Kamis, 06 Agustus 2009

Lenyapnya Negara di Seni Rupa



Oleh Kuss Indarto

(Tulisan ini telah dimuat di harian Kompas edisi Minggu Pon 1 April 2007)

Sampai seberapa jauhkah sepak terjang perupa Indonesia di tengah kecamuk perkembangan seni rupa dunia? Bagaimanakah penetrasi mereka di fora internasional? Di manakah kehadiran negara dalam konteks ini? Ini rentetan pertanyaan klasik namun masih amat menantang untuk terus diperbincangkan lebih lanjut. Setidaknya, titik tersebutlah yang menjadi warna utama diskusi terbatas di kantor redaksi Kompas Yogyakarta tiga pekan lalu. Diskusi dihadiri oleh figur penting dan kaya pengalaman dalam seni rupa seperti I Made Wianta, Nindityo Adipurnomo, dan Arahmaiani yang men-jlentreh-kan (menggelar) beragam kompleksitas problem yang dihadapi seniman Indonesia tatkala masuk dalam perhelatan internasional. Lalu hadir juga sosok seniman dan kurator yang relatif lebih muda usia seperti Yuswantoro Adi, Nurkholis, Edo Pop, Mikke Susanto, Sujud Dartanto, Ronald Apriyan, dan penulis yang bertindak mengatur lalu-lintas diskusi.

Secara historis sebenarnya seniman Indonesia tak terlampau ketinggalan ketimbang banyak negara lain, setidaknya di Asia Tenggara, dalam kemampuannya untuk menembus jajaran perhelatan seni rupa dunia. Ini dibuktikan oleh Affandi yang terlibat sebagai peserta dalam Sao Paolo Biennale di Brasil tahun 1951. Event semacam ini relatif menjadi salah satu ukuran penting untuk memetakan Indonesia dalam etalase seni rupa dunia, di samping alat ukur lain yang kini kian beragam. Selepas Affandi, hingga sekarang, satu dua perupa mulai menjajal masuk dalam ruang-ruang penting perhelatan dunia. Ada Heri Dono, Dadang Christanto, Nindityo Adipurnomo, Made Wianta, Agung Kurniawan, Arahmaiani, Entang Wiharso, hingga generasi terkini seperti Ruang Rupa, Apotik Komik (almarhum), dan Eko Nugroho yang merangkak memetakan identitas diri dan nasion yang bawanya ke ranah yang lebih luas. Mulai dari event Havana Biennale, Venice Bienalle, Gwangju Biennale, Asia-Pacific Triennale, Taipei Biennale, Iceland Biennale, dan lainnya.

Secuil fakta tersebut, nyatanya belum banyak membawa pengaruh besar terhadap pencitraan seni rupa Indonesia di mata dunia. Dalam “aforisme” Arahmaiani, seniman Indonesia masih sekadar menari-nari di pinggiran “kue” seni rupa dunia, belum menyentuh ke pusat-pusat “kue” yang masih didominasi oleh Barat atau negara-negara dunia ketiga yang mau lebih “berdarah-darah” melakukan penetrasi ke pusat-pusat tersebut. Misalnya China, Jepang, Thailand, Korea Selatan, Singapura, atau banyak negara Amerika Latin. Maka, tak heran, seniman Indonesiapun tampaknya bakal banyak absen dari perhelatan penting yang tergelar di depan mata pada tahun 2007 ini. Sebut saja Documenta di Jerman, Venice Biennale (Italia), Moscow Biennale (Rusia), Lyon Biennale (Perancis), Istanbul Biennale (Turki), Florence Biennale (Italia), Mercosur Biennale (Brasil), Bienal del Fin del Mundo (Argentina), Sharjah Biennial (Uni Emirat Arab), Cuenca Biennale (Ekuador), MontrĂ©al Biennale (Kanada), Prague Biennale, (Ceko), hingga Athens Biennale (Yunani) yang baru muncul tahun ini. Rentetan event tersebut menjadi salah satu jendela perkembangan seni rupa dunia.

Sebaliknya, perhelatan penting dalam negeri yang bisa menggaungkan citra (perupa) Indonesia yang “seharusnya” berlangsung tahun ini, sayang sekali, justru senyap atau malah mungkin telah tutup buku, seperti CP Biennale, Yogyakarta Biennale, Bali Biennale, Jakarta Biennale hingga Surabaya Biennale. Ini kontras dengan situasi dua tahun lalu yang tiba-tiba demam biennale hingga saling berebut seniman, sponsor, perhatian, dan pengaruh.

Absennya Indonesia dalam perhelatan penting tersebut terasa menyesakkan di tengah gairah kreatif perupa dalam negeri yang sepertinya terus merunuti rel progres seni rupa dunia. Bagi Made Wianta, peran dan posisi negara menjadi poin penting dalam “menenggelamkan” sepak terjang perupa kita. Dalam beberapa kasus yang berkaitan dengan keterlibatannya pada event penting, dia acap bertumbukan dengan kebijakan negara yang berseberangan dengan kepentingan seniman. Misalnya pengiriman atau penerimaan karya seni yang berbiaya mahal karena dianggap sebagai barang mewah. Ini belum menyentuh pada kebijakan negara yang berkait dengan bantuan finansial yang sangat minimal sehingga, sebagai contoh, keterlibatannya dalam Venice Biennale tahun 2003 memaksanya untuk mengeluarkan dana pribadi hingga ratusan juta rupiah. Belum lagi otoritas negara dalam menentukan atase kebudayaan di hampir semua kedutaan besar Indonesia di luar negeri banyak yang salah pilih sehingga mereka tidak memiliki “otoritas kreatif” yang mampu mengakomodasi kepentingan representasi seni budaya Indonesia di mancanegara. Wianta mengaku lelah menghadapi kebebalan perilaku negara yang mengesampingkan seni ketimbang, misalnya, olah raga.

Dalam konteks penjajaran antara seni dan olah raga, kiranya problem ini tampak berlaku secara struktural di Indonesia. Saya mencatat, sebagai amsal, di Yogyakarta yang “mengutuk” diri sebagai kota seni budaya, untuk tahun 2007 ini mengalokasikan dana untuk Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) hanya sebesar Rp 300 juta pertahun, atau seperduapuluhlima anggaran untuk PSIM (Persatuan Sepakbola Indonesia Mataram) dan PSS (Persatuan Sepakbola Sleman) yang masing-masing sebesar Rp 8 miliar lebih dengan output prestasi papan bawah atau maksimal medioker di liga nasional. Ketimpangan semacam ini, menurut Wianta, mengisyaratkan perlunya perupa menuntut “hak warga negara sebagai seniman” agar lebih spesifik dan efektif.
Absennya peran negara dalam dunia seni rupa akhirnya disikapi secara apatis oleh banyak perupa. Mereka banyak bergerak sendiri di ranah dan fora internasional dengan memanfaatkan celah kemungkinan dan peluang yang tersedia. Sistem jejaring internasional diciptakan, pesatnya perkembangan teknologi informasi dimanfaatkan, proyek kerja senipun (sekecil apapun skalanya) diperhelatkan, dan tentu tetap membawa citra yang melekat dengan dirinya, citra keindonesiaan. Lembaga atau komunitas progresif semacam Indonesia Visual Arts Archive (d/h Yayasan Seni Cemeti), Cemeti Arthouse, Ruangrupa, Commonroom, Mess 56, atau perupa-perupa secara personal yang menggenggam obsesi kuat untuk maju dan menginternasional, telah bergerak jauh melampaui pikiran (bahkan bayangan) para birokrat seni di lembaga pemerintahan yang superlambat bekerja meski otoritas dan tanggung jawabnya sudah jelas. Mereka, antara lain, mampu menjadi medium alternatif penting untuk membawa pola pencitraan dan isu-isu lokal atau nasional ke ranah internasional yang tak sepenuhnya bisa diakomodasi oleh jalur diplomasi formal atau bentuk mediasi lain.

Dengan demikian, saya kira, hal yang terus dilakukan adalah membangun kesadaran bersama untuk menempatkan peran dan tanggung jawab negara dalam menelurkan komitmen dan kebijakan kultural yang membela masyarakat seni di Indonesia. Apakah kita akan terus membiarkan negeri miskin ini dikelola oleh aparatus negara yang juga miskin komitmen kultural?

sumber : http://kuss-indarto.blogspot.com/

Tidak ada komentar: