Rabu, 10 Juni 2009
JALAN UNGARAN 8, YOGYA (hlm. 28-29)
Apabila malam telah turun
aku biasa menengok Jack Burghart.
"Mr. Rendra, kau mau minum apa?"
Lampu-lampu neonnya menerangi lukisan dan topeng di dinding
Tak ada potret wanita di sini.
Wajah wanita hanya di dalam hati kami.
Itupun kabur dan banyak sekali.
Dengan tenang kami akan minum bir
dengan kacang goreng yang gurih
di dalam mangkuk perak di atas meja pualam.
Semua terasa tenteram
waktu Jack memutar Mozart pelan-pelan.
Serta sebuah jendela yang rendah dan lebar terbuka
membawa kami bersatu
dengan pohon-pohon yang gelap
di kebun di samping rumahnya.
Kemudian saya akan membuka sepatu.
Serta menjelujurkan kaki di atas sofa.
Permadani di lantai penuh gambar bunga-bunga.
Jack Burghart memeluk bantal di pangkuannya.
Ia bacakan sebuah surat dari Washington —
dari bundanya.
Lalu kami akan saling bercerita
tentang masa silam dan negeri-negeri yang jauh.
Tentang semua yang berharga untuk dikenangkan.
Semua yang indah bagi kehidupan.
Bagai air yang segar untuk akar yang tua,
segelas bir untuk otot yang lelah oleh kerja.
Ia akan minta saya bercerita
tentang kota kelahiran, bunda, serta adik-adik saya.
"Kapan jadinya kita kawin?" saya bertanya.
Kami berdua akan terbahak tertawa.
Ah, mungkinkah kami ini kanak-kanak yang abadi?
Gelas demi gelas kami tempuh dengan gembira.
Omongan dan gurauan membenturi patung-patung dari Bali.
Segalanya sangat berarti. Meskipun tanpa makna.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar