Selasa, 09 Juni 2009


Doa Seorang Pemuda Rangkasbitung di Rotterdam



Bismillahir rohmanir rohiim



Allah! Allah! Napasmu menyentuh ujung jari-jari kakiku yang menyembul dari selimut. Aku membuka mata dan aku tidak bangkit dari tidurku. Aku masih mengembara di dalam jiwa.



Burung-burung terbakar di langit dan menggelepar di atas bumi. Bunga-bunga apyun diterbangkan angin jatuh di atas air hanyut di kali, dibawa ke samodra, disantap oleh kawanan hiu yang lalu menggelepar jumpalitan bersama gelombang.



Aku merindukan desaku lima belas kilo dari Rangkasbitung. Aku merindukan nasi merah, ikan pepes, desir air menerpa batu, bau khusus dari leher wanita desa, suara doa di dalam kabut.



Musna. Musna. Musna. Para turis, motel dan perkebunan masuk desa. Gadis-gadis desa lari ke kota bekerja di panti pijat, para lelaki lari ke kota menjadi gelandangan. Dan akhirnya digusur atau ditangkapi disingkirkan dari kehidupan. Rakyat kecil bagaikan tikus. Dan para cukong selalu siap membekali para penguasa dengan semprotan antihama. Musna. Musna. Musna.



Kini aku di sini. Di Rotterdam. Menjelang subuh. Angin santer. Jendela tidak terbuka, tapi tirainya aku singkapkan. Kaca basah. Musim gugur. Aku mencium bau muntah. Orang Negro histeri ketakutan dikejar teror orang kulit putih di tanah leluhurnya sendiri di Afrika Selatan. Kekerasan. Kekuasaan. Kekerasan. Dan lantaran ada tambang intan di sana, kekuatan adikuasa orang-orang kulit putih juga termasuk yang demokrat, memalingkan muka, bergumam seperti orang bego, dan mengulurkan tangan di bawah meja, melakukan kerja sama dagang dengan para penindas itu. Dusta. Dusta. Dusta. Ya, Allah Yang Maharahman! Tanganku mengambang di atas air bersama sampah peradaban.



Apakah aku akan berenang melawan arus? Langit nampak dari jendela, Ada hujan bulu-bulu angsa. Aku hilang di dalam kegagapan. Ada trem lewat. Trem? Buldoser? Panser? Apakah aku akan menelpon Linde? Atau Adrian? Berapa lama akan sampai kalau sekarang aku menulis surat kepada Makoto Oda di Jepang? Sia-sia. Musna. Dusta.



Rotterdam! Rotterdam! Hiruk-pikuk suara pasar di Jakarta. Bau daging yang terbakar. Biksu di Vietnam protes membakar diri. Perang saudara di India yang abadi. Aku termangu. Apakah aku akan menyalakan lampu? Terdengar lonceng berdentang. Berapa kali tadi? Jam berapa sekarang? Ayahku di Rangkasbitung selalu bertanya: Kapan kamu akan menikah? Apakah kamu akan menikah dengan perempuan Indonesia atau Belanda? Kapan kamu akan memberiku seorang cucu? Apakah lampu akan kunyalakan? Di Rangkasbitung pasti musim hujan sudah datang. Kenapa aku harus punya anak? Kalau perang dunia ketiga meletus nuklir digunakan, angin bertiup, hujan turun, setiap mega menjadi ancaman. Jadi anakku nanti harus mengalami semua ini? Rambut rontok. Kulit terkelupas. Ampas bencana tidak berdaya. Ah, anakku, sekali kamu dilahirkan tak mungkin kamu kembali mengungsi ke dalam rahim ibumu!



Suara apakah itu? Electronic music? Jam berapa sekarang? Apakah sudah terlambat untuk salat subuh? Buku-buku kuliah di atas meja. Tanganku menjamah kaca jendela. Dan dari jauh datang mendekat: wajahku. Apakah yang sedang aku lakukan? Ya Allah Yang Maharahman! Tanganku mengambang di atas air bersama sampah peradaban. Apakah aku harus berenang melawan arus? Astaga! Pertanyaan apa ini!



Apakah aku takut? Ataukah aku menghiba? Apakah aku takut lalu menghiba? Pertanyaan apa ini!

Ya, Allah Yang Maharahman. Aku akan menelpon Linde dan juga Adrian. Aku akan menulis surat kepada Makoto Oda. Tanganku mengepal di dalam air tercemar sampah peradaban. Tidak perlu aku merasa malu untuk bicara dengan imanku.



Allah Yang Maharahman, imanku adalah pengalamanku.

Bojong Gede 6 Nopember 1990

(dari Orang-orang Rangkasbitung, 1993)



Tidak ada komentar: