Selasa, 06 Oktober 2009

Howmuch2Homage?

Penyelenggara:
T-art Space

Waktu Mulai: 06 Oktober 2009 jam 8:00
Waktu Selesai: 11 Oktober 2009 jam 11:00
Tempat: T-art Space
Jl. Raya Ubud
Ubud, Indonesia

Telepon:
08179750079
Email:
t.artspace@yahoo.com


Kalau memang bisa diyakini bahwa pola kombinasi dari rupa dan tampilan visual memiliki batas, maka tampaknya dalam kondisi global yang postmodern sekarang ini, batas itu telah tercapai. Keseluruhan gamut dari kemungkinan-kemungkinan visual telah bisa dikatakan sudah tergarap oleh keseluruhan jagad dari karya visual sehingga keinginan untuk memunculkan hal yang baru dan sama sekali unik dengan diberi klaim bahwa tak ada seniman lain yang pernah mengerjakannya sebelumnya akan menjadi sesuatu yang naif. Di era kontemporer ini, pameo yang berlaku adalah sub sole nulla nova, tak ada sesuatu pun yang baru di bawah matahari, seperti yang dikeluhkan sang Ecclesiastes. Dan mungkin eklektisisme dan pemunculan ide-ide lama dengan ramuan baru adalah satu-satunya definisi yang bisa diberikan bagi seni kontemporer yang sangat beragam dan plural seperti dewasa ini.
Berangkat dari kenyataan ini, Yosa Batu Prasada (YBP) sampai pada sebuah kesimpulan yang membawa pengaruh besar bagi karya-karyanya, yaitu bahwa teknik dan media itu sendiri tidaklah membawa keunggulan atau nilai tawar secara estetika dari sebuah karya. Baginya, teknik dan media bukan lagi sebuah resep rahasia untuk membuat keris karya Empu Gandring yang maha sakti, melainkan justru merupakan bagian dari gagasan yang dibawa oleh lukisan itu sendiri. Ini diangkat YBP dengan sebuah keyakinan bahwa gagasan ini akan bisa nampak pada hasil akhirnya, tanpa terpengaruh oleh teknik atau medianya. Teknik dan media tidak lagi mempengaruhi hasil karya sebagai sebuah subyek melainkan teknik dan media menjadi obyek yang dimanipulasi dalam kegiatan estetika yang menghasilkan karyanya.
Berbicara lewat teknik, mungkin kira-kira begitu yang hendak dilakukan YBP, dimana hal ini memang sudah menjadi sebuah kelaziman dalam bidang media komunikasi dewasa ini, dimana situs atau majalah lebih banyak berbicara lewat pilihan warna, disain dan gambar (baik ilustrasi maupun foto) untuk merambah segmen konsumennya dan bukan semata lewat bahasa tulisan yang menjadi media tradisionalnya. Dalam kondisi global sekarang ini, kehadiran media bukan sekedar menjadi sebuah kelaziman dalam artian memiliki distribusi yang luas dan mendalam di dalam masyarakat, tapi bahkan perangkat-perangkat untuk membuat media itu sendiri telah menjadi bagian dari kesadaran sehari-hari. Piranti lunak komputer untuk mengolah gambar dan kemungkinan-kemungkinan yang ditawarkannya telah membawa pengaruh yang besar dan revolusioner terhadap selera publik terhadap rupa. Kartu undangan manten, disain dari kemasan makanan, media-media untuk konsumsi publik seperti baliho dan spanduk, semuanya telah mengalami perkembangan yang berusaha untuk menampilkan tampilan yang berakar dari paradigma disain yang dibantu komputer (CAD, computer-aided design).
Kondisi kekinian ini disadari dan diangkat oleh YBP dalam karya-karyanya dengan menggunakan teknik yang sama seperti pada piranti lunak komputer namun dipadukan dengan menggunakan teknik lukis tradisional, yaitu cat acrylic. Lapisan-lapisan tipis cat disapukan pada rupa yang sudah terbentuk di atas kanvas sehingga memberikan layer atau masking yang menghasilkan nuansa yang unik. Respon terhadap maraknya teknologi dalam kehidupan kekinian ini kemudian dipadukan dengan potongan-potongan kutipan dari karya-karya abstrak yang sudah populer juga seperti Picasso, Matisse atau Miro, yang ditata dengan menggunakan komposisi Pop Art.
Secara keseluruhan, karya-karya yang diangkat di sini adalah sebuah “pertemuan delapan mata”, persilangan lintas waktu dan lintas aliran, yaitu pertemuan antara kondisi sensibilitas rupa dari kondisi masyarakat di masa kini dengan teknologi, yang dipertemukan lagi dengan pertemuan antara berbagai bentuk-bentuk yang populer dari khasanah seni lukis abstrak dan kemudian dipertemukan lagi dengan kesadaran sang seniman tentang budaya lokal sekitarnya, sehingga membawa kesan yang nakal, setengah serius, namun sebenarnya serius dan memiliki intensionalitas yang penuh. “Berlari meninggalkan fungsi”, begitu YBP menyebutnya: metode masking yang tidak digunakan untuk menghasilkan gambar yang “kinclong”, mengutip karya-karya besar dari seni lukis abstrak bukan untuk mengusung ideologi abstrak (yang kata Clement Greenberg untuk meningkatkan intensitas kekaryaan dalam melawan pengaruh kitsch). Semua ini adalah untuk mengedepankan gagasan tentang kekinian, yang merupakan raison d’etre dari kekaryaan YBP, untuk mengedepankan sesuatu yang bisa “nyambung” bukan karena berlindung di balik simbol-simbol yang sudah jadi, melainkan memanfaatkan simbol-simbol jadi itu untuk menyodorkan empati dan kepekaan dengan apa yang terjadi pada sekitarnya, baik itu dunia lokal maupun dunia global.
“How much to homage?” Atau mungkin “hommage to homage?”di sini kita berada dalam sebuah kegamangan. Apropriasi bentuk-bentuk dari masa lalu untuk dipadukan dengan yang sekarang bisa jadi adalah sebuah bentuk penghormatan atau homage, namun jika dalam kata homage itu tersirat sebuah penghormatan kepada masa lalu, mana yang sebenarnya dihormati itu, masa kini yang menghormati masa lalu, atau justru masa lalu yang diseret-seret untuk menghormati dan menyadari kekinian yang sudah berbeda dari dirinya? Dan lagi “how much”? Berapa banyak kita akan melakukannya di tengah kondisi kontemporer yang tidak lagi memiliki pakem ini? Ini juga sekaligus sentilan terhadap bentuk apresiasi yang bagaimana yang akan diberikan terhadap homage ini, yang biasanya dilakukan lewat mode finansial.



Malang, Juli 2009
Akhmad Santoso


Tidak ada komentar: