Senin, 14 Desember 2009

Diskusi Buku Ular di Mangkuk Nabi
karya Triyanto Triwikromo
Wilayah Asing dalam Kesusasteraaan Indonesia Pascakolonial
Tanggal:
02 Desember 2009
Waktu:
18:30 - 21:00
Tempat:
Galeri Nasional
Jl. Medan Merdeka Timur No. 14
Jakarta, Indonesia


Di balik buku cerpennya “Anak-anak Mengasah Pisau”, Darmanto Jatman memberi catatan bahwa Triyanto merupakan dekonstruksi terhadap ideologi keindahan cerpen konvensional. Sri Rahayu Prihatmi, di balik buku yang sama, mencatat bahwa ketidakpastian cerita rekaan Triyanto justru merupakan salah satu ciri cerita rekaan yang menggunakan modus fantastik, satu cara ungkap yang merongrong tradisi sastra yang mapan, isinya pun seringkali merupakan penumbangan budaya mapan. Sebagai cerpenis Indonesia kontemporer, Triyanto dikenal lekat dengan permainan bahasa yang tidak wajar. Elemen-elemen asing menjadi suatu konvensi tersendiri bagi karya-karyanya.

Bagaimana dengan buku kumpulan cerita pendek terakhirnya, Ular di Mangkuk Nabi? Dalam buku tersebut, dimuat prosa-prosa yang mengambil latar belakang di negeri-negeri asing—beberapa di antaranya adalah Belenggu Salju, Dalam Hujan Hijau Friedenau, Iblis Paris, Sepasang Ular di Salib Ungu, Delirium Mangkuk Nabi. Beberapa di antara prosa dalam buku ini berupaya menghadirkan pengalaman-pengalaman kejiwaan yang janggal, seperti perjumpaan sang tokoh dengan iblis yang menawarkan Mangkuk Nabi, dan pertemuan dengan seorang pria tersalib di bawah laut yang dililit ular. Bangunan cerpen-cerpennya yang terkumpul dalam buku ini dirampungkan dengan metafora-metafora yang terasa asing—misal, “99 pasang malaikat”, “seperti saat Yesus menyeringai di Golgota”.

Jan Cornall mengidentifikasi cerpen-cerpen Triyanto di buku ini berhasil menggiring realisme magis ke alam baru. Mustofa Bisri melihat keberhasilan Triyanto menjalin kelembutan spiritual dan kekejaman kekerasan membuat Triyanto boleh disebut sebagai pembaharu. Tetapi, di samping apresiasi-apresiasi yang disampaikan sejumlah pembacanya itu, bagaimanakah ketidakwajaran karya-karya Triyanto dipandang dari bingkai keadaan Indonesia pascakolonial? Bagaimanakah ia dipandang, dengan mempertimbangkan keadaan dimana otoritas pemaknaan didominasi satu pihak tertentu?

Apakah upaya Triyanto mencari bentuk karya yang melanggar batasan-batasan merupakan suatu bentuk pemberontakan, penggoyahan, penggoncangan kemapanan makna yang disangga oleh kondisi Indonesia pascakolonial, ataukah upaya-upaya pencarian bentuk baru itu justru setia dalam koridor satu paradigma yang dominan? Ataukah karya-karyanya menemukan jalan ketiga, dimana mereka menemukan titik tengah di antara tradisi dan modernitas?

Diskusi sastra ini akan disulut oleh tiga pembicara :
Benny Hoed
Seno Gumira Ajidarma
Richard Oh

Dimoderatori oleh:
Nuruddin Asyhadie

Tempat dan waktu:
Seminar Room
Galeri Nasional, Jakarta
Rabu, 2 Desember 2009, 19.00 WIB

Demikian berita diskusi ini kami sampaikan. Besar harapan kami suatu ruang diskusi sastra yang bernas akan tercipta pada tanggal 2 Desember nanti.

Salam hangat,
Bale Sastra Kecapi

Ketua,
Radhar Panca Dahana

Pengerja diskusi,
Geger Riyanto
Ainin Dita Z.
Frendy Kurniawan

***

PS:
Denah galeri nasional dapat dilihat pada:
http://www.galeri-nasional.or.id/Kontak.php

Tidak ada komentar: