ART[I]CULATION
Waktu Mulai:
12 Desember 2009 jam 17:00
Waktu Selesai:
12 Januari 2010 jam 18:00
Tempat:
Hanna Art Space, Bali - Indonesia
Jl. Raya Pengosekan, Ubud - Bali.
Ubud, Indonesia
ART[ I ]CULATION
Oleh Arif Bagus Prasetyo
Pameran seni rupa “art[I]culation” menyajikan karya puluhan perupa yang aktif mewarnai panggung seni rupa Indonesia mutakhir. Mereka berasal dari berbagai generasi dan latar-belakang kultural-biografis. Sebagian adalah perupa terkemuka yang sudah malang-melintang di jagad seni rupa nasional, bahkan internasional, sejak dekade 1980-an dan 1990-an. Sebagian lain adalah perupa muda yang mulai dikenal publik seni rupa di Tanah Air pada awal abad 21. Mereka tinggal dan berkarya di lima daerah yang selama ini dipandang sebagai “pusat-pusat” seni rupa Indonesia: Bali, Yogyakarta, Bandung, Jakarta dan Surabaya.
Seni rupa kontemporer Indonesia, sebagaimana diperagakan oleh karya-karya dalam pameran ini, menunjukkan aneka kecenderungan dan karakteristik. Para perupa mengartikulasikan gagasan, rasa dan karsa mereka dengan wahana artistik pilihan masing-masing. Mereka merangkul ideologi artistik modern dan menciptakan suatu lanskap baru yang merayakan keragaman seni rupa kontemporer Indonesia. Dengan aneka gagasan segar dan progresif, mereka mengeksplorasi imajinasi kreatif dalam bermacam ekspresi. Karya mereka menawarkan keragaman tema, gaya maupun teknik.
Namun demikian, kreativitas mereka tetap digerakkan oleh tanggapan dan sikap moral mengenai situasi sosial, politik dan budaya yang dilihat dan dihadapi. Proses kreatif mereka melibatkan pertemuan dan pergulatan kompleks antara faktor internal dan eksternal, rangsang objektif dan subjektif. Hasilnya adalah kreasi artistik yang mencerminkan intuisi dan imajinasi personal, sekaligus kepekaan sosial dan kultural para perupa. Mereka tidak hanya berkutat pada ranah estetika, tetapi juga merambah berbagai fenomena dan isu yang berkembang di tengah masyarakat. Pendek kata, hubungan dengan realitas merupakan landasan eksplorasi kreatif mereka.
Dengan caranya masing-masing, para perupa kontemporer memberikan tanggapan terhadap transformasi drastis yang berlangsung dalam masyarakat luas, maupun dalam disiplin seni rupa itu sendiri. Berbagai kecenderungan artistik dan pemikiran kontemporer dalam percaturan global dipadukan dengan subjektivitas, gaya dan ideologi lokal. Respons akut dan kreativitas personal para perupa bergesekan dengan konteks sosial yang mengalami pergeseran dramatis. Karya mereka menubuhkan gelagat masa, dan menyuarakan semangat zaman.
Keragaman gagasan estetik dan praktik artistik membuat realitas seni rupa kontemporer di Indonesia tidak mudah dirumuskan secara definitif. Tetapi, pendekatan artistik para perupa yang terlibat di dalamnya dapat dibagi secara longgar menjadi dua strategi. Pertama, respons langsung terhadap perubahan sosial dan persoalan di luar wacana seni rupa. Kedua, penjelajahan estetika sebagai reaksi tidak langsung terhadap perkembangan situasi di medan sosial. Pendekatan pertama cenderung kritis, sedangkan pendekatan kedua cenderung otokritis.
Tak jarang kedua pendekatan tersebut dijalankan secara serempak. Dalam karya individual, seorang perupa dapat melontarkan kritik terhadap masalah sosial tertentu, dan sekaligus melakukan otokritik terhadap institusionalisasi disiplin seni rupa itu sendiri. Ia bisa menantang status quo yang mencekik masyarakat sambil menampik medium rupa konvensional, menyangkal ideologi estetik dominan, menolak gaya artistik yang dianggap adiluhung dsb.
Tema pameran ini, “art[I]culation”, menandai suatu ikhtiar untuk menangkap garis-besar aspirasi dan concern para perupa kontemporer kita, memetakan sejumlah jalur artikulasi kreatif yang menggemakan “suara” seni rupa kontemporer Indonesia. Jalur-jalur artikulasi tersebut dapat dikelompokkan ke dalam empat rubrik: Refleksi Sosial dan Politik, Interogasi Identitas, Eksplorasi Tubuh dan Seksualitas, Ekspresi Bentuk dan Warna. Pengelompokan ini tidaklah ketat. Pada karya tertentu, sebuah jalur artikulasi dapat berpotongan atau bergabung dengan jalur artikulasi lain. Sebuah lukisan, misalnya, bisa merefleksikan isu sosial dan politik lewat eksplorasi tubuh dan seksualitas, atau dengan menegaskan ekspresi bentuk dan warna.
Refleksi Sosial dan Politik
Menyusul tamatnya rezim otoriter Orde Baru pada 1998, Indonesia mengalami akselerasi keterbukaan politik dan ekonomi. Iklim kebebasan dan demokrasi bukan saja mendekatkan harapan akan terciptanya masyarakat yang lebih adil dan makmur, tetapi juga disertai dengan munculnya berbagai dampak eksesif yang merebakkan ketegangan. Di era Reformasi, otoritas negara terpusat tiba-tiba melemah, sementara otoritas penegakan hukum belum berhasil diperkuat. Akibatnya, korupsi kian merajalela, konflik dan kekerasan sosial mudah pecah di mana-mana. Demokrasi politik dan liberalisasi ekonomi yang disertai kebebasan informasi menenggelamkan masyarakat dalam pusaran arus globalisasi dengan berbagai efeknya yang membebaskan, tapi sekaligus membingungkan dan mencemaskan.
Banyak perupa terinspirasi untuk merefleksi pesatnya proses tranformasi sosial-politik di Indonesia pada dasawarsa terakhir yang digenangi harapan dan kekhawatiran, gairah dan kebimbangan. Gambaran khaos dan kekacauan (disorder) mengemuka pada karya Tisna Sanjaya, Nasirun dan Wayan Kun Adnyana. Hingga taraf tertentu, karya mereka dapat dipandang mewakili merebaknya skeptisisme/pesimisme terhadap janji-janji manis Reformasi. Menarik bahwa Tisna Sanjaya, perupa yang dulu sangat kritis terhadap rezim militeristik Suharto yang represif, sampai kini masih menunjukkan kritisisme akut. Tisna menampilkan lukisan wajah carut-marut yang berasosiasi dengan “wajah negeri Indonesia” di era kebebasan pasca-Orde Baru.
Sejumlah perupa lain merefleksi persoalan-persoalan multidimensional masyarakat kontemporer di dunia yang terglobalisasi, di mana Indonesia kian menjadi bagian integral darinya berkat keterbukaan politik dan kebebasan informasi. Antusiasme menyambut angin perubahan yang bertiup kencang di era kebebasan ditunjukkan oleh karya Anas Etan, Djunaidi Kenyut dan Bilaningsih. Rusnoto Susanto menampilkan tafsir imajinatif yang dingin dan mencekam tentang dunia maya (cyber space) sebagai sebuah alam semesta baru yang dibangun oleh sistem jaringan komunikasi dan informasi global. Sindiran terhadap kultur konsumerisme dan materialisme yang mendominasi masyarakat urban kontemporer disampaikan Ivan Hariyanto dan Lulus Santosa. Nyoman Kardana mengkritik hedonisme yang menggerus nilai-nilai spiritual-religius. Melalui citra serdadu yang “dikamuflase” dengan motif kembang-kembang cantik, Artie Tjakra menyentil perilaku kapitalisme global yang menjual perang dan kekerasan sebagai tontonan dan hiburan di media-massa, film, games dsb.
Interogasi Identitas
Esensi identitas adalah kesamaan dengan diri sendiri dan perbedaan dari pihak lain. Identitas adalah soal kepemilikan, tentang apa yang dimiliki oleh satu atau sekelompok orang, apa yang membedakannya dari satu atau sekelompok orang lain. Pada tingkat individual, identitas memberikan “lokasi personal” yang mantap pada seseorang. Pada tataran kolektif, identitas menyediakan “lokasi sosial” yang pasti pada sebuah kelompok masyarakat.
Globalisasi bukan saja menghapuskan tapal-batas nasional, tetapi juga mengaburkan identitas-identitas. Peleburan berbagai lokasi personal dan lokasi sosial ke dalam arus pusaran modal, informasi dan interaksi global, menimbulkan suatu krisis identitas. Di satu sisi, kekaburan identitas mencuatkan kebingungan dan kegamangan sebagai akibat dari hilangnya pegangan (atau “akar”) yang sebelumnya memastikan posisi eksistensial individu atau kelompok. Di sisi lain, meredupnya identitas memicu reaksi berupa upaya revivalisasi identitas lama atau redefinisi identitas baru – suatu ikhtiar “politis” yang prosesnya seringkali diwarnai ketegangan.
Sejumlah perupa merespons dampak globalisasi yang merebakkan problem identitas. Antonius Kho menyoroti marka identitas rasial yang termanifestasikan dalam politik warna kulit. Nada humor yang dipilih Antonius terasa ironis, karena pada kenyataannya, rasialisme justru kerap mengobarkan konflik sengit.
Ketut Teler, Nyoman Erawan, Sutjipto Adi dan Tiarma Sirait menginterogasi identitas dengan menggelar proyek refleksi-diri. Lukisan potret-diri Ketut Teler mengungkapkan ketegangan psikologis yang menyertai rumitnya upaya perumusan silang-sengkarut identitas personal, identitas etnis dan identitas religius. Ketegangan psikologis meledak jadi histeria pada karya potret-diri Nyoman Erawan, ketika perupa ini menggeser fokus dari reinterpretasi identitas etnis (Bali) ke redefinisi identitas personal. Sebaliknya, sikap yang lebih dingin dan optimistis dalam menghadapi fragmentasi identitas di dunia global ditunjukkan oleh karya potret-diri Sutjipto Adi. Tiarma Sirait menampilkan karya potret-diri yang menyoroti dislokasi identitas di lingkungan global, di mana subjek dituntut untuk selalu menemukan kode baru, konteks baru dan posisi baru. Aroma ironi menyengat tajam dari antuasiasme berlebihan yang diperagakan Tiarma.
Pada karya Teguh Ostenrik, wajah sebagai simbol utama identitas subjek terlihat mencair hingga nyaris kehilangan bentuk, kehilangan keunikannya, berangsur-angsur menanggalkan statusnya sebagai “pusat” representasi diri yang stabil. Citra hiperrealistik wajah manula anonim dalam lukisan Sura Ardana mengumandangkan suatu kondisi pelapukan identitas, ketika makna subjektivitas terisolir pada permukaan kulit layu yang akan segera sirna dimakan waktu. Pada lukisan Dyan Anggraini, subtitusi wajah manusia dengan topeng juga menyiratkan lenyapnya lokasi identitas yang otentik dan terpercaya.
Isu identitas kultural menyeruak dari karya sejumlah perupa yang berupaya meredefinisi dan merenegosiasi tradisi secara inovatif. Bambang Adi Pramono, Wayan Sujana Kenyem dan Wayan Sujana Suklu tampak mencari sensibilitas yang bersumber dari budaya masyarakat tradisional, dan mengungkapkannya dalam ekspresi modern. Mereka menggali dan menafsirkan kembali spirit budaya tradisional untuk menyampaikan refleksi personal tentang dunia kontemporer. Kenyem dan Suklu memadukan kesadaran identitas etnis dan pemikiran environmentalis kontemporer dalam karya yang dijiwai filosofi Bali tentang harmoni antara manusia dan alam. Bambang mengadaptasi elemen-elemen stilistik seni patung tradisional atau pribumi (indigenous), seraya menyelundupkan ingatan tentang mitologi purba. Karya patungnya mentransformasi memori kolektif masyarakat tradisional menjadi suatu pengalaman visual dan kultural baru.
Isu identitas gender mengemuka pada karya patung Yani Mariani Sastranegara dan Neneng Ferrier. Kedua seniwati ini tampak mempersoalkan posisi historis dan sosial perempuan dalam masyarakat patriarkhis. Dengan mengelaborasi peribahasa populer “surga ada di telapak kaki ibu”, Yani secara metaforis menunjuk “ruang perempuan” (female space) yang secara tradisional dilokalisir pada peran domestik ibu. Neneng menampilkan “pembekuan” tubuh sensual perempuan. Karya patungnya menyindir ketimpangan seksual yang mengunci perempuan sebagai objek tatapan lelaki.
Eksplorasi Tubuh dan Seksualitas
Seni rupa kontemporer berkaitan dengan sensibilitas posmodern yang mencakup pergeseran wacana dari pikiran ke tubuh. Karya seni kontemporer cenderung mengarahkan perhatian pada fenomena ketubuhan. Seni lukis Francis Bacon, misalnya, kerap dipandang mengusung sensibilitas posmodern karena berfokus pada tubuh sebagai daging dan tulang.
Tubuh menjadi tema diskusi penting di kalangan seniman dan budayawan Indonesia sejak masuknya wacana posmodern ke negeri ini pada 1990-an. Di kancah seni rupa kontemporer Indonesia, sejumlah kasus penyensoran karya seni yang dianggap porno (misalnya karya Agus Suwage dalam CP Biennale) dan kontroversi Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi pada pertengahan 2000-an, menguatkan kesadaran tentang signifikansi tubuh sebagai ajang pertarungan politis dan ideologis. Kesadaran ini makin mendorong banyak perupa kontemporer untuk menyelami wacana tubuh.
Sejumlah karya dalam pameran ini menampilkan tubuh sebagai subjek utama. Dalam karya patungnya, Syahrizal Koto mengabstraksikan momen-momen intim pertemuan dua tubuh, suatu dinamika penyatuan ragawi dalam gelombang energi cinta dan kehidupan (Eros). Wayan Cahya, Diyano Purwadi dan Katirin mengekspose sensualitas tubuh perempuan telanjang. Dalam lukisan mereka, wanita dijadikan basis representasi, objek dan sekaligus penyokong hasrat. Di satu sisi, karya mereka meneruskan tradisi panjang dalam seni rupa yang mendefinisikan perempuan sebagai proyek seniman lelaki, semata-mata objek visual untuk dikuasai dan dimiliki lelaki. Di sisi lain, sensualitas ironis tubuh wanita dalam karya mereka menyiratkan tinjauan kritis terhadap agresivitas mesin-mesin hasrat libidinal yang bekerja di lapisan bawah-sadar (subconscious) kolektif masyarakat konsumen kontemporer.
Ekspresi Bentuk dan Warna
Selain menunjukkan minat kepada isu sosial, politik dan kultural, sejumlah perupa memusatkan perhatian kepada ekspresi bentuk dan warna. Diyanto dan Agung Tato memainkan simbolisme bentuk dan warna, menggali potensi afektif bahan dan aransemen, untuk menjajal kemungkinan-kemungkinan artistik baru yang menggelitik persepsi visual dan pencerapan intelektual. Gusti Alit Cakra menggubah citra abstrak dari areal-areal bertekstur yang membentangkan suatu “kartografi batin”. Nyaris obsesif, Ridi Winarno mencatat jejak aneka tanda dan citra, bentuk dan warna, yang berkelebat tanpa meninggalkan makna apapun di cakrawala kesadaran. Lukisannya seperti menyibakkan pengalaman skizofrenis subjek yang hanyut dalam banjir informasi.
Epilog
Seni rupa kontemporer Indonesia memperagakan pencarian terus-menerus akan suatu kreativitas yang terbuka kepada segala kecenderungan artistik di masa silam maupun masa kini, dari lingkungan dekat maupun jauh. Para perupa kontemporer memiliki pilihan tak terbatas untuk memanfaatkan aneka sumber kreasi artistik. Mereka terlibat dengan beragam isu dan wacana, bergulat dengan segala macam pendekatan ekspresif, dan mengamalkan kebebasan sikap terhadap kreasi artistik. Karya mereka menyuarakan degup perubahan zaman, baik melalui investigasi persoalan sosio-kultural maupun eksplorasi masalah artistik formal.
___________________
Arif Bagus Prasetyo, kurator, alumnus IWP University of Iowa, Amerika Serikat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar