Selasa, 09 Juni 2009


Kupanggil Namamu



Sambil menyeberangi sepi kupanggili namamu, wanitaku. Apakah kau tak mendengarku?



Malam yang berkeluh kesah memeluk jiwaku yang payah yang resah kerna memberontak terhadap rumah memberontak terhadap adat yang latah dan akhirnya tergoda cakrawala.



Sia-sia kucari pancaran sinar matamu. Ingin kuingat lagi bau tubuhmu yang kini sudah kulupa. Sia-sia. Tak ada yang bisa kujangkau. Sempurnalah kesepianku.



Angin pemberontakan menyerang langit dan bumi. Dan dua belas ekor serigala muncul dari masa silam merobek-robek hatiku yang celaka.



Berulang kali kupanggil namamu Di manakah engkau, wanitaku? Apakah engkau juga menjadi masa silamku? Kupanggili namamu. Kupanggili namamu.

Kerna engkau rumah di lembah. Dan Tuhan? Tuhan adalah seniman tak terduga yang selalu sebagai sediakala hanya memperdulikan hal-hal yang besar saja.



Seribu jari masa silam menuding kepadaku. Tidak. Aku tak bisa kembali.



Sambil terus memanggili namamu amarah pemberontakanku yang suci bangkit dengan perkasa malam ini dan menghamburkan diri ke cakrawala yang sebagai gadis telanjang membukakan diri padaku Penuh. Dan perawan.



Keheningan sesudah itu sebagai telaga besar yang beku dan aku pun beku di tepinya. Wajahku. Lihatlah, wajahku. Terkaca di keheningan. Berdarah dan luka-luka dicakar masa silamku.



(dari Blues untuk Bonnie, 1971)

Tidak ada komentar: