"REBORN" Solo Exhibition Sculpture by Bambang Adi Pramono
Waktu Mulai:
23 Januari 2010 jam 18:30
Waktu Selesai:
06 Februari 2010 jam 18:00
Tempat:
Hanna Art Space
Jl. Raya Pengosekan, Ubud - Bali.
Gianyar, Indonesia
Seni Patung Bambang Adi Pramono
SETELAH TIGA DASAWARSA
Oleh Arif Bagus Prasetyo
BAMBANG Adi Pramono adalah perupa kelahiran Sidoarjo, Jawa Timur, 1955, yang telah lebih dari dua puluh tahun bermukim di Bali. Ia lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, dan sempat menjadi dosen di almamaternya. Pekerjaan sebagai tenaga pengajar di kampus kemudian ditinggalkan, karena ia lebih tertarik menekuni karier profesional sebagai pematung, juga desainer dan konsultan desain di berbagai proyek. Bambang, antara lain, pernah bertahun-tahun menjadi desainer, konsultan dan instruktur program pembinaan kerajinan di berbagai daerah di Indonesia Timur. Sebagai konsultan dan desainer pula, ia pernah terlibat dalam renovasi “Indonesia Pavilion Expo Garden Kunming, China”; dan pembangunan “Monumen Veteran Pejuang Kemerdekaan RI Sumatera Utara” di Medan, Sumatera Utara. Sementara sebagai pematung, salah satu karyanya yang menonjol adalah “Monumen I Gusti Ngurah Rai” di kawasan Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali.
Sebagaimana dimaklumkan oleh judulnya, Pameran “Reborn” seolah menandai kelahiran kembali Bambang sebagai insan kreatif. Betapa tidak. Setelah absen sejak 2004, baru tahun kemarin karya patung Bambang kembali tampil di sejumlah pameran bersama. Untuk pameran tunggal, masa absen Bambang bahkan lebih lama. Pameran tunggal perdananya berlangsung pada 1981, hampir tiga dasawarsa silam. Baru sekarang ia berpameran tunggal lagi.
Tak syak lagi, kesibukan Bambang melayani permintaan pihak lain selama bertahun-tahun membuatnya tidak punya banyak kesempatan menciptakan karya-karya idealis yang semata-mata mengejar visi kreatif personal, sehingga ia harus ambil cuti panjang dari ruang pameran. Bekerja sebagai desainer maupun pematung dalam berbagai proyek pesanan, Bambang tentu tak bisa sepenuhnya bebas berkreasi. Ada kemauan, kepentingan dan standar kualifikasi dari pihak lain yang mesti dipatuhi, atau setidaknya diperhitungkan atau dinegosiasi. Ia tak mungkin mengekspresikan rasa dan karsanya sendiri secara total dan murni kreatif.
Pameran “Reborn” mengetengahkan karya-karya patung mutakhir Bambang yang, tentu saja, diciptakan sebagai ekspresi kreatif murni. Tanpa dibebani misi dan persyaratan yang dipatok pihak lain, Bambang mengejar misinya sendiri sebagai seorang seniman patung yang berkuasa menentukan syarat-syaratnya sendiri. Ia leluasa mengarungi langit imajinasi untuk memburu ilham kreatif, bergumul dengan konsep dan gagasan ideal, merumuskannya dalam rancang-bangun yang bebas dari agenda pragmatis, mewujudkannya sesuai standar kualifikasi yang ditetapkan sendiri, bahkan terjun langsung dalam proses produksi yang tak jarang melibatkan eksperimentasi.
Tak heran, karya-karya Bambang dalam pameran ini memancarkan semangat eksplorasi yang didorong oleh energi kreatif yang mengalir deras. Daya cipta yang terbendung selama tiga puluh tahun terakhir seolah menemukan kanal-kanal pelepasan kreatif, dan menubuh dalam bahasa artistik trimatra yang kaya makna dan ungkapan. Bambang bergulat dengan aneka pemikiran dan rangsang intuisi kreatif, lalu memahat kayu atau menempa logam, dua bahan utama karya patungnya.
Sebagian besar proses produksi karya memang dikerjakan oleh tangan Bambang sendiri, termasuk untuk patung-patung berbahan logam. Bambang mengaku sangat menikmati kerja fisik yang cukup berat dalam penciptaan patungnya, misalnya menempa logam atau mengolah permukaan logam, sampai ia puas dengan hasil akhirnya. Dalam proses kerja ini ia tidak sekadar membangun suatu konstruksi, melainkan juga bereksperimen, menjajal kemungkinan-kemungkinan yang muncul, menemukan efek-efek tak terduga yang berbeda antara satu patung dan patung lain. Sebuah proses yang tentu menambah nilai otentik dan eksklusif pada karyanya. Bambang terlahir kembali sebagai kreator yang mencipta, bergerak mewujudkan kreasi pribadi dan otonom, di tingkat konseptual maupun praksis. Reborn.
Bambang berkarya dengan menggunakan material konvensional: logam dan kayu. Namun bahan-bahan konvensional itu digarapnya secara kreatif, justru untuk menghadirkan ekspresi yang inkonvensional. Karya-karya mutakhir Bambang menyiratkan suatu idealisme untuk mereformasi citra populer tentang seni patung, dan lebih jauh lagi, meredefinisi hakikat patung. Sejumlah patung yang dipamerkan tampak menantang persepsi umum tentang apa yang lazimnya disebut sebagai “patung”. Lihatlah, misalnya, patung berwujud seonggok tangan yang terputus pada lengan (“Dejected”), lilitan bilah silindris aluminium (“Life Begins”), atau imitasi sepotong bagian berukir dari rangka rumah tradisional Jawa (“Heritage”). Bahwa patung tidak mesti berdiri atau berbaring, tapi bisa juga melayang atau menggelantung (“Dragon Mouth”, “Hanging Nest”). Bambang terkesan mengupayakan hadirnya suatu struktur, proporsi dan energi ekspresif yang baru. Ia menjelajahi kemungkinan-kemungkinan ekspresif baru yang mampu menempung kegelisahan kreatifnya sebagai seniman patung kontemporer. Dengan kepekaan artistik dan kekuatan gagasan yang dimilikinya, Bambang memperluas pengertian tentang “patung”.
Dalam karya-karya mutakhir Bambang, prinsip kestabilan desain, yang biasa melekat pada konstruksi monumen atau patung konvensional, seringkali digantikan dengan pencarian suatu kesetimbangan baru yang rawan. Ada kesan rawan yang membersit dari struktur-struktur trimatra yang rata-rata bertengger pada batang penyangga kecil. Melihat konstruksi patung “Heritage” atau “Dragon Mouth” yang seolah menyangkal hukum gravitasi, misalnya, muncul kesan bahwa kesetimbangan sajalah yang menahan patung-patung itu dari keambrukan. Kerawanan jenis lain diperagakan oleh patung “Torso”. Sepasang torso “kembar siam” yang bervolume cukup besar dalam karya ini nyaris tidak menyatu, hanya seperti menyerempet satu sama lain. Sebagai tambahan, “suasana rawan” kadang juga mengemuka secara tematis, misalnya dalam karya “Kekayon II: Rhythm in Chaos” yang menggemakan kerawanan sosial, atau karya “Love Wave” dan “The Last Summer” yang menggaungkan kerawanan ekologis.
Dalam mengonstruksi patung, Bambang tak segan-segan menangani ruang kosong sebagai elemen yang sama pentingnya dengan volume. Ruang sekitar dapat menembus atau meresapi massa pejal, menjadi bagian integral dari konstruksi keseluruhan sebuah patung. Rongga atau celah bukan sekadar areal kosong, melainkan juga “wujud” yang sama validnya dengan wujud patung itu sendiri. Eksplorasi spasial dengan prinsip “patung menembus ruang dan ruang menembus patung” tampak jelas dipraktikkan dalam karya-karya yang memainkan rongga seperti “The Muscle”, “Dragon Heart” dan “Reach It”. Dalam karya-karya semacam ini, praktis tak ada lagi batas yang tegas antara patung dan ruang kosong di sekitar patung.
Salah satu daya-tarik karya patung Bambang terletak pada tegangan dinamis antara unsur formal dan unsur diskursif, aspek stilistik dan aspek tematik, wujud dan pesan. Di sini gagasan berperan sangat penting, baik gagasan di ranah rupa maupun di ranah wacana. Hampir semua karya Bambang mengusung tema tertentu yang digali dari pengamatan dan pemikirannya tentang berbagi fenomena alam dan kebudayaan. Dalam niat kreatif Bambang, kayu atau logam nyaris tidak pernah berhenti sebatas wahana ekspresi murni, sarana manifestasi keindahan ideal belaka. Hampir selalu ada “narasi” di balik bentuk-bentuk artistik trimatra kreasi Bambang. Namun demikian, “narasi” ini tidak selalu transparan, bahkan kadang tidak terbaca secara visual, karena kuatnya interupsi pertimbangan-pertimbangan artistik formal.
Ambil contoh karya “Reach It” dan “Life Begins”. Tanpa membaca judul, pemirsa kemungkinan besar akan sulit menangkap pesan kehidupan yang ingin disampaikan Bambang dalam kedua patung itu, dan mungkin hanya memaknainya sebagai bentuk-bentuk patung abstrak eksperimental. Contoh lain, pada karya “The Muscle”, “narasi” bahwa patung ini diilhami oleh serat-serat otot (sebuah gagasan yang orisinal!) menjadi kurang berarti dibanding efek artistik yang muncul dari alunan ritme permukaan dan logika visual formal. Sementara pada karya “Torso”, citra tubuh manusia seakan lebur dalam sensasi gerak dari resonansi antara gelombang permukaan kayu dan riak-riak tekstur kayu. Patung berbentuk manusia ini jelas tidak mengangkat isu kemanusiaan.
Dalam karya-karya Bambang, gagasan di ranah rupa tampak cenderung lebih dominan daripada gagasan di ranah wacana. Tapi bukan berarti Bambang kurang memiliki perhatian terhadap isu-isu di luar persoalan rupa. Sejumlah karyanya yang menampilkan mimesis alam (misalnya patung berbentuk tumbuhan, pohon atau sarang burung) mengungkapkan pesan ekologis yang kuat. Kepekaan sosial tentang zaman yang kian akrab dengan kekerasan dan kekacauan diungkapkan secara simbolis dan dramatis dalam karya “Kekayon II: Rhythm in Chaos”; sementara karya “Heritage” menyuarakan keprihatinan tentang ancaman kepunahan warisan budaya tradisional. Kritik terhadap seksualitas pada zaman kontemporer, ketika seks telah terhalau dari ruang sakral dan bisa dinikmati dengan enteng bak hidangan pencuci mulut, disampaikan dengan nada humor dalam karya “Dessert”. Kekuatan gagasan Bambang di ranah rupa memberikan perspektif segar dan aksentuasi unik pada gagasannya di ranah wacana.
Dalam pameran ini, peragaan paling menarik dari paduan kekuatan gagasan rupa dan wacana terdapat pada serial patung naga. Berangkat dari keterpesonaan kepada Cina saat berkunjung ke sana beberapa tahun silam, Bambang mengeksplorasi sosok naga yang menyimbolkan spirit kultural masyarakat negeri Tirai Bambu yang mampu bangkit sebagai bangsa besar di muka bumi. Tapi uniknya, Bambang tidak menciptakan patung naga dengan mengacu pada gambaran umum tentang makhluk mitologis ini, melainkan mengolah elemen-elemen karakteristik naga (terbang, bergerigi, bertaring atau bercakar dsb) hingga menjelma jadi citra naga yang baru dan orisinal. Bentuk hati atau jantung naga (“Dragon Heart”), mulut naga (“Dragon Mouth”) atau penis naga (“Dragon Penishhh…”), besar kemungkinan tak pernah terbayangkan oleh siapa pun sebelum dilahirkan oleh imajinasi kreatif Bambang. Patung-patung “naga” karya Bambang meramu memori dan fantasi, mengawinkan model mitologis purba dan model rekayasa canggih (bahkan futuristis seperti karya “Dragon Mouth”), memadukan spiritualitas dan materialitas. Ke depan, serial patung naga Bambang masih sangat menjanjikan untuk dikembangkan lebih jauh.
Pameran Seni Patung
Karya : Bambang Adi Pramono
Galery : Hanna Art Space
Pengamat : Irah Banuboro
“REBORN”
Bambang Adi Pramono sejak awal terjun didunia seni telah gigih untuk memposisikan diri sebagai seniman yang “qualifield”, walau Bambang senidiri merasa kemunculannya dalam pameran ini merupakan kelahiran kembali didunia seni, tetapi sejatinya tidaklah demikian. Mungkin memang lama Bambang tidak berkiprah di seni murni (fine art) tetapi proses dan progres yang dilakukannya adalah tetap pada konteks seni sehingga bila ini dikatakan sebagai reborn maka lebih tepat lagi merupakan metamorfosis, bak lahirnya kupu yang indah, demikian pameran ini merupakan “pencerahan” baru dari proses berkesenian Bambang.
Di konteks seni murni, diawali kembali dengan karyanya yang muncul di Syang Galery di Magelang. Sekali muncul pada karya “Kekayon” , Bambang membuktikan bahwa kelahirannya kembali ini memang merupakan hasil dari pengolahan “laku” bertahun-tahun yang ia jalani secara total. Maka “Kekayon” sukses bukan saja secara artistik tetapi juga menarik perhatian audien untuk memilikinya. Berikut keikutsertaanya di Bienale Yogyakarta 2009 dengan karya patung Berjudul “Bird’s Nest” dan “Living Tree” yang juga hadir di Hanna Space ini.
IN CONCEPT
Yang sangat menarik dari karya-karya Bambang adalah bahwa eksistensinya selalu didukung konsep artistik yang jelas. Ini merupakan sebuah kecerdasan yang tidak selalu dimiliki oleh seniman. Kita harus jujur bahwa di negara ini dalam status sebagai negara berkembang, strata pendidikan kita belum pada standard internasional, walau dibeberapa kota bisa mencapai, tetapi mayoritas belum mencapai. Terlebih dalam pendidikan seni yang sangat spesifik ini. Seni (baca: seni modern) didaratan kelahirannya di Eropa diartikan dan berada pada konteks pola berfikir jenius. Padahal persepsi ini masih demikian jauh dari pemahaman mayoritas masyarakat kita, maka galery-galery di Indonesia berperan aktif dalam apresiasi seni kepada masyarakat.
Diawali dengan kemunculan karya berjudul “Kekayon” di Galery Syang di Magelang yang sukses bukan saja secara artistik tetapi juga diminati sehingga langsung dikoleksi, kemudian muncul karya “Bird’s Nest” dan “Living Tree” yang dipasang di halaman kompleks gedung Dewan Perwakilan Rakyat Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kini pameran tunggal di Hanna Art Space Galery ini, “Reborn” karya-karya Bambang berpendar di berbagai kreatifitas dalam berbagai tema. Tema serial naga yang diekspresikan pada visualisasi anatomi tubuh, menjadi karya-karya yang berjudul “Dragon’s Mouth”, “Dragon’s Hearth”, “Dragon’s Penishhh”, juga “Dragon Egg”. Ini merupakan karya yang mengangkat nilai-nilai filosofis legenda Naga dari Negeri China, sebuah filosofi yang sangat konstruktif sehingga bangsa China merupakan bangsa yang sangat eksist, sebagaimana yang diukatakan oleh Bambang; “Adanya semangat keperkasaan, kegarangan, power digabung dengan keindahan visualisasi dan itu semua mengilhami negeri China bisa hebat dimasa lalu dan saat ini. Dipatrung saya, naga saya simbolkan dengan bentuk-bentuk runcing berupa taring dan kuku dari cakar / claw. Hidup adalah perjuangan bukan cengeng dan filosofi yang ada di naga / dragon yang paling tepat ditampilkan. Kecuali dragon, orientasi saya adalah alam dan problematikanya”.
Alam dan problematika pada karya-karya di pameran ini ada pada patung “Kekayon II” yang oleh sang seniman dikatakan merupakan “rhythem in chaos”, irama dalam kekacauan. Title ini merujuk pada situasi Indonesia saat ini. Menarik mengangkat problem ini karena chaos sangat tidak konstruktif dan bukan sikap sebuah bangsa yang progres menuju bangsa yang bermartabat. Filosofi ini mengingatkan kita pada kupasan sosio kultur yang menukik kepada sikap-sikap spiritual, yang seharusnya bisa dilakukan dengan tertib, tidak justru meluaskan sikap-sikap destruktif. Bahwa seni rupa dalam hal ini seni patung mampu mengahdirkan tema ini sebagai tinjauan filosofis, maka ini sebuah gerakan damai menuju masyarakat yang baik. Seperti dikatakan Soedarso SP alm. Didalam kuliah pascasarjana di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, bahwa dikatakannya konteks seni adalah konteks yang halus oleh karenanya seni bahkan lebih “Pancasilais”, ia (seni) berkata melalui nilai-nilai artistik, melalui keindahan, melalui kehalusan. Sangat etis. Dan di pameran ini konsep-konsep yang esensial dan tajam memang menjadi enak untuk diwacanakan. Patung “Bird’s Nest” idem dito, ini tentang problem eko sistem, bahwa di hampir semua benua di dunia kini semakin langka kita jumpai hutan belantara sehingga kacau kehidupan flora fauna. Bahkan banyak binatang tidak tahu lagi dimana tinggal dan banyak tanaman tak dapat tumbuh. Ini semua akibat sikap manusia yang egoistis dan cari gampang saja sehingga menekan komunitas yang lain. Sebuah sikap yang tidak terpuji yang bisa menjadi pertentangan visi tetapi tidak didalam konteks seni rupa. Visi damai juga sangat jelas di karya “Palestine : Need’s Unity”.
Melihat karya patung seperti melihat dua sisi mata pedang, satu sisi adalah teks dan sisi lainnya adalah konteks. Teks adalah karya itu sendiri dan konteks adalah konsep yang mendasari dan hal-hal terkait yang melingkupinya. Oleh karena itu komunikasi artistik antara seniman dan masyarakat musti dibangun terus-menerus. Dengan demikian terbangun masyarakat artistik yang semakin memperindah dunia, didalam bahasa Jawa kita kenal istilah “memayu hayuning buwono”. Apa yang dirasa oleh komunitas yang sedang menikmati karya seni, tentunya adalah kedamaian walau wacana didalam konsep artistik cukup “berat” (belum pernah ada tawuran didalam galery). Hal ini dimungkinkan oleh pemahaman artistik di semua aspek, sehingga dapat memberi kontrol kepada budi pekerti. Pendidikan seni seperti diurakain diatas tentu sangat mendukung, dan bahkan harus terlibat aktif. Tak heran dimasa kekita Bambang belum melakukan “Reborn”, ia berada langsung diantara masyarakat untuk membantu berbagai masalah sosial. Statusnya sebagai dosen muda di Institut Seni Indonesia Yoyga pun ditanggalkannya.
IN ARTISTIC
Atristik berarti bersifat seni yang dengan itu sebuah karya seni bernilai didalam disiplin seninya, karakter konsep dapat diekpresikan sehingga audiens dapat menangkap pemahaman didalamnya. Lekatkan konsep yang disampaikan sang seniman dengan patungnya. Mereka, karya dan konsep, menyatu sebagai teks dan konteks yang dapat dimenegerti sebagai dasar penciptaan dan ekspresi karya. “Dragon’s Mouth” dan juga patung tema naga di pameran ini menunjukan karakter kegagahan tersebut.Walau patung itu hanya fokus pada mulut, itupun tidak berupa mulut dalam arti yang sebenarnya lengakp dengan bibir dan kumis misalnya. Ini hanya berupa rahang yang ada beberapa taring. Tetapi pengolahan bentuk rahang dan taring ini sedemikan rupa dengan bentuk oval melengkung dan terbuka lebar. Siapa tak berfikir tentang kegarangannya, kegagahannya. Begitupun dengan “Dragon’s Heart” dengan rongga-rongga kayu wanra coklat dalam komposisi warna putih kayu, imajinasi menghidupkan degup jantung sang naga, maka intelektulitas membawa pada logika alam kehidupan naga.
“The Muscle” seolah menjebatani tema serial naga dengan tema-tema yang lain karena bentuk muscle ini bisa ada di naga atau juga pada makhluk lain. Patung ini berekspresi tentang keuletan, kegigihan. Dari bentuknya dapat ditangkap karater itu, melingkar dalam liukan yang abstrak, meregang dan menciut, juga dengan tekstur yang bervariasi antara polos dan bergaris. Rangkaian itu merupakan kekuatan didalam fleksibilitas. Lebih spektakuler lagi adalah apa yang disampaikan oleh “The Wave”: 5th Anniversary of Tsunami, yang berekpresi tentang hebohnya sebuah ombak, dengan kisah yang begitu menggemparkan hingga menarik perhatian seluruh dunia. Ini adalah problem alam yang juga ada pada karya “The Last Summer”, “Life Begin”,”Dragon Flower”, juga “Love Wave”. Patung-patung yang yang tentu juga jelas konsepnya yang telah terangkum dalam judul. Hanya saja karya-karya macam dalam judul “Balance” dan “Harmoni” merupakan karya yang berolah didalam kebentukan itu sendiri, bentuk sebagai bentuk, maka tidak berbicara tentang “isi”. Ini kontras dengan “Heritage” yang sarat dengan filosofi sosio kultur, dengan “isi” yeng tentu sangat kompleks dan rumit, sebuah kenteks renungan dengan kekuatan intelektualitas yang “berat”.
Tetapi pada dasarnya karya seni adalah karya yang berdedikasi untuk semua strata dan semua bidang. Oleh karenanya seni dapat dinikmati oleh siapa saja dengan masing-masing kapasitas pemahaman. Di karya-karya Bambang, performance artistik terasa halus sehingga dimungkinkan pula untuk semua usia dapat menikmati. Anak-anak dengan bimbingan orang dewasa dapat menikmati karya-karya ini. Walau ada beberapa gelitik di “Dessert” dan di “Dragon’s Penishhh” tetapi sama sekali bukan karya yang dangkal, bahkan karya ini sangat baik untuk pendidikan kepada dunia yang lebih dewasa bagi anak-anak. Sebab adakalanya sebuah karya bisa tampil sedemikian “keras” untuk usia anak-anak.
Reborn pada pameran tunggal ini sangat menarik karena “reborn” disini merupakan progres dari kematangan artistik sang seniman. Selamat kepada Bambang Adi Pramono, untuk kegigihannya berkarya dan berkarya didalam seni patung didalam kehidupan, dimana nilai-nilai seni ini sangat dibutuhkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar