Rabu, 10 Juni 2009
A LANDSCAPE FOR DEAR VICTOR (hlm. 41-42)
Apabila kita bertiarap di bukit yang damai
kita mengarah lembah
dengan gelagah dan semak-semak berbunga.
Di langit yang bersih terpancanglah matahari
sepanjang tahun selalu bercaya.
Maka angin lembah
bertiup dengan merdeka.
Suara yang gaib memanggilku.
Tangan yang gaib melambaiku.
Sebuah sungai yang putih sebagai pita
mengalir jauh di tengah
selalu bernyanyi bagai sediakala
sedang jalan keretaapi menjalar di sebelahnya.
Keretanya lewat dengan asap yang jenaka
mencorengkan warna kelabu di udara
disapu angin kemarau
dalam permainan dan semangat remaja.
Permainan dan derita bangsaku.
Lebih jauh lagi
setelah warna hijau dan putih ini
bumi berwarna kuning kerna padi telah menua
dan di bawah matahari jerami berwarna bagai tembaga.
Orang-orang yang coklat bergerak di tanah coklat.
Mereka bekerja dan mencumbu tanahnya.
Maka sambil menghadap kesuburan
rumah-rumah di kiri berjongkok dengan tentram.
Tempat berpagut jiwa bangsaku.
Bagai titik-titik beragam seratus warna
berterbanganlah burung-burung dan kupu-kupu
malaikat kehidupan dari bumi.
Dan sebuah jalan yang kelabu
dari kanan menuju ke cakrawala
menuju kota.
Mobil jang kecil dan biru
lewat di atasnya.
Suara yang gaib memanggilku.
Tangan yang gaib melambaiku.
Tangan bangsa ini harus dikepalkan.
Bukit dan lembah ini harus bermakna.
Harus diberi makna.
Di kali perempuan telanjang dan mencuci
mereka suka bernyanyi tentang harapan yang sederhana
dan tentang kerja lelakinya.
Sedang di tepi sungai
rumpun bambu bergoyangan.
Victor yang baik,
percik darah saya yang pertama
di bumi ini tumpahnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar