Perupa angkatan 1980-an berkibar di pentas internasional. Tapi kemapanan mulai mengikis kreativitasnya di dalam negeri.
Sosok patung itu tak menunjukkan hewan tertentu. Kepalanya bertanduk, dengan kedua bola mata yang hampir mencelat keluar, dan dua misai merentang ke kiri dan kanan. Empat kakinya menahan struktur tubuh berupa jalinan mirip belulang. Kaki dengan kuku terbelah dua mirip kaki keledai dan sejenisnya. Heri Dono memberi judul karya patungnya: Don Quixote (Don Kisot).
Tak jelas hubungannya dengan tokoh Alonso Quijano yang menganggap dirinya kesatria berkelana melindungi kaum lemah dan mengakhiri kezaliman dalam karya novelis Spanyol, Miguel de Cervantes. Tapi Heri Dono, 48 tahun, dikenal sebagai perupa angkatan 1980-an yang banyak meminjam idiom wayang dalam karya tiga dimensi sebagai satir tentang kehidupan sosial politik masa kini.
Namun ada yang baru pada karya Heri Dono ini. Baru kali ini ia ?mematikan? karyanya berupa karya patung yang dipajang secara konvensional sebagaimana karya patung lainnya di atas penopang. Biasanya Heri memasukkan elemen gerak ke karya instalasinya, sebagaimana pada karya bertajuk Donosaurus yang juga dipamerkan di gedung baru Galeri Semarang, 4 Juli hingga 25 Juli.
Dekat karya Heri Dono ada dua karya lukis Eddie Hara yang muncul dengan warna-warna cerah berupa bentuk-bentuk makhluk imajinatif yang sangat komikal. Eddie Hara, yang dikenal sebagai sosok yang suka bercanda, memasukkan tema-tema besar dalam sejarah menjadi sesuatu yang ringan dan lucu.
Dua perupa yang satu angkatan di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia ASRI (kini ISI Yogyakarta) ini adalah sembilan perupa generasi 1980-an yang meramai-kan pameran bertajuk Space/Spacing ini. Mereka adalah perupa yang menancapkan karier sebagai seniman profesional paruh akhir 1980-an. Ada Nindityo Adipurnomo, Arahmaiani, Tisna Sanjaya, Dadang Christanto, Krisna Murti. Tiga puluh lainnya merupakan perupa angkatan 1990-an dan angkatan 2000-an.
Posisi angkatan 1980-an dalam rentang sejarah seni rupa Indonesia menonjol karena mulai angkatan inilah seni rupa kontemporer mendapat tempat?menyusul generasi Seni Rupa Baru pada 1970-an. Saat itu pengaruh seni rupa kontemporer dari Barat tak terbendung lewat medium yang sangat beragam. Mulai dari karya drawing di atas kertas, karya grafis dengan medium campuran, instalasi, seni pergelaran, hingga video art. Heri Dono tak hanya melukis, ia juga membuat karya instalasi dan seni pertunjukan. Arahmaiani yang belajar melukis di Fakultas Seni Rupa ITB justru suntuk dengan seni pergelaran.
Tema-tema sosial politik yang muncul dalam ekspresi kemarahan yang hampir telanjang pada generasi Seni Rupa Baru, muncul lewat pengelolahan elemen estetik yang kuat pada karya generasi 1980-an. Kritik sosial muncul lewat keindahan bentuk atau humor yang menyegarkan. Nindityo Adipurnomo, 47 tahun, misalnya, mengkritik ketertutupan budaya Jawa dengan menggarap seri bentuk konde dengan detail yang kuat dari anyaman rotan berukuran raksasa bertajuk Prosesi Konde. Saat lain ia menggarap bentuk konde dari materi batu atau karya drawing di atas kertas.
Toh, sifat eksperimentatif masih melekat pada karya mereka dan tak ada kekhawatiran membuat karya yang tak menghasilkan lembaran rupiah. Eddie Hara dan Nindityo membuat karya drawing di atas kertas sama semangatnya ketika mereka membuat karya lukis di atas kanvas atau karya instalasi. Padahal pada masa itu jarang kolektor yang mau membeli karya dengan medium kertas, apalagi membeli karya seni instalasi.
Mereka muncul dengan karakter yang berbeda dengan perupa lain. Nindityo terampil membahas budaya Jawa pada karyanya, Arahmaiani fasih menggarap isu agama dan gender, Tisna Sanjaya muncul dengan kemegahan panggung pada karya grafisnya, Dadang Christanto asyik menggarap masa lalu yang kelam.
Tapi yang paling menonjol dari perupa angkatan 1980-an ini adalah pergaulan mereka dalam pentas seni rupa internasional. Nama mereka selalu berada dalam daftar undangan sejumlah pameran seni rupa dua tahunan (bienal) dan tiga tahunan (trienal) seni rupa di Australia, Jepang, Korea, Amerika, Eropa. Heri Dono, misalnya, hanya sebulan hingga dua bulan waktunya berada di Yogyakarta, selebihnya ia memenuhi undangan pameran atau residensi seniman di luar negeri. Arahmaiani merasa seperti tenaga kerja Indonesia karena tingginya frekuensi undangan pameran di luar negeri. Bahkan Dadang Christanto memutuskan menetap di Brisbane, Australia; dan Eddie Hara di Basel, Swiss, hingga kini.
Tapi mereka secara teratur masih menjaga hubungan dengan atmosfer seni rupa di Indonesia. Eddie Hara memamerkan kekuatan teknis lukisannya dengan transparansi warna yang berlapis-lapis pada pameran bersama seperti saat ini atau pameran tunggal di Jakarta atau Bali. Menjaga hubungan dengan atmosfer seni rupa di kampung sendiri menjadi penting, karena gerak mereka terus dibayangi perupa generasi yang lebih muda semacam Handiwirman, 33 tahun.
Handi, yang tangannya terlatih sebagai seniman dengan kemampuan craftsmanship yang tinggi, menjadi ikon baru dalam seni rupa kontemporer Indonesia. Semula ia suntuk membuat bentuk-bentuk fantasi, kadang bentuk abstrak dari bahan sederhana seperti benang dan kain. Tapi sesekali ia juga membuat bentuk realis seperti pada pameran ini. Karyanya bertajuk Tutur karena Kelapa Muda, berupa bentuk dua kelapa muda dalam ukuran besar dengan citraan hiper-realis terkelupas separuh kulitnya. Semula karya Handiwirman tak dilirik oleh kolektor, tapi kini kolektor memburu karyanya, meski ia dikenal sebagai perupa yang tak peduli karyanya laku atau tidak.
Ancaman terhadap perupa Indonesia yang mendunia itu juga bisa datang dari pelukis semacam Budi Kustarto, 36 tahun. Budi adalah ikon baru dalam seni rupa Indonesia paling mutakhir yang sedang dilanda corak lukisan kontemporer Cina. Pasar seni lukis Indonesia kini sedang dibom karya lukis yang punya pakem: subject matter cenderung tunggal, biasanya tubuh manusia dengan citraan hiper-realis, dengan latar belakang kosong. Budi Kustarto terampil memainkan kemampuan artistiknya menggarap pakem ini. Dalam pameran ini ia menampilkan karya patung berupa tubuh manusia utuh dalam posisi yang tidak lazim. Sosok berambut gondrong yang berdiri miring ini dari bahan resin disapu dengan cat hijau menyala.
Perupa angkatan 1980-an itu kini beranjak tua. Kemapanan membuat karya mereka semakin sulit berubah, yang bakal menjebak mereka dalam kemampuan artistik hafalan yang bertahun-tahun mereka geluti. Saat itulah perupa yang lebih muda semacam Handiwirman atau Budi Kustarto setiap saat bisa mendepak mereka dari atmosfer seni rupa Indonesia.
Raihul Fadjri
sumber : http://indonesiafile.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar