPOSISIKAN SENI PADA TEMPATNYA...
TIDAK ADA YG MESTI DIPERMASALAHKAN.

Penciptaan seni itu adalah masalah rasa' jadi penilaian pun dengan rasa...
mudah2an saudara2 memahami pikiran saya yg bodoh ini.........
03 Februari jam 3:56 · Tidak SukaSuka · 2 orangAnda dan Ambrosius Edi Priyanto menyukai ini.
o
Karno Kaji :
‎Wah rame. Ukuran kualitas dan tidak berkualitas itu apa? Andai karya seni itu seprti 'telo' maka polemik ini sudah selesai sejak kemarin. 'Telo' berkewalitas parameternya jelas; tidak bongkeng, 'mempur' madune 'ndlewer' seperti telo cile...mbu. Telo cilembu pun ada yang berkewalitas ada yang tidak. Lalu, karya seni. Apa ukurannya? Kitapun ramai-ramai mencoba mendiskripkannya yang sebenarnya kita mereduksi ketingkat 'subyektifitas'. Lukisan Salvador Dali 'Tabula smaragdina' menurut sampean semua berkualitas apa tidak? tolong dijawab, atau lukisan Pablo Picsso 'Congres mondial pour le desarmanent general et la paix' berkualitas apa tidak. Atau mana yang paling berkualitas? Sebagaimana saya menulis 'sastra' melukiskpun saya tidak bertujuan agar mulut semua orang 'berdecak'. Saya melukis untuk diri saya sendiri, saya ber-'onani' dengan karya saya. Perkara orang lain kagum, menghujat, saya tidak peduli.Entah suatu saat nanti keluarga saya tidak makan maka -meminjam Ws Rendra - saya akan menjadi 'seniman salon'. He...he...
03 Februari jam 6:36 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Krisna Murti:
waduhhhh....
03 Februari jam 7:43 · SukaTidak Suka
o
Judi Soetjahjo:
beda antara seni trancendency atau falsafah, seni terapan (industrial design) dan seni pasaran... Ini tergantung tujuan senimannya apa??
03 Februari jam 8:35 · Tidak SukaSuka · 2 orangMemuat...
o
Judi Soetjahjo:
seni yng berduit adalah industrial design dan seni pasaran...sebab publiknya besar..., hanya para colektor yg mengerti mencari seni falsafah...
03 Februari jam 8:37 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten :
pasar hari ini ya gak beda dengan kontes-kontes kecantikan Putri-Indonesia atau Miss-World, begitupun dengan teknis, tak beda dengan tubuh manusia. lalu terserah apa yang terpikir sebagai kwalitas, apakah kemolekan tubuh aja, atau kepandaia...n intelektual aja, atau tidak cukup dua-duanya. karena kepandaian (berbakat) melukis dan mematung, atau memahami konsep berkesenian yang elegan dan tinggi kan bisa jadi itu hanya sebuah kebetulan, sebagaimana tubuh yang cantik dan kepintaran seseorang kan ada yang karena bentukan realitas yang tidak adil. ada yang beruntung terlahir dalam lingkungan kesenian yang menjadikannya terdidik secara alami, ada yang berkesempatan belajar dan menempuh pengetahuan dengan leluasa, ada yang berkesempatan ke salon kecantikan setiap hari, dan dilain pihak ada banyak yang tidak seberuntung mereka, bahkan jangankan mengenal teknis dan kecantikan yang sempurna (kwalitas terbaik -menurut pasar) bahkan untuk memenuhi kebutuhan hidup saja seseorang banyak yang kekurangan dan bla bla bla....

jadi, apakah cukup mengukur karya itu dari teknis dan konsep karyanya semata, yang bahkan pasar hari ini telah mampu menciptakan kedua hal tersebut? aku pikir jantung (akar) kesenian tidak sesederhana itu.....
03 Februari jam 8:39 · Tidak SukaSuka · 3 orangAnda, Halim Hade, dan Lembu Jagiran menyukai ini
o
Taufik Kamajaya:
pendalaman seni memang sesuatu yang rumit dan selalu jadi polemik dari dulu...karena ini enyangkut CITA RASA....yang berlapis lapis seperti tingginya langit juga berlapis.....konon cita rasa yang paling dalam orang bisa mengenal hakekat sen...i sebagai sifat Tuhan ....namun siapa yang tau bahwa seseorang berada dalam sifat itu????jadi menurut saya sangat bijak klo menyebut seni adalah relatif..yang penting berkarya dengan totalitas....dengan demikian RASA pun berjalan sesuai dengan pencapaian2 masing2 pelukis...dengan segala konsekwensinya.....begitu kawan2 pendapat saya....salam semuanya......
03 Februari jam 8:41 · Tidak SukaSuka · 2 orangAnda dan Lembu Jagiran menyukai ini.
o
Agung Sitiyang Mblonten:
bahkan wacana filosofis dalam kesenian itupun telah menjadi dagangan. bukan berarti mengabaikan perdagangan, hanya saja untuk menghindari manipulasi originalitas ide karya. karena kalau masalah teknis dan ide menarik sebenarnya kan juga masalah selera. seperti halnya kita berselera makan atau mencinta yang bagaimana.
03 Februari jam 8:43 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten:
carilah jantung-akarnya, lalu terserah daun dan batangmu mendunia :)
03 Februari jam 8:45 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Judi Soetjahjo:
memang risiko menjadi filosof atau seniman itu...kadang tidak berduit banyak.....
03 Februari jam 8:47 · SukaTidak Suka
o
Choesny Muhammad:
Choesny pribadi menilai sebuah kualitas dari 3 aspek: 1) Aspek teknis, 2) Aspek Konsistensi pelukisnya dan 3) Aspek Lukisan/Karya itu sendiri. Lepas dari pilosopis dan konsep dari si pelukisnya. Dan terlepas dari laku atau tidaknya sebuah karya. Karena penilaian sebuah karya sangat subjektif, tidak bisa di ukur dengan algoritma manapun dan rumus matematika apapun.(mohon dikoreksi bila salah..)
03 Februari jam 9:48 · Tidak SukaSuka · 2 orangMemuat...
o
Karno Kaji:
Wis nggak adoh, seniman jika berpolemik 'ambyar ngalor ngidul' bukankah kita mendiskusikan 'karya berkualitas itu seperti apa? Memang seniman kan bukan intelektual, walaupun Mamanur (almarhum) bermimpi andaikata seniman itu juga intelekt...ual. Secara tidak sadar kita semua termasuk penganut 'postmo', dan setuju seperti yang dikatakan Derrida, 'teks' tidak bermakna tunggal, bebas didekonstruksi, dimaknai apa saja. Topik 'Seperti apa karya seni yang berkualitas itu' kita maknai apa saja, sehingga 'teks' itu kebingungan dan bertanya: "Rek, sido ngomongno aku ta? Nek sido aku tak turu" Juga saya tak undur diri. Ngapunten.
03 Februari jam 9:55 · SukaTidak Suka
o
Karno Kaji ‎:
Nah 'kadang' Choesny mulai 'nyambung'.
03 Februari jam 9:59 · SukaTidak Suka
o
Sagabiru Galeri:
Menurut pengalaman saya, penilaian berkualitas tidaknya lukisan itu sangat subjektif dan itu terus bergeser. Kalo diajang kompetisi ya kita lihat wawasan Tim Jurinya bagemana? Kalo ditangan Kolektor jg bgtu bahkan dia bisa merendahkan dan m...enaikkan kualitas lukisan biar harganya bisa dia atur...
Yang penting sbgai seniman kita wajib terus berkarya dan menimba wawasan saja, nanti akan terseleksi oleh alam dgn sendirinya....gitu aja kok repot
03 Februari jam 10:08 · Tidak SukaSuka · 2 orangAnda dan Lembu Jagiran menyukai ini.
o
Karno Kaji ‎:
Giliran Sagabiru Galeri, mulai berkembang dan semakin nyambung. Saya setuju sampean. Kapan-kapan, dan lain kali kita bicara filsafat seni, ideologi seni, agar kita tidak dianggap 'wong pinggiran' meskipun kita nggak peduli dengan itu. Sekali lagi, diskusi ini mulai bercahaya.
03 Februari jam 10:21 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten:
intinya, jangan sampai mendiskriminasi tubuh yang cacat. kalaupun pasar memilih mereka-mereka yang bertubuh molek, maka bagaimanapun tuhan bersama seluruh makhluk ciptaannya, dan dia tidak akan memandang dari rupa-rupa teknismu (semata), melainkan apa yang ada dikwalitasnya itu, bukan.
03 Februari jam 10:28 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Judi Soetjahjo:
Pada hakikatnya orang ingin profesinya dihargai dan bisa memberi makan/mendatangkan rejeki baginya...;krn itu aliran SENI RUPA itu banyak sekali dari : industrial design, textile design, digital graphics, ....dsb.nya sampe ke seni-rupa classic (melukis). Diversifikasi ini membuka juga diversifikasi 'pembeli'...;kualitas 'produknya' tergantung pd kemahiran pembuatnya dlm hal : teknis, tema, dan PEMASARAN....
03 Februari jam 10:33 · Tidak SukaSuka · 1 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten:
penghargaan yang setimpal dengan harapannya tentunya, karena harapanlah yang tidak membedakan dia kwalitas teknis tinggi atau kwalitas teknis rendahan....:)
03 Februari jam 10:37 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho:
Saya menangkap dari komentar2 di atas, bahwa yg paling berhak memberi penilaian atas kualitas suatu karya adl si senimannya sendiri, krn dialah yg lbh tahu ttg hasil pekerjaan seninya. Juga krn tujuan hidup berkesenian adl pilihan dr ma...sing2 pribadi dgn segala konseluensi atas pilihannya itu.

Dan kita tdk berhak memberi penilaian ttg tinggi - rendahnya kualitas karya orang lain, apalagi iri hati atas keberhasilan hidup seniman lain krn hasil dari karyanya. Penilaian kita hanya sebatas BERSELERA atau memiliki CITA RASA apa tdk dg karya tsb, entah itu utk dikoleksi atau memberi penilaian, seandainya kebetulan kita ditunjuk menjadi juri dlm suatu lomba.

Jadi...
- Jika kita ingin mencapai kualitas sesuai standar kita, berarti hrs memenuhi SELERA yg kita inginkan.

- Jika ingin mencapai kualitas yg diharapkan dari suatu lomba, berarti harus berusaha memahami SELERA jurinya.

- Jika ingin mencapai kualitas yg dikehendaki pasar, berarti harus berusaha memahami SELERA pembelinya.

- Jika ingin dibicarakan dlm wacana seni rupa, berarti harus berusaha memahami SELERA.......
hehehe......seleranya SIAPA YA...????
03 Februari jam 15:42 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Sagabiru Galeri:
Seleranya yg bikin wacana....kwkwkw
03 Februari jam 15:47 · Tidak SukaSuka · 1 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho ‎:
lha terus sapa sing nggawe-nggawe wacana iku ?
03 Februari jam 15:51 · SukaTidak Suka
o
Sagabiru Galeri:
nyang dari Pasuruan itu lho....plural plural apa itu lho...! Sopo sih aku dewe lali....hehehe
03 Februari jam 15:54 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
hehehe......embuh......anu, arek gak genah paling....... wkwkwkwkwk.....
03 Februari jam 15:58 · SukaTidak Suka
o
Zaenal Arifin:
seni yg berkualitas atao selera yg berkualitas. !???
03 Februari jam 16:00 · Tidak SukaSuka · 1 orangMemuat...
o
Zaenal Arifin:
seni yg berkualitas atao selera yg berkualitas. !???
03 Februari jam 16:00 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
Wah...ini...Om Zainal menyodorkan masalah lagi ini. Selera yg berkualitas itu menggunakan ukuran apa ya ? ehmmmmm....
( macak mikir )
03 Februari jam 16:03 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho ‎:
ZA : kalo nurut sampeyan bgmn Om ? .... krn selera yg berkualitas itu nurut saya ukurannya lbh sulit drpd karya seni yg berkualitas, krn tdk ada wujud kongkritnya.
03 Februari jam 16:10 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Zaenal Arifin:
semiman itu gak ada yg goblok. Kerena setiap detik dlm hidupnya dia terus berkarya mengasah lahirbatin dan semua potensi yg ada pd diriny untuk menghasilkan subuah karya tampa mempertanyakan kualitas.lalu siapa yg mempertanyakan kualitas ?pengamat.kurator .dan semua yg berhubungan dgn keberadaam karyaseni.mereka lah ya harus belajardgn cara tidak hanya dari bisikan atao dari foto .wah iso ngomel nih aku . .weswaelah mengko malah okeh sing kesinggung
03 Februari jam 16:27 · Tidak SukaSuka · 2 orangMemuat...
o
Karno Kaji ‎:
Dari kesimpulan, eee...tibake berkualitas dan tidak berkualitas itu ditentukan oleh 'kurator' . Saya ingat PILKADA, saya nyalon DPR bayar 'kurator' ee..bukan 'makelar' suara. Sebab kalau tidak saya dijelek-jelekin pastilah saya orang yang tidak berkualitas. DPR yang sekarang ini, berkat 'kurator' ee. 'makelar' suara, dadi, lan podo lungguh kabeh. Mengapa? Karena berkualitas. He...he...he....
03 Februari jam 17:34 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Halim Hade:
BACK TO BASIC:
lihat dan dalami saja ARGUMENTASI N ANALISANYA. adakah memang memiliki dasar, pijakan?
masalahnya BUKAN PADA KURATOR. TAPI, CARA BERPIKIR, BERPIKIR, DAN PEMIKIRAN....
03 Februari jam 17:41 · Tidak SukaSuka · 4 orangMemuat...
o
Halim Hade:
KALOW NGOMONGIN KURATOR, BISA BISA MASUK KE DALAM HIPOKRISI, KURATORNYA DAN JUGA PERUPANYA....
03 Februari jam 17:41 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Halim Hade:
SEBAB, BANYAK PERUPA JUGA YANG INGIN DILAMBUNGKAN DAN DIDONGKRAK OLEH PARA KURATOR.....
03 Februari jam 17:42 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Sindhu Pertiwi:
Sori2, baru on skrg dan beberapa komentar di atas gak terbaca. Gini, seperti pemikiran dlm bidang apapun selalu berubah (ato berkembang setidaknya lebih rumit) seni dr segala aspek baik teknis, wujud maupun filosofinya juga mengalami peruba...han. Apa yg disebut kualitas dan parameternya juga berubah, kadang subjektif, terlokalisir, atau bahkan terlupakan. Apa yg dulu populer mungkin skrg tidak diingat, jadi seniman sebetulnya tak perlu risau tentang selera pasar dan popularitas; fokus saja pd pemikiran yg jadi interesnya saat ini.
Aku cuma sedikit berargumen bahwa seni (tepatnya produk seni) sering menjadi simbol status sosial. Sebagai craft maupun artwork tentunya. Dan ini sering overlap dng wacana seni serta mengaburkan batas2 antara filosofi, peranan seni serta pasar seni.
03 Februari jam 18:10 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Eddy Hermanto:
Mas Wahyu :Yang Qita rindukan sekarang ini kritikus seni rupa yang mumpuni..seperti (Sanento Yuliman Alm).'
03 Februari jam 20:12 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Zaenal Arifin:
apakah karya van gogh kualitas nya bertambah hebat setelah dia mati.atao apresiasi pengagum seni yg mejadi lebih baik. ?
03 Februari jam 20:19 · SukaTidak Suka
o
Judi Soetjahjo:
berbahagialah menjadi seniman, krn hakikatnya mereka-lah yng mencapai tingkat creasi 'penciptaan'...suatu tingkat pekerjaan transendency yng tingkatnya paling tinggi; meskipun apresiasinya belum tentu dimengerti orang lain; krn orang2 tsb. belum sampe tingkat pemikirannya...coba lihat pelukis2 dulu...baru dimengerti karyanya bertahun2 stlh itu....oooooo itu toch maksud pelukis...
03 Februari jam 20:34 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho:
KK : pendpt itu terlalu....terlalu apa ya...?!
saya pikir yg di maksut pak Kaji adl penulis, khususnya penulis / pengulas pengantar pameran. kalo mmg itu yg dimaksut, ia adl sebenarnya menjalankan tugas utk membantu seniman dlm merumuskan... pemikiran ttg karyanya, shg memudahkan apresiator dlm menyelami gagasan seniman menjadi lbh dalem.
HH : masalah hipokrit atau jujur, saya kira relatif dlm wkt yg tdk terlalu lama akan kerkuak juga, mengingat di era keterbukaan spt skr ini, informasi bgt cepat bertebaran di depan kita.
SP : maaf...lho ya...saya kira sdh nggak aktif atau sdh bosen main FB. tengkyu atas kehadirannya kembali dan sumbangan pikirannya.
EH : ya ... betul Almarhum adl salah satu sosok kritikus SR yg cukup serius memikirkan ttg Seni Rupa Modern Indonesia dan membuat ulasan2 ttg SR yg cukup mencerahkan saat itu.
ZA : sampeyan selalu menyodorkan permasalahan baru hehehehee....
moga2 ada orang yg mau menganalisa masalah ini.
JS : hemmmm...yayaya....moga2 begitu. Dan saya kira pernyataan utk menanggapi komentar Om Zaenal.
03 Februari jam 21:07 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Karno Kaji ‎:
Ketika 'monyet' bisa nglukis, dan 'ber-estetika' kira-kira 200.000 tahun yang lalu, sejak saat itu 'monyet' disebut manusia. Maaf, bukan berarti manusia di zaman ini yang tidak mempunyai rasa 'estetika' itu disebut 'monyet' yang berwujud manusia. He....he...he...
03 Februari jam 21:15 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho:
saya masih kepikiran ttg SELERA. Jika dalem berkarya seni tujuannya adl utk memuaskan diri sendiri, itu kan berarti sama dgn onani, spt yg tlh disebutkan oleh Pak kaji karno di atas.

jika utk memenuhi selera lomba, pasar, atau tuntutan wac...ana, berarti seniman kan nggak jauh2 amat dgn tukang penerima order ?

ehmmmm.....masak kita berkesenian cumak sebatas itu ?! Mengingat kesenian memiliki kedudukan yg sangat penting dalam membangun kebudayaan manusia.....
03 Februari jam 21:36 · SukaTidak Suka
o
Karno Kaji ‎:
Mas Halim HD, Ketika perut pelukis, perut istri, perut anak-anaknya tidak terisi selama satu minggu mau tidak mau perlu 'combe' ee... kurator. Nggak jadi soal disebut hipokrit, 'yahanno', pelacur, menjual idealisme Pokoknya bisa makan. Wah ngomong saya ngelantur, tapi asik, ngomong ngawur, ngomong 'bongol-bongolan' biar dikatakan seniman.Ngomong 'lincip lincip' nggak disukai seniman dan 'preman'
03 Februari jam 21:44 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Karno Kaji :
‎Mas Wahyu, kritikus seni berbeda dengan kurator. Kritikus tukang kritik, tukang 'maido', sedangkan kurator kata mas Halim Hd bisa mendongkrak harga jual lukisan atau nama pelukisnya bisa melambung. Kurator, dengan demikian dapat menentuk...an hidup mati seorang pelukis. Wah, nglantur lagi. Tapi asik ngobrol sama seniman, bisa ngalor ngidul, bisa ganti topik 'sak waya-waya', bisa 'debat kusir', bisa seperti 'priyayi' dan bisa seperti 'preman', dan nggak perlu ngomong teori sing 'ndakik-ndakik'. He,,,he...he....
03 Februari jam 21:56 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho:
pak kaji saya tdk ngomentari pendpt sampeyan biar org lain sj, kita bicarakan sendiri sj di warung sampeyan. Lumayan dpt gratisan....hehehe...suwun lho Pak sotonya kemaren. Hanya dlm kesempatan ini sy ingin memperkenalkan sampeyan ke foru...m ini.

Kaji Karno ini adl seorang seniman sekaligus penulis masalah sosial budaya dan agama yg cukup aktif, dan tulisannya banyak tersebar di media cetak, khususnya jawa Pos, juga penulis beberapa buku sastra dan budaya. dan salah satu karyanya tersimpan di perpustakaan Ostrali. Di Pasuruan beliau ini banyak pengagumnya atas wawasan dan kecemerlangan pikiran2nya.....hehehe...begitu.
saestu menika.....
03 Februari jam 22:09 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Karno Kaji ‎:
Wah, mohon maaf kepada teman-teman seniman, pernyataan saya tentang asyiknya di perbincangan ini betul-betul saya suka, egaliter, jujur, sekaligus mengobati kerinduan saya pada malam-malam di warung kopi. Sungguh, saya merindukan ini. Ngapunten. Ngapunten mas Wahyu.
03 Februari jam 22:16 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Halim Hade:
‎@Edy Hermanto: ada banyak kritikus. tapi yang mumpuni, menurut saya, dan mereka memiliki komitmen, ENIN, HENDRO WIYANTO.
@Karno: berulangkali saya tegaskan, masuk saja ke dalam berbagai ruang........cobalah membaca dan baca kembali pernyata...an saya. yang paling repot, terlalu banyak keluhan tapi nggak ada pemikiran.
03 Februari jam 22:30 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Sindhu Pertiwi:
Gini, sepertinya begitu besar kekhawatiran bung Wahyu tentang dominasi pasar seni (art/craft), padahal secara sederhana atw ringkas saja setiap perputaran ekonomi ditentukan sistem ekonominya. Dan dalam sistem yg bebas apa saja bisa diserap... sbg penentu nilai ekonomisnya, termasuk nilai2 seni dan estetika (keindahan dlm arti sempit). Jadi jelas, bahwa seni sudah lama masuk dalam aneka sistem ekonomi, mulai dari yg primitif, feodal, sosialis hingga liberal-kapitalis.
Kadang saya mempertanyakan perbandingan nilai seni-estetika dengan nilai ekonomis yg rasional dr suatu karya. Walaupun saya masih berpikiran, karya yg bernilai seni jelas sangat bermanfaat bagi masyarakat.
Dari sini, saya lebih suka memulai dari pandangan utk memperluas akses sosial terhadap aktivitas dan produk seni yg berkualitas. Jelas2 dng perspektif ini, ukuran baik-tidaknya karya bagi saya bukanlah berapa nilai ekonomis suatu karya, apalagi bila nilai tsb bisa didongkrak melalui pencanggihan2 apapun. Adapun reward akan peranan kreativitas seniman/kreator juga tidak melulu dng nominal sekian2. Sesungguhnyapun, seniman/kreator punya peranan besar dalam menyeimbangkan njomplangnya pasar seni yg macam2 dan cenderung didominasi pihak2 yg secara ekonomis lbih diuntungkan dng pasar seni yg carut-marut (tapi mulai menemukan bentuknya).
Tidak melulu menunggu kehadiran kritikus mumpuni karena faktanya, kecenderungan lebih berkembangnya profesi kurator ketimbang kritikus (atau malah alih profesi dr kritikus ke kurator) juga sudah lama memprihatinkan bagi sebagian masyarakat seni.

Setidak2nya bisa dimulai dari asosiasi atau lembaga non-profit yg berfungsi menyandang dana bagi aktivitas seni maupun perluasan akses seni bagi masyarakat. Kerjasama antar seniman-pengrajin-kreator-pekerja seni dapat memulainya dng lbih baik. Tapi ini masih dlm pikiran kasar saya, karena teknisnya juga susah utk dipikirkan mengingat situasi seni cepat berubah. Dulu, ruang2 alternatif, ruang2 eksebisi publik, kelompok2 seniman, atau sanggar2, hingga kolektor dan patron pemerintah yg 'baik' bisa membantu memperbaiki apresiasi seni dan kesejahteraan seniman. Kini, mungkin strateginya lain lagi.
Begitu...
04 Februari jam 1:47 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Indarto Agung Sukmono:
Kebagusan kan perkara relatif ya, karya A lebih bagus dari karya B tapi belum tentu karya A dipresiasi. Atau jangan2 semua karya bisa bagus atau malah jelek semua. tergantung sudut pandang dan kepentingan. Bukankah setiap kompetisi hasilnya... selalu mengundang polemik. Bahkan ada seniman yang enggan mengikuti event seperti itu atau ada juga bahkan enggan mengikuti tema kurator. Kalau kolektor sekarang sudah tidak gampang kagum kan karena mereka sudah bosan dengan gaya yang seperti itu terus, yang kenyataannya memang sudah mboseni, itu artinya pasar pasti sudah jumud....siap siap saja yang tadinya bagus kemudian jadi tidak bagus. he..he..
04 Februari jam 11:57 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Karno Kaji :
‎Mas Halim, saya suka di forum ini, mengingatkan saya di kehidupan malam di kota-kota Indonesia, bersama 'preman', ocehan tukang kayu,tukang becak, komunitas 'makelar' di Pasar Poncol Pasuruan, ada kegembiraan karena tidak 'dirangkul deng...an erat' teori-teori sing 'ndakik-ndakik' karena percuma dan nggak nyambung. Nah kalau untuk urusan yang serius, saya masuk menjadi komunitas 'Indonesia Art News' Sungguh, saya diterima dan diperkenankan 'ngobrol ngalur ngidul' di komunitas ini. Sungguh saya rindu.
04 Februari jam 12:50 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
bung karno ini maksudnya apa, kok membanding-bandingkan obrolan yang disini dengan di indonesia art news, dan mengira obrolan di sini itu tidak serius? kalau anda tidak serius itu ya diri anda, jangan keburu menyimpulkan semua obrolan disin...i dong, karena aku sangat serius ngbrol disini. seperti tema kang wahyu yang dia sampaikan, tentang kwalitas, maka apa standar anda tentang obrolan yang berkwalitas, apa anda kira yang tidak berteori ndakik2 itu tidak berkwalitas dan indonesia art news yang ndakik2 itu berkwalitas, begitukah? atau sebaliknya, indonesia art news dengan teori ndakik2 itu tidak berkwalitas? atau gimana maksud anda?
04 Februari jam 13:22 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten:
asal jangan berfikir bahwa obrolan yang tidak disertakan teori dari para pesohor intelektual itu anda anggap sebagai obrolan sampah. karena jika demikian logika anda, maka memang diri andalah yang belum selesai dengan keintelektualan...
04 Februari jam 13:31 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Karno Kaji ‎:
Saya hanya menjawab nasehat Mas Halim HD agar saya masuk ke berbagai ruang. Saya suka gaya 'preman' Anda. Pernah jadi preman? Berapa jam terbang sampean?
04 Februari jam 13:37 · SukaTidak Suka
o
Jokn Sulis:
huahahahahahaahahahah.....saiki topike ganti preman berkwaIatas ?
04 Februari jam 13:46 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Karno Kaji ‎:
He..he... Mari kita buat rumusannya. Saya nggak ikut, saya 'uiiisssiiin' Laopo cangkem iki asal njeplak. Astaghfirulloh! sepurane sing akeh Cak Agung. Isin aku, sik tas kenal wis nggae dosa..
04 Februari jam 13:51 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Sagabiru Galeri:
Sebaiknya jangan terburu nafsu menyebut diri kita seniman, krn harkat seniman itu berkarya tidak lantas berpolemik masalah seni yang tiada habisnya. Kelaparan itu sudah menjadi resiko yang tidak perlu diungkap dan digembar-gemborkan. Sudah dangkalkah jiwa seni anda hanya karena menyibak tirai kegelisahan harga sebuah seni? Tunjukkan saja karya Anda, nanti masyarakat yang akan membentuk opini kekaryaan Seni Anda...
04 Februari jam 13:56 · SukaTidak Suka · 3 orangMemuat...
o
Jokn Sulis:
KWALITAS ?
bicara tentang kwalitas tentu kita akan bicara tentang standart...(nek ra kleru )

1. menurut senimannya ?

... contoh sipelaku akan bisa merasakan sendiri pencapaian sebuah garis ketika di masa awal belajar mencoret dengan setelah bertahun tahun menekuninya...

2. menurut kurator galeri ?
jika sebuah galeri menentukan pilihannya tentunya galeri tersebut telah membuat aturan aturan bagaimana menyeleksi karya karya apa yang bisa dipamerkan di galeri itu...

3. menurut pengkoleksi ?
pengoleksi ini mungkin punya cara nya sendiri dalam mempertimbangkan karya karya yang akan di koleksinya...

4. menurut balai lelang ?
tiap balai lelang tentunya memiliki hukumnya sendiri pula

5. menurut temannya seniman ?
dari koreksi dan korelasi yang di bangun selama berteman , tentunya akan ada pandangan dan masukan yang bersinergi hingga terjadinya perkembangan baik secara teknis maupun pemikiran...

6.menurut museum ?
museum juga punya caranya sendiri...
7. dst...

SECARA TEKNIS
berkaitan dengan pilihan fisualisasi dari ide yang digarap apakah teknisnya bisa mencapainya.

BAHAN
menentukan bahan tentunya adalah hal yang mutlak untuk mendukung sebuah karya mencapai apa yang di inginkan serta tahan di gerus waktu, ( terkecuali untuk karya karya tertentu/dari kebutuhan tertentu... )

IDE

ide ide cemerlang , segar,(mungkin memberontak ) bisa di mungkinkan sebuah ide baru belum tentu diterima saat ini,

karya yang laris manis pun belum tentu sebuah karya yang berkualitas, atau sebaliknya karya yang tidak laku bukan sebuah karya yang tidak berkualitas....

jadi......
04 Februari jam 14:25 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Sagabiru Galeri:
Sing penting nglukis wae....
04 Februari jam 14:33 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Jokn Sulis:
begitu juga bagus...
04 Februari jam 15:15 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi :
Kalo dibilang obrolan di sini gak pake teori ndakik2 itu salah kaprah. Saya lumayan banyak baca, tapi bukan kolektor nama2 penulis-pemikir karena memang males mengingat2 nama orang selain mengutip2 pemikiran orang itu bukan pula persoalan s...ederhana. Juga analisa yg keliatannya asli dari pemikiran sendiri pun sebetulnya dasar2 pemikirannya sebagian dari pengaruh intelektual lain.
Sudahlah urusan kutip-mengutip teori gak perlu diperpanjang, karena memperoleh sumber2 referensi bidang seni di Indo (apalagi dlm bahasa Indo) benar2 sulit. Dan forum ini bukan obrolan preman (atau informal) menurut tangkapan saya, hanya lebih lentur saja ketimbang teks2 yg berpretensi akademis tetapi ternyata menclek. Kasus di sastra sudah cukup banyak, seni rupa harusnya berhati-hati agar tidak mengulang hal serupa.

Balik ke persoalan kualitas, saya kira seniman (entah mau disebut sbg seniman atw tidak) pasti mengharapkan respon berupa kritik dan apresiasi dari audiens (yg terdiri dari macam2 peranan dari sekedar viewer, kritikus, penulis, kolektor pribadi maupun lembaga, dsb). Tidak bisa melulu hanya mengurusi produksi karya. Tentu terkecuali karya itu demi tujuan yg sangat personal dan kebetulan memang tdk mengalami publikasi. Persoalan imbal ekonomis, jelas wajar karena dibutuhkan seniman sbg manusia biasa dan diperlukan bagi kontinuitas produksi karya berikutnya. Saya kira celah inilah yg menjadi sumber polemik mengenai pasar seni karena dari sinilah transaksi ekonomis (baik utk kepentingan ekonomi sendiri maupun kepentingan politis-ideologis) memainkan peranan krusial.
04 Februari jam 15:19 · SukaTidak Suka · 5 orangMemuat...
o
Zaenal Arifin:
pada hakekatnya pembicaran di sini sangat berkualitas dan manusiawi sekali dgn adanya unsur kebersamaan ,saling asah dan asuh jujur dan dikemas dlm bahasa2 sederhana yang mudah di mengerti kadang2 bergaya humor. (bukan pereman) tampa bermaksut menggurui.apalagi memvonis. saya kira pembicaraan ini positif sekali .dan ini yg membedakan seniman dgn tukang. Walao pun mungkin pembicaraan ini tidak menyimpulkan apa2 yg memang dari dulu juga pembicaraan tetang keseniam tidak pernah memyimpulkan apa2.
04 Februari jam 16:20 · SukaTidak Suka · 3 orangMemuat...
o
Karno Kaji ‎:
Wis tak dodol soto ae aku. He...he...
04 Februari jam 16:47 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Karno Kaji ‎:
Lha iyo, ngutip jenenge pelukis sak ndonya aku wis sombong. Sepurane cak. Aku nggak sombong wis cak.Medeni....
04 Februari jam 16:51 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Zaenal Arifin:
ora opo2 mas .jalani ae .dgn sabar dan ikhlas.GBU
04 Februari jam 16:55 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Sagabiru Galeri ‎:
@ Karno: kapan2 tak mampir ngrasakne soto sampeyan...hehehe
04 Februari jam 16:57 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Sagabiru Galeri:
‎@mas Zaenal : komentar yg bijaksana dan menyemangati...tq
04 Februari jam 17:00 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten:
ah, bung karno..maafkan daku juga. bukan maksud daku nggaya preman kok, yo maksudku itu ayolah kita sama-sama untuk tidak saling membedakan, apakah dia tukang sapu jalanan, tukang sampah dan atau petani dan lain2nya termasuk seniman adalah ...manusia yang sama, dan mari sama-sama menjadi manusia yang setara. gak usah juga seperti kata Judi Soetjahjo, bahwa seniman itu lebih mulia dari yang lain karena dia pikir telah mencapai tingkat paling tinggi (penciptaan), itukan koyol saja. bagaimana mungkin dia (mengaku sebagai kreator) mengatakan proses penciptaan hanya milik seniman, yang dalam hal ini adalah pekerja seni sperti melukis matung dll, saja...itu bukankan pandangan sempit yang dibangga2kan, seperti pandangan hitler bahwa ras-nya adalah ras bangsa unggul dll, itu sangat fasis. karena bagaimana dia tidak mampu melihat proses penciptaan itu tidak melulu melukis atau mematung dll, bahwa bertani itu juga sebuah proses penciptaan dari padi menjadi tanaman dan menjadi padi kembali dalam jumplah berlipat-lipat, dan itu penciptaan yang luar biasa. begitupun tukang sapu, dia mampu meciptakan tempat yang kotor menjadi bersih...wah kacau kalau pandangan tentang seni yang eksklusive dan fasis dan macho-machoan ini terus dipelihara.....ayolah kita semua sama kok, semua orang itu seniman, jika memang boleh dikatakan begitu, karena pada hakikatnya semua orang itu mencipta. maka menjadi sempitlah jika sebuah karya cipta itu adalah sebuah karya yang harus terpajang di galeri-galeri. justru itulah penodaan seni itu sendiri, yang memisahkan seni dari kehidupan. dan itulah kematian seni, yang justru dirayakan. turut prihatin :
04 Februari jam 18:02 · SukaTidak Suka · 2 orangLembu Jagiran dan Zaenal Arifin menyukai ini.
o
Judi Soetjahjo:
saya bukan seniman (pelukis, pemusic, penulis,etc)...saya cuman seorang teknikus biasa;ttp semakin tinggi keilmuan saya..dan semakin lama saya mengikuti appresiasi seni; semakin saya mengagumi proses2 pen 'cipta' an ini...;kadang saya berpi...kir...mengapa lukisan2, music2, buku2 tulisan...bisa menggugah kesan, pengaguman, penikmatan begitu banyak orang, bahkan terbawa kebeberapa jaman.. ?? lama2 saya menyadari bahwa proses pen-cipta-an inilah yng menggugah jiwa2 untuk menikmati...itulah kekaguman saya dlm proses transendensi ini....
04 Februari jam 18:14 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Halim Hade:
‎@Judi Soetjahjo: suatu hari, belasan tahun yang lampau, seperti tahun tahun sebelumnya, saya melintasi sebuah jembatan. di dalam mobil tumpangan itu rasa kagum, bahkan takjub kepada ahli konstruksi dan disainer jembatan yang menghubungkan ...sebuah pulau kecil dengan sebuah kota pelabuhan.
setiap saya melintasi jembatan yang panjang, saya merasa betapa ahli konstruksi ini, disainer ini, bukan hanya seorang tehnisi. tapi juga seorang filsuf.
04 Februari jam 18:27 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
karenanya gak usahlah katakan seniman itu lebih dari yang lain, jika alasan anda adalah telah sampai pada proses penciptaan. bukankan teknisi itu, baik biasa dan tidak, adalah sebuah proses penciptaan dari teknis yang sedang diprosesnya. ha...nya saja anda tidak menyadarinya. karena juga jika maksud anda adalah penggugahan jiwa, maka tergugah yang bagaimana, apakah itu lantas bisa disimpulkan sebagai keunggulan seniman dibanding dengan petani, misal-? tidakkah kau menyadari setiap sesuap nasi yang setiap saat anda makan itu adalah perolehan dari jerih kemuliaan petani? lebih dulu mana, apakah kau tak bisa hidup tanpa menikmati karya seni, atau kau tak bisa hidup jika tak ada petani yang menanam padi? lebih dulu mana kebutuhan perut atau pikirmu? meski seharusnya tidak perlu dibeda-bedakan, karena itulah jangan membeda-bedakan...semua sama dan mulia bung..
04 Februari jam 18:28 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade ‎:
@Judi Soetjahjo: pernahkah anda membayangkan, atau memasuki ruang penciptaan dunia masak-memasak, kulineri. itulah dasar seluruh peradaban manusia, sebelum ada 'agama' atau sistem apapun di dunia ini.
04 Februari jam 18:29 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Judi Soetjahjo:
‎@Halim : memang benar...ternyata stlh belajar lama sekali dlm bidang keteknisan, saya menyadari bahwa membuat sesuatu itu ada yng hanya memakai kemampuan teknis saja dan mengikuti aturan2nya; ttp ada yng membuat sesuatu itu (dlm dunia tekn...is) yng memakai 'art of design' (tingkat filosuf)...kadang kalau kita melihat bangunan..ada yng biasa2 saja; ttp ada yng begitu megah dan indah...hal ini ingin saya menjawab @ sdr. Agung juga...;apakah yng membedakan antara petani dan seniman...? dlm pekerjaannya sama2 mulianya...ttp ada petani yng tidak sekedar menanam; ttp menemukan jenis2 baru ..(menciptakan)...demikian pula dgn seniman, teknisi..;hanya menurut yng saya lihat...seniman2 lebih mengutamakan kerjanya dlm proses mencari dan membuat ciptaan...itulah yng saya kagumi..
04 Februari jam 18:41 · Tidak SukaSuka · 1 orangMemuat...
o
Lugi Lugiono:
cak Wahyu memang piawai melempar umpan , perhelatan ini tambah seru dan patut untuk disimak, Agung & Halim , ungapan kalian sangat berarti dalam memaknai proses kehidupan ini.
04 Februari jam 18:47 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
preekklah jika kamu masih membeda-bedakan. karenanya bagiku kau tak lebih dari kacang yang lupa kulitnya...
04 Februari jam 18:50 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
maaf bung lugi, itu maksudku untuk judi. maaf ya dan makasih apreseasinya. tadi keburu anda komen dan belum baca :)
04 Februari jam 18:53 · SukaTidak Suka
o
Gus Wang:
aku seneng sama pendapat pak Kaji, kalo kita berkesenian buat memuaskan diri sendiri, sama dengan onani.
Kalo kita berkesenian atas pesanan orang, sama dengan pelacur.
Sekarang timbul pertanyaan lagi, mana yg lebih baik kualitasnya, onani ata...u melacur?
04 Februari jam 19:03 · Tidak SukaSuka · 2 orangMemuat...
o
Halim Hade:
DIEGO RIVIERA, RODIN, WARHOL, SUJOYONO, AFFANDI, SUDARSO, SUNARSO, PAOLO VERONESSE, NUARTA, ..... DAN ADA RIBUAN LAINNYA, MEREKA MENERIMA PESANAN. DAN TAK MENOLAK DIPESAN. DAN KARYANYA BERMUTU.
04 Februari jam 19:18 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Halim Hade
YANG HARUS DIBEDAKAN,
ANTARA
DIPESAN
DAN
DIDIKTE.
...kalou nggak bisa MEMBEDAKAN HAL INI, NAMANYA IDIOT.
04 Februari jam 19:19 · SukaTidak Suka · 5 orangMemuat...
o
Gus Wang:
Jika dipesan, seniman tsb masih bisa berekspresi. Tetapi jika didikte seniman tsb harus menuruti kemauan org lain. Bukan begitu?
04 Februari jam 19:29 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade :
yaaa, @Gus Wang. saya ingat obrolan 20-an taon yang lalu dengan gendhon humardhani, dedengkot dunia seni pertunjukan. dia tak menolak dipesan. tapi tak mau dan tak bisa didikte. saya pernah tanya kepada berbagai kalanbgan, seperfti itu juga....
jika kita membvaca biografi, misalnya yang ditulis oleh PETER WATSON berjudul WISDOM & STRENGHT: an autobiography of renaissance master piece - buku ini bukan maen, dahsyaat - bagaimana PAOLO VERONESSE menerima pesanan, dan banyak karyanya digarap, artisannya, adalah murid-muridnya. jika sang murid dianggap telah mumpuni, barulah dipersilahkan membubuhkan tandatangannya sendiri.
04 Februari jam 19:33 · SukaTidak Suka
o
Eddy Hermanto:
Dari benturan gagasan-gagasan mudah-mudahan muncul kebenaran hehe:)
04 Februari jam 19:35 · Tidak SukaSuka · 1 orangMemuat...
o
Halim Hade:
dalam buku peter watson itu, yang dahsyaat ditulis dengan pendekatan sejarah, biografi, antropologi, etnografis serta pengungkapan sejarah politik, bagaimana sebuah karya, wisdom & strength mondar mandir di antara para penguasa, belasan pen...guasa di ereopa, dan akhirnya dibeli oleh pendiri keluarga frick, seorang industreialis baja, dan kini ada di galeri frick di new york, di pojokan madison square. sebuah galeri yang akustiknya sempurna.
(MONG NGOMONG, KENAPA SEMUA GALERI DI INDONESIA TAK MEMLIKI SEGI AKUSTIK YANG BNAIK; SEMUANYA JELEK, TERMASUK SANGKRING DAN LANGGENG DI YOGYAKARTA YANG DIANGGAP TERBESAR DI INDONESIA. coba anda masuk ke dalam galeri nasional senirupa kontemporer jepang, di taman ueno, atau museum nasional yang tak jauh dari situ, akustiknya bukan maer).
04 Februari jam 19:37 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Gus Wang:
Jadi sebetulnya kata kuncinya disini adalah kebebasan berekspresi akan menentukan kualitas sesungguhnya.
04 Februari jam 19:41 · SukaTidak Suka · 1 orangLembu Jagiran menyukai ini.
o
Agung Sitiyang Mblonten:
bung halim, yang menjadi masalah hari ini tentu bukan lagi tentang mutu dan kebebasan, didekte atau dipesen tentu bukan masalah. karena hari ini kemerdekaan telah datang. yang menjadi masalah adalah adanya ketidakadilan di alam kemerdekaan ...ini. maka apa masih cukup bisa dibilang manusia atau seniman yang memiliki hati jika dia bekerja pada penindas, dalam arti sebuah lukisan misal dibuat semalam jadi, lalu harganya oleh para bos itu ratusan atau milyaran, sedangkan dia menolak mensejahterkan buruh atau menolak menghentikan pengeksploitasian atas alam,..
04 Februari jam 19:43 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade :
kebebasan, @Gus Wang, hanya ada jika senimannya memiliki komitmen. terserah komitmennya kepada apa dan siapa. pada sisi lainnya, 'ruang kebebasan' juga bisa memancing ruang ganda dan ambiguitas dalam posisi seniman.........dan di sanalah 'k...ualitas' dalam berbagai kajian melalui berbagai perspektif dibutuhkan.
ada ungkapan klasik, seni memiliki multi tafsir. karena multi tafsir, maka tak akan selesai pada suatu jaman. ars longa vita brevis, mungkin ada benarnya, jika memang kesenian dan khasanah seni itu memiliki kualitas dan komitmen...........
04 Februari jam 19:45 · SukaTidak Suka · 2 orangIndarto Agung Sukmono dan Agung Sitiyang Mblonten menyukai ini.
o
Agung Sitiyang Mblonten:
lalu dimana hati seniman pada kemanusiaan, pada kepedulian dan baktinya pada alam, kemana? dihati uang dan pengusaha?
04 Februari jam 19:45 · SukaTidak Suka
o
Gus Wang:
Atau mungkin lebih tepatnya originalitas yg menentukan kualitas
04 Februari jam 19:45 · Tidak SukaSuka · 1 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten:
dan perlu diketahui kita tidak hidup sejaman dengan yang disebut bung halim : DIEGO RIVIERA, RODIN, WARHOL, SUJOYONO, AFFANDI, SUDARSO, SUNARSO, PAOLO VERONESSE, NUARTA, ..... DAN ADA RIBUAN LAINNYA, ..tentu tidak. kita memiliki jaman sendiri dan harus terus maju menyongsong kemanusiaan yang adil dan beradab. itulah seniman yang terus berkwalitas, seniman yang mau mewujudkan kemanusiaan dan kesetaraan alam, dan manembah tuhan.
04 Februari jam 19:51 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi:
Nah lho.... Pendekatan ideologis akhirnya masuk.
Mong-ngomong, kapan kita mau jujur membicarakan seni dari perspektif ideologis macam ini?
Tadi udah saya singgung bahwa seni sudah terkooptasi sistem ekonomi liberal-kapitalis yg gak mesti pula... diliat dari pihak2 yg langsung diuntungkan dari mekanisme pasar seni, tetapi turut menopang perputaran aktivitas seni dng menjadikannya sbg simbol status sosial atw digunakan demi kepentingan politis-ideologis tertentu.
04 Februari jam 19:55 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi:
Makanya saya bener2 sependapat dng komen2 Agung barusan...
04 Februari jam 19:57 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten:
maka tidak pantaslah mengaku seniman atau manusia jika memiliki hati yang tidak peduli pada kemanusiaan dan ketimpangan alam yang telah semakin kritis ini. kelak kalian akan tahu, akibat dari ketidakpedulian ini maka kalian atau waris kalian akan digulung oleh kemarahan alam dan kemanusiaan. jaman terus bergerak bung. bangunlah menyongsong kesetaraan dan kepedulian alam.
04 Februari jam 20:00 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Halim Hade:
kalou mau tahu sekarang, belajar yang kemaren, kalou mau tahu esok, belajarlah yang sekarang.
04 Februari jam 20:02 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade:
JANGAN JANGAN PENDEKATAN IDEOLOGIS JUSTERU MANIPULATIF. PENDIDIKAN ILMU SOSIAL DI INDONESIA, SEJAK JAMAN KOLONIALS ME BELANDA HINGGA MODERNISME AMERIKA SEMUANYA IDEOLOGIS DAN MANIPULATIF.
04 Februari jam 20:04 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi:
Mong-ngomong pulak soal arsitektur yg jadi penengah antara techne dan ars, saya teringat akan sbh gedung markas pemadam kebakaran di suatu kota di Jerman (lupa tepatnya) yg dirancang dng desain ultra-modern ......yg akhirnya mangkrak gak kepake karena sama sekali tidak ergonomis: dinding2 ruang yg menyudut tajam, area toilet yg kurang privasi, dst. Akhirnya cuma jadi monumen...
04 Februari jam 20:04 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Halim Hade:
BOENG AJO BOENG, jadilah ungkapan ini pemberi semangat yang disampaikan oleh CHAIRIL ANWAR kepada SOEDJOJONO dan AFFANDI pembuat spanduk dan banner perjuangan.
KATA-KATA ITU, boeng ajo boeng, DIPETIK OLEH CHAIRIL DARI LINGKUNGAN MASYARAKAT P...ELACUR, KAUM PEREMPUAN.
04 Februari jam 20:07 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
atau ketika para seniman berteriak dan memaki korupsi, tapi lukisan atau karya2nya dibiarkan dibeli oleh miranda goltom atau koruptor2 lain. apa itu akan terus dipelihara disikap seorang siniman, sikap seorang manusia seperti apakah itu jika bukan munafik?
04 Februari jam 20:08 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi:
Om Halim, maksud kata ideologis yg pertama pada komen di atas kan bukan itu....
Kalo ideologi yg manipulatif, yah banyak contohnya di Indon... Monumen, patung2....
Juga Jerman lagi dng Berlin wall grafitti...
04 Februari jam 20:09 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade:
SUKARNO NGOMONG SOAL POSISI PEREMPUAN. TAPIM KOLEKSINYA SEMUANYA SELERA SEKS, DAN PUNYA BINI 5.
04 Februari jam 20:10 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
bung halim, iya tentu dong, bukan berarti mengabaikan masalalu tentu, dan tentu berterimakasih atasnya. tapi tentu kita harus terus maju dan menjawab jaman sendiri yang telah huru-hara dan kritis ini keadaan alam dan kemanusiaannya...
04 Februari jam 20:10 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi:
Hoi2 poin lagi bwt Agung...
Hipokrisi. Hipokrisi...
04 Februari jam 20:11 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
ho'o bung halim, kita semua tahu, kita lelah dikhianati, maka karena itulah, apakah lalu kita membiarkan diri lalu turut menjadi bagian dari pengkhianat, tentu tidak kan, seharusnya. apa kita akan menyerah dan berpasrah pasti akan ada pengulangan-pengulangan kegagalan. bukankan sisipuspun seharusnya tidak menyerah pada ketidak tahuan...kita manusia dan sisipus telah memberi pelajaran, tapi kita bukan dia meski menghadapi hal yang sama, tapi tentu bukan berarti akan sia-sia dan berhenti menjadi manusia....
04 Februari jam 20:27 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
maaf bung halim, aku tidak bermaksud menyerang anda. saya tahu bagaimana anda....
04 Februari jam 20:32 · SukaTidak Suka
o
Judi Soetjahjo:
kembali ke pertanyaan awal yng diutarakan Wahyu : "bagaimana karya seni disebut berkualitas ?"....Siapa yng menentukan kualitas ini ? Senimannya ? atau Publiknya ? Kalau Publiknya, siapa Publik ini ? Hanya para Collector ? Kalau Senimannya..landasannya apa ? Apakah semuanya berbalik pd nilai keuangan dari karya itu ?
04 Februari jam 21:00 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
preekkkk..ngomong sudah jauh-jauh begini malah dikira tidak membicarakan kwalitas, malah disuruh balik. enak aja kau...nilai dan ambil sendirilah kesimpulannya, gak usah nyuruh-nyuruh orang lain ngomong...
04 Februari jam 21:05 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten:
kesimpulannya, seni hari ini yang berkualitas adalah seni yang munafik. semakin maestro seniman maka semakin maestro pula menindasnya..haha..aku benci dengan penindasan atas nama apapun, atasnama tuhan dan kesenian, penindasan adalah penindasan.!
04 Februari jam 21:11 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi:
Hahaha....
Betul! Persoalan kualitas jelas ditentukan oleh seniman itu sendiri yg mestinya sadar bahwa aktivitas seni yg dilakukannya memiliki tujuan jelas sebagai sarana menyampaikan keprihatinan dan idealismenya terhadap nilai2 kemanusiaan....

Manja sekali jika ia tidak tau nilai dari karyanya sendiri dan terus minta2 dinilai tapi takut didikte. Yg dilakukan oleh audiens dlm merespon bukan sekedar mengapresiasi oh ini karya bagus, itu jelek; tetapi sudah pada taraf pertarungan gagasan. Dan jika audiens blm siap, tugas seniman pula utk memberikan umpan.
04 Februari jam 21:15 · Tidak SukaSuka · 5 orangMemuat...
o
Sindhu Pertiwi:
Jika seniman tau sudah apa tujuan dia berkesenian, tugas kritikus (bila ada!) akan mudah. Cukup memberikan pertimbangan berdasarkan keahlian dan wawasannya; jika perlu berpolemik mempertahankan pendapatnya. Toh kritikus sesungguhnya berkary...a pula, karyanya adalah pemikiran2 kritis yg dia hasilkan!

Jadi: PREK DNG UNGKAPAN "BUKTIKAN DENGAN KARYA" KALO KAU TAK TAU YG NAMANYA KARYA ITU WUJUDNYA APA SAJA!!
04 Februari jam 21:20 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten:
yoi prek dengan ungkapan "TUGAS SENIMAN ADALAH BERKARYA, TIDAK BERPOLEMIK!"

ITULAH PEMBODOHAN YANG NYATA. SENIMAN HENDAK DITIDURKAN MATA BATINNYA DARI MELIHAT REALITAS, SEHINGGA BIAR MIMPI DAN BERGUMUL DENGAN IBLIS DALAM MIMPINYA ITU SEOLAH... ITULAH SENI DAN KEINDAHAN. PREEEKKKK!!
04 Februari jam 21:23 · SukaTidak Suka · 2 orangLembu Jagiran dan Jokn Sulis menyukai ini.
o
Sindhu Pertiwi:
Polemik tentang pasar seni tak akan habis dibahas jika seniman tidak pernah jujur bahwa ketakutannya yg paling utama barangkali masalah finansial atau bahkan status sbg seniman maestro, mainstream, karya level sekian jut... Juga takut dng p...ertarungan wacana dan selalu minta dimaklumi kadar intelektualitasnya, tetapi minta diperlakukan sebagai intelektual melalui gagasan karyanya.
Lepas dari tidak terjangkaunya bahan2 referensi, aktivitas intelektual seniman BISA diasah dng diskusi2 macam ini!
Jadi ini memang diskusi serius, dng wacana serius dan bekal teori-pengetahuan yg serius!
04 Februari jam 21:33 · Tidak SukaSuka · 5 orangMemuat...
o
Halim Hade :
AKU SIAP DISERANG OLEH SIAPAPUN JUGA.
KALOW ADA YANG NGOMONG MANGAP BAHWA SENI DITENTUKAN OLEH SENIMANNYA SENDIRI, SEMENTARA DIA NGOMONG MANGAP SOAL 'IDEOLOGUS' ADALAH THE BLA BLA SHOW.....
04 Februari jam 21:52 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade :
KEJUJURAN DAN HIPOKRISI TIDAK SEPENUHNYA DITENTUKAN
OLEH SENIMANNYA. KONSEKUENSI LOGIS MENGGUNAKAN KERANGKA 'IEOLOGIS' ADALAH BAHWA SENIMAN BISA JUGA
HANYA MENJADI 'ALAT'. PENGELAMAN DARI LEKRA, LESBUMI, LKN, DAN DIBERBAGAI NEGERI LAIN, HANYA... 2% SENIMAN YANG BENAR BENAR TUMBUH DARI SISTEM 'IDEOLOGI' YANG DIKUASAINYA.
04 Februari jam 21:54 · SukaTidak Suka
o
Gus Wang:
hahaha akhirnya kita kembali lagi ke titik awal rasanya. tidak ada yg bisa menjawab dgn jelas, bagaimana karya seni disebut berkualitas ? .Siapa yng menentukan kualitas ini kuratornya? Senimannya ? atau Publiknya ?
Kalau tidak ada, ya biarl...ah pembuatnya saja yg menentukan.
04 Februari jam 21:56 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
LHO kalau tentang siapa yang boleh menentukan itu ya siapa saja sah untuk mengatakannya. tidak harus seniman saja atau kurator saja atau publik saja. tapi yang menjadi lebih penting dan telah kita bicarakan dari tadi kan bukan sekedar siapa yang menentukan melainkan kualitas seni itu sendiri. untuk apa kita membicarakan siapa yang berhak, karena semua orang tentu berhak dan bebas berbicara dan menilai.
04 Februari jam 21:59 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade:
JIKA KUALITAS DIANGGAP SEBAGAI UKURAN TUNGGAL DAN MUTLAK, JELAS TAK ADA. SEMUA KEBUDAYAAN BESERTA KHASANAHNYA MEMILIKI RUANG GANDA DAN MEMILIKI KAPASITAS TAFSIR.
DAN KUALITAS, SEBAGAIMANA SEJARAH MENGAJARKAN, JUGA MEMILIKI UNSUR ATAU ELEMEN ...KEBUTUHAN. SEBUAH SISTEM POLITIK YANG INGIN MENGGUNAKAN SENI, BISA MERUMUSKAN SEBUAH KARYA 'BERKUALITAS'. ANOM SUROTO DI JAMAN HARMOKO SEBAGAIMANA JUGA MANTEB, DIANGGAP BERKUALITAS. TAPI BAGI ORANG SRAGEN, DESA BANTENGAN, MENGANGGAP BAHWA MBAH DARMAN GONDODARSONO YANG PALING TOP, SAMA SEPERTI DI WONOGIRI MBAH WARSINO DIANGGAP PALING BERMUTU, SAMA SEPERTI KOES BERSAUDARA DIANGGAP BERMUTU DIBANDINGKAN SETELAH MENJADI 'KOES PLUS'.Lihat Selengkapnya
04 Februari jam 22:00 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Sindhu Pertiwi:
Om Halim, sesungguhnya anda sudah membuat kesimpulan mendasar tentang apa itu false consciousness, ideologi dsb dlm ranah filsafat politik. Cukup jelas bahwa sejarah bukan soal cerita siapa yg menang atau kalah, tetapi juga pertanggungjawaban bahwa hasil dari tindakan yg disadari tidak sepenuhnya benar dinilai dari perspektif di masa depan.
04 Februari jam 22:01 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade:
BERSYUKURLAH KEPADA SISTEM PERDAGANGAN DAN PASAR BESERTA RESIKONYA. DAMPAK APAPUN KITA BISA BELAJAR KEPADA EKSES. MANUSIA TAK SEPENUHNYA DILAHIRKAN MENJADI MANUSIA YANG SUCI, APALAHI KARYA KESENIAN.
04 Februari jam 22:02 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten:
tentu dong kalau bersukur dan pasti semua kejadian itu akan ada hikmahnya. dan tentu juga tugas kita bukan sekedar berterimakasih dan membiarkan saja kenyataan yang terjadi. sudah selayaknya adalah terus maju dan memperbaiki dan tumbuh kebaikan.....bla bla..
04 Februari jam 22:04 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Halim Hade:
‎@Eddy: pernyataan anda tak jelas. kontradiktif. bahkan mungkin CONTRADICTIO IN TERMINIS.
JANGAN MENGANGGAP ENTENG PELAKU PASAR SENIRUPA. PANDANGAN SINISME SEPERTI ANDA, TAK MEMILIKI LOGIKA YANG JELAS. PELAKU PASAR MEMILIKI KRITERIANYA SENDI...RI. JIKA ANDA TAK BERSETUJU, TOLAK, DAN MASUKI RUANG LAIN. TAPI, DI RUANG LAIN, PASTI AKAN ADA DAN HADIR PALEKAKU PASAR.
INGAT, PELAKU PASAR BUKANLAH SEGEROMBOLAN ORANG YANG BERSEPAKAT DENGAN NILAI TUNGGAL.
DALAM SEJARAH, PELAKU PASAR, JUSTERU MEREKA YANG MEMBUAT DESENTRALISASI NILAI DAN KRITERIA, KARENA SIFAT DAN SIKAP KOMPETITIF YANG ADA DIDALAM DIRI MEREKA.
LIHAT KOLEKSI-KOLEKSI DARI KOLEKTOR. DAN JIKA ADA PELAKU PASAR YANG BEBAL, BODOH, IDIOT, SAMA SAJA DAN SEBANGUND ENGAN PERUPA JUGA ADA YANG SEPERTI ITU.
SINGKAT KATA, PAHAMI PASAR DALAM RUANG GANDA.
04 Februari jam 22:10 · Tidak SukaSuka · 2 orangAnda dan Jokn Sulis menyukai ini.
o
Sindhu Pertiwi:
Sesungguhnya ada 2 kesimpulan penting yg mesti digarisbawahi:
1. Bahwa parameter seni dapat dipengaruhi pasar atau setiap transaksi yg menopang perputaran aktivitas seni.
2. Bahwa parameter seni juga bisa dipengaruhi ranah politik dari ideolo...gi kelas/kaum yg berkuasa dng memaksakan kesadaran secara langsung ataupun sbg patron yg menopang perputaran aktivitas seni.

Bagiku, keduanya bisa dekat serupa-hampir tak terbedakan.
04 Februari jam 22:13 · SukaTidak Suka
o
Gus Wang:
Bagaimana caranya menentukan seni A adalah KW1, seni B adalah KW2? apakah ada rumusnya? apakah ada SNI atau SII? apakah semua gambar yg ada di bak truk adalah KW1? apakah semua gambar Lenardo Da Vinci KW2? Jika sistem politik telah merumuskan sebuah karya "berkualitas" artinya kita sudah terjebak oleh mereka sehingga mencari rumus mereka. apakah tujuan berkesenian seperti itu?
04 Februari jam 22:13 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade:
DAN SATU LAGI,
PASAR SEBAGAI SUATU SISTEM,
DAN PASAR SEBAGAI KAPASITAS PERSONAL.
AMBILLAH KASUS OEY HONG DJIEN (OHD). SOSOKNYA
BISA IKUT MENENTUKAN. SAMA HALNYA DALAM KASUS
...SENI KONTEMPORER DI AMRIK TAHUN 60-AN, LEO CASTELLI.
04 Februari jam 22:16 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade:
‎@Gus Wang: IJINKAN SAYA MENGAMBIL CONTOH DARI PRODUK KEBUDAYAAN YANG LAIN:
ADAKAH PIZZA LEBIH BERMUTU DARI KETELA REBUS?
ADAKAH BURGER LEBIH BERMUTU DARI NASI LIWET.
SAMA-SAMA MAKANAN.
NAMUN, naaaaah, ADA SOAL LAIN: PENCITRAAN.
...KONSTRUKSI CITRA. ADA UPAYA PENGGIRINGAN TERHADAP
SUATU SELERA ATAU KRITERIA.
TINGGAL PILIH, ANDA DI TIKAR PLASTIK ATAU TIKAR
PANDAN - kata si jikul (wiji thukul).
04 Februari jam 22:21 · SukaTidak Suka
o
Eddy Hermanto:
Dari sudut pandang saya, tendensi perkembangan pasar wacana atau wacana pasa seni lukis kita dapat dilihat sebagai susunan kategori yang "dimaklumi" kalau emoh disebut "carut marut" terkadang pemikiran atau asumsi kita kerap dikacaukan ole...h asosiasi-asosiasi. Namun bagi saya hal itu menarik paling tidak berusaha memahami sebuah logika alternatif, sebuah logika " either...or ....or" ( pilih ini, atau itu, atau yang laen) yang menggantikan logika lawas eksklusif eitheior ( kalau tidak pilih ini, ya pilih itu) ...
04 Februari jam 22:21 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi:
Om Halim, jika pasar dan mekanisme pasar dipahami sebagai agen desentralisasi nilai, secara parsial betul. Dan seniman juga bukan pihak bodoh yg tdk tau bagaimana mencari nilai tawar baru. Tetapi ini makin menjauhkan dari pertimbangan awal ...yg sudah kuberikan.
Apa yg berhak mengakses seni itu cuma kolektor berduit banyak?
Saya gak akan mengulang lagi perdebatan tntg kitsch dan sejarahnya. Tapi apakah objek seni hanya bisa diapresiasi dng memilikinya secara pribadi/eksklusif?
04 Februari jam 22:21 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Halim Hade:
‎@Gus Wang: seperti kata anda. WACANA. jelas, jika kita bicara wacana, maka kita bicara soal DISCOURSE. ingat: DIS-COURSE.
konsekuensi logisnya: penolakan terhadap semua jenis kerangka yang dimapankan. SEMOGA JIKA ANDA BERSETUJU, JADILAH ANA...RKIS!!
04 Februari jam 22:23 · SukaTidak Suka · 1 orangEddy Hermanto menyukai ini.
o
Sindhu Pertiwi:
APA TIDAK ADA CARA LAIN MENGAKSES SENI SELAIN MELALUI MEKANISME PASAR?
APA TIDAK ADA CARA LAIN MENOPANG AKTIVITAS SENI TANPA MEKANISME PASAR?
ENTAH DIISI PENENTU NILAI TUNGGAL (MONOPOLISTIK) MAUPUN BANYAK (OLIGOPOLISTIK), PASAR YA TETEP PASAR... DI MANA TERJADI TRANSAKSI EKONOMI.
04 Februari jam 22:26 · SukaTidak Suka · 1 orangAgung Sitiyang Mblonten menyukai ini.
o
Halim Hade:
naaah, @Sindhu, dalam konteks itulah maka - ini idealisasi dan ada dalam sejarah sosial di mana-mana - pasar yang 'baik' selalu menciptakan ruang ganda lain: galeri publik, museum publik, dsbnya....
bukankah ini ada banyak contohnya....bahka...n di negeri yang dianggap paling kapitalistik sekalipun.
walaupun tentu saja kita bisa bertanya dan mempertanyakan posisi dan fungsi galeri serta museum publik itu. tapi, di suatu negeri yang 'baik', tentu akan ada banyak museum dan galeri publik.
BAGAIMANA DENGAN NUSANTARA.............??
04 Februari jam 22:28 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi:
Lah itu betul memang. Makanya bener ungkapan om Carloz bahwa kapitalisme paling anarkis itu memang Indon, termasuk seni rupanya. Masak fasilitas publik, hak layanan publik semuanya diserahkan ke mekanisme pasar yg paling bebas, DAN INGAT: BEBAS PAJAK!!
04 Februari jam 22:38 · Tidak SukaSuka · 3 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten:
HAHAHA..DAN ANARKIS TERBAIK ADALAH ANARKIS YANG MURTAD HAHAGA
04 Februari jam 22:54 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade:
murtad?
tak ada.
anarkis aja belom.
inilah negeri dengan
mediokerannya.
...mertanggung!
04 Februari jam 22:57 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten:
yoi bung. karena sesungguhnya anarki total itu adalah tak ada siapa-siapa, apalagi negara. total anarki adalah total individu, maka raihlah sendiri kemerdekaan individu itu tanpa negara dan siapa2. ada dan tidak adanya negara tidak pernah m...empengaruhi dirinya, karena seluruh berhala telah terpenggal.

tentu ANARKI YANG BAIK ADALAH ANARKI YANG MURTAD ini bagi yang telah mencapai nihilitas dan tidak menyerah mencari hakikat. bagaikan sisipus menumpuk seribu gunung, mencapai puncak tertingginya dan terus menggenggam dunia untuk dibawa terus ke langitnya. sehingga kalaupun jatuh, tinggallah membalik dunia, maka sesungguhnya kejatuhannya adalah sebuah berkah yang diturunkan untuknya :)
04 Februari jam 23:13 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi:
Lagi2 aku mesti mengulang komentarku di awal. Di negeri tanpa pemerintahan ini, piye nek seniman yg peduli bikin asosiasi, lembaga non-profit, tujuane mengusahakan aktivitas seni yg lebih fair walaupun masih tergantung mekanisme koleksi pri...vat. Fair bwt apresiasi publik yg lbh luas, fair bwt kesejahteraan seniman-artisan, fair bwt pemikiran seni yg sesungguhnya, fair bwt dokumentasi seni utk generasi berikut, kalo perlu sekalian membongkar kemacetan peran pemerintah....
Ato mungkin usul pemikiran lain yg gak terkonstruk wacana rezim kurator-galeri-kolektor-bale lelang.....
04 Februari jam 23:14 · Tidak SukaSuka · 3 orangAnda, Lembu Jagiran, dan Eddy Hermanto menyukai ini
o
Sindhu Pertiwi:
Bagaimanapun bung Agung, anarkisme mesti dimulai dr hal2 yg realistis juga...
04 Februari jam 23:16 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
yoi bagus sindu///dan menyambung sebagai anarkis, ingin aku membakar gudang2 kolektor itu jika tidak dapat direbut untuk menjadi milik publik. karena bagaimanapun ada jerih payah dan luka tangis banyak buruh hingga para cukong itu mengumpulkan karya2 seni. belum lagi penjarahan dan terlukanya alam yang dihisap semena-mena tanpa perencanaan dan fungsi yang jelas bagi kehidupan selain manipulasi dan menuruti hasrat kemanusiaan yang tak ada batasnya selain kematian itu...
04 Februari jam 23:20 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade:
kalow individu, bukan anarki namanya.
ngamok - ngadat.
04 Februari jam 23:21 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi:
Mangkanya kuncinya di kerjasama, the straight opposition of individual competition (dng status maestro-lah, mainstream-lah...). Yg terakhir itu (kompetisi individu) kan hal yg mendasari kapitalisme itu sendiri...
04 Februari jam 23:28 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten:
lho lalu apa yang anda pikir dan tawarkan dengan anarki? kolektivism? atau organ2 alternative? yah, kalau gitu mah gak ada beda dengan negara, masih saja kesepakatan adalah kompromi, dan matilah individu, maka dimana kemerdekaan sejati? ini... tentu tidak sesederhana tentang kemarahan, tapi lebih jauh adalah tentang hakikat hidup dan kebebasan itu sendiri. tak akan pernah bisa didapat jika tidak melalui diri sendiri dulu. baru ketika telah terbebas maka bisalah dengan yang lain untuk saling membebaskan diri pada hakikat hidup itu sendiri. gimana sih...
04 Februari jam 23:29 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
makanya aku bilang anarki yang baik adalah anarki yang murtad. jika dia telah mencapai keindividuan, telah selesai, maka dia bisa membangun masyarakat sosial. karena sosialis terbaik adalah individu2 terbaik. kalau individu2 busuk itu ya gak ada beda dengan gerombolan gak jelas,....
04 Februari jam 23:33 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
kalau masih dengan kolektivitas sebagai langkah dan pemaknaan atas anarki, maka tak akan beda dengan kerbau atau kawanan binatang lain, hanya demi kelompok dan dirinya sendiri, yang akan saling bertarung dengan kawanan lain. padahal pertarungan yang harus diselesaikan ketikapun seluruh musuh telah mati adalah diri sendiri. maka apakah akan menghabisi seluruh musuh dulu baru diri sendiri, atau diri sendiri dulu baru tahu mana musuh yang sesungguhnya?
04 Februari jam 23:39 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
kecuali anda mengajak bicara komunisme dan diktatoriat proletar, maka lain ceritanya.
04 Februari jam 23:40 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi:
Wah, embuhlah itu Gung. Tapi uraianmu itu sulit kucerna dlm tataran teknis. Dan kalo udah sampe sini biasanya aku males nerusin perdebatan di tengah2 leftists sendiri....
Mana yg marxis gak akur dng anarkis, mana yg alirannya masih dipecah-p...ecah lagi....
Gagasan leftists apapun alirannya sering dituding lemah karena hanya bagus di taraf teori dan debat akademis, tapi prakteknya susah terwujud, ataupun terjebak dlm agenda masing2.
04 Februari jam 23:45 · Tidak SukaSuka · 2 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten:
haha...mungkin guyon aja sindu. ini sih gara-gara tergoda oleh idiom om halim. "semoga menjadi anarkis"
04 Februari jam 23:48 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
makasih semua untuk diskusinya. menarik sekali, dan maafkan jika banyak omong kosongku...dan sudah ah...mungkin nanti lain kali semoga ada yang lebih menarik dan bisa dilanjut..makasih semua dan maaf jugaaaaa :))
04 Februari jam 23:54 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade:
baca aja dulu soal BAKUNIN. nanti ente ngerti.
05 Februari jam 0:49 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
haha bakunin? makanan apaan tuh? udah kenyang om, dan aku pikir aku tak perlu menghabiskan waktuku untuk berhenti pada yang dia capai....
05 Februari jam 0:52 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade:
yang ada di febuk,
gak ada seujung rambut bakunin......
05 Februari jam 0:53 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
fesbuk siapa? bahkan aku tak pernah mengetahui dia dari fesbuk. aku kenal bakunin jauh sebelum ada fesbuk, jauh sebelum wacana anarki telah menjadi booming di sini, aku telah menjalani dan bukan sekedar membaca, tapi telah menjadi lakuku...telah aku lewati perjalanan dan pembacaan sejauh yang bakunin capai dan aku pikir aku tidak akan pernah menganggapnya sebagai yang tidak akan terlampaui...
05 Februari jam 0:57 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade:
hehehehe.................
05 Februari jam 0:58 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Halim Hade:
bedanya, bakunin menjadi pola, patern,
dan.................
05 Februari jam 1:00 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
dan payahnya menjadi nabi dan agama anarki. aku pikir entah kenapa selalu menusia terjebak pada tren dan kemapanan. mungkin itulah sesungguh musuh manusia, adalah kemapanan, keterjebakan, dan dunia itu sendiri menjadi penjara yang membuat lupa kalau penjara...haha...om halim sedang apa sekarang, menuliskah?
05 Februari jam 1:04 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade:
biasa, jadi sirkus.........
05 Februari jam 1:05 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Halim Hade:
komedi puter...............
05 Februari jam 1:05 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten:
yoi, haha..sebenarnya seluruh teori pada akhirnya sederhana. tapi pada akhirnya sering kita manusia membuatnya menjadi rumit pada entahlah...dunia ini memang benar2 menggoda untuk kita terlena dan bersikus ria..haha
05 Februari jam 1:11 · Tidak SukaSuka · 2 orangMemuat...
o
Halim Hade:
aku kangen komedi puter.
sejak sekolah rakyat, aku
selalu ingin menjadi pelaku
itu. tapi, hati..............
05 Februari jam 1:14 · Tidak SukaSuka · 2 orangMemuat...
o
Dadang Christanto:
Ikut nimbrung diskusi, maaf dengan tulisan panjang dari artikel lama yang mungkin masih relevan dalam diskusi ini.

Catatan senirupa:
Tiga Jenis Monyet

...Setouchi International Art Festival 2010 (SIAF 2010) dibuka Senin, 19 Juli. Festival berdurasi 100 hari dengan general director Fram Kitagawa ini, melibatkan 99 nama peserta perorangan maupun kelompok/koloborasi. Diantaranya nama nama besar seperti; Christian Boltanski, Tadashi Kawamata, Lee Ufan/Tadao Ando. SIAF 2010 diselengarakan di wilayah Takamatsu-Kagawa, Jepang. Meski tidak sebesar atau semasif bila dinbanding “Echigo Tsumari Triennial” yang berada di Niigata Prepecture, namun SIAF 2010 tetap menarik dan aktraktif sebagai perhelatan senirupa lewat wisata bahari. SIAF 2010, menempati pelabuhan Takamatsu dan 7 pulau kecil nan cantik ( Naoshima, Teshima, Megijima, Ogijima, Shodosima, Oshima dan Inujima) sebagai areal kegiatannya. Kisah sukses Echigo Tsumari Triennial dan keberadaan Bennese House Museum, Chichu Art Museum dan House Projectnya di Pulau Naoshima yang telah mendunia, mendorong pemerintah Kagawa Prefecture menyelengarakan SIAF 2010.
Untuk memberi nuansa dari karya yang menarik perhatian saya, saya memulai dengan anekdot: Tiga Jenis Monyet.

Monyet di kebon binatang
Monyet jenis ini dipelihara pemerintah (pemilik kebon binatang). Di kurung dalam ruang dengan ukuran tertentu, polah geraknya serba terbatas, terpenjara. Dijadikan tontonan. Daya jungkir balik dengan segala variasi yang alami, penuh kejutan, sesuai susunan motorik tubuh laiknya monyet, langka disaksikan pada monyet yang ada di kebon binatang. Pendek kata; hidupnya sebagai monyet menjadi tergantung dan terpasung.
Jika gambaran monyet di kebon binatang ini seniman, maka seniman tersebut hidup di dalam sebuah pemerintahan yang otoriter, represif. Dimana kebebasan mengekspresikan diri melalui karya seni terbungkam. Yang ada hanyalah melayani karya pesanan dari pemerintah dengan muatan ideologi penguasa. Membuat, poster-poster, baliho, atau monument yang mengumbar kemegahan dan keberhasilan Pembangunan. Ruang gerak kreatifitas seniman yang mengerjakan karya di ruang personal atau individupun mengalami self censorship. Tiarap, cari selamat dari todongan ujung senapan regime. Dunia kesenian Indonesia pernah melalui kondisi semacam ini semasa Orde Baru berkuasa.

Monyet di tempat sirkus
Monyet yang dipelihara oleh pemilik sirkus (swasta) dijadikan komoditas. Kretifitas gerakan aktrasinya di bentuk, dikemas, disutradarai untuk pangsa pasar dunia hiburan dan gaya hidup. Aktrasi dari monyet sirkus bisa membuat decak kagum. Karena dapat melampoi hal-hal alami atau tak selazim dilakukan seekor monyet. Monyet bisa meniru-niru aktifitas manusia. Apa yang dilakukan penuh terobosan kreatifitas yang fenomenal.
“Paimin (maaf, bila ada pembaca yang bernama sama). Ayo pergi ke pasar!. Jangan lupa bawa tas dan payung lho” seru juragan sirkus Komedi Putar” kepada monyet piaraannya. Atau bahasa halusnya “partner bisnis”. Dan si monyet yang tengah “digoreng” agar fashionable, berdandan menor, berias badut itu, dengan patuh, cekatan melaksanakan perintah. Dia dibentuk juragannya menjadi bintang sirkus agar laris manis.
Monyet (baca seniman) jenis ini, melayani dan tunduk terhadap pemilik modal, kekuatan pasar melalui dealer seni, galeri komersial yang patgulipat dengan kurator/penulis seni. Senirupa menjadi komoditi bagai atraksi sirkus monyet dengan segala macam trick bisnis, mendominasi wacana senirupa kontemporer di Indonesia sekarang ini.

Monyet di dalam hutan
Melakukan jungkir balik, bergelantungan, berayun dari dahan pohon ke dahan pohon lainnya, berjingkrak, melompat, berputar akrobatik, bergumam, berteriak riuh rendah adalah hidup selaras di dalam habitat alamiahnya. Dia melakukan itu, karena memang ingin melakukan.
Jika monyet di hutan tersebut seorang seniman, ia tersiolasi dari jejaring art world, jauh dari kebisingan politik seni atau seni politik, Tidak ada orang yang memperdulikan polahnya, tidak ada pesanan dari pemerintah maupun permintaan galeri/dealer seni agar merespon karya pasar yang lagi hot. Tidak ada media yang meliput kegiatannya, tidak ada tepuk tangan, selaiknya seniman bintang atau selibritis.
Namun, ada hal penting yang hilang atau tak tergapai oleh monyet di kebon binatang dan monyet di tempat sirkus, yakni: Ruang Kemerdekaannya. “Burung bernyanyi, karena memang ingin bernyanyi”.

Dibangun, lalu lenyap bersama angin…
Adalah Koichi Kurita, perupa Jepang yang selama hampir 20 tahun asik dengan kerja kesinambungannya, yang dia namakan “Soil Library”. Kali ini karya Koichi di SIAF 2010, mencomot segenggam tanah dari beberapa desa di Pulau Shodosima. Ada ribuan kali mencomot lewat telapak tangannya (tanpa alat). Dia beri tanda/sample di dalam kontong-kantong plastik untuk mengingat dimana tanah tersebut diambil. Lalu dibersihkan, diamati/diseleksi, dikeringkan.
Dan hasilnya sebuah karya instalasi menakjubkan. Tanah yang kita injak tiap saat, ternyata menyimpan keindahan luar biasa. Lewat ratusan tone/gradasi warna yang berbeda-beda.
Koichi menyajikan dilantai, disusun berjajar, dikelompokan bagai peta tanah, perpustaan tanah. Butuh kesabaran tinggi untuk mengerjakan. Instalasi Koichi mengingatkan kerja meditatif para pendeta Budha Tibet ketika membuat “Mandala” dari pasir. Setelah Mandala selesai dikerjakan, lenyap diterpa angin. Membangun kembali, lenyap kembali… begitu seterusnya.

Wan Weng Chih, seniman asal Taiwan membuat bangunan spektakular dari bambu di lembah, diantara bukit dan persawahan terasering. Bangunan berkubah lima (satu di tengah, empat kubah lainnya mengitari) ini diberi nama “House of Shodosima”. Menghabiskan 6000’an batang bambu, dikerjakan selama 45 hari, dengan para relawan yang rata-rata tiap harinya berjumlah 15-20 orang. Proses, adalah hal yang sangat penting untuk mengapresiasi karya semacam ini. Dalam proses terjadi dialog silang budaya dan berbagi pengetahuan, antara seniman, penduduk setempat dan relawan. Nilai proses macam ini, tak bisa diukur dengan untung-rugi kalkulator finansial. Relawan yang dalam bahasa Jepang disebut Koebi, (Rebon/ udang kecil) berperan sangat besar dan menentukan. Seorang koebi bernama Ruriko Sekita (31 th) misal, adalah seorang pekerja kantoran pada perusahaan alat komunikasi yang ditemui penulis menceriterakan; Mulai bergegas jam 1 tengah malam dari Kobe, (kota dia tinggal). menempuh 5 jam naik Ferry ketempat tujuaan untuk menjadi koebi. “Saya minta ijin tidak kerja dua hari dari kantor. Saya tidak dibayar sebagai koebi, demikian juga dengan biaya untuk transport dan makan. Tapi saya suka sebagai koebi”
Ada ratusan koebi yang datang dan pergi bergelombang. Mobilitas menjadi kobei adalah hal yang lumrah, mentradisi di Jepang. Kita mengenalnya sebagai semangat “Gotong royong”. Dan itu indah bukan?

Dadang Christanto
Takamatsu, 24 Juli 2010.Lihat Selengkapnya
05 Februari jam 6:04 · Tidak SukaSuka · 4 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho ‎:
wah...berarti tulisan Bre Redana di harian KOMPAS, dua minggu yg lalu, salah mengutip nama. Ia mencantumkan nama Eddi Hara, ketika mengillustrasikan seniman dalam kategori 3 monyet dlm lingkungan yg berbeda.
05 Februari jam 7:45 · SukaTidak Suka · 1 orangAmbrosius Edi Priyanto menyukai ini.
o
Karno Kaji ‎:
Bicara monyet, saya menulis essai berjudul "Konggres Monyet" tulisan lama (2000) di koran lokal Radar Bromo (Jawa Pos). Tapi saya takut posting di sini. Saya telah berjanji tidak 'sombong' Juga trauma 'pembungkaman' di zaman Pak Harto.
05 Februari jam 8:03 · SukaTidak Suka
o
Jokn Sulis ‎:
@ cak karno.......bagi bagi lah.....
05 Februari jam 11:27 · SukaTidak Suka
o
Zaenal Arifin:
ah maskarno yg udah malang melintang ternyata masih bisa ngambek tho. . .ha. . Ha. . Ha. . Ha .
05 Februari jam 11:47 · SukaTidak Suka
o
Zaenal Arifin:
loh kok di hapus cak. ? Comenku kan jadi mengambang?
05 Februari jam 11:49 · SukaTidak Suka
o
Karno Kaji ‎:
Nah..nah nggak demokratiskan? Model 'brangus' Orde Baru kan? Nulis maneh ae mas Zaenal. Mosok dik situs iki ono 'Komkabtib'. Sik usum ta?
05 Februari jam 12:01 · SukaTidak Suka
o
Zaenal Arifin:
la takkira sampean singngapus.yo wes ora opo2. Mungkin ora sengojo.
05 Februari jam 12:10 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
saya tdk menghapus lho ya....Demi Allah...!
05 Februari jam 12:28 · SukaTidak Suka · 1 orangZaenal Arifin menyukai ini.
o
Agung Sitiyang Mblonten :
hahaha...monyet yang baik adalah monyet yang tetep bergelantungan. meski itu tidak harus dihutan, meski disirkus atau kebun binatang, seharusnya sih bagus di hutan...karena kalau monyet jadi manusia, kasihan monyetnya, monyet yang baik bukanlah monyet yang jadi seniman apalagi politikus..hahaha. monyet ya monyet...
05 Februari jam 12:31 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho:
sbg tanggapan satas dialog dr bbrp orang di atas, tulisan Mas Dadang, di sini saya posting tulisan pengantar katalogus yg saya tulis utk pameran kami, para perupa Pasuruan th 2010. Kami mencoba memaknai proses berkarya seni rupa yg kami lak...ukan. Yg jelas Pasuruan jauh dari gegap-gempitanya pasar seni rupa. Mmg agak panjang tulisannya, tapi saya harap Anda sudi utk menyimaknya. Oleh krn itu tulisan ini saya bagi dua, krn maks posting utk komentar 8000 karakter.

MEMBANGKITKAN KEPEKAAN SOSIAL MELALUI SENI

Jose Ortega Y Gasset[1883-1955] filosuf asal Spanyol mengatakan, “Dunia adalah dunia dalam keakrabannya dengan sang aku. Dunia adalah dunia yang memperoleh makna dalam kesejarahan manusia”. Dari pendapat tersebut, ada beberapa makna yang bisa diambil. Pertama, dunia bagi seseorang adalah ‘seluas’ persepsi yang bersangkutan terhadap dunianya. Sehingga, ‘luasnya’ dunia ini berbeda...-beda antara satu orang dengan lainnya. Bagi seorang ahli elektro, dunia elektronik adalah dunianya. Kedua, ‘warna persepsi’ seseorang terhadap dunianya itu sangat dipengaruhi ‘apa’ yang telah ‘diisikan’ ke dalam persepsinya itu. Ketiga, artinya, makna dunia bagi seseorang bergantung pada ‘apa’ yang telah ‘diisikan’ ke dalam persepsinya tersebut.

Pertanyaanya adalah apa yang telah ‘diisikan’ ke dalam persepsi manusia jaman sekarang ?

Barangkali sulit dipungkiri bahwa melalui ‘ideologi globalisasi’, negara-negara maju telah berhasil mencekokkan paham hedonisme kepada sebagian besar umat manusia, termasuk manusia-manusia Indonesia. Paham hedonisme ini terutama sangat digandrungi kaum muda.

Hedonisme adalah merupakan pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Dengan begitu, mereka yang ‘terjerembab’ dalam paham ini akan menjadikan pandangan hidupnya semata-mata untuk menghindari penderitaan dan mencari kebahagian yang dicapai melalui pemuasan keinginan materi.

Dengan hedonisme, negara-negara barat menginternalisasikan sebuah paham bahwa segala macam penderitaan adalah bertentangan dengan keinginan setiap manusia. Oleh karena itu, harus dihindari. Sedangkan, kenikmatan materi merupakan kebutuhan hakiki setiap manusia. Sehingga, setiap manusia harus terus-menerus mencari sumber-sumber kenikmatan materi seraya menjauhi segala macam penderitaan.

Dari paham hedonisme ini, muncul beberapa dampak yang justru dapat menghancurkan dimensi kemanusiaan. Pertama, kehendak menolak setiap penderitaan memunculkan keengganan bekerja keras. Kerja keras diidentikkan dengan penderitaan. Kedua, keyakinan bahwa sumber kebahagiaan satu-satunya adalah pemenuhan kebutuhan-kebutuhan materi telah mendorong manusia menjadi mahluk rakus, yang aktivitas hidupnya digunakan untuk mengumpulkan benda-benda materi sebanyak-banyaknya. Ketiga, keinginan untuk menghindari penderitaan, termasuk bekerja keras, dan keinginan untuk memperoleh benda-benda materi sebanyak-banyaknya, mendorong manusia cenderung mengambil jalan pintas dalam memperoleh benda-benda materi. Selain itu, kecenderungan tersebut juga menjadikan manusia-manusia yang telah teracuni faham tersebut akan menjadi seorang egois. Tidak memiliki kepedulian terhadap sesama.

Dalam pandangan hedonisme, kepedulian terhadap sesama yang wujudnya adalah berbagi atas yang dimiliki untuk orang lain justru bertolak-belakang dengan keinginan untuk memperoleh benda-benda materi sebesar-besarnya. Maka bukanlah pemandangan aneh jika kita melihat ada pesta tahun baru meriah yang menghabiskan dana puluhan milyard pada saat ada sebagian saudara sebangsa tengah menderita luar biasa akibat bencana alam. Bahkan, kita juga telah terbiasa melihat sekelompok manusia tega menghabisi manusia lain demi kekuasaan ( untuk menguasai sumber-sumber ekonomi ), meski tak jarang dengan menggunakan dalil-dalil keagamaan.

Maka, diperlukan sebuah terobosan untuk mengeluarkan manusia dari “kesumpegan” ini. Salah satu alternatifnya adalah dengan membangkitkan gairah berkesenian. Dalam era seni kontemporer, yang berkembang dewasa ini, kreator seni dibiasakan untuk selalu peka dalam merespons setiap gejala sosial yang terjadi saat ini, misalnya merespons tentang kemiskinan, degradasi moral di masyarakat, perilaku buruk dari suatu pemerintahan, atau yang lain. Dari hasil respons tersebut kemudian diangkat dalam tema karya seni untuk disajikan dalam kepada masyarakat luas.

Karya seni dalam era kontemporer ini, juga mengajak para apresiator untuk ikut terlibat, diajak merenungkan dan memahami tentang kondisi-kondisi sosial yang ada di lingkungan sekitar atau yang sedang aktual, melalui tema yang diusung oleh sang kreator . Apresiator tidak lagi sekedar disuguhi pada masalah media seni, artistik visual semata dan konsep-konsep seni yang menggantung di awang-awang, tapi diajak untuk memahami dan menghayati konteks, bahkan interteks dari suatu karya seni. Pendek kata, seni di era kontemporer adalah sebagai reaksi atas hegemoni penyeragaman, dengan budaya barat sebagai pusatnya, yang menafikan dan merendahkan budaya-budaya lokal, terutama yang berkembang di bangsa-bangsa Timur.

Di sisi lain, persoalan krisis moral belakangan ini makin mengemuka. Berbagai kalangan – pendidik, pemuka agama, tokoh masyarakat, ilmuwan hingga budayawan – mencoba menyajikan format penyelesaian. Namun, alih-alih ditemukan jalan keluarnya, justru krisis tersebut kian hari kian menjadi-jadi. Mengapa ?

Krisis moral ini tidak saja melanda manusia dewasa, tetapi telah merambah ke dunia remaja. Sebagai misal, beberapa kali kita jumpai perbuatan-perbuatan asusila, penyalahgunaan narkoba, miras, atau kekerasan di kalangan pelajar dan generasi muda. Sebagai warga “Kota Santri” tentu masyarakat Pasuruan dibuat “nelangsa”. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi ?
05 Februari jam 12:36 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho :
Tak ayal, berbagai pendapat pun muncul ke permukaan. Ada yang memaki-maki, menyalahkan orangtua, menyalahkan pendidikan, ajakan untuk kembali mendalami ajaran agama. Apa hasilnya ? Persoalan moralitas terus berlanjut. Para tokoh hanya men...gemukakan pendapat-pendapat di atas, setelah itu kembali pada rutinitas harian mereka; ke kantor, berdakwah, berdagang …dan dilanjutkan ngrumpi dengan teman sejawatnya. Nyaris tak ada upaya-upaya yang lebih konkrit untuk mengawal penguatan nilai-nilai moralitas di tengah warga “Kota Santri” ini.

Kami, KOMUNITAS PERUPA PASURUAN, merasakan keprihatinan yang sangat mendalam atas fenomena di atas. Kami mencoba memberi “alternatif lain” dalam memberi jawab atas permasalahan moralitas di atas.

Pada hemat kami, pangkal kegagalan dalam mengatasi masalah moralitas itu karena kekurang-jelian dalam memaknai persoalan moralitas. Selama ini moralitas sekadar dipahami sebagai persoalan baik-buruk semata. Akibatnya, penyelesaian masalah tersebut hanyalah berupa pemberian “pengetahuan tentang hukum-hukum baik-buruk” saja.

Kami melihat, masalah moralitas bukanlah sekadar persoalan baik-buruk. Lebih dari itu, masalah moralitas adalah perkara penafikan “dunia dalam” yang berisi superego dan spiritualisme. Akibat “kecintaan yang berlebihan” terhadap dunia materi, yang kerapkali dibarengi dengan pengidentifikasian terhadapnya, manusia menjadi teralienasi terhadap “dunia dalam” nya sendiri. Padahal, di dalam dunia ini bersumber nilai-nilai moralitas yang dapat meningkatkan martabat kemanusiaan seseorang. Penafikan pada sumber-sumber ini menyebabkan degradasi nilai-nilai kemanusian.

Berkesenian merupakan sarana untuk menyelami “dunia dalam” tersebut. Lewat berkesenian, pencipta seni “diwajibkan” untuk menghayati dunia batinnya, penghayatannya, spiritualitasnya, religiousitasnya serta tanggung-jawabnya sebagai manusia. Maka, dengan berkesenian, secara langsung atau tidak langsung, akan terjadi proses pendidikan moral pada pelakunya.

Namun sayang, berkesenian dewasa ini mengalami distorsi makna. Berkesenian sering hanya dipahami sebagai persoalan ketrampilan teknis. Banyak karya baru lahir tanpa memantulkan kedalaman penghayatan penciptanya atau sikap empati terhadap kondisi sosial lingkungannya. Karya seni dimaknai sekadar mempertotonkan kepiawaian penguasaan ketrampilan teknis penciptanya semata. Dalam berkesenian seperti ini, kekuatan berkesenian sebagai proses pendidikan moralitas tidak pernah terjadi.

Komunitas ini lahir untuk menegaskan kembali makna berkesenian. Tujuannya jelas, yakni berkeinginan menebarkan “virus-virus” berkesenian sebagai pilar penyangga martabat kemanusiaan insan-insan yang terlibat dalam aktivitas tersebut. Namun harus disadari bahwa niat itu akan menjadi sebuah utopia jika tidak diikuti oleh agenda-agenda yang jelas dan berkelanjutan. Agenda-agenda yang kami canangkan juga akan menguap sia-sia apabila masyarakat dan pemerintah enggan untuk berperan aktif sebagai wujud kepeduliannya.

Komunitas Perupa Pasuruan, yang saat ini tidak hanya beranggotakan para perupa dari Pasuruan Kota da Kabupaten saja, tapi juga membuka diri pada perupa dari luar kota, tahun ini mengadakan even: Pameran Lukisan ”GANDHENG RENTENG”, yang diikuti oleh 39 orang perupa. Tahun 2009, even yang kami gelar bertajuk “GERAK SERENTAK”, diikuti oleh 25 orang perupa. Even tahun ini merupakan upaya kami untuk tidak lagi menjadikan kesenian sebagai suatu makhluk misterius, yang bertengger di menara gading, tapi suatu aktifitas yang cukup bersahaja, familiar, dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Harapan kami, semoga aktifitas yang kami gelar ini mendapat respons yang positif, sehingga keberadaan organisasi ini bermanfaat bagi masyarakat luas, khususnya masyarakat yang ada di sekitar.

Pasuruan, 3 April 2010
Wahyu Nugroho
05 Februari jam 12:37 · SukaTidak Suka · 3 orangMemuat...
o
Zaenal Arifin:
benar bung wahyu saya juga ikut prihatin dgn permasalahan moral yg seperti anda kemukakan.kadang2 saya bertanya2 kehadap diri sendiri ada apa dengan agama? Yg memang diturunkan kepada kita tidak saja untuk mengenal diri nya berserta seluruh... rasianya tetapi juga untuk mengatur kehidupan ini agar selaras dan serasi. Apanya yg keliru dgn agama kerena justru keburukan ahlak banyak dipertotonkan oleh mereka2 yg mengaku ber agama.salah satu contohnya ketidak pekaan terhadap lingkungan sosial dan budaya malah dipertontonkan .dgn seribu satu macam pembenar2 baik di dlm lingkung sosial atao di lingkungan budaya itu sendiri.filsafat dan agama dicampur aduk sehinga menjadi tidak jelas lagi ujung pangkalnya.menurut saya setan itu sangat indah .sangat menyenangkan dan pasti juga sangat cerdar sehingga kita bisa di buat lupa dirinya. Maaf kalao comen saya ini kurang memiliki greget intelek tual nya.kerena saya bukan siapa2.SELAMAT DAN SUKSES G B U.
05 Februari jam 13:25 · Tidak SukaSuka · 3 orangMemuat...
o
Zaenal Arifin:
benar bung wahyu saya juga ikut prihatin dgn permasalahan moral yg seperti anda kemukakan.kadang2 saya bertanya2 kehadap diri sendiri ada apa dengan agama? Yg memang diturunkan kepada kita tidak saja untuk mengenal diri nya berserta seluruh... rasianya tetapi juga untuk mengatur kehidupan ini agar selaras dan serasi. Apanya yg keliru dgn agama kerena justru keburukan ahlak banyak dipertotonkan oleh mereka2 yg mengaku ber agama.salah satu contohnya ketidak pekaan terhadap lingkungan sosial dan budaya malah dipertontonkan .dgn seribu satu macam pembenar2 baik di dlm lingkung sosial atao di lingkungan budaya itu sendiri.filsafat dan agama dicampur aduk sehinga menjadi tidak jelas lagi ujung pangkalnya.menurut saya setan itu sangat indah .sangat menyenangkan dan pasti juga sangat cerdar sehingga kita bisa di buat lupa diri. Maaf kalao comen saya ini kurang memiliki greget intelek tual nya.kerena saya bukan siapa2.SELAMAT DAN SUKSES G B U.
05 Februari jam 13:29 · Tidak SukaSuka · 2 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten:
ah, apaan, kontemporer itu sendiri justru menjadi sejata dan tentara barat dan hedonisme. jadi semua itu hanya pembenaran belaka...sekarang siapa seniman2 besar kontemporer yang tidak hedonis?
05 Februari jam 14:45 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho:
ketika membaca ulang artikelnya Mas Dadang. Kalo boleh saya sebut sebagai anekdot. Ada perasaan lucu dengan membuat persamaan antara seniman dgn monyet.
hehehe...bagaimana ya....sulit menjelaskan, mengapa muncul perasaan lucu.....

Tapi kemudian tebersit pertanyaan, jika monyet ...eh kliru seniman itu hidup di dalam hutan (lingkungan terisolir, atau sengaja mnegisolasi diri) tanpa mempedulikan atau mendapat gesekan dan wacana yg terus berkembang....lha kapan majunya...?! Ia memang memiliki kemerdekaan sepenuhnya, tapi bisa jadi stagnan. Jika hanya begitu, apa maknanya kemerdekaan bagi kehidupan keseniannya dan tanggung jawabnya sebagai bagian dari masyarakat ?
Kecuali kalo memang monyet suguhan. Bagi dia yg penting bisa bebas bergelayutan dan makan kenyang....beres wis !

Kasus semacam ini bisa muncul, jika si seniman berkarya semata2 utk kepuasan dirinya sendiri. Ia tdk butuh kritik atau apresiasi.
Atau setelah berkarya dimasukkan peti, terus dibakar....masak ada seniman begini ya ?!....hehehe....
05 Februari jam 23:57 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Hang Ws:
paling penak seni lukis itu sebagai bahasa ekspresi levat visual entah itu pada media kanvas atau yang lainnya yang tentunya hasil dari pengalaman batin si seniman, sedangkan pengalaman bathin seseorang itu banyak faktor2 yang mempengaruhi ...baik disadari melalui kekaguman atau belajar dari orang atau hanya merupakan kilasan yang tidak disadarinya maka tidak heran jika kebanyakan seniman terpengaruh oleh gaya seniman lain.
dengan berfikir seni lukis itu merupakan salah satu bahasa kreatifitas dan pengungkapan rasa maka enak saja kita menikmati lukisan dengan berbagai aliran dari sembarang orang yang melukisnya.
Selebihnya biar lukisan itu untuk berperang sendiri dengan penontonnya.
06 Februari jam 0:07 · Tidak SukaSuka · 1 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten:
mungkin, ada pada pencapaian tertentu, seseorang meninggalkan atau melupakan atau bahkan membuang seluruh karya yang dia kerjakan, karena dia merasa bahwa yang disadari sebagai seni adalah proses penciptaan atau pencapaian dirinya, seni yan...g terbaik baginya adalah pembentukan dirinya, dan dirinyalah seni yang disebut paling seni, sehingga yang lain (karya2nya) menjadi tak berarti lagi..yang pernah aku dengar sih, ada seseorang sufi pernah belajar selama lebih dari 30an tahun, lalu ketika pulang naik kapal dia membuang seluruh kitab dan catatan yang selama 30 tahun dia kumpulkan seraya berkata (kurang lebihnya) kira2 dia tidak akan menghamba pada pengetahuan, tapi mungkin pengetahuan itu telah merasuk dalam dirinya. begitupun kesenian, sangat mungkin ada seseorang yang mencapai atau menganggap bahwa kehidupannyalah seni tertingginya...Lihat Selengkapnya
06 Februari jam 0:09 · SukaTidak Suka · 1 orangHang Ws menyukai ini.
o
Jokn Sulis ‎:
@cak wahyu.... enak lo cak, ngrungokke dangdut, rock,karawitan, pop, metal, samproh, jazz, blues, di setel bareng neng studio...wwwwuuuuaaahhh pokoke....
06 Februari jam 0:12 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Halim Hade:
‎@Wahyu: numpang komen,
mungkin maksud @Dadang seniman-monyet itu ada yang jadi sirkus, seniman peliharaan. ada yang dikebon binatang, peliharaan. yang satu pelihgaraan yang suka ditonton, dan lainnya keliling sebagai pengasonng.
yang nampakn...ya diidamidamkan oleh @Dadang adalah yang di dalam hutan, monyet yang bebas, berkeliaran atas nasibnya sendiri, atas komunitas yang 'alamiah'.
tapi, sialnya, @Dadang lupa, bahwa 'modernization without modernism' yang duterapkan mellui ideologi pembangunan suharto membuat hutan sudah berantakan, dan semuanya tata ruang yang 'alamiah' kian tiada atau musnah.
pembangunan atas nama 'MEMANUSIAKAN MONYET' adalah resiko dari MEM-PER-ADAB-KAN.........maka...........
06 Februari jam 0:12 · SukaTidak Suka
o
Hang Ws:
‎@Agung SM..kesufian lebih banyak melakukan perenungan suci hingga memperoleh pencerahan yang dia sendiri tidak tau datangnya dari arah mana, maka tidak bisa kita pungkiri kemajuan iptek sekarang awalnya dari para sufi sang pencari sejati, jika dibandingkan dengan seorang seniman setidaknya seniman itu bisa mendasari berkembangnya kesenian hingga sampai saat ini, jadi disini ada suatu kemanfaatan bagi orang lain, tidak induvidualis.
06 Februari jam 0:16 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi:
Gung, pernah aku mencapai pengertian semacam itu, ketika seni bagiku adalah totalitas kehidupan.
Dan godaan terbesar dari pandangan macam ini adalah sebentuk keraguan: bahwa aku tidak eksis.

Maksudku eksis tentu saja ketika definisi seni dan ...seniman kusederhanakan menjadi apa yg sewajarnya dipahami dan dilakukan orang2 biasa lainnya.

Tetapi hingga kini memang aku tidak eksis....
06 Februari jam 0:17 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade:
apa ada yang suci?
06 Februari jam 0:18 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho:
ASM : moga2 saja tdk banyak seniman/ ilmuwan berlaku spt itu.... eman2 bila sebuah pencapaian musnah begitu sj, tdk bisa disimak atau dipelajari orang lain.
JS : saestu menika...aku saiki ya karo rengeng2 ngrungokna mblues...
HH : tp kalo h...abitatnya seniman kan nggak to Pak ?!
06 Februari jam 0:20 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade ‎:
@Sindhu: ITU MAAH KRISIS EKSISTENSIAL.... atow tepatnya, krisis identitas, gak percaya diri.................
06 Februari jam 0:21 · SukaTidak Suka
o
Hang Ws ‎:
@Halim Hade..semuci suci banyak,kepatutan seseorang sewajarnya adalah bertahan hidup sesuai kapsitas yang dia mampu, kalau mampunya gambar ya gambar untuk dijual.
06 Februari jam 0:22 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Sindhu Pertiwi:
Daripada sibuk bermain kata antara seniman dengan monyet, kukira analogi Dadang sudah tepat dengan catatan bahwa antara politik dan ekonomi dianggap punya garis pemisah yg tegas.
Bagiku, garis itu bisa melebur.
06 Februari jam 0:22 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade:
cocok, @Hang, blak blakan wae.....ra sah petakilan.....
06 Februari jam 0:23 · SukaTidak Suka · 1 orangHang Ws menyukai ini.
o
Hang Ws:
‎@Halim Hade..lha aku yen kon macul ora sanggup.
06 Februari jam 0:24 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade:
@Wahyu: apalagi habitat seniman.
sakinbg bersemangat ingin menjadi suci,
malah jadinya.......puritan n hipokrisi....
06 Februari jam 0:25 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi: ‎
@HH, gak juga...
Karena lingkaran setan filosofi dibatasi makna-makna bahasa.
Definisi suci kita belum bersepakat.
06 Februari jam 0:26 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade:
aku iso isah isah, mangsak, wis tahu dadi pemulung plastik di belasan pestipal nang manca, ben enthuk gratisan mlebu nonton jazz- blues yang gallup park, finger lake, shaespeare pestipal. aku yoo wis tahu dodolan rokok slundupan jaman bung karno, wis tahu dodolan klambi plasu.
06 Februari jam 0:28 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
kang wahyu, tentu itu adalah kasus tertentu atau tidak semua menjalani dan mencapai proses itu. dan tentu seorang yang menjalani itu telah tahu hitung2annya bahwa dia akan lebih maksimal bermanfaat dengan apa yang dia yakini daripada dia me...nggantungkan kepercayaan diri atau prinsip dirinya pada benda2 atau karya. karena mungkin orang2 tertentu tersebut memang mencapai atau kebagian tugas yang dialektik atau tugas yang tidak bisa terpaku pada penetapan bentuk. yang bisa jadi memang bentuk itu akan menjadi seribu makna jika bentuk itu tidak berbentuk. itu secara teknis. tapi terlebih adalah dia sendiri tidak ingin terpaku pada materi atau benda yang temporari sifatnya..dan banyak lagi alasannya, aku pikir....
06 Februari jam 0:28 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade ‎:
@Sindhu: dalam kepalaku, dalam hatiku, sejak 40an tahun yang lampau tak ada 'suci'. yang ada 'MALU".
06 Februari jam 0:30 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
HH : itu kan senimannya Pak, kalo habitatnya malah bisa mjd sumber inspirasi yg sangat kaya, kalo senimannya kreatif. Krn lingkungan yg tdk ideal, malah sangat menguntungkan bagi munculnya kreatifitas.
06 Februari jam 0:31 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi:
Agung, jika demikian mengapa itu harus disebut 'seni'?
Mengapa tak dinamai sbg laku lainnya saja?
06 Februari jam 0:34 · Tidak SukaSuka · 1 orangMemuat...
o
Halim Hade:
di atas kertas, cak @Wahyu. makanya ada sistem. artinya seluruh perangkat dari habitat sampai dengan prosedut.
dalam kondisi sekarang di negeri ini, hanya YANG GENIAL NEKAD YANG MAMPU. laennya, cepetek, kelas teri, asal untuk makan.
DAN MERE...KA SAH, DAN TAK BISA DITOLAK. TAK BOLEH DIKUTUK. TAKDIR SOSIAL LEBIH KUAT DARI KAPASITAS PERSONAL.
06 Februari jam 0:35 · Tidak SukaSuka · 1 orangAnda menyukai ini.
o
Sindhu Pertiwi ‎:
@HH, itu retoris. Tetap saja anda memiliki suatu pengertian tentang 'suci' 'semuci' dan 'malu'....
06 Februari jam 0:36 · SukaTidak Suka
o
Sagabiru Galeri:
Semakin blur dari kontek permasalahan....
06 Februari jam 0:38 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi ‎:
@HH, mengapa anda bikin dikotomi takdir sosial dng kapasitas personal? Konstruk apa yg mau anda terapkan?
06 Februari jam 0:39 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
SG : ini masih dlm rangka mengelupas tabir2 tipis utk mendptkan pemahaman lbh jelas pd pokok masalah....hehehe barangkali begitu...
06 Februari jam 0:41 · SukaTidak Suka
o
Hang Ws :
sedikit yang saya tau tentang monyet, monyet itu binatang yang sangat tamak walau mulutnya penuh makanan, tangannya masih pula menggem makanan dan selalu menghardik jika ada yang ingin merebutnya..apa kita memang berkarakter monyet ?
06 Februari jam 0:41 · Tidak SukaSuka · 1 orangMemuat...
o
Sindhu Pertiwi :
Pertanyaan untuk Dadang: Kenapa bikin analogi dng monyet?
06 Februari jam 0:44 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade :
‎@Sagabiru: mestinya ente jadi moderator, biar lurus kayak satpol berbaris....:))
@Sindhu: karena sistem sosial lebih kuat, kayak belenggu. maka ungkapan orang kebanyakan tentang suatu belenggu sosial yang menindih adalah suatu 'takdir'.
kons...truksinya: bahwa banyak seniman dalam KTP daan administrasi tapi secara watak, mental, karakter, sebagai pemberontak, tak dimiliki. tapi, kembali lagi - ulang alik - konstruksi lama dan alamiah:
WITING TESNA JALARAN SEKA WETENG.....
06 Februari jam 0:46 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
HW & SP : ya itulah....mengapa kok kunyuk.... yg dlm idiom org Jawa binatang yg sangat sangat rendah, selain anjing.....kok kaningaya temen rek...?!
06 Februari jam 0:47 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
saya sukak komentarnya Pak halim "mestinya ente jadi moderator, biar lurus kayak satpol berbaris....:))"
06 Februari jam 0:48 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade :
ANJING ADALAH SUATU JENIS YANG MAMPU MEMASUKI PERADABAN MANUSIA SEJAK 3-4 REBU TAON YANG LAMPAU,BAHWA SEBLUM KUDA DIJINAKAN.
DALAM WAYANG, ANJING ADALAH PENUNTUN SAMIAJI MENUJU PUNBCAK MAHAMERU.....
06 Februari jam 0:49 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
kalo di tempat saya, bedhes (anjing), asu (anjing) adl umpatan yg sangat merendahkan......entah kalo di tempat lain sbg pujian....wkwkwkwk.....
06 Februari jam 0:51 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Sindhu Pertiwi :
@HH, jika itu diterima sbg karakter alamiah seniman kita, untuk apa kita capek2 debat tentang pasar seni dan hegemoni pasar?
Seperti yg tadi anda bilang: bersyukurlah dng mekanisme pasar....
06 Februari jam 0:52 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi :
Kupikir tidak masalah jika bentuk2 seni yg diterima awam dan disukai seniman2 kita adalah bentuk2 yg konvensional macam lukisan, atw kaligrafi; dan bukan bentuk2 avant-garde dng konstruksi yg aneh2.
06 Februari jam 0:58 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Agung Sitiyang Mblonten :
aku bingung mengikuti banyak diskusi, di sini menarik di sana menarik...hhffff...
06 Februari jam 0:59 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Hang Ws ‎:
@Sindhu Pertiwi..dan banyak ide bearawal dari kehidupan orang2 yang awam, orang2 yang penuh dengan keterpurukan nasib..setelah dituangkan dalam bentuk sebuah karya dan laku dijual apakah orang2 sebagai sumber idenya itu mendapat cipratan rezeki ?
06 Februari jam 1:02 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
HW : itu pernah diungkapkan oleh Mas Agung Sitiyang Mblonten, sebagai keprihatinan dia....
06 Februari jam 1:03 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
SP : asal bentuk2 seni itu bukan sekedar utk menuruti selera orang2 awam kan ?!
06 Februari jam 1:09 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi :
‎@HW, itu pertanyaan klasik ketika label 'realisme sosial' menjadi idiom seni rupa yg umum.
Pertanyaan itu sudah dijawab oleh komentar Agung tadi: pantaskah buruh dan alam dieksploitasi sbg imbal sepetak lukisan tanpa mereka turut menikmati ...karya itu?
Ironi yg kutambahkan: apalagi ketika lukisan itu tntg keringat mereka namun sesungguhnya juga bukan digerakkan dari empati melainkan dari selera pasar saat itu?
06 Februari jam 1:09 · SukaTidak Suka · 1 orangHang Ws menyukai ini.
o
Halim Hade:
‎@Hang: human right, demokratisasi, hanya bisa diwujudkan jika kesadaran membayar pajak tumbuh berkembang di dalam diri warga.
dan jika warga membayar pajak, adakah pengelola negeri ini menggunakan untuk warganya?
06 Februari jam 1:09 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Sindhu Pertiwi ‎:
@kang Wahyu: Saya lupa ini ucapan siapa, tetapi "kadang2 persoalan seni hanyalah persoalan selera..."
06 Februari jam 1:12 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
SP : wkwkwkwk.....embuh omongane sapa iki....?!
06 Februari jam 1:12 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade :
bisa saja seni persoalan selera. hanya saja, dalam bahasa indonesia, kata 'selera' menjadi negatif. bukankah 'taste' dalam dunia artistik dan estetika memang digunakan sebagai salah satu kata kunci?
06 Februari jam 1:15 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi:
La yo embuh, tapi tau dikutip mas Sunardian...lali tenan aku.
Cumak, apa kolektor itu masuk orang awam yak?
Wkwkwkw....
06 Februari jam 1:16 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade:
karena selera, dan selera itu berlapis lapis, memiliki ruang ganda, dan prosesnya memasuki ruang sosial, maka selera juga masuk ke dalam analisa sosiologis, dan juga analisa kelas sosial.
ada yang berbunyi 'selera borjuasi'
ada yang berbunyi ...'selera kelas bawah'
ada yang berbunyi 'selera rendahan' - seleren, kata mhs jaman ton 70-an.
06 Februari jam 1:17 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho:
SP & HH : tadi waktu di Mbatu ada seorang kurator yg ngomong, tp saya nggak sebutkan namanya, bahwa kolektor di Indonesia itu sebagian besar bodoh. Tdk faham kesenian. Dia mereka membeli karya hanya utk menaikkan gengsi atau bingung membuan...g u...ang.
begitu katanya....betul-tidaknya nggak tahu saya.....
06 Februari jam 1:21 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi:
Artistic merit punya padanan dengan kata kualitas yg sedang dipake dlm diskusi ini.
Taste dipake utk memperdebatkan kitsch, camp, dst...
High dan low art punya konteks lain lagi tntg institusi seni.
Pembicaraan seni emang ngalor-ngidul....
06 Februari jam 1:21 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi:
@HH dan WN, anda mengingatkan saya pada Bourdieu...
06 Februari jam 1:24 · SukaTidak Suka
o
Gus Wang:
WN: Sebagian besar memang kolektor di sini hanya ikut2an gengsi dan sebagian juga pedagang. Kolektor dalam arti pencinta seni sangat sedikit, munngkin dalam hitungan jari saja.
06 Februari jam 1:26 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
GW : hehehe....berarti betul ya pernyataan kurator tsb....?!
wah....berarti kalo kita berkarya semata2 utk konsumsi mereka, ndak perlu sibuk2 mbahas kuwalitas karya. Yg perlu ditelisik adl apa selera mereka....
06 Februari jam 1:29 · SukaTidak Suka · 1 orangWatoni Inotaw menyukai ini.
o
Sindhu Pertiwi :
Saya kok lebih suka dng kata 'patron' ketimbang 'kolektor'.....
Seolah2 seni cuma bisa bertahan dng mekanisme pasar dan koleksi privat.
06 Februari jam 1:31 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
tp katanya juga, agar mereka tertarik dan menjadikannya mereka orang yg berkelas, even yg kita selenggarakan harus kesannya wah.....Selain itu, hrs bisa masuk kelingkaran mereka.
begitu katanya....
06 Februari jam 1:33 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade:
‎@Wahyu & Gus Wang: biarkan saja ada kolektor yang ikuyt ikutan. malah mestinya kalow bisa sekalian diperanghkap, biar tahu rasa.
ada cerita. frick punya pengetahuan dan mata yang titis. dia mengutus kurator untuk membeli karya di mana saja ...di eropa. tapi, anak-anaknya bebal, hampir idiot, padahal, pendidikannya lenbih tinggi dari bapak dan kakeknya.
castelli, tak pernah lulus, paling-paling hanya setahun dua di jurusan sejarah seni. dia malah ahli perbankan. namanya menggetarkan pada tahun 50-60-an.
OHD, bukan berpendidikan seni.......
06 Februari jam 1:33 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade:
kalow ada kurator yang ngomong kayak begitu, mungkin kuratornya sendiri goblog.
06 Februari jam 1:34 · SukaTidak Suka
o
Gus Wang:
ya kalo memang tujuannya untuk dijual kemereka tentu harus sesuai selera mereka.
06 Februari jam 1:34 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade :
anda, @Wahyu, bisa menyampaikan pernyataan saya kepada sang kurator itu....:))))))
06 Februari jam 1:34 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade ‎:
@Gus Wang @ Wahyu : anda kira, anda lebih cerdas dari kolektor yang sok ikut ikutan itu....???
06 Februari jam 1:35 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
HH : huahahahaha....
06 Februari jam 1:35 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade :
jika seseorang 'membuang' uang ratusan juta dan sekitar miliaran dalam lima tahun, adakah mereka bodoh, goblog, idiot? ANGKA ADALAH SIMBOL YANG SELALU MENGAJARKAN KEPADA MANUSIA, DAN ANGKA ADALAH UKURAN KECERDASAN...........
06 Februari jam 1:36 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho :
HH:Siapa bilang merasa lbh cerdas ?!...saya kan cumak menyampekken apa yg saya denger to Pak Halim..?!
06 Februari jam 1:37 · SukaTidak Suka
o
Gus Wang :
tentu saja tidak, saya tidak mampu untuk mengendalikan pasar maupun senimannya
06 Februari jam 1:38 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade :
‎@Wahyu : ada LIMA SERIAL DARI BBC PRODUCTION, HOW ART MAKE THE WORLD, plisssss, sesekali anda sewa, sokur beli untuk koleksi, bagus banget...............sungguh.
06 Februari jam 1:39 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Halim Hade ‎:
@Wahyu: banyak kurator yang merasa lebih cerdas dari kolektornya. padahal, hanya 2-3 kurator-kritisi yang cerdas: jim, enin, hendro n ucok.
06 Februari jam 1:40 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Sindhu Pertiwi :
ADA YG TAU DNG WESTERN COUNTRIES? Ketika paket2 subsidi sosial ramai2 dipangkas imbas dari krisis ekonomi apakah budget pemerintah utk seni juga dipangkas?
06 Februari jam 1:41 · SukaTidak Suka
o
Gus Wang :
angka adalah ukuran kecerdasan? dalam konteks gimana?
06 Februari jam 1:41 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎;
filem apa buku itu Pak Halim ?
06 Februari jam 1:41 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade:
maksud saya, saya banyak sepaham dengan pandangan jim, enin, hendro n ucok.
06 Februari jam 1:41 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade:
DVD ada juga yang VCD, dokumenter hasil penelitian kompreehensif yang bukan maen. orang senirupa mesti menonton dan memiliki ini.
06 Februari jam 1:42 · Tidak SukaSuka · 2 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho ‎:
HH : kurator2 yg sampeyan sebutkan itu kan versi sampeyan ?!
06 Februari jam 1:44 · SukaTidak Suka
o
Gus Wang:
di youtube jg ada
06 Februari jam 1:44 · Tidak SukaSuka · 1 orangMemuat...
o
Halim Hade:
yaaa itu, saya bilang di atas, yang AGAK sepaham dengan saya, hehehehehe. agak lho........:)))
06 Februari jam 1:45 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi:
‎@HH, semoga kurator lain yg ketag di sini gak merasa goblog karena komentar barusan...

Lagian aku lbh percaya MONEY MAKES THE WORLD, INCLUDING ARTWORLD...
06 Februari jam 1:46 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade ‎:
@Gus Wang : angka itu bukan HANYA ekonomi. geometri, penemuan pertama yang diselenggarakan oleh bangsa mesir, 4-5 rebu taon yang lalu sehingga kota kota diciptakan, sehingga ada sesuatu reproduksi massal diciptakan atas nama kekuasaan. angka juga yang membuat bangsa cina membuat hitungan atas astro fisika.
06 Februari jam 1:49 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho ‎:
orang bisa memilih cewek cantik, saya kira termasuk ukuran kecerdasan....
06 Februari jam 1:55 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade :
what is 'cantik'......
06 Februari jam 1:55 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade :
anda memperhatikan luksian-gambar perempuan atau laki-laki pada setiap jaman?
06 Februari jam 1:56 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
hehehe....kalo di lingkungan cewek tsb ia dikategorikan cantik, berarti dia ya cantik...
06 Februari jam 1:56 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi:
Sayangnya Arab yg jadi simbol angka universal dan asal dari aljabar serta sosiologi... Dan Yunani yg pertama kali sanggup mengukur bulatnya bumi.
06 Februari jam 1:57 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade :
bukan itu maksud saya, sama halnya juga dengan 'apa ke-indah-an' itu? ada ruang, ada waktu, ada jaman....ada pembentukan untuk memilih dan menyatakan ..... dari latar belakang dan isi kepala ....
06 Februari jam 1:58 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Hang Ws :
kalao seni hanya diukur pada batas selera pasar, jangan2 lukisan yang terpasng dirumah mewah hanya sekedar prestise saja, dan mereka bisa menjadi korban pasar, seperti cerita ikan lohan yang sempat boming dengan harga yang tinggi, tapi sekarang orang membeli dengan harga murahpun tidak mau, jadi seleksi alam yang menentukan sebuah lukisan bisa tetap eksis dalm pertempurannya.
06 Februari jam 1:59 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade : ‎
@Hang: BACK TO BASIC.
kapamn-kapan saya kaseeeh kuliah, gratis kok, paling paling cuma bir 3-4 botol....:)))
06 Februari jam 2:00 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Hang Ws ‎:
@HH..angkringan wae..
06 Februari jam 2:02 · Tidak SukaSuka · 1 orangMemuat...
o
Wahyu Nugroho ‎:
pecel pincuk Mblitar atau Mediun..!!!
06 Februari jam 2:03 · SukaTidak Suka
o
Gus Wang:
HH: tulisan Hang Ws diatas apakah bisa di artikan ruang ganda dari harga atau angka?
06 Februari jam 2:03 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Gus Wang:
aku ya perlu kuliah juga rasanya :)
06 Februari jam 2:04 · SukaTidak Suka
o
Hang Ws:
lantas apakah sebuah nilai harus terkait dengan angka, ada yang perlu untuk disikapi bahwa kekagamunan seseorang terhadap suatu karya seni itu juga merupakan nilai tersendiri bagi karya itu sehingga karya itu ternyata punya makna dan kesan bagi orang lain yang belum tentu mampu membelinya, atas dasar ini otomatis akan menambah nilai secara materi bagi karya itu sendiri.
06 Februari jam 2:27 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Afresha Wenny :
waa...h kulaan tenan iki aku.....
06 Februari jam 12:37 · SukaTidak Suka
o
Karno Kaji ‎:
Lho...Jeng Sindhu, bukan Arab Islam yang nemukan aljabar, dan bundere bumi? Angka Yunani kan kartunya ; XL. Atau yang nemukan bukan Ronggowarsito?
06 Februari jam 12:56 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten :
angka nol itu oleh imam ali.
06 Februari jam 13:03 · SukaTidak Suka
o
Karno Kaji ‎:
Betul juga. Tapi ada yang mengatakan orang India, ada yang mengatakan al-Khawarizmi dengan angka 'sifr'-nya. Yang terbaru, angka 'nol' itu disitematiskan 'Sabdopalon'
06 Februari jam 13:07 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten:
kalau imam ali kan jelas dia meninggalkan bukti-bukti pengetahuan yang terwariskan, tapi sangat mungkin juga memang itu adalah evolusi atau estafet pengetahuan, karena memang pengetahuan ini kan terus sambung menyambung. tapi kalau sabdo pa...lon aku belun pernah dengar, gimana itu bung karno?

lalu menyambung hang ws, ya secara sederhanyanya atau bahkan rumitnya, nilai itu adalah hitungan angka. namun belum semua hal atau tidak harus semua hal dirumuskan dalam angka2. karena memang semua hal ini bisa dihitung atau dimaterialkan. hanya saja apakah perlu semuanya diangkakan, jika memang ada pembuktian nilai yang lebih sederhana daripada semua harus diangkakan. karena yang disebut rumus, atau matematika kelak, tidak melulu tentang rumusan angka-angka dalam pengertian sekarang. bisa angka yang bagi kita jauh lebih rumit, bisa akhirnya terlihat lebih menjadi sederhana, karena telah membukakan rahasia pengetahuan yang masih misteri ini, yang dalam hal kecil atau satu urusan seni/karya saja kita masih belun menemukan rumusannya yang valid. tentu angka2 itu kelak akan ada angka2 sosial, angka2 biologis, angka2 angkasa, udara air angin...ya, kelak akan ada rumusan dalan setiap materi, tappi entah apa kita akan masih memiliki waktu untuk membuktikan di dunia ini atau tidak. tapi yang jelas tetap segala sesuatu itu terhitung atau memiliki ukuran, dan itu tidak akan musnah hitungannya....
06 Februari jam 13:18 · SukaTidak Suka
o
Jokn Sulis:
sebeIum di temukan lagi oleh bangsa arab/yunani/ china/india /...pasti sudah ada yang menemukan angka /tuIisan... diIihat dari peninggaIan peninggaIan bangunan yang dahsyat, yang sampai saat ini beIum di ketahui secara pasti bagaimana cara pembangunannya.....hayo...siapa yang menemukan...minggon minggon...ngopi ngopi sik, ...
06 Februari jam 13:18 · SukaTidak Suka
o
Agung Sitiyang Mblonten :
seperti halnya jika da vinci hanya mengandalkan geometri rasio emas itu sebagai kesimpulan penciptaan atas manusia, maka dia tidak akan mampu melukis seseorang atau apapun bangunan yang tidak memiliki organ dan rancangan yang sebanding dengan rasio emas geometri. karena memang penciptaan itu tentu tidak dengan satu rumusan rasio emas, meski memang ada rumusan yang jauh lebih dapat menyimpulkan proses penciptaan, tapi hari ini belum ketemu, tidak juga oleh teory of everything...
06 Februari jam 13:38 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Halim Hade:
penemuan angka, sebagian dari arab, kebudayaan semit tepatnya. geometri, ilmu ukur, aljabar dari mesir, dari tepian sungai nil.
06 Februari jam 19:11 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade :
‎@Gus Wang: bisa juga. tapi, sesungguhnya 'ruang ganda' lebih lebar dan memiliki banyak pesona, jika memang suatu karya memiliki kapasitas. maka, ruang ganda biasanya bisa melintasi ruang ruang, berbagai ruang sejarah sosial lainnya.
@Hang W...s : 'angka', sekali lagi, bukan hanya jual-beli dan memiliki. angka pada dasarnya, dan yang utama adalah kapasitas untuk menciptakan prediksi.
di balik angka itulah, jika seseorang memiliki kapasitas dia mampu dan bsia menciptakan 'prediksi'. jadi ada elemen 'ramalan' yang bukan dalam artian klenik. tema utamanya: menerobos batas-batas peta yang ada: sejenis 'UTOPIS'.....
06 Februari jam 19:15 · SukaTidak Suka · 1 orangJokn Sulis menyukai ini.
o
Halim Hade:
‎@Jokn Sulis: nampaknya angka dimiliki berbagai suku dan bangsa. inca, aztec, kebudayaan semit (Timur tengah), cina, india, memiliki angkanya masing-masing.
di jawa, ungkapan angka juga berkaitan dengan ruang dan waktu: rumusan naga dina mis...alnya, tentang wuku, tentang pasaran. ingat, pasaran adalah lima hari, setiap putaran hari ke lima. dan ingat lagi, ulang tahun orang jawa itu sesungguhnya 7 pasaran, yang dalam hitungan tahun agustinus disebut 5 minggu.
06 Februari jam 19:19 · SukaTidak Suka · 1 orangJokn Sulis menyukai ini.
o
Wahyu Nugroho:
Sesuai saran dari Mas Sagabiru, saya mencoba utk mengembalikan pd pembahasan awal, yaitu ttg kualitas karya.
Tadi saya sempat omong-omongan ngalor ngidul dgn teman2, membahas ttg masalah ini. Kami mencoba membuat perbandingan2, yaitu :
Ada... seniman yg kualitas moralnya, menurut pandangan umum, sangat baik. Karya seni yg dihasilkannya, menurut pendpt para pemerhati seni, dinilai sangat berkualitas.
Di sisi lain, ada seniman yg moralitasnya menunjukkan kualitas buruk, tapi karyanya tdk kalah dg seniman yg moralitasnya yg dianggap baik tersebut.
Dmkn juga pada seniman yg berwawasan atau pengetahuan luas dan yg tdk, seniman akademis dan otodidak, yg berdedikasi serta berdisiplin tinggi dan yg hewer2,....

Kalo begitu kualitas karya seorang seniman tidak berkaitan dgn faktor moral, wawasan, pendidikan, dedikasi, kedisiplinan, atau mungkin yg lain.

Hehehe.... Masak ya ?!
06 Februari jam 21:19 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Hang Ws :
seni bahasa jiwa, maka secara naluri kerohaniannya awalnya pasti ditujukan kepada tuhannya, maka batasan apakah seorang seniman harus akademis atau berpendidikan kesenian atau atau otodidak saya fikir bukan suatu masalah sebab berkesenian adalah ekpresi jiwa entah yang pada saat ini untuk kepuasan jiwa atau untuk dimaterikan, sumonggo kemawon, yang penting seni itu mak nyusss...
06 Februari jam 21:27 · Tidak SukaSuka · 1 orangMemuat...
o
Halim Hade :
‎@Hang WS: apapun jenis dan disiplinnya, kesenian itu butuh pendidikan. dan pendidikan tidak identik dengan isi, stkw, ikip. pendidikan adalah proses beajar. singkatnya, long life education adalah tantangan bagi siapa saja untuk memahami da...n mendalami.
kalow hanya menggantungkan diri kepada tuhan, gak bakalan dapat apa-apa. ingat: gusti allah tak akan mengubah nasib siapapun jika orang itu tak mengubah dirinya sendiri.
06 Februari jam 21:44 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Halim Hade ‎:
@Wahyu: kalow ente maseeh bikin dikotomis antara otodidag dengan akademis, rasanya gak akan ketemu masalah yang subtansiil....
06 Februari jam 21:45 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi :
Kamsudku, angka 123... itu kan sekarang universal, kite2 kan gak pake angka roman bwt nulis angka2. Ptolomeus adalah org pertama yg ngukur bumi, Columbus salah mengkonversi hitungan Ptolemy sehingga salah perhitungan waktu menemukan Amrik dan keduluan sama penjelajah Portugis.
06 Februari jam 21:47 · SukaTidak Suka
o
Hang Ws ‎:
@Halim H..sarujuk banget, kehidupan itu sendiri juga guru bathin kita sebagi modal utama untuk berkreasi.
06 Februari jam 21:48 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
HH : maaf maksut saya yg lulusan sekolah seni dan yg bukan. Krn kalo membahas otodidag dengan akademis, dr bbrp bahasan yg saya ikuti tdk pernah ketemu.....akhirnya rancu....
06 Februari jam 21:52 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade :
gak penting, lulusan sekolah atau bukan.
tapi, pelacakan kepada tema dan kapasitas teknisnya yang mesti diusahakan, sehingga konten bisa dicari. tebal tipis tema dan konten itulah yang bisa dilanjutkan ke arah pencarian pelacakan di mana po...sisi sosial, fungsi serta sejauh manakah sebuah karya bisa dijadikan sejenis 'pakem' atau bisa memberikan inspirasi....
06 Februari jam 21:55 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Hang Ws :
saya lebih suka kata "inspirasi" untuk dekade saat ini.
06 Februari jam 21:57 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi :
Saya minta maaf dulu bwt ybs, tetapi bnyk seniman kita terutama yg di daerah belum mampu keluar dari stereotip pemikiran lama semacam:
-seniman gak usah mikir dan debat macem2, buktikan saja dng karya
-kualitas karya ditentukan pihak2 yg terl...ibat dng pasar seperti kolektor, pemilik galeri, kurator dst. (dan tidak mampu menganalisis lebih jauh selain mengeluhkan hegemoni pasar)
-sangat terpengaruh dengan pelabelan2 yg diributkan di pusat2 seni rupa macam yogya, bandung; dan contoh ribut2 pelabelan itu misalnya: realisme sosial, kontemporer, dsb.
-kebanyakan seniman, kalo mau jujur, tidak pe-de bila berhadapan dng konsep ndakik-ndakik khas teks pengantar kuratorial; akhirnya ikut2an mencanggih2kan terutama dng hobi bikin neologisme alias istilah2 baru yg keliatannya keren (biasanya dng akronim atau penggabungan kata2 asing dan bhs inggris)
-dan macem2....
06 Februari jam 22:02 · Tidak SukaSuka · 5 orangMemuat...
o
Halim Hade:
hal di atas, inventarisasi soal itu, ada di berbagai jenis dan disiplin kesenian lainnya juga.
dengan kata lain: ada krisis pemikiran.
06 Februari jam 22:08 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho ‎:
uwakehe sing njempoli komentare SP....!!!
06 Februari jam 22:08 · SukaTidak Suka
o
Sindhu Pertiwi :
Oh iya, saya juga 'terpaksa' bikin dikotomi seniman pusat dengan daerah karena realitanya, ada daerah/kota tertentu yg sepertinya jadi kiblat isu dan tren wacana mutakhir serta memiliki aktivitas seni yg sangat padat serta selalu mendominas...i dlm pembicaraan seni.

Tetapi dikotomi itu tdk saya maksudkan utk mentahbiskan suatu kota benar2 jadi pusat dominasi seni rupa.
06 Februari jam 22:25 · SukaTidak Suka
o
Wahyu Nugroho :
Ini salah satu perbandingan yg sempat kami angkat dlm omong2an tadi.
lukisan Monalisa dikerjakan dlm rentang waktu yg cukup lama. menggunakan teknik berlapis hingga sekitar 30 lapis, yg ekstra tipis. Juga tdk henti2nya si Leonardo berekspe...rimen utk mengembangkan tekniknya. Selian itu dr hasil karya2nya, Leonardo membuktikan kecerdasannya.
sementara itu, Jean-Michel Basquiat mengerjakan Red Kings, 1981, atau karya yg lain, dg waktu yg relatif singkat. Tekinik spontan. Dan bisa jadi tdk secerdas Leonardo.
Tapi dua2nya adl para master di gayanya masing2.
06 Februari jam 22:29 · SukaTidak Suka · 1 orangHang Ws menyukai ini.



bersambung ke jilid 2

..................................................................................NEXT



sumber :
pameran virtual karya WAHYU NUGROHO di FACEBOOK: PLURAL PAINTING
http://www.facebook.com/album.php?aid=106633&id=1197141376&l=ee57da086c

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Ηi to every bοԁу, it's my first visit of this web site; this weblog contains amazing and genuinely fine information in favor of readers.

Feel free to surf to my homepage instant payday loans
Also see my site - instant payday loans