Kamis, 06 Agustus 2009

Cermin Affandi

Oleh Kuss Indarto

LIMA puluh tiga tahun lalu, dalam majalah Budaya edisi ke 6 bulan Juni 1954, Kusnadi, staf pengajar Akademi Seni Rupa Indonesia (sekarang Fakultas Seni Rupa ISI) Yogyakarta yang juga anggota redaksi majalah terbitan Djawatan Kebudajaan Kementerian P.P.K tersebut, menorehkan laporan khusus seputar Bienal Seni Rupa ke-2 di Sao Paulo, Brasil. Laporan yang menyita 48 halaman edisi khusus tersebut memaparkan perhelatan seni rupa tingkat dunia yang berlangsung 12 Desember 1953 hingga 12 Maret 1954.

Kusnadi mencatat ada 33 negara peserta yang secara keseluruhan mempertontonkan 4.500 hasil karya seni rupa dalam berbagai ragam ekspresi. Negara-negara yang kuat dan berpengaruh dalam jagad seni rupa hadir dengan karya (dan) para seniman bintangnya. Ada Spanyol yang menghadirkan karya-karya megabintangnya yang paling kemilau waktu itu, Pablo Picasso. Ada pematung Inggris yang jadi trendsetter dunia, Henry Moore. Hadir pula Ben Shahn dari Amerika Serikat. Tampak George Braque, R. Delaunaye, Marchel Duchamp yang menjadi duta Perancis. Jerman direpresentasikan oleh seniman Paul Klee, Norwegia oleh Edward Munch, Austria oleh Oscar Kokoschka, dan lainnya.

Asia hanya diwakili oleh 4 negara: Jepang, Israel, Mesir, dan Indonesia. Indonesia sendiri, yang baru sewindu merdeka, mengeksposisikan 59 lukisan karya dari 26 seniman. Undangan dari pemerintah Brasil kepada seniman Indonesia waktu itu, diduga, berkat kiprah penting dari salah seorang bintangnya yang mulai menanam reputasi ke jenjang internasional: Affandi. Dia yang saat itu telah membangun reputasi di Italia, mengirimkan 25 lukisan. Seniman lain yang bertolak ke negeri Samba itu adalah Kusnadi sendiri dan pelukis Sholihin.

Kehadiran tiga seniman Indonesia tersebut, dalam konteks masa itu, telah menyelipkan makna kultural yang dalam. Sebagai bekas bangsa jajahan, Bienal Sao Paulo mampu memberi ruang dan posisi tawar bagi Indonesia di fora internasional. Terlebih lagi perhelatan Bienal Seni Rupa Sao Paulo tersebut merupakan salah satu dari beberapa ajang penting seni rupa kelas dunia, selain Bienal Venezia di Italia, Bienal Whitney di New York, atau Documenta di Jerman. Bahkan menariknya, menurut Kusnadi, pers Uruguay yang juga meliput perhelatan itu menempatkan Indonesia sebagai salah satu di antara 10 negara dengan penampilan terbaik.

***
LALU, di manakah Haji Affandi Kusuma sekarang berada? Maaf, ini bukanlah pertanyaan dengan pendekatan filsafat eksistensialis(me), atau gumam berbau spiritual(isme). Ini sekadar rerasan orang awam yang mencoba berlaku sok heroik melawan lupa. Juga, barangkali, hanyalah upaya kecil untuk mengulik kembali pola ingatan kita dalam mengapresiasi figur-figur penting (pada peta seni) yang terpacak dalam konstruksi sejarah.
20 Mei lalu 2007 kita diingatkan (sekali lagi) bahwa nama Affandi telah ditabalkan sebagai nama jalan yang menjelujur dari perempatan Condongcatur di ringroad utara hingga di pertigaan jalan di ujung tenggara Universitas Negeri Yogyakarta. Nama Affandi menggantikan juluk Gejayan yang juga menjadi identitas pengenal kampung di sekitar jalan itu yang telah menempel sekian puluh tahun sebelumnya. Nama seniman yang dilekatkan pada sepenggal jalan, jelas bukan sebagai upaya mendekonstruksi nalar militerisme yang artefaknya muncul secara dominan pada nama-nama jalan di sekujur negeri ini.
Saya kira, “hanya” ada “nalar kebersahajaan” di sana: bahwa para jenius lokal (harus) diberi “ruang keabadian” yang memadai untuk memberi tanda sekaligus inspirasi bagi generasi yang akan melampauinya. Meski “sekadar” nama untuk seutas jalan. Inilah kiranya prestasi pemerintah kabupaten Sleman dalam memberi penghargaan terhadap prestasi warga Yogyakarta yang namanya telah menjadi aset dan ikon seni rupa Indonesia.
Affandi memang bukan orang “Yogyakarta asli”. Dan ini tak layak untuk dipersoalkan. Dia lahir di Cirebon pada tahun 1907, bergelut dengan rentetan pengalaman getir-manis di Bandung, Jakarta, berkesempatan “mampir” di India, Italia, Amerika Serikat, dan kawasan lainnya. Hingga lalu berpulang pada usia 83 tahun di rumah sekaligus museumnya di lembah kali Gajahwong, Yogyakarta pada 23 Mei 1990. Andaikan masih sugeng, tahun ini genap berusia 100 tahun.
Pengakuan atas reputasi dan prestasinya telah banyak dilakukan secara internasional. Misalnya, gelar Doctor Honoris Causa didapatkannya dari National University of Singapore (NUS) pada tahun 1974, tentu tanpa melewati praktik menyuap, dan tanpa percik kontroversi atas penobatan itu. Nyaris semua pihak memberi permakluman. Sebutan Affandi sebagai “sang maestro” pun bukan istilah banal seperti yang sekarang banyak terucapkan, karena memang dia mendapatkan penghargaan Grand Maestro dari Dag Hammarskjold, Diplomatic Academy of Peace Pax Mundi di Roma, Italia tahun 1977. Pemerintah Indonesia, lewat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1969 juga memberikan Anugerah Seni dan medali emas. Pun Bintang Jasa Utama dari Presiden pada tahun 1977.

***
SETELAH tujuh belas tahun berpulang, sesudah seratus tahun Affandi dilahirkan, cermin apa yang bisa kita baca dan catat hari ini?
Artprice, sebuah lembaga informasi kecenderungan pasar seni rupa dunia yang berkedudukan di Paris, pada kuartal pertama 2007 merilis laporan tahunan atas deretan nama perupa yang karya-karyanya terkoleksi dengan harga tertinggi sejagad selama kurun 2006. Di antara 500 nama yang terpampang dalam daftar itu, tercetak nama Affandi di urutan 381 dengan nilai transaksi atas karya-karyanya (selama tahun 2006) sebesar 2.425.395 US dollar atau senilai Rp 22.085.555.000,- (dengan kurs 1 $= Rp 9.000,-). Hanya satu nama orang Indonesia dalam daftar itu. Mayoritas masih didominasi oleh seniman Eropa dan Amerika. Dari Asia muncul banyak nama, terutama dari China, Jepang, dan India.
Data ini mungkin cukup naif untuk ditampilkan. Tapi apa boleh buat, ukuran kuantitatif bisa memberi salah satu jalan masuk untuk memberi tengara bahwa proses kreatif Affandi yang dibangun dari komitmen personal dan sosial yang tinggi, sikap, wawasan, dan cita rasa seni yang paripurna itu telah diberi pengakuan oleh semua kalangan, dari beragam perspektif. Kalau toh masih hidup, Affandi yang tetap sederhana itu mungkin tak silau dengan angka-angka statistik yang melekat pada karya-karyanya itu. Karena itu semua hanyalah akibat, bukan tujuan utama Affandi dalam hidup berkesenian.
Saya kira, benarlah ungkapan budayawan Umar Kayam (almarhum) dalam harian Kompas, 27 Mei 1990: “Di tengah proses pendangkalan dan pendambaan materi yang menjijikkan di sekitar kita, kita boleh bersyukur bahwa kita pernah memiliki harta yang tak ternilai harganya dalam keutuhan seorang Affandi”.
(Tulisan ini telah dimuat di harian Kompas edisi Yogyakarta, Rabu 19 September 2007)

sumber : http://kuss-indarto.blogspot.com/

Tidak ada komentar: