Selasa, 09 Juni 2009


SAJAK-SAJAK SEPATU TUA



biografi ringkas sampul belakang buku:

W.S. RENDRA
Penyair yang dilahirkan di Solo pada tanggal 7 November 1935 ini adalah salah seorang penyair yang terpenting. Ayahnya seorang guru bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Kuno, sedangkan ibunya pernah menjadi penari keraton Yogya. Sajak-sajaknya yang menarik perhatian mulai diumumkan dalam majalah-majalah di Solo dan Jakarta sekitar tahun 1954. Dan sejak itu sajak-sajaknya terus mengalir. Berlainan dengan sajak-sajak Indonesia ketika itu yang kebanyakan berupa lirika, maka sajak-sajak Rendra kebanyakan berupa epika. Ballada Orang-orang Tercinta (1957) adalah buku kumpulan sajaknya yang pertama. Pada tahun itu juga ia mendapat Hadiah Sastra Nasional dari Badan Musyawarat Kebudayaan Nasional (BMKN) sebagai salah seorang penyair terbaik tahun-tahun 1955-1956. Kemudian menyusul buku kumpulan sajaknya yang kedua berjudul Rendra: 4 kumpulan sadjak (1961) dan yang ketiganya berjudul Blues Untuk Bonnie (1971). Di samping menulis sajak, iapun menulis cerita pendek, dan sebuah kumpulannya telah terbit dengan judul Ia Sudah Bertualang (1963). Iapun terkenal karena drama-dramanya, khususnya karena eksperimen-eksperimen dan improvisasi-improvisasinya dalam bidang teater, selalu menarik perhatian dan ramai dibicarakan.

Sajak-sajak Sepatu Tua ini terdiri dari dua buah kumpulan sajak, yaitu “Sajak-sajak Sepatu Tua” dan “Masmur Mawar”, yang merupakan hasil period yang paling subur dalam hidup kepenyairan Rendra. Dengan jelas kumpulan sajak ini memberikan gambaran gamblang tentang dunia Rendra yang di Indonesia merupakan suatu dunia unik yang selalu menarik perhatian.



BAGIAN PERTAMA

MANCURIA (hlm. 10)
Di padang-padang yang luas
kuda-kuda liar berpacu.
Rindu dan tuju selalu berpacu.

Di rumput-rumput yang tinggi
angin menggosokkan punggungnya yang gatal.
Di padang yang luas aku ditantang.

Hujan turun di atas padang.
Wahai, badai dan hujan di atas padang!

Dan di cakrawala, di dalam hujan
kulihat diriku yang dulu hilang.


HOTEL INTERNASIONAL, PYONGYANG (hlm. 11)

Di malam yang larut itu
dengan jari-jari yang rusuh kubuka pintu balkon
dan lalu bergumullah diriku dengan sepi.
Malam musim gugur yang tidak ramah
mengusir orang dari jalanan.
Dan pohon-pohon seperti janda yang tua.
Kecuali angin tak ada lagi yang bernyawa
Di dalam sepi orang menatap diri sendiri
menghadap diri sendiri
dan telanjang dalam jiwa.
Angin Pyongyang mengacau rambutku
dan bertanya:
"Lelaki kurus dengan rambut kusutmasai
engkau gerangan putra siapa?"
Lalu kulihatlah wajahku yang tegang,
diriku yang guyah, serta hatiku yang gelisah.
Aku mencoba ramah dan menegur diriku:
"Hallo! --- Ada apa ?"
Malam yang larut itu gemetar dan kelabu.
Kesepian menghadap padaku bagai kaca.
"Ayolah, buyung!
Kau toh bukan kakek yang tua!"
Lalu akupun tersipu
meskipun tahu
itu tak perlu




MORANBONG, PYONGYANG (hlm. 12-13)

Aku akan tidur
di rumputan
di tepi kolam.
Sementara undan
dan belibis
berenangan.
Lihatlah, aku berdosa.

Aku akan tidur
di bawah pohon liu
yang rindang.

Dalam waktu yang mewah
tapi hampa
aku berjalan dalam taman
mengintip pasangan bersembunyi
di dalam hutan.
Sambil makan
jagung bakar
dan apel Korea
mendengarkan lagu rakyat
dinyanyikan orang.
Kantongkupun penuh dosa.

Lalu kupilihlah tempat ini
tempat tidurku di rumputan
dekat tembok pagar yang tua
memandang kuil beratap merah
dan angin lewat
untuk pergi ke lembah yang jauh.
Mencuri dosa.

Aku akan tidur
di tepi kolam
di bawah pohon liu
yang rindang.
Aku payah oleh dosa.




SANATORIUM CHAKHALINAGARA, MOSKWA (hlm. 14-15)

Hatiku terbaring telanjang di meja
di atas piring
di samping pisau, senduk, dan garpu,
selagi aku duduk di kursi putih
dengan koran tak bisa dibaca
di pangkuanku.
Pintu balkon yang terbuka
menampakkan terali yang hitam
serta langit yang tua renta.
Bayangan gelas dan teko porselin
dipantulkan kaca pintu.
Kemudian nampak pula diriku ;
wajahku yang sepi setelah dicuci,
hatiku yang rewel dan manja.
Siapa pula aku tunggu?
Siapa atau apa?

Perawat datang dengan wajah yang heran.
Ia menggelengkan kepala:
"Kamerad tak makan?"
"Lyuda, aku tak bisa makan.
Tak bisa kumakan wajah kekasih
tak bisa kuminum ibuku bersama susu
dan tak bisa kuusar mata adik dengan mentega!"
Ia mengangkat bahu dan bertanya.
Ah, ia toh tak tahu bahasa rindu!
Apabila ia lenyap dari pintu
dengan langkah lunak di atas permadani
ia tak akan tahu
bahwa waktu pernah beku dan berhenti
segala bunyi dan warna tanpa makna
dan bahkan
bagi mimpi, duka, derita, maupun kebahagiaan
tak ada pintu yang membuka.





SUNGAI MOSKWA (hlm. 16-17)

Di hari Minggu
Valya tertawa
dan rambutnya yang pirang
terberai.

Di atas biduk yang kecil merah
kami tempuh air
melewatkan jam-jam yang kosong.

Berpuluh pohonan
tumbuh di dua tepi sungai
bagai jumlahnya dosa kami.
Semua daun
berubah warna.
Musim gugur sudah tiba.

Di atas air yang hijau
kami meluncur
diikuti bayang-bayang yang kabur.
Melewati lengkungan jembatan
bagai melewati lengkungan kekosongan.
Musim gugur sudah tiba.

Valya tertawa
dadanya terguncang
di dalam sweaternya.
Musim gugur sudah tiba.





SEBUAH RESTORAN, MOSKWA (hlm. 18-19)

Melalui caviar dan wodka
kami langgar sepuluh dosa.
Di atas kain meja yang putih
terbarut tindakan yang sia-sia.
Botol-botol anggur yang angkuh
dan teman wanita yang muda
adalah hiasan malam yang terasa tua.
Hari-hari yang nampak koyak-moyak
disulam dengan manis oleh wajahnya.
Dalam kepalsuan
kami berdua bertatapan.
Bahunya yang halus berkilau biru
oleh cahaya lilin dan lampu.
Pintu-pintu berpolitur
dengan tirai untaian merjan.
Sementara musik berbunyi
jam berapa kami tak tahu.
Di atas kursi Perancis
kami bertukar senyum
dan tahu
masing-masing saling menipu.
Dengan gelas-gelas yang tinggi
kita membunuh waktu
dalam dosa.
Bila begini:
manusia sama saja dengan cerutu
bistik ataupun whiski-soda
berhadapan dengan waktu
jadi tak berdaya.





SRETENSKI BOULEVARD
(hlm. 20-21)

Di sepanjang Sretenski Boulevard
kuseret langkahku
dan kebosananku.

Di bawah naungan pepohonan rindang
di sepanjang jalan bersih dengan bunga-bungaan
kucekik kebosananku
dalam langkah-langkah yang lamban.

Di Sretenski Boulevard
di bangku panjang
di antara pasangan berciuman
dan orang tua membaca buku
kuhenyakkan tubuhku yang lesu
kuhenyakkan kebosananku.

Maka
sambil diseling memandang
pasangan yang lewat bergandengan
dan ibu mendorong bayi dalam kereta
kupandang pula di depanku
kelesuanku dan kejemuanku.

Terang bukan soal kesepian
di tengah berpuluh teman
dan wanita untuk berkencan.
Masing-masing orang punya perkelahian.
Masing-masing waktu punya perkelahian.
Dan kadang-kadang kita ingin sepi serta sendiri.
Kerna, wahai, setanku yang satu
bernama kebosanan!

Di sepanjang Sretenski Boulevard
di sepanjang Sretenski Boulevard
di tempat yang khusus untuk ini
kuseret langkahku
dan kebosananku.
Lalu kulindas
di bawah sepatu.




GEREJA OSTANKINO, MOSKWA (hlm. 22)

Menaranya cukup tinggi
tapi menggapai sia-sia.
Pintunya mulut sepi
rapat terkunci
derita lumat dikunyahnya.




HOTEL AICHUN, KANTON (hlm. 23-24)

Dalam siang yang tenteram
kubuka jendela lebar-lebar
menangkap hawa luar.
Langit yang ramah
dan sejalur ranting leci
membayang nampak pada kaca
di daun jendela.
Loncengpun berbunyi
duabelas kali.
Dan kipas listrik berputar.
Serba tenang, serba tentram.

Ketika menengok ke bawah
nampak orang-orang yang lamban kepanasan
di jalan batubata.
Serta lebih jauh lagi
nampaklah sungai Mutiara
yang lebih payah dari semuanya.
Payah tapi damai.

Tirai sutra Cina penuh berbunga
menambah indah kamar ini.
Dan aku berdandan
di depan lemari berkaca yang besar
serta penuh ukiran naga.
Dalam sepi dan damai.

Sekarang aku merasa tentram
setelah semalam bergulat dalam diri
dan meredakan rindu dengan mengerti.
Tentu
masih juga mengenangkan
tanah kelahiranku
tetapi bersama kesabaran.
Tanpa menulis sajak-sajak
tanpa bertekun di atas buku
aku ingin memuasi sepi.
Dan sambil membuat lingkaran-lingkaran
dengan asap rokok
kunikmatilah sebuah istirah
yang lumayan.




HONGKONG (hlm. 25-26)

Di Hongkong kita tersenyum, menegursapa,
tapi mereka memandang kita dengan curiga.
Bagai sipandir atau sigila dihina.

Di kota ini setiap orang jadi serdadu
kerna setiap jengkal tanah adalah medanlaga.
Di jalan yang ramai dan di mana-mana tulisan Tionghoa
para pelacur menggedel dan menawarkan bencana.
Tuhan dan penghianatan mempunyai wajah yang sama.
Tak ada mimpi kecuali yang dahsyat dan mutlak mimpi
berkilat-kilat serta nyaring bagai tembaga
terbayang dalam dada ataupun wajah kuli yang suka bengkelai
Tak ada orang asing di sini.
Setiap orang adalah asing sejak mula pertama.
Orang-orang seperti naga.
Tanpa sanak, tanpa keluarga.
Setiap orang bersiap dengan kukunya.
Kita bebas untuk pembunuhan
tapi tidak untuk kepercayaan.
Orang di sini sukar diduga
Bagai kanak-kanak suka uang dan manisan.
Bagai perempuan suka berlian dan pujian.
Bagai orang tua suka candu dan batu dadu.
Dan bagai rumah terkunci pintunya.
Sukar dibuka.
Tapi sekali dijumpa kuncinya
terbukalah pintu hati
manusia biasa.




JALAN UNGARAN 8, YOGYA (hlm. 28-29)

Apabila malam telah turun
aku biasa menengok Jack Burghart.
"Mr. Rendra, kau mau minum apa?"
Lampu-lampu neonnya menerangi lukisan dan topeng di dinding
Tak ada potret wanita di sini.
Wajah wanita hanya di dalam hati kami.
Itupun kabur dan banyak sekali.
Dengan tenang kami akan minum bir
dengan kacang goreng yang gurih
di dalam mangkuk perak di atas meja pualam.
Semua terasa tenteram
waktu Jack memutar Mozart pelan-pelan.
Serta sebuah jendela yang rendah dan lebar terbuka
membawa kami bersatu
dengan pohon-pohon yang gelap
di kebun di samping rumahnya.

Kemudian saya akan membuka sepatu.
Serta menjelujurkan kaki di atas sofa.
Permadani di lantai penuh gambar bunga-bunga.
Jack Burghart memeluk bantal di pangkuannya.
Ia bacakan sebuah surat dari Washington —
dari bundanya.
Lalu kami akan saling bercerita
tentang masa silam dan negeri-negeri yang jauh.
Tentang semua yang berharga untuk dikenangkan.
Semua yang indah bagi kehidupan.
Bagai air yang segar untuk akar yang tua,
segelas bir untuk otot yang lelah oleh kerja.
Ia akan minta saya bercerita
tentang kota kelahiran, bunda, serta adik-adik saya.
"Kapan jadinya kita kawin?" saya bertanya.
Kami berdua akan terbahak tertawa.
Ah, mungkinkah kami ini kanak-kanak yang abadi?
Gelas demi gelas kami tempuh dengan gembira.
Omongan dan gurauan membenturi patung-patung dari Bali.
Segalanya sangat berarti. Meskipun tanpa makna.




PASARMALAM SRIWEDARI, SOLO (hlm. 30)

Di tengah lampu aneka warna,
balon mainan bundar-bundar.
rok-rok pesta warna,
dan wajah-wajah tanpa jiwa,
kita jagal sendiri hati kita,
setelah telinga jadi pekak
dan mulut terlalu banyak tertawa
dalam dusta yang murah
dan bujukan yang hampa.

Mencubiti pantat wanita
tidak membuat kita tambah dewasa.
Dilindungi bayangan tenda-tenda
kita menutup malu kita
dengan kenakalan tanpa guna.
Tempat ini sangat bising dan bising sekali.
Gong, gendang, gitar dan biola.
terkacau dalam sebuah luka.
Ayohlah!
Anda sedang menertawakan dunia,
ataukah dunia sedang menertawakan anda?




RUMAH PAK KARTO (hlm. 31-32)

Menyusuri tanggul kali ini
aku 'kan sampai ke rumahnya.
Sawah di kanan-kiri
dan titian-titian dari bambu
melintasi kali.
Menjalani tanggul berumput ini
aku 'kan sampai ke rumahnya
yang besar dan lebar
dengan berpuluh unggas di halaman,
pohon-pohon buahan,
lambang-lambang kesuburan,
dan balai-balai yang tenteram.

Lalu sebagai dulu
akan kujumpai ia mencangkul di kebunnya
dengan celana hitam dan dada terbuka
orang yang tahu akan hidupnya:
orang yang pasti akan nasibnya.
Ia akan mengelu-elu kedatanganku
dan bertanya:
"Apa kabar dari kota?"
Dadanya bagai daun talas yang lebar
dengan keringat berpercikan.
Ia selalu pasti, sabar, dan sederhana.
Tangannya yang kuat mengolah nasibnya,

Menyusuri kali irigasi
aku 'kan sampai ke tempat yang dulu
aku 'kan sampai kepada kenangan:
ubi goreng dan jagung bakar,
kopi yang panas di teko tembikar,
rokok cengkeh daun nipah,
dan gula jawa di atas cawan.

Kemudian akan datang malam:
bulan bundar di atas kandang,
angin yang lembut
bangkit dari sawah tanpa tepi,
cengkerik bernyanyi dari belukar,
dan di halaman jang lebar
kami menggelar tikar.

Menyusuri jalan setapak ini
jalan setapak di pinggir kali
jalan setapak yang telah kukenal
aku 'kan sampai ke tempat yang dulu:
udara yang jernih dan sabar
perasaan yang pasti dan merdeka
serta pengertian yang sederhana.




KEBUN BELAKANG RUMAH TUAN SURYO (hlm. 33-34)

Di tempat yang lama
aku teringat lagi
akan segala kesedihanku
yang telah lalu.
Di kebun rumah tetangga ini
di mana aku biasa bersembunyi
aku terkenang lagi
Willy yang kecil
menangis tersedu.
Pohon-pohon di sini masih seperti dulu
cuma lebih tua, lebih akrab, dan tahu.
Pohon mangga, pohon nangka, dan pohon randu.
Di pokok menempel lumutan dan di dahan benalu.
Pagarnya bunga merak, bunga sepatu dan rumput perdu.
Semuanya masih ada di sini
dan sekarang dengan akrab
Kami berpandangan lagi.

Kepada pohonan di sini aku biasa berlari
dan dengan aman aku uraikan
segala duka yang aku rahasiakan
segala tangis yang kusembunyikan
dan bahkan kasmaran yang pertama.
Mereka tahu memegang rahasia
dan selalu sabar
memandang kelemahan.

Melihat tanah di sini yang kelabu
dan mendengar daun berisik di dahan-dahan
aku terkenang lagi
Willy yang kecil
menangis tersedu.
Tapi menyenangkan juga dikenangkan
bahwa akhirnya satu demi satu
berpuluh kesedihan
telah terkalahkan.



JALAN BOGOR — JASINGA (hlm. 35-36)

Di tengah jalan menuju Jasinga
Tuhan mengucapkan selamat sore
sambil membukakan tanganNya
dan memberi pemandangan senjakala.
Bis mendaki jalan meninggi
menempuh bau pupuktanah.
Di langit perak dan tembaga
di bumi kain jemuran bidadari.
Dan mentari merendah di puncak kelapa.
Di sungai yang berbatu
hanyutlah kesangsianku.
Angin memasuki lengan baju
dan kenangan-kenangan gaib masa kanak-kanakku
dengan tandas menciumku.
Lalu padi dan ilalang mulai mengantuk.
Mereka berangkat tidur dengan warna suasa.
Di rumah-rumah berkolong orang-orang menutup jendela.
Seorang bocah duduk di tangga
merampungkan makan sorenya.
Kemudian
sementara seorang pengail pulang bergegas ke rumahnya
turunlah tanda musim hujan yang pertama.
Dan dengan ramah
Tuhan mengerdipkan sebelah mataNya.
Maka
jam tujuh lebih sampailah kami ke Jasinga.
Dan
di dalam secangkir kopi yang pertama
kuminumlah senjakala yang baru saja.




SUNGAI MUSI (hlm. 37-38)

Memasuki sungai Musi kuulurkan tanganku pada alam.
Melewati jalan yang baru bagai menempuh jalan yang sangat kukenal.
Tak usah lagi berkenalan, karena bertemu wajah-wajah yang lama.
Kami disatukan satu gelora, kesunyian dan duka.
Maka dalam tatapan yang pertama telah diketahuilah semuanja.
Air yang coklat mengalir lambat bagai mengangkat derita yang sarat.
Pimping air yang bergoyang dan cepat berbiak
cepat kukenal dalam satu pandang
kerna mereka tak lebih dari sepi.
Bakau besar yang berjenggot serta penuh keangkeran
cepat sejiwa dalam satu teguran
kerna ia tak lain dari duka.
Wajah air yang berpendar-pendar dan lesu dalam rupa
cepat akrab dalam satu usapan
kerna ia bukan apa selain wajah yang fana.
Disatukan oleh satu gelora kami bergumul dalam keakraban
pada masing pihak menemu belaian dan hiburan.
Makin banyak kami minum sepi kamipun makin mengerti.
Maka sambil melayangkan pandangan yang jauh
hanyutlah segala rasa yang gelisah.
Burung-burung menempuh angin yang lembut serta lemah.
Aku menempuh duka yang kian lembut, kian lemah.




LAUTAN (hlm. 39-40)

Daratan adalah rumah kita
dan lautan adalah kebebasan.
Langit telah bersatu dengan samodra
dalam jiwa dan dalam warna.

Ke segenap arah
berlaksa-laksa hasta
di atas dan di bawah
membentang warna biru muda.
Tanpa angin
mentari terpancang
bagai kancing dari tembaga.

Tiga buah awan yang kecil dan jauh
berlayar di langit dan di air
bersama dua kapal layar
bagai sepasang burung camar
dari arah yang berbeda.
Sedang lautan memandang saja.
Lautan memandang saja.

Di hadapan wajah lautan
nampak diriku yang pendusta
Di sini semua harus telanjang
bagai ikan di lautan
dan burung di udara.
Tak usah bersuara!
Janganlah bersuara!
Suara dan kata terasa dina.

Daratan adalah rumah kita,
dan lautan adalah rahasia.




A LANDSCAPE FOR DEAR VICTOR (hlm. 41-42)

Apabila kita bertiarap di bukit yang damai
kita mengarah lembah
dengan gelagah dan semak-semak berbunga.
Di langit yang bersih terpancanglah matahari
sepanjang tahun selalu bercaya.
Maka angin lembah
bertiup dengan merdeka.
Suara yang gaib memanggilku.
Tangan yang gaib melambaiku.

Sebuah sungai yang putih sebagai pita
mengalir jauh di tengah
selalu bernyanyi bagai sediakala
sedang jalan keretaapi menjalar di sebelahnya.
Keretanya lewat dengan asap yang jenaka
mencorengkan warna kelabu di udara
disapu angin kemarau
dalam permainan dan semangat remaja.

Permainan dan derita bangsaku.
Lebih jauh lagi
setelah warna hijau dan putih ini
bumi berwarna kuning kerna padi telah menua
dan di bawah matahari jerami berwarna bagai tembaga.
Orang-orang yang coklat bergerak di tanah coklat.
Mereka bekerja dan mencumbu tanahnya.
Maka sambil menghadap kesuburan
rumah-rumah di kiri berjongkok dengan tentram.
Tempat berpagut jiwa bangsaku.

Bagai titik-titik beragam seratus warna
berterbanganlah burung-burung dan kupu-kupu
malaikat kehidupan dari bumi.
Dan sebuah jalan yang kelabu
dari kanan menuju ke cakrawala
menuju kota.
Mobil jang kecil dan biru
lewat di atasnya.

Suara yang gaib memanggilku.
Tangan yang gaib melambaiku.
Tangan bangsa ini harus dikepalkan.
Bukit dan lembah ini harus bermakna.
Harus diberi makna.

Di kali perempuan telanjang dan mencuci
mereka suka bernyanyi tentang harapan yang sederhana
dan tentang kerja lelakinya.
Sedang di tepi sungai
rumpun bambu bergoyangan.

Victor yang baik,
percik darah saya yang pertama
di bumi ini tumpahnya.




SAWOJAJAR 5, YOGYA (hlm. 43-44)

Memasuki pintu halamannya
kujumpai pohon-pohon yang kabur
kerna malam sudah turun.
Rumahnya bagai kotak
penuh cahaya dan jendela.
Ia duduk main piano
nampak punggungnya
dan rambutnya yang panjang
dua jalinan.

Inilah tempat yang damai
di mana gelora dosa diredakan.
Tempat membasuh kaki yang payah
jang telah berjalan dengah resah
menempuh kekosongan dan kebimbangan.
Di sini urat-urat ditenangkan
setelah menggelepar sia-sia
kerna gairah dan gelora remaja.
Meliwati berlusin pemberontakan
berlusin kekalahan
dan berlusin kenakalan
yang menghadang bencana,
kutemuilah juga hiburan ini.
Segelas air dingin
dan kasih sepasang mata.

Piano menggemakan keindahan dan peradaban;
kursi-kursi, bunga-bunga, dan gambar-gambar menjinakkan darahku
Pelan-pelan kudekati ia dari belakang.
Pelan-pelan kujamah kedamaianku.




JALAN SAGAN 9, YOGYA
(hlm. 45-46)

Ketika kebetulan lalu
aku mampir ke kamar kita yang dulu.
Sekarang belum lagi disewa.
Kamar kita berdua
dengan bunga pada meja
tempat kita saling memandang
berhawa kasihsayang.

Memasuki kamar ini
tembok dan lantai kembali bicara
dan hidupku terasa tambah berharga.
Kukenangkan kembali
bagaimana dulu kujamah rambutmu
sementara engkau bertanya
berapa jumlah pacarku.
Lalu di lantai yang sejuk
dan juga bersih kerna kau sapu
kita akan bertiarap atau berbaringan
sambil menggambar dengan kapur
semua gambar yang lucu-lucu
atau rumah yang kita angankan.
Pernah pula kau gambar dua orang berdampingan
sambil kau tunjuk mereka:
“Ini kau. Ini aku.”
Lalu saya gambar selusin orang di kanan kirinya.
Kau merengut dan bertanya:
“Siapa mereka?”
Aku menjawabmu: “Anak-anak kita!”
Ketika kau tertawa
terberailah rambut-rambut halusmu
ke pipi dan ke dahimu.
Waktu itu aku gemar memandang matamu
dan melihat diriku terkaca di dalamnya.
Kekasihku,
ada saat-saat kita tak berdaya bukan oleh duka
tetapi kerna terharu semata.
Mengharukan dan menyenangkan
bahwa sementara kita tempuh hari-hari yang keras
sesuatu yang indah masih berada
tertinggal pada kita,
Sangat mendebarkan
menemukan satu bunga
yang dulu — telah lama
kitalah penanamnya.




HUTAN BOGOR (hlm. 47-48)

Badai turun
di dalam hutan.
Badai turun
di dalam sajak-sajakku.
Selalu, sayang,
aku terkenang kepadamu.

Sudah jam empat sore
hujan jatuh di hutan kenari.
Semula nampak manis
kemudian mendahsyatkan
Di dalam hujan, mendung dan petir
bumapun nampak fana.
Tak ada jang abadi.

Buruk dan basah
jenggot pohonan,
lumut-lumut di dahan, benalu dan paku-paku.
Aku berpikir
betulkah aku tidak menipumu?

Di dalam hujan
bumi dan sajak
terasa fana.
Berhadapan dengan maut
dengan malu
telanjanglah kita.

Menggapailah tangan-tangan kita
bagai dahan-dahan pohonan
dan beriaklah suara-suara
dalam perkelahian yang fana.
Tapi dengan dahsyat
dahan-dahan tetap menggapai.
Yang penting
bukanlah kekalahan ataupun kemenangan
tapi bahwa tangan-tangan telah dikepalkan
biarpun kecapaian.

Badai turun
di dalam hutan.
Badai turun
di dalam sajak-sajakku.




RUMAH ANDREAS (hlm. 49-51)

Setelah semalam pesta larut
kami bangun ketika matahari sudah sama tinggi
dengan jendela.
Waktu itu hari Minggu.
Nyonya Andreas mengajak kami sarapan
di kebun di belakang rumahnya
Semua sudah tersedia.
Kursi kebun warna-warni
di atas rumputan yang hijau
dikelilingi selusin pohonan.
Dan di atas meja fantastis yang jambon
tersedialah cangkir-cangkir kopi
buah-buahan, roti, dan poci-poci.
Putra Adreas telah menunggu membaca koran
dalam baju militer, kerna ia Kapten.
Dengan pakaian yang rapi saya datang
menemui Kapten dan buah-buahan,
rumputan dan pohonan,
burung-burung dan langit pagi,
warna merah, kuning, jambon, dan segala warna-warni,
serta roti, serta kopi.
"Ali Khan berniat kawin lagi."
Kata Kapten sambil menuang kopi.
Waktu itu saya sedang memenuhi paru-paru
dengan hawa sejuk kota pegunungan.
Saya tak menjawabnya apa-apa.

Tuan Andreas dan nyonya datang
ketika saya tengah asyik memandang
rumahnya yang bertingkat dua
dengan jendela-jendela yang bertirai ungu.

"Willy betul sudah mandi?" tanya Andreas.
Saya menguap dan tertawa.
"Rambut Willy selamanya begitu.
Seperti daun cemara."
Begitu isterinya bercanda.

"Kita mesti kembali ke jiwa revolusi!"
Kata Andreas pada putranya.
Saya melihat ayam berkokok di atas pagar
betinanya mengaisi tanah
Dan dua ekor angsa
berjalan malas turun ke kolam.
Lamban. Tanpa jiwa. Fana.

"Mobil Ford tahun ini kurang sentosa nampaknya!"
Kata nyonya Andreas memancing perdebatan.
Saya asyik mengamati
terali balkon yang dibentuk bagai leli.
Dingin dan jelita. Fana.

"Pucuk cemara kadang-kadang seperti tangan jauh
yang melambai."
Kataku tanpa memalingkan muka.
"Saya akan menuntut lebih banyak keadilan bagi wanita."
Terdengar orang lain bersuara pula.
Nyonya Andreas bersuara.
Bunga trembesi yang gugur
berpusing-pusing sebentar di udara
bagaikan kupu-kupu.
Gugur ke bumi. Rebah ke bumi. Fana.

Rumah besar itu berkapur putih
dan jendelanya bercat kelabu.
"Saya tahu," kata Andreas
"Willy sedang memikir sebuah soneta!"
"Kau pikir begitu?" canda istrinya.
Saya menguap, memandang meja dan berkata:
"Saya sedang berpikir di mana ada mrica."
Mereka berbareng tertawa
dan sang istri pergi
mengambil mrica.

Mulut terbuka untuk tertawa.
Mulut terbuka, makan dan pesta.
Mulut terbuka, menguap fana.
Cendawan subur tanpa jiwa.




RUMAH NYONYA ABRAHAM (hlm. 52-54)

Bibi Abraham yang tua sudah janda
Anaknya seorang masuk tentara.
Aku sendiri, meski tetangga,
sudah seperti anaknya.
Waktu itu Minggu pagi yang mendung
Kami saling berteguran dan ia bertanya
apa aku suka sarapan.
Aku menolak, lalu duduk di sebelahnya
di bangku batu yang dingin dan panjang.
Matahari pagi sudah muram sejak semula
mendung terasa merendah di atas kepala.
Bibi Abraham menyuruh aku membaca
Sebuah surat dari anaknya
dan mengeluhlah ia.

Tembok kebun ini sudah kelabu dan tua
rumputan meninggi tanpa disiangi
pohonan sudah meranggas
tanpa daunan, tanpa buahan.
Semuanya tak terpiara.
Bibi Abraham bersuara:
"Kenapa Iskak tak pulang?
Setiap kali mengharap
yang datang hanya suratnya!"
"Ia pasti datang bila ada kesempatan.
Kini ia dibutuhkan
menindas pemberontakan."

Rumah ini sudah luntur kapurnya
kaca-kaca jendela nampak telanjang dan sepi
dan lumutan melekat pada genting yang lembab.
"Aku ingin melihat dia sebelum mati.
Bukan itu saja.
Aku ingin ia berbuat sesuatu
terhadap rumah ini
rumah peninggalan bapanya.
Melewati kepedihan dan duapertiga usia
ayahnya dulu membangun tempat ini
jengkal demi jengkal
batubata demi batubata
akhirnya berdiri meski sederhana.
Aku ingin ia berbuat sesuatu
terhadap kebanggaan bapanya
di bawah napasku.
Kalau bukan dia
siapa pula
sedang anak tunggal adalah segalanya."
"Ibu harus sabar
Seorang Kolonel bagai dia
sangat banyak urusan dan dibutuhkan."
"Tidak peduli Kolonel atau Sersan
yang saya ingat bagaimana dulu
ia menangis kerna terjatuh dari jambu.
Aku tak ingin ia meremehkan rumah ini.
Dan aku tersinggung pula
caranya minta aku pindah ke Jakarta.
Yang terpenting bukanlah tempat terbaik
tetapi tempat tercinta."
Di tembok yang rengkah dan kelabu
merambatlah tanaman menjalar.
Di pojok halaman tumbuh belukar
antara sebentar lewatlah dua kadal
berkejar-kejaran.
Bibi Abraham meremas surat anaknya
dan keluarlah airmatanya
sedikit saja.

Ia mencoba menahan sedihnya.
"Bibi, ia toh ada alasan," bujukku.
"Dan aku juga ada alasan!"
"Baiklah, masing-masing ada alasan!"
"Hah, itulah yang disebut duka cerita.
Sekarang apalagi
kalau tidak dihadapi!
Adapun cerita penyaliban
selalu, selalu
selalu berulang saja."

Gerimis mulai turun
di atas rumput tinggi yang bergoyang
Aku bimbing tangan Bibi Abraham
yang rapuh bagai dahan yang tua
dari pohon di halaman rumahnya.
"Marilah, Bibi Abraham.
gerimis sudah tiba."




MASMUR MAWAR

MASMUR PAGI (hlm. 57-58)

Kata-kata masmur ini
timbul dari asap dapur
yang mengepul ke sorga
dan di atas tungku dapur itu
istriku merebus susu —
rahmatMu yang pertama.
Kata-kata masmur ini
lari ke lembah-lembah
dan di tepi cakrawala
mereka kawini sepi
yang lama menantinya.
Lembu-lembu masuk ke air
mengacau air yang jernih
menentang senja
dan hari kiamat.
Maka
di udara yang segar
bersebaranlah bau minyakwangi
dari jubah malaekat,
TubuhMu yang indah
Kau baringkan di gunung yang tinggi
dan nampaklah dari bawah
bagai awan mandi cahaya.
Bebek-bebekpun bertelor
kerna Kau jamah dengan tanganMu.
Ikan-ikan jumpalitan dalam air
dan padi melambai-lambai
menegurMu.
Pohon-pohon cemara di gunung
menggelitiki tapakkakiMu
dengan cara yang jenaka.
Kaupun lalu bangkit
pindah ke lain cakrawala
menggeliat dan bersenam indah
lalu melangkah menaiki matahari.
mendaki, mendaki,
mengeringkan celana dan bajuku
yang dicuci oleh istriku.




DOA MALAM (hlm. 59-60)

Allah di sorga.
Dari rumah bambu sempitku
di malam yang dingin
tanganku yang rapuh
menggapai sorgaMu.
Aku akan tidur di mataMu
yang mengandung bianglala
dan lembah kasur beledu.
Ketika angin menyapu rambutMu
yang ikal dan panjang
aku akan berlutut
di pintu telingaMu
dan mengucapkan doaku.
Doa adalah impian
dan segala harapan insan.
Di dalam doa aku bisikkan impianku.
Apakah Kau tertawa lucu?
Anakku yang kecil
memanjat jubahMu
dan tidur di dalam sakuMu.
Sedang bulan di atas pundakMu
isteriku masuk ke dalam darahMu.
Ketika engkau mengucapkan selamat malam
bunga-bunga kertas anekawarna
berhamburan dari mulutMu.
Dan untuk anakku
Kau sediakan balonan biru.
Bintang-bintang bertepuk tangan
dan serangga malam riuh tertawa
semua mengagumiMu:
Tukang Sulapan Tak Bertara.
Lalu Kau angkat tanganMu yang berpospor
gemerlapan, tinggi-tinggi, gemerlapan.
Dan itu berarti: selamat tidur
sampai ketemu esokhari
dengan sulapan yang lain dan baru.




SEBUAH DUNIA YANG MARAH (hlm.61-63)

Setelah dua buah perang dunia
senapan bicara dan mesiu di udara.
betapakah wajah dunia?
setelah segala pidato dan perbincangan
lembaga-lembaga yang bagus didirikan
untuk bertengkar
dalam seribu semboyan
dan tikaman dari belakang,
betapakah napas dunia?

Di sini di bagian bumi ini
muncullah wajah-wajah yang luka
dalam kelam malam jiwa.
Tidak perlu sebuah peta
untuk menunjuknya di mana.
Inilah sebuah dunia yang marah.
Penuh mata yang nyalang dan liar,
wajah-wajah yang buas putus asa,
dan tangan-tangan yang gemetar
menggenggam hidup yang hambar.
Maka
gubug, manusia, dan sampah
tak ada bedanya.
Penuh dendam tak berdaya.

Perang dunia dan pemberontakan
tidak merubah bumi lesi di sini
Pembunuhan demi pembunuhan
dendam demi dendam
tidak berbuah apa-apa
selain dosa, kebimbangan,
dan ketidak-percayaan.

Tidak berbuah apa-apa
selain mengorbankan yang tak berdaya
Ah, wajah-wajah yang selalu bertanya!
Didorong ke dunia sangsi dan dusta
merekapun sebatangkara.
Tumbuh dari dosa. Berbuahpun dosa.

Bumi di sini tetap terluka.
Orang-orang miskin melangkah dalam lapar.
Mereka adalah kayu yang meranggas.
Mereka menyesali kelahirannya
tetapi menolak kematiannya.
Mereka mandul. Ialah tak berbuah.
Mereka mati. Ialah tak berdaya.
Mereka menelungkup di atas bumi —
itulah bundanya!
Sedang yang lain, semua musuhnya.

Di atas bumi compang-camping di sini
mengungkaplah kehidupan manusia yang berdarah
yang telah lama mengidapkan dosa
di luar sadarnya. Di luar pilihannya.
Tuhanpun berdiri di antara mereka
terluka bersama mereka.
Dan dunia menolaknya.

Tuhan menangis bersama mereka.
Tapi mereka tiada tahu.
Tuhan yang sedih dan menderita
terlanda kaki mereka yang marah.
terlanda oleh dendam
dan ketakutan yang resah.

Bapa!
Bagaimana menghindari kematian
itulah masalah mereka yang utama
bukan tentang kebajikan atau dosa.
Betapa mereka mengerti suara sorga
bila suara kehidupan belum pernah didengarnya?

Bapa!
Sementara dunia mengerti cuma senapan dan dusta
ulurkanlah dengan tanganMu penuh kasih
jantungMu yang penuh cinta dan luka.
Luka-lukaMu, Bapa! Luka-lukaMu!
Hanya pada luka
dunia mengerti cinta.

Tuhan menangis dan mengerti.
Tuhan selalu menangis dan mengerti.
Selalu ditikam. Selalu dikhianati




AMSAL SEORANG SANTU (hlm. 64-67)

I

Ia adalah seorang santu.
Ia yang terbaring di tepi jalan
dan menghadapi ajalnya.
Santu adalah orang yang berdosa
dan selalu bangkit dari dosa.
Santu adalah orang yang menepuki dadanya
dan berkata:
"Akulah anak yang berdosa, ya Bapa!"
Ia adalah seorang santu
Ia adalah seorang yang berdosa.
Ia telah berjalan jauh.
Dari kelaparan ke kejahatan.
Dari penjara ke putusasa.
Dari dosa sampai ke Tuhannya.
Seseorang berkata:
"Ia orang yang bernasib malang
dekat pada hal-hal yang terpaksa,
salah tampa, serta hal-hal yang hina.
Dan ia selalu adil terhadap sesamanya
tapi diri sendiri sering dilupakannya."
Dan sekarang ia menghadapi ajalnya
dengan luka-luka di badannya.
Ia menari napas satu-satu
dan melihat Tuhan di matanya.
Orang-orang memandang kasihan
serta datang melawatnya,
Ada yang berkata:
"Luka itu sayalah membuatnya"
"Ya sayapun melukai kepalanya."
"Ah, kita semua telah melukainya
di mulut, di dada, di pundak,
di perut dan di jiwanya."
Ia sendiri tersenyum saja
megap-megap napasnya, dan kita kasihan melihatnya.

II
Orang banyak terisak dan tersedu
dan beromong antara sesamanya:
"Ia orang aneh dan selalu menjadi korban."
"Ia tak suka melihat orang tua mengangkat badan
dan selalu menolongnya." —
"Ia seperti batudadu
dimasukkan ke dalam kaleng
lalu dikocok dengan dahsyatnya.
Maka
dunia adalah kaleng pengocok itu."
"Ia selalu bangkit dari kejatuhan.
Ia penangis tapi penabah.
Ia pembimbing tapi punya pegangan.
Ia sangat penuh percampuran." —
"Tapi kita tahu ia baik." —
"Ya, ya, orang yang baik
dengan mata lembu bantaian."
"Dengan dia aku pernah berpapasan di jalan.
Kami sama-sama gemetar kelaparan.
Dan ia tersenyum padaku.
Wahai! Caranya tersenyum
Seakan ia tahu segala neraka dan derita manusia.
Pun ia tahu
bagaimana menjawab
teguran duka."
Orang itu meregangkan tubuhnya,
terus berdarah semua lukanya.
Akhirnya
iapun ajal
dengan merentangkan kedua lengannya.

III
Orang banyak terisak dan tersedu
dan menundukkan kepala mereka.
Maka seorang perempuan lewat bertanya:
"Siapa dia?
Siapa namanya?" —
Seorang lelaki menjawabnya:
"Seorang santu telah mati
seorang yang saleh telah berpulang."
"Tapi tidakkah ia orang muda
yang membongkar restoran
dipukuli perempuan tanpa melawan
menangis dan lemah hati?
Lalu datang orang-orang yang lain
dan mereka semua memukulinya?
Saya melihat pula tiga orang anak kecil
menantinya di luar dengan gemetar
dan lalu menangis mereka?
Dan orang ini siapa namanya?"
"Orang yang bodoh dari desa yang tandus
datang dan mati di sini.
Kami tak tahu siapa namanya.
Orang yang baik telah mati tanpa nama.
Ia telah berusaha menolak kejahatan.
Tapi hidupnya tanpa pilihan.
Ia menangis kebingungan
bukan karena pukulan.
Ia adalah seorang santu.
Ia selalu menangisi kesucian." —
"Ya, ya, ia adalah seorang santu.
Seseorang yang mati disalibkan.
Dosa dunia telah menyalibnya!
Dan tentang anak-anaknya
tidak seorangpun yang tahu ke mana.
Wahai!
Apakah mereka juga akan disalibkan
sebagai bapanya?" —




DOA ORANG LAPAR (hlm. 68-69)

Kelaparan adalah burung gagak
yang licik dan hitam.
Jutaan burung-burung gagak
bagai awan yang hitam.
O Allah!
Burung gagak menakutkan.
dan kelaparan adalah burung gagak
Selalu menakutkan.
Kelaparan adalah pemberontakan.
Adalah penggerak gaib
dari pisau-pisau pembunuhan
yang diayunkan oleh tangan-tangan orang miskin.
Kelaparan adalah batu-batu karang
di bawah wajah laut yang tidur.
Adalah mataair penipuan.
Adalah pengkhianat kehormatan.
Seorang pemuda yang gagah akan menangis tersedu
melihat bagaimana tangannya sendiri
meletakkan kehormatannya di tanah
karena kelaparan.
Kelaparan adalah iblis.
Kelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran.
O Allah!
Kelaparan adalah tangan-tangan hitam
yang memasukkan segenggam tawas
ke dalam perut para miskin.
O Allah!
Kami berlutut.
Mata kami adalah MataMu.
Ini juga mulutMu.
Ini juga hatiMu.
Dan ini juga perutMu.
PerutMu lapar, ya Allah.
PerutMu menggenggam tawas
dan pecahan-pecahan gelas kaca.
O Allah!
Betapa indahnya sepiring nasi panas,
semangkuk sop dan segelas kopi hitam.
O Allah!
Kelaparan adalah burung gagak.
Jutaan burung gagak
bagai awan yang hitam
menghalang pandangku
ke sorgaMu!



DOA SEORANG SERDADU SEBELUM BERPERANG (hlm. 70-71)

Tuhanku
wajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal.

Anak menangis kehilangan bapa.
Tanah sepi kehilangan lelakinya.
Bukanya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia.

Apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara.
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku memasukkan sangkurku.

Malam dan wajahku
adalah satu warna.
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pikiran
kecuali menyadari
biarpun bersama penyesalan.

Apa yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah?
sementara kulihat kedua tanganMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku.
Erat-erat kugenggam senapanku.
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku.




YA, BAPA (hlm. 72)

Malam begini ia datang: itu, dosa itu, merasuki dada.
Pecah semua. Pecah semua.

Wajah Bapa di pigura, jantung dengan mahkota duri,
lambung yang terbedah, darah kasih yang merah.
Pecah semua. Pecah semua.

Bapa! Cium keningku hitam, tumpangkan satu tangan
kerna aku harus bangun lagi, sendiri dan tatapkan mata.

Atau beri aku peti mati, mahakurban, baptis darah.
Biar sudah tuntas semua.

Tapi seandai Kau beri juga burung pagi di jendela
kukata juga: mau Bapa, punya Bapa.
Lalu kupaksa tautkan urat-urat daging pada tulang.

Lalu cium keningku hitam, tumpangkan satu tangan.

Bapa.


Kerna besok harus bangun lagi, sendiri dan buka mata.




LONCENG-LONCENG BERKELENENGAN
(hlm.73-74)

Lonceng-lonceng berkelenengan
di malam yang dingin itu.
Dan sejuta nafiri dari sorga
membangunkan orang-orang lapar
dengan lagu yang ganjil
yang hanya dimengerti
oleh sepi yang ajaib.
Dan gemanya beralun-alun
diiringi suara dunia
yang kurangajar dan menyenangkan.
Lonceng-lonceng berkelenengan
pada jam duabelas
di tengah malam
Maka, ketika aku tengah ngembara
tanpa uang di dalam saku
Tuhanpun lahir di dalam hatiku.
Engkau lahir
di dalam hatiku yang lalai.
Di sana akan Kau dapati
cendawan dan batu lumutan
serta dibawa hatiku itu
sebuah perut yang selalu bimbang.
Lonceng-lonceng berkelenengan.
Dan kita berjalan
menuju ke tepi kota
yang berudara bau sampah.
Yesus Kecil, tutuplah mataMu!
Tidurlah di antara dosa-dosa!
Besokpagi akan kubawa Kau ke kali
menikmati mandi yang merdeka
sambil mendengarkan sumpahserapah orang tani
yang tergencet hidupnya
Lonceng-lonceng berkelenengan.
Dan kita akan menempuh hidup ini
sambil menebak sebuah tekateki
ialah: nasib insani.
Yesusku!
Engkau lahir. Engkau manusia.
Engkau Tuhan.
Engkaulah Pembuat Nasib
yang tergantung pada nasib.
Lonceng-lonceng berkelenengan.
Dan waktu akan terbang
melayang-layang.
Kemudian datanglah saat itu
aku akan menyalibMu.
Dan Engkau mati
untuk menebusku!
Lonceng-lonceng berkelenengan.
Lonceng-lonceng berkelenengan.
Di dalam hatiku Engkau dilahirkan
dan disalibkan.




TOBAT (hlm. 75)

Aku tobat, ya Tuhanku
tobat atas segala dosaku.
Kacang-kacang berkembang
daun kobis segar di ladang.
JantungMu adalah biji kentang
digigit oleh tanah
subur dan menderita
digigit oleh tanah.

Aku tobat, ya Tuhanku
tobat atas segala dosaku.
Burung-burung kecil di belukar
batang pimping menggeliat.
MulutMu daisi di hutan
sederhana dan manis sekali.
MulutMu daisi di hutan
diinjak kaki petani.
Aku tobat, ya Tuhanku
telah kuinjak mulutMu
dan juga jantungMu.




GEREJA ST. ANTONIUS, SOLO (hlm. 76)

Burung Dara Rohulkudus
terbang di tingkap bundar.
Di atas altar.

Ya, Bapa.
Ketika orgel berbunyi
tampak wajahMu
di dalam cahaya.
Dan di lantai:
Wajahku yang dina.

Ya, Bapa,
kulihat wajahMu
kulihat wajahku
ketika orgel berbunyi
dan dosa bersuara
Burung Dara Rohulkudus
terbang di tingkap bundar
di atas altar.

Ya, Bapa.
Ketika Kau jamah dahiku
gemetarlah aku.




DATANGLAH, YA ALLAH (hlm. 77-78)

Aku datang kepadaMu, ya Allah
dengan tangan terentang dan muka ke tanah.
Aku datang kepadaMu, ya Allah
bila habis segala daya
dan jiwa terpesona.
Datanglah pula Kau padaku, ya Allah!
Datanglah Kau padaku, wahai,
Tanya Dari Segala Tanya!
Lihatlah tanganku yang terpesona.
Lihatlah jantungku yang berdebar dengan gemas.
Wahai, berdaginglah Engkau
maka tanganku akan meremasMu.
Adakah mataMu mentari atau bulan?
Adakah Kau dendam atau Pengampunan?
Adakah Kau pembalasan atau Ciuman?
Menataplah Kau padaku, ya Allah!
Lihatlah kerinduanku untuk mengerti
gemetar kakiku menahan guyah
dan keakraban bagiku
adalah damba dari segala damba.
Allah! Allah! Allah!
Engkaulah kijang emas
menyelinap antara pohonan di hutan.
Engkaulah keindahan dan kegesitan.
Lihatlah, jantungku berdebar dengan gemas.
Engkaulah bulan di balik cemara,
burung penyanyi di dalam belukar,
dan putri Cina yang jelita
bersembunyi di balik kipasnya.
Lihatlah, kerinduanku, ya Allah.

Kerinduan, kegemasan, damba dan pesona.
Ungkaplah diriMu padaku, wahai,
Tanya Dari Segala Tanya.
Sedemikian agung dan besarMu
sehingga tetap menjadi tanya.




MASMUR MAWAR (hlm. 79-80)

Kita muliakan nama Tuhan.
Kita muliakan dengan segenap mawar.
Kita muliakan Tuhan yang manis,
indah, dan penuh kasih sayang.
Tuhan adalah serdadu yang tertembak.
Tuhan berjalan di sepanjang jalan becek
sebagai orang miskin yang tua dan bijaksana
dengan baju compang-camping
membelai kepala kanak-kanak yang lapar.
Tuhan adalah Bapa yang sakit batuk
Dengan pandangan arif dan bijak
membelai kepala para pelacur.
Tuhan berada di gang-gang gelap
Bersama para pencuri, para perampok
dan para pembunuh.
Tuhan adalah teman sekamar para penjinah.
Raja dari segala raja
adalah cacing bagi bebek dan babi.
Wajah Tuhan yang manis adalah meja perjudian
yang berdebu dan dibantingi kartu-kartu.
Dan sekarang saya lihat
Tuhan sebagai orang tuarenta
tidur melengkung di trotoir
batuk-batuk kerna malam yang dingin
dan tangannya menekan perutnya yang lapar.
Tuhan telah terserang lapar, batuk, dan selesma,
menangis di tepi jalan.
Wahai, ia adalah teman kita yang akrab!
Ia adalah teman kita semua: para musuh polisi.
Para perampok, pembunuh, penjudi,
pelacur, penganggur, dan peminta-minta.
Marilah kita datang kepadaNya ———
kita tolong teman kita yang tua dan baik hati.




AMSAL SEBUAH PERJALANAN KE GOLGOTHA

Akan datang seseorang
dengan dada yang bidang
dan hati yang lapang
datang. Datang.

Hari rembang petang
di atas kota dikepung perang
di atas bumi yang diliputi dosa.
Di antara orang-orang bingung ia datang.
wajahnya ramah dan tenang.

Matahari menyelam
seolah luka berdarah di dadanya.
Dan langit merah
mencerminkan wajah dunia.
Waktu itu manusia dalam bencana.

Orang-orang yang bingung mengulurkan tangan-tangan mereka
sementara roket mereka sia-sia.
Mereka bersimpuh
di sekitar senapan-senapan yang terbaru
dengan baju tahan peluru.
Mereka setengah malu berdoa.

Orang-orang yang bingung berlutut
dan mengulurkan tangan-tangan mereka.
Mereka dikelilingi bencana
dan musuh mereka
mereka malu memandang kaca.
Mereka malu memandang kubur nenekmoyangnya.
Mereka dikelilingi bencana.

Harus ada yang rela dikorbankan.
Harus ada darah ditumpahkan.
Tidak untuk apa. Cuma sekedar membukamata.

Ia akan datang
dengan wajah yang ramah dan tenang.
Ia melangkah maju
lalu berhenti
di baris paling depan.
Dan sambil berdiri
di atas kaki-kakinya yang teguh
ia berkata:
"Aku akan maju."

Semua orang terdiam.
Mereka tatap badannya yang tampan
dan mulutnya yang budiman.
Seorang tua yang luruh dan lesu
di atas onggokan buku-buku
bertanya kepadanya:
"Maju untuk mati?"
Ia memberi pandangan yang ramah
dan menganggukkan kepalanya.

Adapun ia bukan Tuhan. Tapi kita.
Mungkin kau. Mungkin ia. Mungkin saya.




SAJAK SEORANG TUA UNTUK ISTRINYA

Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu.
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang.
Dan juga masadepan kita
yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita lunaskan.

Kita tidaklah sendiri
dan terasing dengan nasib kita.
Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan
Suka duka kita bukanlah istimewa
kerna setiap orang mengalaminya.

Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh.
Hidup adalah untuk mengolah hidup,
bekerja membalik tanah,
memasuki rahasia langit dan samodra,
serta mencipta dan mengukir dunia.
Kita menyandang tugas
kerna tugas adalah tugas.
Bukannya demi sorga atau neraka.
Tetapi demi kehormatan seorang manusia.
Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu
meski kita telah reyot, tuarenta, dan kelabu.
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak seorangpun kuasa menghapusnya.

Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna
Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.
Sembilan puluh tahun yang selalu bangkit
melewatkan tahun-tahun lama yang porakporanda..
Dan kenangkanlah pula
bagaimana kita dulu tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita.

Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama,
nasib, dan kehidupan.

Lihatlah! Sembilanpuluh tahun penuh warna!
Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita
tapi bukan kerna kita telah terkalahkan.

Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu.
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa kita ditantang seratus dewa.






Tidak ada komentar: