Rabu, 10 Juni 2009


RUMAH NYONYA ABRAHAM (hlm. 52-54)

Bibi Abraham yang tua sudah janda
Anaknya seorang masuk tentara.
Aku sendiri, meski tetangga,
sudah seperti anaknya.
Waktu itu Minggu pagi yang mendung
Kami saling berteguran dan ia bertanya
apa aku suka sarapan.
Aku menolak, lalu duduk di sebelahnya
di bangku batu yang dingin dan panjang.
Matahari pagi sudah muram sejak semula
mendung terasa merendah di atas kepala.
Bibi Abraham menyuruh aku membaca
Sebuah surat dari anaknya
dan mengeluhlah ia.

Tembok kebun ini sudah kelabu dan tua
rumputan meninggi tanpa disiangi
pohonan sudah meranggas
tanpa daunan, tanpa buahan.
Semuanya tak terpiara.
Bibi Abraham bersuara:
"Kenapa Iskak tak pulang?
Setiap kali mengharap
yang datang hanya suratnya!"
"Ia pasti datang bila ada kesempatan.
Kini ia dibutuhkan
menindas pemberontakan."

Rumah ini sudah luntur kapurnya
kaca-kaca jendela nampak telanjang dan sepi
dan lumutan melekat pada genting yang lembab.
"Aku ingin melihat dia sebelum mati.
Bukan itu saja.
Aku ingin ia berbuat sesuatu
terhadap rumah ini
rumah peninggalan bapanya.
Melewati kepedihan dan duapertiga usia
ayahnya dulu membangun tempat ini
jengkal demi jengkal
batubata demi batubata
akhirnya berdiri meski sederhana.
Aku ingin ia berbuat sesuatu
terhadap kebanggaan bapanya
di bawah napasku.
Kalau bukan dia
siapa pula
sedang anak tunggal adalah segalanya."
"Ibu harus sabar
Seorang Kolonel bagai dia
sangat banyak urusan dan dibutuhkan."
"Tidak peduli Kolonel atau Sersan
yang saya ingat bagaimana dulu
ia menangis kerna terjatuh dari jambu.
Aku tak ingin ia meremehkan rumah ini.
Dan aku tersinggung pula
caranya minta aku pindah ke Jakarta.
Yang terpenting bukanlah tempat terbaik
tetapi tempat tercinta."
Di tembok yang rengkah dan kelabu
merambatlah tanaman menjalar.
Di pojok halaman tumbuh belukar
antara sebentar lewatlah dua kadal
berkejar-kejaran.
Bibi Abraham meremas surat anaknya
dan keluarlah airmatanya
sedikit saja.

Ia mencoba menahan sedihnya.
"Bibi, ia toh ada alasan," bujukku.
"Dan aku juga ada alasan!"
"Baiklah, masing-masing ada alasan!"
"Hah, itulah yang disebut duka cerita.
Sekarang apalagi
kalau tidak dihadapi!
Adapun cerita penyaliban
selalu, selalu
selalu berulang saja."

Gerimis mulai turun
di atas rumput tinggi yang bergoyang
Aku bimbing tangan Bibi Abraham
yang rapuh bagai dahan yang tua
dari pohon di halaman rumahnya.
"Marilah, Bibi Abraham.
gerimis sudah tiba."


Tidak ada komentar: