Kamis, 06 Agustus 2009

Selayang Pandang Seni Rupa Sekarang

Aminudin TH Siregar

Seni di zaman sekarang tidak saja luruh di dalam arus besar komodifikasi, tetapi juga menciptakan sejumlah kejanggalan-kejanggalan, baik pada aspek produksi (proses penciptaan karya seni) dan, terutama sekali, pola konsumsi (selera pasar, intrik-intrik, dan etika main). Bertolak dari situ, dunia seni rupa yang sekarang ini mudah tergelincir ke dalam distorsi pemahaman antarkalangan.

Efek yang segera bisa kita rasakan adalah bagaimana seni akhirnya diseret ke ruang yang paling problematis sepanjang sejarahnya, yaitu pertikaian antara seni dan bukan seni dan pertanyaan yang tak sulit dijawab sejarah: apakah seni itu? Bagi sebagian orang, kita di Indonesia dianggap mengalami persoalan dengan ’peristilahan seni’ itu. Namun, hemat saya, sudah bukan waktunya lagi kita mengukur kesemrawutan dunia seni rupa dengan menemukan jawaban definitif tentang seni. ’Peristilahan seni’ hanyalah salah satu variabel saja dari persoalan mengenai seni dan bukan satu-satunya masalah yang esensial.

Distorsi pemahaman yang terjadi akhir-akhir ini di dalam dunia seni rupa menyangkut peran sebuah profesi, seperti kurator, kritikus, kolektor, penyalur seni, sampai galeri, akademi seni, dan bahkan juga selayaknya menyentuh peran menjadi seniman. Apa peran dan fungsi sejumlah profesi maupun lembaga di tengah kejanggalan pasar seni rupa sekarang? Dan apa fungsi seniman dan karyanya di tengah arus itu?

Kalau saya tak salah tangkap kira-kira itulah pokok yang di- gelisahkan, sekaligus diprovo- kasi oleh Arahmaiani di dalam tulisannya (Kompas, 25/5/2008). Tulisan saya ini harap jangan dinilai sebagai jawaban generik tentang situasi yang kita hadapi. Tidak ada obat yang manjur untuk menjernihkan situasi sekarang, bahkan tidak bisa dijawab dengan pameran-pameran gigantik dan dengan dalih wacana sekalipun.

Kejanggalan-kejanggalan

Kejanggalan dalam proses produksi, yaitu ada kecenderungan terjadi keseragaman visual dalam penciptaan lukisan di kalangan muda. Kemudahan-kemudahan alat teknologi seperti proyektor, print-out on canvas, simulasi citraan melalui olah digital dengan komputer cukup mereduksi kerja tangan—manual. Kemudahan di sana melahirkan jarak, yang pada gilirannya kita tidak lagi bisa merasakan ’aura’ sebuah lukisan. Ini aneh, sebab mestinya sensasi ’aura’ itu ada di sana. Saking rapatnya, antara lukisan dan foto kini identik.

Tak ada yang melarang proses itu, apalagi karya semacam itu kini diserap pasar dengan baik, bahkan dianggap lukisan yang paling kontemporer. Sayangnya, ’estetika komputer’ demikian itu bukan diperoleh dari akumulasi perkembangan sejarah seni rupa kita, tetapi lebih merupakan hasil pencerapan pelukis kita terhadap karya seniman China di mana pola pencerapan dilakukan melalui katalog pameran, katalog lelang, buku-buku, internet, dan sebagainya. Yang ditiru dari China itu adalah cara melukisnya, bukan pada cara berpikirnya. Pelukis kita dengan ringannya mengadopsi angle ’estetika China kontemporer’ ini tanpa sensor dan rasa malu sedikit pun.

Kejanggalan di dalam proses penciptaan sebuah karya seni juga merabunkan pasar, sebab memang lukisan yang dihasilkan cukup menarik mata memandang, kita tidak perlu berlama-lama mengernyitkan dahi, sebab memang tidak ada isi. Pelukis muda, kita tahu, masih butuh perjalanan panjang. Dia belum teruji oleh medan sosial, belum teruji oleh sejarah. Akan tetapi, kita kini menghadapi pasar yang juga tidak kuasa menahan diri. Lukisan-lukisan yang tidak jelas (itu kalau kita tilik dari pelbagai aspek), nyatanya dikonsumsi dengan gempita.

Sejarah jadi bisu

Saya akan mengatakan bahwa apa yang terjadi hari ini di dalam dunia seni rupa mengikis sejumlah nilai, misalnya: komitmen sosial seniman; inovasi pada tema; eksplorasi media; pameran eksperimental, dan lain sebagainya. Sejarah pun lenyap, sebab hari ini semua kalangan dan generasi bertemu di kubangan yang sama, yaitu: pasar. Pelukis senior dan yunior tak mustahil bertemu di dalam pameran yang sama. Harga antardua generasi itu pun mengalami persaingan. Kita nyaris tidak lagi menemui suatu peristiwa yang proporsional sebab pasar datang merangsek medan sosial tanpa bekal sejarah yang memadai. Pasar datang dengan kapital, bukan dengan modal kultural. Tak jarang pasar datang dengan membawa selera masing-masing. Kriteria-kriteria yang basisnya dibangun oleh sejarah dengan mudah dipatahkan oleh selera yang demikian itu. Hingga pada batas-batas tertentu, pasar memang menyebalkan dan tidak tahu diri. Bayangkan kalau harga karya Oesman Effendi tidak berkutik di hadapan pelukis ke- marin sore. Bayangkan kalau balai lelang kini semakin ingin menyulap dirinya sebagai barometer sekaligus parameter perkembangan.

Kekisruhan dunia seni rupa kita bersumber dari situasi peralihan yang acapkali terjadi secara fragmentaris. Disebut fragmentaris karena memang tidak tercipta secara sistematik. Situasi pasar yang absurd sekarang ini, misalnya, bukanlah akumulasi sistematik dari perkembangan infrastruktur dan suprastruktur yang baik.

Transformasi dari masa ke masa yang sistematik adalah transformasi yang ditata dari kerapihan menata sejarah serta pelbagai parameternya, baik yang bersifat kanonik maupun hubungan-hubungan yang terjadi di luarnya. Dia bersifat kanonik dalam arti bagaimana infrastruktur seni rupa berdiri dalam sebuah kewibawaan, yang legitimasinya diperoleh dari suprastruktur. Museum, misalnya. Atau lembaga, institusi yang non-akademik maupun akademik yang mengolah wilayah produksi-konsumsi untuk dipakai sebagai tolak ukur di dalam kekisruhan menilai seni. Akan tetapi, siapa yang masih mau mikirin wilayah ini?

Banyak hal absurd di dunia seni rupa sekarang ini. Banyak peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar batas nalar. Mungkin tak heran apabila tidak sedikit orang yang berharap semoga pasar sekarang hanyalah bubble, yang akan surut dalam waktu dua-tiga tahun ke depan. Dan akan tiba suatu masa ketika kita memang menemukan orang yang benar- benar seniman, tidak medioker seperti yang banyak dijumpai sekarang.

Aminudin TH Siregar Kurator Galeri Soemardja, Bandung


sumber : http://kedaiseni.wordpress.com/

Tidak ada komentar: