Rabu, 17 Februari 2010

'FESTIVAL HUJAN'

Waktu Mulai:
21 Februari 2010 jam 16:30
Waktu Selesai:
28 Februari 2010 jam 18:00
Tempat:
Bentara Budaya Bali
Jl. Prof IB. Mantra No. 88 A (by Pass) Ketewel, Gianyar
Denpasar, Indonesia


Festival Hujan
Efek pemanasan global membuat musim kian menjadi anomali. Musim kemarau seringkali berlangsung sampai jauh memasuki musim penghujan dan begitu pula sebaliknya. Dampak langsung dari anomali itu, para petani kita tak bisa memprediksi kapan musim tanam harus dimulai dan kapan kita semua bersiap-siap untuk menyambut “musim” banjir misalnya.
Dalam ranah kultural, Bali mewarisi astronomi tradisi yang secara populer disebut dengan pelelintangan. Pelelintangan tidak sama dengan ilmu perbintangan tentang ramal meramal nasib seorang anak manusia. Pelelintangan lebih dekat kepada perhitungan-perhitungan tradisional berdasarkan pembacaan terhadap tanda-tanda yang diberikan oleh alam. Untuk mengetahui air laut sedang pasang atau surut, misalnya, cukup dengan membaca posisi bulan di langit. Karena posisi ini menentukan gerak gravitasi yang mempengaruhi pasang dan surut air laut.
Festival Hujan merupakan perayaan untuk menerjemahkan ulang tanda-tanda alam, yang belakangan hari semakin diabaikan. Selain itu, makin sedikit pula genius lokal yang mewarisi tradisi pelelintangan. Pelelintangan atau lebih spesisif disebut wariga, selalu diterjemahkan untuk mencari hari baik dan hari buruk. Padahal banyak sekali astronomi tradisi yang berkaitan dengan aktivitas iklim. Dan musim sesuatu yang niscaya, sesuatu yang mengada akibat pergerakan berbagai benda di alam raya.
Festival ini akan diisi dengan pementasan kelompok Gebug Ende dari Desa Sraya, Karangasem, Bali. Tradisi gebug adalah aktivitas saling serang dengan menggunakan tongkat pemukul dan tameng, yang dimaksudkan sebagai ritual pemanggil hujan. Ritual gebug dipercaya tidak saja memiliki daya magis menghadirkan hujan, tetapi juga merupakan sebuah upaya tradisional untuk membaca musim.
Teater Payung Hitam asal Bandung, Jawa Barat, yang dikomandani Rachman Sabur, akan hadir dengan reportoar Puisi Tubuh. Reportoar ini berangkat dari pemahaman akan kesamaan variabel yang menyusun tubuh dan alam. Pada tubuh dan alam terdapat unsur air, tanah, api, dan udara. Tetapi ruhlah yang menghidupi semuanya. Pementasan ini akan menjadi pengingat kita untuk selalu peka terhadap perubahan alam.
Selain dua pementasan itu, Festival Hujan juga diisi Pameran Seni Rupa Hujan yang mengundang para perupa seperti AS Kurnia, AA Darmayuda, Ketut Lekung Sugantika, Ketut Teja Astawa, Made Djirna, Made Bakti Wiyasa, Made Wiradana, Made Suta Kesuma, Putu Edy Asmara Putra, Rio Saren, Tatang BSP, Uuk Paramahita, dan Wayan Wirawan. Para perupa sengaja diundang untuk merespons realitas kontemporer yang melanda alam sekarang ini, sehingga musim nyaris selalu mengalami anomali.


Tidak ada komentar: