Jumat, 05 Februari 2010

Form as Attitude

oleh Rizki A. Zaelani dan A. Rikrik Kusmara
Salah satu karya Nashar yang menjadi koleksi Galeri Nasional Indonesia. (foto: kuss)

“By means of the sign, man frees himself from the here and now for abstraction.” ―Umberto Eco

“The People adore authority.” ―Charles Baudelaire


Persoalan mengenai ‘bentuk’ (form), ‘aspek karakter bentuk’ (formal), serta pemikiran tentang aspek bentuk (formalism) kini berlaku sebagai persoalan sejarah. Ihwal ‘Form[al]-ism’, kalau bukan dijadikan ‘kenangan’, lebih sering dianggap sebagai bagian dari narasi sejarah tentang ‘pertentangan otoritas seni’, soal dialektika ‘legitimasi nilai’ seni. Sebagai bagian dari masalah sejarah, bagi kita, ‘Form[al]-ism’ sebenarnya justru penting karena telah menunjukkan nilai tentang segi kontinuitas perkembangan seni rupa Indonesia. “Kontinyuitas ini bukan saja terlihat pada adanya tahapan dalam menjauhi dunia luar yang nampak, tapi juga terutama pada semacam ‘ideologi kesenian’ “ (1. Sanento Yuliman, kritikus dan sejarawan seni, mengganggap manifestasi ideologi semacam itu (‘ideologi kesenian’) sebagai ‘Modernisme’. [Ideologi] Modernisme dianggap sebagai dasar yang menyebabkan praktek seni rupa modern Indonesia mengambil jalan dan corak yang berbeda dengan praktek dan kepercayaan seni tradisi.

Dengan demikian, bagi Sanento Yuliman, persoalan ‘Form[al]-ism’ ini berhubungan dengan tiga perkara penting, menyangkut soal: (i) pribadi sebagai pusat daya cipta; (ii) pendirian tentang otonomi seni; dan (iii) pendirian baru tentang tradisi seni (2. Sebenarnya bukan hanya tentang penjelasan ‘Form[al]-ism’, secara umum, penerimaan azas nilai Modernisme bisa memberikan alasan pada kita mengenai beberapa segi penting pada kelaziman praktek seni rupa Indonesia. Hingga saat ini, misalnya, kita telah terbiasa memahami: (i) kenapa sebuah karya seni rupa memiliki tanda tangan [hak] penciptanya; (ii) kenapa pengetahuan dan sejarah seni rupa bisa dipisahkan dengan pengetahuan dan sejarah bidang-bidang kehidupan yang lainnya (sosial, ekonomi, atau politik); atau (iii) kenapa kini kita bisa akrab dengan praktek-praktek pengembangan soal intrastruktur seni rupa seperti: sistem museum/galeri, atau sistem ‘industri’ seni (Balai Lelang Seni, Art Fair, Biennale, Triennale dsb).

Istilah ‘ideologi seni’ Sanento Yuliman ini bisa juga disebut sebagai ‘ideologi non-ideologi’ (ideology of no ideology). Dalam sejarah kelahirannya, ideologi semacam itu lahir sebagai reaksi atau menjadi alternatif terhadap kepercayaan pola otoritas seni yang menaruh harapan penting pada keberadaan representasi persoalan sosial dan politik dalam ekspresi seni. Muncul anggapan bahwa penerimaan dan praktek ‘ideologi non-ideologi’ ini sebagai proses ‘de-politisisasi seni’, yaitu pelucutan aspek-aspek politik dan persoalan sosial dalam seni. Anggapan semacam itu mengandung kebenaran, tapi tak tepat sepenuhnya. Pada prakteknya, ‘ideologi non ideologi’ ini justru merupakan bagian dari langkah ‘politisasi seni’, berupa keyakinan yang menaruh kepercayaan pada kapasitas mobilisasi seni sebagai interpretasi kebebasan individual secara maksimal dalam suatu kerangka sistem aparatus masyarakat teknokratis (3. Dalam kerangka kenyakinan seperti itu seni menjadi bidang praktek dan teorisasi yang bisa dianggap khas serta khusus.

Persoalan yang terjadi dalam prakteknya adalah: bagaimana ‘ideologi’ ini bermakna bagi setiap orang? Bagi tiap-tiap orang yang hendak disebut sebagai ‘masyarakat’? dalam banyak contoh praktek, ideologi ini sering menghasilkan situasi salah sangka. Misalnya, bagi ungkapan ‘kesal’ seperti pernah dinyatakan seniman dan kritus Basuki Resobowo pada karya-karya abstrak Oesman Effendi di tahun 1957 ketika ia mengatakan: “kita hanya dicekau oleh susunan konstruktif dari garis, warna dan bidang” (4. Soal praduga ‘ketidak adaan’ makna karya semacam itu, tak hanya cukup bisa dibantah oleh penjelasan singkat padat seniman Nashar, dengan mengatakan bahwa: “Soal kesenian, bukanlah soal apa yang dilukiskan, tapi bagaimana” (5; tapi justru bisa ‘didamaikan’ oleh kebeningan suara kritik dari Resobowo sendiri di tahun 1949, ketika ia mengatakan: “Untuk melihat lukisan diperlukan daya pandang (tenaga visuil) sehingga orang dapat bangkit perasaannya oleh bentuk, garis, warna, ‘dengan tidak usah memikirkan terlebih dahulu bentuk apa yang ditawarkan’” (6.

Kenyataan praktek seni rupa abstrak ini justru menjadi problematik ketika, misalnya, seorang kritikus Clement Greenberg mensyaratkan tingkat ‘keterampilan’ setiap orang yang menghadapi karya-karya abstrak mesti setajam dan sedahsyat sang kritikus itu sendiri, berdasar pada nilai-nilai sebenarnya dari ‘pengalaman’ yang disebutnya sebagai ‘eyesight alone’ (7. Tentu saja pada prakteknya tak bisa semua orang bisa ‘terampil’ seperti halnya sang ahli ―karena perbedaan keterampilan ini tentu saja yang memilahkan adanya ‘si ahli’ dan ‘si umum’. Persoalan dipahami atau tidaknya, dianggap bermakna atau tidaknya, karya-karya seni rupa abstrak bukan terletak pada kenyataan intriksik dari karya tersebut, tapi terletak pada pola-pola apresiasi (apreciation) dan penerimaan (reception) yang berlaku. Lebih jauh, bahkan kita bisa memilahkan masalah diantara persoalan (a) bagaimana ‘bentuk’ (form) dan pertimbangan tentang ‘aspek bentuk’ (formal) itu beroperasi di dalam prakteknya; dengan masalah (b) bagaimana pemikiran tentangnya (formalism) dilangsungkan atau dirumuskan. Dengan demikian, meski memiliki memiliki kaitan, kita tak bisa mengganggap ihwal persoalan ‘form’, ‘formal aspect’ dan ‘Formalism’ adalah hal yang identik.

Sejarah seni rupa mencatat, bahwa telah berlaku kesadaran untuk memahami pentingnya aspek bentuk menandai kecenderungan pekembangan seni rupa modern menuju bentuk-bentuk seni rupa abstrak. Sumbangan pemikiran tentang prinsip ‘bentuk signifikan’, significant form, dari pemikiran estetikus Inggris Clive Bell, misalnya, dianggap sebagai rangkaian kesadaran untuk menghubungkan lingkaran persoalan yang berasal dari masa lalu, masa kini dan masa mendatang dalam manifestasi artistik sebuah karya seni. Dalam prinsip ini, pengaturan aspek-aspek bentuk (melingkupi kesadaran bentuk yang bersifat dua dimensional dan tiga dimensional), seperti: garis, bidang, warna, volume, ruang, dsb, berada dalam persepsi tentang satuan (unity) organisasi bentuk yang bisa menghubungkan seseorang (seniman dan pengamat) dalam kesungguhan nilai temuan dan ‘ke-aslian-an’ seni secara psikologis (8.

Ihwal ‘Form[al]-ism’ memang adalah persoalan sejarah. Kini, bergantung tiap-tiap orang untuk memahaminya: bisa menjadi ‘beban’ [sejarah] jika orang bersangkutan memahami sejarah sebagai takdir masa lalu; atau jadi ‘kesadaran’ [sejarah] jika kita justru memahami sejarah tetap sebagai rangkaian persoalan masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Tentu saja, tak akan ada persoalan yang datang dari ihwal ‘beban kesadaran’ jika seseorang menganggap bahwa persoalan budaya adalah sebagai rangkaian usaha untuk merealisasikan kesadaran hidup demi melengkapi berbagai batas dan ‘ke-tak-sadar-an’. Sebagai persoalan sejarah, sebenarnya ihwal ‘Form[al]-ism’ tak melulu hanya berisikan narasi persoalan tentang pertentangan antara ‘bentuk’ (form) dan ‘isi’ (content), tetapi juga masalah bacaan tentang keberadaan ‘konteks’ (context) persoalan(nya).

Di sini, kita tak bisa lagi mengacaukan pengertian antara ‘isi’ (content) dengan ‘pesan’ (message) pada ekspresi suatu karya sebagai persoalan yang sama, sebagai masalah yang sami mawon (sama saja). Jika ‘isi’ dari suatu karya seni dianggap sebagai makna dari karya tersebut (tentang ‘apa karya tersebut dinyatakan’), maka ihwal bentuk (persoalan ‘bagaimana karya itu dinyatakan’) adalah model representasi makna (the mode of representation of the meaning) dari karya tersebut: ihwal soal bagaimana makna itu termanifestasikan atau terartikulasikan. Tentu saja setiap penyataan ‘bentuk’ (tiap tulisan atau coretan, misalnya) bisa memiliki ‘isi’, tetapi tentu saja tidak semua bentuk pernyataan berarti sebagai suatu ekspresi seni. Bagi para pendukung kajian ‘Neo-Formalisme’ (pandangan yang berhasil merevisi dan merevitalisasi prinsip-prinsip kajian Formalisme): “what distinguishes artwork from other things that have form and content is that in artwork form and content are related in satisfyingly appropriate manner.” (9

Apa yang dimaksud sebagai ‘satisfying appropriate manner’ di situ tentu adalah cara-cara yang bisa beragam dan bukannya berlaku jadi semacam rumusan yang pasti. ‘Cara layak yang memuaskan’ itu adalah usaha-usaha demi menjadikan aspek [pertimbang] bentuk mampu berfungsi untuk lebih mengartikulasikan ‘kecenderungan’ makna dari suatu kecenderungan karya tertentu, misalnya: artikulasi kekuatan ekspresi pada kecenderungan karya ekspresif. Sebenarnya tak hanya berfungsi untuk mengartikulasikan representasi makna secara ‘lebih’, praktek dari cara-cara semacam ini sekaligus juga menyatakan secara lebih tegas adanya berbagai fenomena perubahan kecenderungan artistik. Boleh jadi usaha revisi Neo-Formalisme ini bermanfaat, dalam beberapa hal bahkan bisa dianggap ‘benar’, menimbang bahwa sejarah perkembangan seni akan selalu bergerak bersama dengan perubahan situasi kemanusiaan, dan sejalan dengan itu pula akan muncul perubahan atau ‘kebaruan’ hal untuk dipersoalkan. Perubahan atau pergeseran makna dari suatu karya seni tentu saja akan selalu membutuhkan cara ‘baru’ untuk menyampaikan persoalan yang terus berubah. Maka perubahan representasi [kecenderungan] bentuk, pada prinsipnya, berlangsung sebagai bagian dari perubahan [kecenderungan] makna isi suatu karya. Pendek kata, adanya transformasi suatu gaya artistik tertentu―yang terlihat pada manifestasi pertimbangan ‘bentuk’― terjadi karena kebutuhan akan manifestasi yang baru persoalan ‘isi’ [karya] yang membutuhkan cara-cara baru dari bentuk artikulasi berkarya. Dengan demikian, tak ada lagi masalah keterpisahan, apalagi soal ‘pertentangan’, diantara masalah ‘bentuk’ (form) dan ‘isi’ (content).

Karya-karya yang terlibat dalam pameran ini, berupa lukisan, patung, dan karya-karya object, adalah contoh dari manifestasi persoalan bentuk yang tak selalu mesti melulu berkaitan erat dengan prinsip-prinsip ‘desain bentuk’. Sebagi dari karya-karya yang dipemerkan ini menunjukkan kecenderungan yang mengarah pada ‘bentuk nir-bentuk’ (formless), sebagian lagi menegaskan relasi persoalan bentuk sebagai masalah artikulasi aspek formal dalam situasi konteks permasalahan isi. Tema-tema persoalan yang dikandung karya-karya ini secara keseluruhan bisa memiliki kaitan satu sama lainnya, terlepas apakah karya-karya tersebut mengarah pada persoalan mengenai pertimbangan form/formless, atau masalah kajian aspek formal. Tema-tema tentang: alam, lingkungan, dunia obyek-obyek, lingkup pengalaman keseharian, bahkan sikap keyakinan yang bersifat spiritual, misalnya, bisa terlihat dalam karakter model representasi bentuk yang berbeda-beda.

Perkembangan praktek dan kajian ‘Form[al]-ism’ ini sebenarnya kini tengah berkembang ‘keluar’ atau bahkan ‘melampaui’ persepsi tentang makna sejarah perkembangan seni yang bersifat tetap. Kini, tak ada lagi anggapan bagi karya-karya seni rupa abstrak yang mesti disebut ‘paling abstrak-ekspresionisme’ atau ‘paling konstruktivis’, misalnya, karena anggapan mesti mengacu pada nilai-nilai kesejarahan. Kekacauan antara implikasi dari prinsip-prinsip estetik dengan pemaknaan nilai yang dipelajari dari narasi sejarah perkembangan seni rupa modern [Barat] tak lagi mesti berlangsung. Pada prinsipnya, tak ada satupun peradaban di dunia yang tidak memiliki sumber-sumber rujukan bagi pengembangan seni rupa abstrak yang bisa dianggap layak berdampingan bersama dengan prinsip-prinsip seni rupa abstrak [yang dikembangkan] seni rupa Barat. Tentu saja penjajaran sumber rujukan kultural ini mesti disandingkan dalam pola-pola perbandingan yang relevan dan terhormat bagi kedua konteks persoalan (konteks yang datang dari perkembangan seni rupa barat dan ‘dari luar seni rupa barat’). Dengan demikian, kita akan memperoleh keluasan masalah dari kaitan ‘bentuk’ dan ‘isi’ secara mengagumkan (10.

Kita menaruh harapan pada cara perubahan kita memahami pengertian tentang ‘konteks’. Pengertian tentang ‘konteks’ ini pula yang mewarnai perdebatan/kontroversi pertentangan antara ‘bentuk’ dan ‘isi’ dalam sejerah seni rupa kita ―dalam hal ini adalah kontek tentang ke-Indonesia-an (Indonesia-ness). Ihwal ‘konteks’ dari pengalaman sejarah tersebut menunjukkan bahwa pengertian ‘konteks’ dipahami sebagaimana suatu model [kepercayaan] yang bersifat obyektif. Dalam pengertian ini, “context simply represent a slice of the objective world that is experienced in one way by some and in other ways by others; even here it function relativistically, as it is the part of the world that defines, or is defined by, a local population at a specifict time” (11. Dengan demikian, para pelaku dalam perkembangan seni rupa (seniman, kritikus, misalnya) berada dalam situasi dimana mereka seolah mesti mengobyektifkan kenyataan [sikap] politik menjadi ‘orang Indonesia’. Boleh jadi, setiap proyek obyektifikasi ini beroperasi melampaui pilihan-pilihan sikap personal yang bisa ditetapkan oleh masing-masing individu (si seniman maupun sang kritikus itu sendiri). “Seniman yang baik adalah seorang nasionalis”, kata Sudjojono.

Saat kini kita bisa melihat persoalan lebih ‘Form[al]-ism’ sejarah lebih terang, menganggapnya sebagai pilihan sikap yang berdasar pada pilihan yang bersifat individual, bahkan personal. Dalam hal ini, kita memahami pengertian ‘konteks’ dalam bingkai perhatian tentang subyek dan bukan berlaku sebagai prinip yang bersifat universal dan pasti sebagaimana mengasumsikan soal ‘dunia yang obyektif’. Dalam lingkup perhatian sang subyek, ihwal ‘konteks’ adalah semacam arena dimana setiap orang di seluruh dunia bisa memproyeksikan secara subyektif interpreasi masing-masing tentang kaitan antara persoalan ‘bentuk’ dan ‘isi’ ini, sekaligus juga menerima hasil-hasil dari proyeksi dari subyek yang lainnya mengenai hal itu. Dengan demikian, “(c)ontext is the arena that links subjectivities, not in an objective frame, but in an overlapping and ever-permutating procedure that has no definite shape or metaphor with which to describe it. Context, then, is intersubjective: it is the product of the vague but commonly understood agreements of how to define the world and of what subjectivities overlaps significantly enough to function in ―and be represented as― conventional reality” (12.

Ihwal soal ‘konteks’ dalam perkembangan seni rupa abstrak, khsususnya bagi pengembangan masalah ‘Form[al]-ism’ tak [lagi] bersandar pada masalah obyektifikasi [tentang] realitas atau politik identitas ―misalnya, apakah seni rupa abstrak itu ‘Indonesia’ atau barat; ‘Bandung’ atau bukan. Pengertian ‘konteks’ [seni rupa abstrak] dalam pengertian intersubyektif adalah persilangan, penumpukan, bahkan pertukaran persepsi subyektif yang tak terbatas pada lingkup lokasi dan waktu kultural secara tertentu (karena pada kenyataannya bersifat jamak). Di situ ihwal bentuk adalah pilihan berharga atas nama sikap subyektif.

(Catatan ditulis untuk katalog pameran BANDUNG INITIATIVE #3, 2009)

CATATAN:
1. Sanento Yuliman, Seni Lukis Indonesia Baru: Sebuah Pengantar (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1976), hlm.29
2. Lht. Sanento Yuliman, “Seni Lukis di Indonesia: persoalan-persoalannya dulu dan sekarang”, dlm Asikin Hasan, ed. DUA SENI RUPA: Sepilihan Tulisan Sanento Yuliman (Jakarta: Yayasan Kalam, 2001), hlm. 71.
3. Lht. Caroline A. Jones, “Form and Formless”, dlm Amelia Jones, ed. “A Companion to Contemporary Art Since 1945“ (Malden-Oxford-Victoria: Blackwell Publishing, Ltd: 2006), hlm. 137.
4. Basuki Resobowo, “Tugas Seni Membuka Mata dan Hati”, Siasat (1 mei, 1957), pada Yuliman (1976), op.cit. hlm. 25
5. Pengantar pameran: “Pameran Lukisan-lukisan: Nashar, Oesman Effendi, Trisno Soemardjo, Zaini” , 17-31 Maret 1963, pada Yuliman (1976), op.cit. hlm. 29.
6. Basuki Resobowo, “Pahatan Kayu dan Sket-sket dari Soeromo dan S. Soendoro”, Indonesia, Juni 1949, pada Yuliman (1976), op.cit. hlm. 29.
7. Lht, Jones, op.cit. hlm. 136
8. Lht. Noël Carroll, “Art and Form”, dlm PHILOSOPHY OF ART: A Contemporary Introduction (London – New York: Routledge, 1999), hlm. 109.
9. Ibid. hlm.127
10. Lht. G. Roger Denson, “History as Context: Expanding Modernist Form”, dlm G. Roger Denson & Thomas McEvilley, CAPACITY: History, The World, and The Self in Contemporary Art and Criticism (Amsterdam: OPA Amsterdam B.V under license , by G + B Arts International, 1996), hlm.11.
11. Ibid. hlm.10
12. Ibid. hlm. 9

*) Kurator seni rupa, tinggal di Bandung



sumber : http://indonesiaartnews.or.id/

Tidak ada komentar: