Selasa, 02 Februari 2010

Treeda Mayrayanti Solo Exhibition
"STRANGERS ON MY PILLOW"
Penyelenggara:
Museum Dan Tanah Liat

Waktu Mulai:
10 Februari 2010 jam 19:00
Waktu Selesai:
21 Februari 2010 jam 12:00
Tempat:
Sangkring Art Space
Nitiprayan no 88 - Ngestiharjo, Bantul , 0274-381032
Yogyakarta, Indonesia


Museum Dan Tanah Liat & Sangkring Art Space Proudly Present:

"STRANGERS ON MY PILLOW"
Treeda Mayrayanti, 10 - 22 February 2010

At Sangkring Art Space
Nitiprayan no 88 - Ngestiharjo, Bantul
0274-381032

Pembukaan :
10 February 2010 - 19.00 WIB
dibuka oleh : Sun Ardi
---------------------------------------------------------------------------------------
Dewasa ini, di sejumlah ruang pergelaran, kita menyaksikan pusparagam bentuk, tema dan gagasan karya seni rupa—yang mungkin dapat kita terjemahkan sebagai pertanda baik akan pertumbuhan dan perkembangan seni rupa Indonesia.
Pameran tunggal Treda di Sangkring Art Space menarik untuk dicermati. Mengusung tema “ Strangers My Pillow” Treda mencoba melakukan penelitian akan arti hidup hingga akhirnya ada dua pilihan yang ditemuinya di hadapi atau lari. Menghadapi varian dan varietas seni rupa menurut kata hati, di ungkapkan dalam karya dua dimensi yang akan di pamerkan di Sangkring Art Space.
Salah satu keberhasilan karya seni, salah satunya adalah kemampuan menggugah rangsang interprestasi dan membangun kesalingmengertian antara seniman dengan penontonnya. Di samping itu. aspek-aspek kekuatan artistik, dan gagasan seniman merupakan hal yang tak kalah pentingnya. Namun juga harus di akui, kehidupan berkesenian tak dapat berkembang dengan baik tanpa peranan orang-orang yang memiliki disiplin ilmu di luar kemampuan seniman seperti: pengamat seni, wartawan seni, maupun kolektor seni. Maka bila ingin kita harus membina kerjasama harmoni antara seniman dengan semua komponen pendukungnya.
Semoga Pameran yang ke tiga ini akan mendapat sukses seperti pada pameran yang sebelumnya dan dapat memberikan arti bagi penikmat seni lukis dan masyarakat umum.
Selamat berpameran...

Om santi santi santi om


Management Sangkring Art Space
---------------------------------------------------------------------------------------
Mad About Love
“Ketika berada di tengah ‘samudera’ semua kemampuan saat melukis dapat tercurahkan lebih maksimal, namun disaat yg sama ketakutan secara psikis dan fisik yang dapat terseret lebih dalam pada gelombang samudera yang ganas.” Ujar Treeda Maryati. Menurutnya kata ‘Samudera’ adalah gambaran tentang suasana hati saat melihat maupun menerjemahkan pikiran tentang sesuatu hal, samudera dalam hati Treeda adalah atmosfir yang lebih ganas dirasakan saat melukis, dibawahnya ada lautan, sungai, danau yang lebih tenang.
Untuk meminimalkan rasa takut itu diperlukan kesabaran, kesabaran yang dimiliki Treeda ada pada ‘saya’ bukan pada ‘aku’. ‘Saya’ mengetahui kesabaran dapat dijadikan kendaraan untuk melewati rasa takut dan dapat meminimalkan ketakutan itu sendiri tapi ‘aku’ masih belum punya kesabaran, kata Treeda.
Karya-karya lukis Treeda pada pameran kali ini pada bentuk figuratif, dimana visual wajah yang bentuk matanya tampak hidup dan lekuk tubuh yang proposional, terlihat dominan, tehknis melukis dan narasi pada lukisannya dapat dinikmati. Kecenderungan estetika dari seorang Treeda dapat dirasakan yang mana saat melihat karya lukisnya kita bisa merasakan tarikan garis yang tegas dalam membentuk figur manusia, latar belakang yang kontras dengan figur manusia dari karyanya ditampilkan lebih abstrak (terutama pada karya yang menampilkan satu figur manusia) dan mempertegas figur manusia sebagai pusat dari narasi yang disampaikan.
Tehknis melukis didapatkan dari pendidikan yang dijalaninya saat berada di bangku SMSR dan Seni Murni ISI Yogyakarta itu selalu dipakai dalam berkarya dan dirasakan sangat membantunya ketika keinginannya untuk melukis muncul saat melihat saudaranya sedang melukis, keinginan yang begitu kuat hingga menuntunnya masuk sebagai siswa lembaga pendidikan seni, dari situ Treeda menemukan tehniks melukis yang di perdalam sampai pada Institusi Seni, dan tehknis melukis itu selalu terpakai sampai saat ini. Hingga Treeda sering mempertanyakan tentang sebuah proyektor untuk membantu melukis serta keberadaan centeng (baca artisan) dalam menghasilkan karya lukis. Baginya, Treeda kagum melihat beberapa seniman besar yang menggunakan proyektor namun terlihat ciri estetika dari senimannya tidak hilang, bahkan mampu membuat lebih kuat secara visual. Begitupun dengan seorang centeng yang membantu seorang seniman dalam berkarya, Treeda melihatnya telah terjadi jalinan yang harmonis antara seorang centeng dengan seniman yang diikuti, ada kelancaran komunikasi yang terbangun diantara mereka, semacam komunikasi saling belajar. Namun dua hal seperti itu menurut Treeda merupakan langkah besar dari seorang seniman untuk bisa menempatkan proyektor sebagai media dan centeng sebagai partner. Treeda dengan rendah hati mengatakan belum sampai dirinya seperti itu, dulu pernah terbesit keinginan masuk sebagai siswa seni patung tapi terganjal rasa tidak nyaman akan proses membuat patung yang harus dibantu oleh orang lain karena media batu yang digunakan, juga tidak jadi masuk seni disain grafis yang banyak berhubungan dengan berbagai media penunjang. Dalam hal ini Treeda merasa nyaman jika melukis dilakukan sendiri tanpa ada centeng maupun proyektor, dan dengan positip Treeda memandang hal itu dengan merasakan keahlian dan kejujuran seorang seniman merupakan yang dominan dalam berkarya. Terlintas di benak Treeda suatu saat akan melukis bersama seseorang atau bahkan beberapa centeng dalam ukuran kanvas yang besar dan di tandatangani oleh semua yang ikut melukis.
Pergolakan batin, hubungan dengan suami, kedekatannya dengan anaknya yang semata wayang, sikapnya terhadap lingkungan sosial, status sebagai ibu rumah tangga, keberadaannya sebagai seniman,pandangan tentang psikis merupakan lahan yang banyak di gali untuk diangkat sebagai cerita dalam karyanya, pandangannya tentang cinta telah mendasari cerita pada karyanya. Cinta dalam diri Treeda membuahkan kesabaran, Kecintaannya terhadap hidup yang dijalaninya membuatnya saat melihat sesuatu hal mempunyai keterkaitan satu dengan lain pada element yang mengiringi hidupnya, dengan rasa cinta Treeda menuntun harapannya pada sebuah keseimbangan.
Dari cinta, Treeda menghubungkan element-element yang mengikuti kehidupannya, hubungan antara ‘saya’ dan ‘aku’ pada diri Treeda dirasakannya butuh sebuah keseimbangan yang bisa didapat dari rasa cinta. Ketika ‘saya’ mengatakan tentang kesabaran tetapi ‘aku’ belum mempunyai kesabaran, saat itulah dia berusaha menyikapinya dengan cinta. Seperti beberapa karya yang dilihat dari judul dan visualnya dapat mendatangkan pemahaman secara mudah namun terdapat kedalaman yang menarik untuk diselami lebih jauh, pandangan mata pada beberapa karya yang menyorotkan sebuah ketenangan dan sebuah harapan yang besar, sebuah optimistis yang besar terpancar untuk kedepannya, seperti pada beberapa karya ‘seorang gadis yang tabah hati, di kejar ide gas-gasan, meluluhkan marah, melihat sesuatu lautan kesabaran.
Dengan tehknis dan narasi yang Treeda tuangkan ke kanvas tidak jauh dengan hubungan antara ‘saya’ dan ‘aku’. Sebagai seniman dia merasa senang ketika berkarya di nuansa samudera, di mana semua intuisinya secara jujur bisa di terapkan sedemikian rupa, keliaran dalam berkarya mengalir begitu saja, sacara tehknis maupun pemahaman pesan yang di dapat melalui mengamati sesuatu dapat terjemahkan ke kanvas.
Keliaran berkarya Treeda yang mengandung resiko secara psikis dan fisik merupakan konsekwensi yang dia hadapi, dengan kesabaran yang berasal dari rasa cinta selalu di gunakan untuk meredam keterseretannya secara psikis. Konteks Treeda sebagai individu sosial seperti pada umumnya sebagai istri, ibu rumah tangga maupun sebagai ibu dari seorang anak menuntunnya dalam menyampaikan visual lukisannya secara non vulgar, seperti terjadi di karya ‘kemaluan pria’.
Kehidupannya sebagai seniman dan kodrat sebagai individu sosial tidak pernah dia pisahkan, Treeda berusaha menggabunggkan keduanya untuk bisa berjalan harmonis. Dengan rasa cinta yang selalu dipupuk Treeda dapat melewati perannya di ranah seniman dan sosial, begitupun tantangan psikis maupun fisik disiasati pula dengan dengan cinta.

Yoyok MDTL
20 January 2010
---------------------------------------------------------------------------------------
Threda: Di Antara Kerapuhan dan Ketangguhan
(Catatan Pribadi untuk Threeda, juga bagi Jemek Supardi dan Sekar)
Oleh: Suwarno Wisetrotomo

Threeda Mayrayanti, lebih dari sekadar suami seorang seniman pamtomimer Jemek Supardi, dan ibu dari Putri Sekar Kinanthi, putri tunggalnya, seorang penari yang cantik, adalah seorang pelukis. Bahwa Threeda itu tampak rapuh, fisiknya juga batinnya, mungkin sudah menjadi rahasia umum, namun hal itu tidak menghilangkan eskistensinya sebagai pelukis. Pada beberapa waktu yang lalu, dalam berbagai kesempatan atau pertemuan, ia beberapa kali menampakkan kondisi yang limbung. Ia melontarkan komentar bernada kekecewaan, kejengkelan, amarah, atau sekadar nggerundel, di tempat terbuka, nyaris tanpa kontrol. Ia tahu tentang kesemuanya itu. Ia harus menenangkan diri (ditenangkan) dengan sejumlah obat. Ia paham akan hal itu. Jemek Supardi sang suami, juga Sekar putrinya itu, juga sangat paham dengan kondisi Threda. Justru karena itulah, karena kesalingmengertian yang tinggi inilah, maka keluarga ini menjadi kompak.
Jemek Supardi, suaminya, saya mengenalnya jauh lebih lama, sebelum ia menikahi Threeda. Dulu, sewaktu pertama kali mendengar ia menikahi Threeda, saya kira hanya kabar bohong canda gurau antar seniman. Ternyata benar adanya. Sepanjang hidupnya, Jemek aktif di dunia teater (saya, yang ketika itu tengah tumbuh, masih ingusan, dan sedang mencari jatidiri, sering bersama-sama dengan Jemek sewaktu aktif di komunitas Teater Dinasti, sekitar tahun 1980-an, saat masa-masa keemasan dunia teater di Yogyakarta). Kehidupan Jemek hingga kini, yang easy going, lucu, akrobatik, teatrikal, dan absurd, sudah menjadi pengetahuan publik (maksud saya, tak pada tempatnya kalau saya menceritakan perihal Jemek). Sejumlah kawan bahkan mengatakan, bahwa sehari-hari Jemek adalah “teater” itu sendiri. Dan saya sependapat dengan kesaksian itu.
Tentang Putri Sekar Kinanti, putrinya yang cantik itu, saya mengenal dengan baik, karena kebetulan usianya sepantaran dengan anakku yang pertama. Sekar kini tercatat sebagai mahasiswi Fakultas Seni Pertunjukan (Program Studi Seni Tari), ISI Yogyakarta, dan tentu saja sudah piawai menari, bahkan sudah melawat ke berbagai negara. Saya tahu, Sekar sangat memahami, menghormati, dan mencintai Threeda, ibunya. Suatu ketika, ketika saya menguratori sebuah pameran di Taman Budaya Yogyakarta, pada 2005, bertajuk “Menimbang Dunia Perempuan”, saat seremoni pembukaan, Sekar menyajikan pertunjukan ballet, yang diakhir pertunjukan, mendatangi ibunya yang duduk di kursi tamu (Threeda sangat terkejut, karena tidak menduga Sekar menari, dan ada adegan semacam itu), kemudian di tarik ke atas panggung, lalu di peluk dengan erat, sangat lama ia memeluknya. Saya tahu, air mata Sekar bercucuran deras dalam dekapan ibunya (ide menghadirkan Sekar secara diam-diam dalam pembukaan itu datang dari sahabat saya/sahabat kita Hendro Suseno [almarhum], dan kemudian dikelola bersama-sama panitia). Saya, juga banyak penonton lainnya, tak kuasa menahan haru menyaksikan adegan itu. Saya juga tahu (tepatnya menduga dengan kuat), bahwa Sekar akan menjadi penari yang menari dengan “nyawiji, greget, sengguh, ora mingkuh” – menyatukan niat, penuh semangat, bersungguh-sungguh, tidak berpaling – ketika menari, atau menghayati dirinya sebagai penari.
Baik. Kini kembali ke Threeda. Ia adalah anak ketiga dari delapanbelas bersaudara. Sewaktu menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR, kini SMK) Yogyakarta, penghargaan Pratita Adhi Karya untuk karya terbaik sketsa (1983) dan ilustrasi (1985) ia peroleh. Sejak 1983 itulah, Threeda mulai aktif mengikuti berbagai pameran, atas undangan dari banyak pihak penyelenggara. Tiga kali ia menyelenggarakan pameran tunggal, yakni tahun 1996, Pameran Tugas Akhir saat ia mengakhiri studinya di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta, kemudian pameran “Potret Perempuan Biasa” di Bentara Budaya Yogyakarta (1998), dan Pameran “Kami Perempuan-perempuan Ini” di Koong Gallery, Jakarta (2000), dan kali ini untuk yang keempat, pada 2010, Pameran “Dikejar Gas-gasan” di Sangkring Arts Space Yogyakarta. Threeda, dalam segala kondisi dan cuaca, terus berada dalam jalan yang dipilih dan diyakininya; menjadi pelukis dan melukis.
Dalam pandangan saya, Threeda memang berada dalam posisi antara; yakni antara ‘rapuh’ dan ‘tangguh’. Mengapa Threeda tampak rapuh? Mari kita simak apa yang pernah ia tulis sekitar tahun 1996, demikian, “Berawal dari rasa cinta saya akan lingkungan keluarga yang banyak dan beragam dapat saya lihat di sana. Sehingga saya tertarik merespon setiap aktivitas individunya, baik itu tingkah lakunya maupun sikap-sikap mereka dalam kehidupannya. Bagi saya setiap individu adalah merupakan satu persoalan yang unik, menjadikan pemahaman makna realitas hidup menjadi lebih berarti. Terlebih lagi yang paling penting adalah bagaimana aktivitas manusia yang saya visualkan secara realis menurut gaya saya yang ingin saya ungkapkan dapat tercapai”.
Betapa catatan Threeda itu demikian penuh hasrat untuk mewujudkan pengalaman, penglihatan, perasaan, atau dunia batin, sebagai bagian dari anggota keluarga besar. Siapapun tahu tentang kompleksitas persoalan dari sebuah keluarga besar. Siapapun tahu, bagaimana setiap individu dalam sebuah keluarga besar berupaya ekstra untuk memperjuangkan eksistensinya, tanpa kehilangan cinta dan perannya bagi keluarga besarnya itu. Perhatikan catatannya itu; kata “cinta keluarga”, hasrat untuk “merespon setiap aktivitas”, pengahayatannya tentang “setiap individu dan persoalannya yang unik”, dan yang paling penting, kata Threeda, “memvisualkan secara realis menurut gaya saya”, menunjukkan tegangan, sekaligus penerimaannya terhadap realitas yang ia alami. Memahami catatan itu, dapat dijadikan pintu masuk untuk memahami kerapuhan Threeda, sekaligus hasrat-hasratnya yang tersembunyi, dan yang diimpikan. Terhadap kompleksitas itu, ia sesungguhnya termasuk yang beruntung karena memiliki kanal penyalur, yakni dunia seni lukis dan dengan cara melukis.
Mari kita perhatikan lagi catatan Threeda berikutnya, yang ia tulis sekitar tahun 2004, “Aku visualkan apa yang bergejolak mengusik mata hati di kedalaman batinku, bergulat memunculkan ‘sesuatu’ keharusan untuk kuekspresikan melalui bahasa seni rupa yang menuntut pengalaman estetikaku”. Catatannya ini jauh lebih singkat, lebih tajam, dan mempertegas tujuan atas aksi melukisnya. Bahwa melukis (bahasa seni rupa), bagi Threeda, adalah keharusan, karena didorong kepentingan ingin memunculkan ‘sesuatu’. Tentu, ‘sesuatu’ itu muncul dari ‘gejolak yang mengusik mata hati dan kedalaman batin’nya. Yang mengusik mata batinnya tak lagi hanya persoalan keluarga besarnya, tetapi juga keluarga inti dirinya, dan persoalan manusia serta kemanusiaan yang seluas-luasnya. Kerapuhan pada Threeda bukan sumbu yang mengantarkan pada keputusasaan, atau bahkan kehancuran. Sebaliknya, justru menjadi pemicu untuk menumbuhkan perlawanan; bahwa hidup dan kehidupan yang kompleks ini harus dimaknai dengan sebaik-baiknya. Bagi Threeda, salah satunya adalah menjadi saksi (atas dirinya sendiri dan kehidupan yang riuh ini), mencatat, merekam, dan mewujudkannya menjadi karya-karya lukisan, dengan sikap apa adanya, sejujur-jujurnya.
Mengapa Threeda tampak tangguh? Kalimat terakhir pada paragraf tepat di atas ini, dapat dijadikan jawaban atas pertanyaan itu. Sejauh yang bisa saya serap dan pahami, Threeda memang menjadi sangat sensitif terhadap berbagai persoalan kehidupan, terutama jika sudah terkait dengan ketidakadilan, baik yang menimpa dirinya, keluarganya, maupun orang lain. Dengan suaranya yang pelan, bahkan tampak ringkih, ia bisa berbicara panjang tentang banyak hal yang ia anggap sebagai praktik ketidakadilan. Tak jarang ia menyoroti praktik kesenian dari para seniman (sebagian adalah kawan-kawannya sendiri, atau beberapa yang ia kenal dekat) yang menurut pandangannya tidak sesuai antara apa yang dipikirkan, yang dikatakan, dengan karya-karya yang digubah.
Kegelisahannya itu, antara lain tercermin dalam suatu pernyataan untuk karya yang diikutkan dalam perhelatan Biennale Jogja X-2009, pada sesi “public on the move”, dan ia menuliskan gagasannya seperti ini, “Yang aku ungkapkan adalah bagian dari hidup dan kehidupan. Masih seperti kemarin-kemarin, varian – varietas dalam seni rupa dua dimensi aku gunakan sesuka hati. Melukis apa, terekspresikan apa”. Pernyataannya ini semakin lugas. Bahwa dirinya sebagai “sumber” dan orientasi penciptaan karya-karyanya. Sikapnya keseniannya sangat tegas, seperti yang ia tulis, “melukis apa, terekspresikan apa”. Kata ini saya anggap sebagai kritik atas kawan-kawannya, atau seniman yang ia kenal, yang ia lihat tidak konsisten dan konsekuen, antara pikiran, perkataan, dan perbuatan (karya-karya) yang tak ketemu dan tidak nyambung. Threeda tak mau berada dalam sikap semacam itu. Ia berupaya maksimal untuk jujur dalam sikap, pikiran, kata, dan laku keseniannya.

Terapi dan Perlawanan
Bagi Threeda sudah sangat jelas dan pasti, bahwa melukis adalah dalam kerangka memankani kehidupan yang sebaik-baiknya, yang dipandu oleh kesaksian, perasaan, keterlibatan atas hidup dan kehidupannya yang kompleks. Maka, perihal ide, bagi Threeda pastilah tak rumit; karena kehidupan sehari-hari yang dilakoni bersama keluarga intinya, juga bersama kawan-kawannya di Yogyakarta atau di jagad seni rupa ini, merupakan ide yang ‘bagus dan kuat’ yang tak habis-habisnya menginspirasi dirinya.
Bidang gambar (selembar kanvas, kertas, atau media apapun) bagi Threeda adalah catatan-catatannya, kesaksian-kesaksiannya, kekecewaan-kekecewaannya, juga cara dia untuk merekam kejadian-kejadian yang lucu dan menghiburnnya. Pameran kali ini seperti panorama atas kesemuanya itu dengan jujur. Ia merekam dan mengungkapkan kembali situasi dan kondisi dirinya tanpa bermaksud romantis, bahkan sebenarnya perih, seperti pada karya yang diberi judul seperti ini; “Kulukis Sepulang dari RS Jiwa Magelang” (1997), “Lukisan Sebelum Dimasukkan Puri Nirmala” (Ingat Lukisan yang barter Motor Antik) (1999). Atau tentang penghayatannya atas kehidupan yang kompleks dan harus dijalani, seperti tersirat pada karya berikut ini; “Terus Terang, Terang Terus: Urip Mung Mampir Ngombe” (2002), “Lautan Kesabaran” (2003), “Nggetih; Berdarah-darah Menyatu dengan Detak Jantung dan Denyut Nadi” (2004), “Meluruhkan Marah dengan Wening” (2005), “Model Di RS Lokapala” (2006), , “Tenang Nak, Penarimu Sehat dan Liar” (2009), “Kemaluan Pria” (2009), “Cinta adalah Cinta: Berbuat untuk Cinta. Kalah unttuk Cinta. Menangpun untuk Cinta” (2009), “Menepis Ketakutan dan Cemas” (2009), “Akar Sandaran Persahabatan” (2009). Atau tentang respon kritis atas sesuatu, juga tentang sikap humornya, seperti tersirat pada karya berikut ini; “Dikejar Ide Gas-gasan” (2005), “Punk Kribo” (2006), “Konslet Cinta Lokasi” (2008). Tajuk karya “Dikejar Gas-gasan”, sebuah permainan (plesetan) kata ‘gagasan’ menjadi ‘gas-gasan’ (bahasa Jawa; artinya bertingkah nekad, sruduk sana-sini, sikut sana-sini, untuk meraih sesuatu) bahkan digunakan sebagai tajuk pamerannya kali ini. Terasa lucu, sekaligus tepat untuk menggambarkan situasi dan kondisi hari ini; siapapun, profesi apapun, di level apa dan manapun, menunjukkan perilaku ‘gas-gagasan’, dari yang sekadar untuk survive hingga yang untuk kekuasaan.
Melukis, bagi Threeda adalah kerja yang memiliki dampak terapi, namun sekaligus bermuatan perlawanan. Terapi terhadap kondisi dirinya, juga perlawanan atas ‘ketidakadilan’ (dalam banyak hal, dan berlapis-lapis persoalan), yang terus-menerus ia suarakan dengan caranya yang paling jujur. Threeda tidak berupaya membungkus atau mengemas dengan pernik-pernik yang menipu, juga tidak berupaya mencanggih-canggihkan cara dan bahasa ungkapnya. Semua dihadirkan dengan cara apa adanya; polos, aneh, lucu, kadang terasa naif, tak jarang terasa janggal, dan sebagainya. Itulah Threeda; sebuah upaya penerimaan – atas kondisi dirinya, kondisi keluarga intinya – dengan sikap legowo.
Pameran Threeda Mayrayanti kali ini terasa utuh menghadirkan sosoknya yang rapuh sekaligus tangguh; utuh dan jujur. Catatan ini saya anggap semacam testimoni singkat, atas sebuah proses kreatif seorang pelukis – Threeda Mayrayanti – yang ‘rapuh’ dan sekaligus ‘tangguh’ dengan segala kompleksitas persoalan kehidupan yang mengepungnya. Kepada Jemek Supardi: terus dan tetaplah berupaya maksimal untuk mengayomi. Kepada Putri Sekar Kinanti: terus dan tetaplah berbakti dengan segenap cintamu. Kepada Threeda: tetap dan teruslah berupaya tegar dan kreatif.

(Suwarno Wisetrotomo, Mengajar di Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta)

---------------------------------------------------------------------------------------
MENGEJAR PELANGI
Vertikalitas yang Runcing, Curam dan Tajam dari Treeda Maryati
Oleh Afrizal Malna

Setiap saya berkunjung ke rumah Treeda Maryati, ada 2 dunia yang selalu saya temukan, sudah pasti, dan dunia itu tidak pernah berubah dalam garis besarnya. Bagian luar rumah itu dindingnya dipenuhi poster-poster pertunjukan mime Jemek Supardi, suaminya. Dan bagian dalam rumah dindingnya dipenuhi karya-karya Treeda, di antara beberapa sepeda, motor, dan sepeda listrik koleksi mereka. Matahari, hampir pasti tidak pernah singgah di rumah ini. Rumah yang bagian depannya menuju ke jalan raya, terhalang oleh deretan bangunan pertokoan yang menjual dari berbagai makanan, toko sepeda, studio foto, bengkel motor, foto copy, sampai ke toko-toko yang menjual peti mati. Kawasan yang kaya visualitas dengan berbagai bentuk dan jenisnya.
Pemisahan ruang visual dalam rumah mereka, antara poster-poster mime Jemek dan lukisan-lukisan Treeda, tampaknya bukan karena sebab pembagian ruang semata, yang mungkin mereka membuatnya jadi begitu adanya. Tetapi rupanya juga melibatkan pembagian ruang kehidupan mereka masing-masing: yang satu bergerak ke dunia publik, dan satunya lagi, Treeda sendiri, hidup dalam dunia domistiknya sebagai ibu rumah tangga. Dalam ruang domistik inilah Treeda membangun dan menggali ruang hidupnya yang hampir selalu vertikal sifatnya, ke atas maupun ke dalam. Ruang domistik yang kadang terasa runcing, curam dan tajam.
Beberapa benda dalam studio kerjanya yang kecil, memperlihatkan vertikalitas itu: kaca cermin vertikal yang pecah -- menyisakan ketajaman dan keruncingannya -- masih tergantung di antara patung Bunda Maria yang tetap terjaga dalam keanggunannya; player untuk pita kaset dan blur cahaya matahari yang masuk lewat genteng kaca dari sudut studio. Tembakau dalam kaleng biskuit untuk Treeda melinting. Lintingan yang hampir selalu dilakukan Treeda dengan cepat dan tepat, lalu menghisapnya. Udara yang masuk seperti selalu terasa basah. Atau tidak ada udara, hanya basah. Rasa hidup yang tipis, tetapi dalam dan intens.

Strategi visual: setiap orang adalah cerita
Treeda datang dari keluarga pelukis, ayah dan beberapa adiknya juga pelukis. Pendidikan yang dijalaninya di SMSK dan FSRD seni murni di ISI Yogyakarta, menurutnya memberikan pelajaran panjang untuk mengamati berbagai varian dan varietas berbagai karya senirupa. Ia merasa dekat dengan Affandi, dan lebih dekat lagi dengan karya-karya Sudjojono. Karya-karya Affandi menurutnya memberikan jiwa yang hidup, insting yang terjaga. Tetapi karya-karya Sudjojono menurutnya memiliki ruh. Treeda membedakan istilah “ruh” dan “roh” dengan cara: analogi “ruh” dengan “weruh” sebagai yang tahu, yang melihat, yang membaca. Sementara “roh” sebagai figur-figur super-natural atau “guru spiritual” yang hadir di luar dimensi-dimensi manusiawi kita namun membanjiri kita dengan kepenuhannya.
Kedua tokoh itu melahirkan semacam “realisme jiwa” dan “realisme ruh” yang tidak mimesis terhadap kenyataan, melainkan membaca kenyataan. Karena itu realisme keduanya bukan “realisme potret”, melainkan realisme hasil pembacaan. Ini merupakan wilayah pembacaan dari realisme Treeda yang digelutinya. Wilayah pembacaan yang merupakan medan kreatifitasnya, di samping keterbukaannya kepada dimensi lain: yaitu kehadiran roh. Roh bisa ada dimana-mana di sekitar kita. Kita hidup dikelilingi roh-roh. Kita tidak bisa menolak kehadiran mereka, karena kita adalah bagian dari dunia yang natur sekaligus yang super-natur.
Roh-lah yang membuat kita mengalir dan mengombak. Ide tidak pernah habis. Ide terus mengalir. Treeda memetakan perjalanan mengalirnya ini mirip seperti tingkat-tingkat pencapaian spiritual yang dijalani seorang seniman: dari tahap sungai, danau atau telaga, laut dan samudra. Seorang seniman yang sudah menemukan samudranya, menurutnya, tidak selalu harus berada dalam samudra itu. Ia bisa merindukan sungai dan kembali ke sungai, dan bermuara lagi ke laut, dan bertemu lagi dengan samudra lewat rasa sungai dan laut. Intinya: mengalir tidak akan terjadi kalau seorang seniman tidak melihat pentingnya hulu dan hilir. Mengalir tidak akan terjadi kalau tidak ada siklus horisontal dari sungai ke samudra, dan siklus vertikal lewat penguapan, awan dan hujan. Lihat salah satu karyanya: Mengamati sungai-sungai hingga lautan dan samudra.
Treeda cenderung melakukan rasionalisasi dari pembacaannya hanya untuk memiliki catatan dan membaca kembali catatan-catatan itu sebagai pemahaman dan pemetaan pengalaman. Kebutuhan terhadap cerita di sini menjadi penting. Cerita bagi Treeda mirip diperlakukan sebagai metoda untuk mendeskripsikan pembacaan-pembacaan yang dilakukannya.
Dunia cerita Treeda terbentuk sejak masa kanak-kanaknya yang gemar membaca majalah Tintin. Cerita baginya merupakan “pembacaan” dan “hasil-pembacaan”, yaitu menulis. Sebagai seorang perupa, ia menulis dengan cara melukis. Jadi hampir setiap karyanya merupakan “pembacaan” dan “hasil-pembacaan” dari keadaan maupun kenyataan yang dihadapinya.
Setiap karya ada ceritanya dan harus ada ceritanya. Kalau tidak ada, ia tidak mengerti karya itu untuk apa dan mau kemana arahnya. Keyakinan ini berakar pada pandangannya bahwa setiap orang adalah cerita, atau setiap orang membawa cerita. Ia melukis figur, karena figur itu membawa cerita. Karya-karyanya jadi dekat dengan “senirupa bertutur”.
Kita hidup dan berkarya, karena semuanya membuat dan memiliki cerita. Cerita yang membuat kita disadari, mendapat pencerahan, atau memberikan ruang kepada kita untuk menikmati keheranan. Setiap cerita tidak berdiri sendiri. Sebuah cerita dibayangi oleh layer-layer cerita yang lain. Setiap kata juga memiliki cerita. Guru menurutnya, adalah cerita dari “gugu” (manut) dan “tiru”. Koneksitasnya kadang tidak terlalu penting lagi, yang penting adalah cerita harus mengalir. Ia sudah membaca bencana sumur gas Lapindo misalnya, lewat video klip Michael Jackson yang bernyanyi di antara semburan-semburan asap dan kobaran api. Konteks dan referen tidak dihubungkan melalui teks, melainkan melalui imajinasi.

Mengalir dan mengejar pelangi
Cerita itu membuat alur. Memiliki logika dari gramatika antara kenyataan dan peristiwa. Kalau alur atau logika cerita ini tidak dihadapi, maka hidup tidak mengalir. Maka orang hidup hanya dalam bayangan “mengejar pelangi” yang selalu hilang setiap didekati. Mengejar pelangi adalah tidak mengalir. Adalah mimpi. Kita hanya memiliki dua cara menghadapi kenyataan: menghadapinya atau lari, katanya. Mengejar pelangi adalah tindakan yang indah, tetapi absurd. Dan realisme dalam persepsi dunia senirupa Treeda bukanlah realisme yang mengejar pelangi itu.
Sejumlah masalah muncul dari cerita yang tidak memiliki konsekuensi sebagai akibat yang harus diambil dari alurnya sendiri. Treeda, misalnya, melihat semua orang sudah membawa HP, banyak yang bekerja dengan komputer yang bisa mengakses apa pun, memiliki kendaraan atau akses transportasi lainnya, tetapi kenapa banyak orang tumplek di kota-kota besar, tumplek di Jawa. Untuknya ini tidak mengalir, ini macet.
Treeda kemudian berdoa untuk keselamatan banyak orang. Berdoa dengan seluruh agama yang diyakininya. Semua agama adalah agamanya.

Auto-sugestion
“Saya ingin menjadi seorang biksuni ketika masih remaja.” Tidak memiliki pamrih atas keberadaannya. Tetapi Treeda akhirnya menjadi seorang seniman. Ia sempat menjalani ngelakoni untuk menjadi seorang biksuni itu. Di sinilah ia berkenalan dengan istilah yang disebutnya sebagai auto-sugestion. Istilah yang menggabungkan beberapa hal antara auto, sugesti, dan ion. Istilah ini kiranya menjadi kunci sebagai “mata-diri” saat melukis. Mata dimana antara naluri, insting dan rasa berada dalam pusat yang sama saat melukis. Tubuhnya dan gestur tubuhnya harus tunduk pada auto-sugestion ini. Dalam istilah Treeda sendiri: tangan kanan untuk berbuat, bekerja; dan tangan kiri untuk bertahan. Kita tidak bisa menggunakan kedua tangan kita untuk bekerja saja atau bertahan saja. Keduanya harus berimbang. Tangan yang bertahan dan tangan yang berbuat keduanya sama pentingnya.
Auto-sugestion ini pula yang menyeimbangkan pertemuan antara jiwa, ruh dan roh sebagai sebuah jalinan saat melukis. Tanpa auto-sugestion, ketiga entitas ini pecah, bisa saling tarik-menarik satu sama lainnya sebagai kekuatan-kekuatan yang dislokasi.
Auto-sugestion ini hampir pasti bekerja lewat napas. Peran Napas sangat penting saat Treeda melukis. Napas adalah kepastian, hitungan, waktu. Napas adalah hidup, irama, kesadaran akan yang di luar dan yang di dalam. Napas adalah siklus yang membawa dari luar ke dalam dan dari dalam ke luar. Setiap momen untuk mengambil keputusan-keputusan visual yang akan ditempuhnya saat melukis, sama dengan sebuah hembusan napas besar. Napas yang dilakukan sebelum membuat garis, saat membuat garis, atau setelah membuat garis saat melukis, bagi Treeda penting untuk disadari.
Mengambil napas dalam konteks auto-sugestion itu lebih banyak dilakukannya ketika tahap melukis telah melampui dasar, yang disebutnya dengan bat-bet sana-sini, dan setelah itu menentukan posisi-posisi sampai finishing.

Konfigurasi tangan dan wajah
Ruang domestik Treeda dengan dimensi vertikalnya, visualitasnya tampak pada cara-cara Treeda memposisikan tangan dan wajah dalam karya-karyanya dengan konfigurasi tertentu. Tangan-doa dan wajah-doa berkali-kali muncul di beberapa lukisannya: tangan saling bertumpu atau diletakkan di dada, wajah menengadah ke atas atau ke bawah. Tangan dan wajah ini dibuat jernih, bahkan hampir polos, berbeda sebaliknya dengan latar yang padat dan ramai di sekitarnya.
Treeda, tampaknya, menolak mencampur adukkan sesuatu yang kodrati sifatnya. Perempuan adalah perempuan, lelaki adalah lelaki. Apa pun profesi yang dijalankan seorang perempuan, untuknya, dalam istilah Treeda sendiri, pekerjaan utamanya adalah seorang “ibu rumah tangga”. Hal ini sama seperti keteguhannya melihat cinta dan kesucian harus selalu berjalan bersama. Keluar dari keteguhan ini, baginya adalah liar. Treeda tidak menempatkan tindakan “liar” sebagai sesuatu yang negatif. Tetapi kalau keliaran dijadikan prosedur untuk menjadi avand garde, atau kemajuan jaman, ia lebih memilih tetap tinggal sebagai “manusia masa lalu” dengan seluruh romantika yang memenuhinya; dan menolak untuk ambil bagian sebagai “manusia jaman sekarang”.
Manifestasi yang mengharukan itu, tampak pada konfigurasi tangan dan wajah pada lukisan-lukisannya. Lihat saja pada karyanya: Di bawah pohon yang tinggi-tinggi, Akar sandaran persahabatan, Di luar mendung, Kalah oleh luka, Konslet cinta lokasi, atau Menepis ketakutan dan cemas. Hampir tidak ada karya Treeda yang memperlihatkan kemarahan. Emosi lebih banyak ditumpahkan menjadi vibrasi pada latarnya atau bentuk-bentuk non-persepsi.

Kesegaran setelah mandi dan “abstrak puitis”
Treeda bercerita setelah berdoa: “Setiap aku mandi. Aku bahagia. Tubuhku segar, mendapat anugrah air. Bagaimanakah melukiskan kebahagiaan setelah mandi?” tanyanya. “Lucu kalau aku melukiskannya dengan tetesan-tetesan air di tubuhku, rambut yang basah, atau handuk yang melilit tubuhku.”
Treeda menolak melakukan deskripsi visual untuk sesuatu yang dirasakannya lewat benda-benda yang telah mengakibatkan lahirnya rasa itu. Setiap mandi, ia berbahagia karena tubuhnya menjadi segar oleh guyuran air. Guyuran air di tubuhnyalah yang membuatnya segar dan bahagia. Tetapi ia bukan ingin melukiskan air di tubuhnya, karena yang ingin ia lukis justru adalah rasa bahagia itu sendiri.
Argumen-argumen visual seperti inilah yang kemudian membawa Treeda menghasilkan bentuk-bentuk non-persepsi yang disebutnya sebagai “abstrak puitis”. Umumnya bentuk-bentuk yang disebutnya abstrak puitis ini memenuhi latar objek, atau menjadi semacam aura dari objek. Lukisannya, Karunia kesegaran mandi, memperlihatkan hal itu. Lukisan ini menggambarkan sosok perempuan dalam dominasi biru. Bentuk-bentuk abstrak puitis digambarkan dengan bidang-bidang biru-putih dengan lelehan, dan bulatan-bulatan mirip gelembung, serta bidang-bidang berlorong.
Bentuk Abstrak puitis ini juga bisa dilihat dalam karyanya Mengamati sungai-sungai hingga laut dan samudra. Lukisan ini dipenuhi bidang-bidang tak beraturan dengan warna-warna muda yang cerah. Tetapi dalam karya ini, bentuk-bentuk abstrak-puitis itu tembus melampaui figur. Figur justru tidak mendapatkan detil, hanya sebatas tanda garis. Lihat juga karyanya: Menghela Napas. Warna kuning pada figur, melebar hingga ke latar, dan kemudian pecahan atau tebaran bidang-bidang dalam gradasi hijau muda hingga ke hijau gelap. Tekstur kian kasar pada bidang-bidang yang mendekati batas kanvas. Dimensi tidak diturunkan lewat detil, melainkan lewat gradasi bentuk dan warna.
Dalam karyanya Akar sandaran persahabatan, bentuk-bentuk akar dan bunga berlangsung sebagai kontinyuitas dalam proporsinya masing-masing dari latar hingga ke sosok dua perempuan yang bersandingan. Bentuk-bentuk yang kian mendekati pola batik ketika sampai pada tubuh ke dua sosok perempuan ini. Hal ini terjadi sebaliknya dengan lukisan: Tenang nak, penarimu sehat dan liar. Perempuan dalam lukisan ini tampak sebagai tubuh muda yang seksi, penuh gejolak yang digambarkan lewat bentuk gelembung-gelembung dengan warna muda. Gelembung-gelembung yang berfungsi sebagai pakaian ketat, fashion, tetapi juga gejolak dari dalam. Sementara latar lukisan dibuat lewat bidang-bidang tajam dengan warna-warna keras, dan bentuk-bentuk yang menyerupai kehidupan kosmopolit.
Bentuk-bentuk abstrak-puitis itu tidak semata-mata berfungsi sebagai stylisasi yang dilakukan Treeda pada lukisan-lukisannya. Lihat lukisannya: Kalah oleh luka. Lukisan ini menggambarkan sosok perempuan yang luluh. Kepalanya gundul dengan warna merah, seperti imaji yang tersakiti dan meredamnya. Pada telinganya justru tersunting hiasan mirip telinga wayang orang yang terbuat dari kulit ditatah. Tangannya yang lemah, menutup dada. Buah dadanya besar, menyimpan kesuburan. Sementara latarnya, dibuat bidang yang keras dengan warna dan tekstur yang sama kerasnya. Kontras dengan sosok perempuan ini.
Hal yang sama juga kita temukan pada lukisannya: Kemaluan pria. Lukisan ini betul-betul dilukis dalam arti metafornya. Kemaluan bukanlah melukiskan penis, melainkan melukiskan tangan untuk menutupi sesuatu yang memalukan dari pria itu (yaitu penisnya). Bentuk-bentuk abstrak-puitis kembali saling menembus antara figur dengan latarnya seperti teknik dissolve dalam film untuk mencapai trandisi dari berbagai layer film.

Di antara batas dua ruang
Treeda memiliki alasan tersendiri, kapan bentuk-bentuk yang disebutnya sebagai abstrak-puitis itu harus hadir dan tidak. Sebagian karyanya dibuat detil dari objek sampai latarnya. Dalam karyanya: Di luar mendung, ia melukiskan seorang perempuan anggun dengan sandaran bantal berbunga. Patung anjing kecil di bufet belakang dengan mangkuk bunga-bunga. Sementara dari balik kaca jendela digambarkan bagian belakang punggung seorang lelaki yang sedang duduk, menghadapi serbuan kemuraman yang padat menyerupai tekanan. Treeda membuat kontras yang tajam antara dunia di dalam rumah dengan dunia di luar rumah sebagai dunia perempuan dan dunia lelaki. Semuanya dibuat detil tanpa melakukan stylisasi pada objek-objeknya.
Bahasa visual seorang seniman perupa, untuk Treeda, sering diuji pada bagaimana ia melukiskan ruang batas antara di luar dan di dalam batas itu. Ia mengambil metafora begini: “Kita tidak tahu kita ada di dalam atau di luar. Orang yang melihat dari luar, kita ada di dalam. Orang yang melihat dari dalam, kita ada di luar. Siapa yang menentukan di luar dan di dalam itu? Kalau saya sedang dirawat di rumah sakit jiwa, orang di luar rumah sakit itu menganggap saya sakit. Siapakah sebenarnya yang sakit: orang di dalam rumah sakit jiwa itu atau justru yang ada di luar rumah sakit Jiwa itu?”
Ruang seperti ini dilukiskan sebagai dua cahaya berbeda antara di belakang dan di depan dalam karyanya: Sinar apa itu guru. Cahaya di belakang menggunakan warna merah tembaga, hampir seperti merah karat. Dan di depan dengan cahaya kuning agak keemasan. Kedua cahaya yang berbeda itu dipisahkan dengan bukit karang hitam terjal keras. Manusia seperti menghadapi misterinya sendiri dan harus dihadapi juga oleh dirinya sendiri. Ruang ini juga terbuka untuk dibaca sebagai dunia perempuan yang selalu berada di antara dua dunia.

Aku tidak mau orang gila masuk sorga
Treeda Maryati beberapa kali harus mendapatkan perawatan di rumah sakit jiwa karena depresi maupun derita halusinasi yang dihadapinya. Penyakitnya ini baginya adalah sebuah pembelajaran tentang adanya ruang yang bocor, yang tidak bisa lagi membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak. Halusinasi yang menghadirkan banyak mahluk yang menemaninya, dan membawanya ke ruang di luar dimensi-dimensi kemanusiaannya.
Treeda membuat rekaman yang menarik dari kondisi-kondisi ini yang dilakukannya justru lewat lukisan. Ada 3 lukisan yang dibuatnya tentang ini: 1, Kulukis sebelum dimasukkan RSJ Purinirmala, 1999. 2, Kulukis setelah dimasukkan RSJ Purinirmala, 1999. Dan 3, Kulukis sepulang dari RSJ Magelang, 1997. Lukisan pertama sosok perempuan dengan anatomi mirip wayang, dandanan tradisi, dan warna-wana hijau-biru massif. Intens, bulat. Berada dalam satu vibrasi. Mata dengan warna biru yang tajam. Lukisan kedua justru menggambarkan sosok gadis kecil yang lemah dengan tubuh biru muda, busana bunga-bunga merah mirip darah, dan latar masih dengan vibrasi warna biru-hijau yang massif. Dan lukisan ketiga, setelah pulang dari rumah sakit, justru digambarkan sebagai perempuan desa, muda, ceria dengan karangan bunga di tangannya. Perempuan itu tidak sendiri lagi, melainkan bersama-sama dengan realitas sosial di sekitarnya. Sementara kota digambarkan jauh di belakang, di antara seorang lelaki penyapu jalan. Lukisan ini menggunakan warna yang lebih beragam dibandingkan dengan 2 lukisan sebelumnya.
Bagi Treeda, orang gila itu tetap adalah “orang hidup”. Yang penting adalah “hidupnya” dan bukan “gilanya”. Karena itu ia tidak mau “orang gila masuk sorga”. Karena ia hidup, ia masih hidup, dan harus ada yang dilakukan dengan hidupnya. Ada sebuah lukisannya (Memang Pancen), Treeda melukiskan dirinya sedang berziarah ke makam dimana dirinya sendiri telah dikuburkan di makam itu. Di bagian belakang tampak daratan terbelah menjelujur ke belakang sampai ke proyeksi garis hitam. Pada belahan itu tampak beberapa pot bunga atau ember yang telah kosong. Baginya ia telah mati dua kali: pertama, ketika ia memutuskan menjadi seorang pelukis. Dan kedua, ketika menjadi ibu rumah tangga.
Saya menduga inilah inti “auto-sugestion” dari cara berpikir dan bekerjanya Treeda. Kematian dan kehidupan bukanlah saling meniadakan. Namun justru sebagai saling memberikan kesaksian. Yang satu tidak akan pernah ada dan tidak akan pernah berlaku tanpa keduanya. Keputusan dan menjalani keputusan itu sama dengan kehidupan yang dikukuhkan lewat kematian.
Visualitas yang bercerita itu, yang merupakan gambaran umum dari karya-karya Treeda, pada satu sisi memang menjelaskan latar-belakang Treeda sebagai seorang perupa. Tetapi pada sisi lain, budaya tutur dari dunia Jawa yang dijalani Treeda tetap memainkan peran penyutradaraan dalam figur-figur yang dilukis Treeda. Budaya bertutur itu kadang dibuat ekstrim, sesuai dengan kondisi kejiwaan yang dialami Treeda sendiri, seperti tampak pada karyanya: Nama-nama hari. Sosok lelaki dalam lukisan ini dibuat dalam keadaan tertidur. Tetapi di sekitarnya, tampak mahluk-mahluk kecil yang saling melakukan komunikasi satu sama lainnya. Lukisan yang menyimpan pesan bahwa rahasia pun tidak bisa dibawa tidur.
Karya-karya Treeda, yang mungkin bisa disebut sebagai realisme dengan bayangannya itu, kadang menjadi sangat simbolik pada karyanya Di balik Tobong. Tobong yang menelanjangi gincu-gincu kehidupan perempuan. Lukisan ini sangat ekspresif tidak hanya pada mimik figur-figur perempuan, tetapi juga seluruh bidang lukisannya. Pesan simbolik ini juga muncul pada karyanya: Joget duel dengan iringan lagu sorga nunut neraka nunut. Atau lihatlah: Reformasi lahir-bathin Bhineka tunggal ika. Lukisan dimana reformasi justru dilihat dari dunia generasi muda yang masih polos dari dunia politik, namun dibanjiri oleh atribut-atribut politik.
Saya merasa telah belajar cukup banyak dari Treeda Maryati. Ia bekerja keras tidak hanya untuk melukis, tetapi juga untuk mengerti.***



Tidak ada komentar: