Jumat, 23 April 2010

PANGGIL AKU CINA



Tanggal:
28 Maret 2010
Waktu:
13:00 - 17:00
Tempat:
Toko Buku TOGA MAS Jalan MT Haryono No 872 Bangkong Semarang.


Meramaikan Pameran Senirupa SETIAP MANUSIA ADALAH SENIMAN yang masih berlangsung sampai dengan 18 April 2010, BYAR Creative Industry bekerjasama dengan KOTAK GILA Community yang didukung oleh Toko Buku TOGA MAS Mempersembahkan:

PANGGIL AKU CINA
Diskusi Gratis Terbuka Untuk Umum.

Pembicara:
Anastasia Dwirahmi (Peminat Budaya Tionghoa).
Achmad Basuki (Seniman).
Ridho Mochammad Salafi Handoyo (Moderator).

Waktu:
Minggu 28 Maret 2010 Pukul 13:00-17:00WIB.

Tempat:
Toko Buku TOGA MAS Jalan MT Haryono No. 872 Bangkong Semarang.

Terimakasih.


Teks Diskusi:

IBUKU TIONGHOA BAPAKKU JAWA
Sebagai anak yang lahir dari rahim Ibu Tionghoa dan Bapak Jawa, sesuai dengan kesepakatan di masyarakat kita, saya juga mengidentifikasi diri sebagai ‘Wong Jowo’. Saat masih kecil, paling benci dibilang Cina, karena ungkapan tersebut terdengar sebagai nada rasis. Sempat senang saat Saya mengisi formulir untuk mendaftar SMP, karena diperbolehkan mencentang kolom WNI, bukan KETURUNAN. Diperbolehkan karena Ibu Saya Tionghoa, bukan Bapak Saya.

Identitas sebagai Orang Jawa pada saat itu membuat Saya merasa lebih nyaman. Walaupun saat pergi ke Pasar Gang Baru, masih banyak pedagang yang memanggil saya “nonik”. Saya selalu melirik dengan sengit kalau harus dipanggil dengan sebutan itu.

Tahun pertama di bangku SMP belum terlalu bermasalah, tapi tahun-tahun berikutnya, saya merasa ada yang aneh dengan pola pergaulannya: “Kenapa ya mereka semua mengelompok berdasarkan yang pribumi dan non-pribumi?” Memang tidak semuanya begitu, tetapi tetap saja ada batasan yang tidak terlihat namun bisa dirasakan. Walaupun sering sebal kalau dipanggil Cina, saya sama sekali tidak anti terhadap mereka, karena toh Ibu juga Tionghoa. Sempat merasa tidak nyaman karena wajah yang “tanggung” ini, akhirnya saya masuk ke kelompok orang-orang “Jawa”. Dan kebetulan memang lebih cocok bergaul dengan mereka. Saya juga tidak tahu bagaimana awalnya, yang jelas ketika SMP saya malah merasa mereka yang Cina itulah yang masuk dalam golongan elit. Dari yang tadinya tidak anti, saya jadi merasa sedikit sebal terhadap mereka. Saya berpikir: “Inikan Tanah Jawa? Kenapa kalian seolah-olah merasa sangat berkuasa?”.

Saat melanjutkan ke SMA, keadaan tidak terlalu berbeda. Namun SMA saya kali ini lebih plural. Sejak awal masukpun ditekankan pentingnya kebersamaan dan sikap saling menghargai. Tetapi tetap saja ada yang tidak cocok di hati saya. Salah satu hal adalah menyangkut masalah percintaan anak muda. Saya memang bukan pelaku, tapi hanya pengamat, karena saya tidak pernah pacaran ketika masih sekolah. Saya melihat, bahwa Orang Pribumi hanya berpacaran dengan Orang Pribumi, Orang Tionghoa hanya berpacaran dengan satu kaumnya. Saya melihat ada gejala yang sama saat di SMP, Orang Tionghoa selalu tampak lebih elit. Mereka lebih bersih, cantik, tampan, pintar dan lebih disukai guru-guru di sekolah. Dan jarang sekali ditemukan (bahkan tidak pernah) seorang Laki-laki Tionghoa mau berpacaran dengan Perempuan Jawa.

Beruntung, saya diberi kesempatan untuk mengambil jarak dari pergaulan seperti itu. Menginjak Kuliah, saya merasakan damainya hidup bersama orang-orang yang sama sekali tidak peduli terhadap hal-hal yang menyangkut warna kulit serta penanda-penanda identitas lainnya. Karena ada jarak itulah saya kemudian bisa menilai dan melihat dengan lebih obyektif apa yang sebenarnya terjadi di kota saya (Semarang). Saya jadi tahu, bahwa segala bentuk ketidaknyamanan yang saya (dan mungkin teman-teman lainnya) rasakan adalah sebuah hasil dari perjalanan sejarah panjang sebuah kota.


DILUPAKAN DAN MELUPAKAN
Tidak semua tahu, bahkan Orang Tionghoa sendiri mungkin juga tidak tahu, bahwa kaum yang selama ini dicap “cina” di Indonesia sebenarnya berasal dari Tiongkok Selatan. Bahwa mereka dulunya sempat berbondong-bondong pindah menjadi Muslim? Dan bahwa di daerah Pecinan pernah dibuat sebuah kolam yang melambangkan kemakmuran berdasarkan Fengshui, tetapi diberi nama Bale Kambang (Bahasa Jawa)? Mungkin juga tidak banyak yang tahu faktor Orang-orang Tionghoa mendiami sebuah wilayah khusus yang disebut Pecinan? Sedikit sekali yang kenal siapa saja tokoh Tionghoa yang berjasa bagi Tanah Air ini?

Masa orde baru, segala sesuatu tentang Cina memang seolah-olah diharamkan. Generasi Tionghoa yang lahir dari tahun 1965-1998 tidak memiliki kesempatan untuk belajar mengenai budaya dan tradisi mereka secara tenang dan terbuka. Sehingga banyak diantaranya yang kemudian tidak paham atau bahkan melupakan tradisi mereka sendiri. Saat ini menurut saya, yang diperlukan adalah bukan memahami tradisi. Tapi lebih pada memahami mengapa banyak resistensi dan prejudice terhadap Tionghoa. Orang-orang yang disebut pribumipun mulai harus tahu bagaimana sejarah bangsa ini telah mencatat banyak hal mengenai Orang Tionghoa, yang selama ini tidak mereka ketahui. Hal itu yang kemudian melanggengkan ‘jarak’ diantara Orang Tionghoa dan Pribumi. Walaupun di satu sisi Orang-orang Tionghoa sangat disegani karena penguasaan dan pengaruh mereka di bidang ekonomi.

Saat ini, saya sedang tertarik dengan studi mengenai Tionghoa khususnya di Semarang. Ketika saya mengatakan ketertarikan ini pada kawan-kawan lain, ada beberapa dari mereka yang bertanya: “Kenapa sebagai Orang Semarang saya malah ingin mempelajari budaya peranakan dan bukan budaya Semarang?” Saya rasa itu adalah sebuah pertanyaan yang kurang tepat. Budaya Peranakan Tionghoa sejak awal kota ini terbentuk juga berpengaruh terhadap banyak kebudayaan “asli Semarang”. Inilah yang membuat saya prihatin. Faktor pertama adalah karena banyak orang masih menganggap bahwa Tionghoa adalah lain. Kedua adalah karena banyak masyarakat kota kurang berusaha mengetahui sejarah kota dan budayanya. Kedua hal tersebut memiliki korelasi yang penting sebagai landasan pemikiran masyarakat sebuah kota, saat menggerakan pemikiran dalam sebuah peradaban.

Saya berharap, semakin banyak orang – terutama anak mudanya, yang tertarik untuk mendalami lebih jauh sejarahnya kotanya. Dengan mempelajari sejarah, manusia dapat memahami kejadian-kejadian di masa lampau yang melatarbelakangi kejadian di masa kini, sekaligus memproyeksikan langkah-langkah strategi untuk masa depan.

Sebagai penutup, bahwa saat ini saya mengidentifikasi diri sendiri sebagai Orang Jawa yang tertarik terhadap budaya Orang Cina, atau secara genetik memang Orang Cina? Saat ini, begitu tertariknya hingga sempat bermimpi agar semua orang bersedia Memanggilku Cina? Dan artikel juga diskusi ini bukan untuk mempresentasikan detail hasil riset, atau intelektual saya dalam memetakan sejarah kota khususnya Kaum Tionghoa.

Melainkan sebuah rangsangan yang saya lempar bagi khalayak umum: “Apakah pengetahuan tentang Sejarah Kota perlu digulirkan? Dan juga apakah fakta-fakta sejarah yang belum terkuak perlu untuk diperjuangkan agar bisa bermanfaat bagi intelektualitas berbagai kalangan?”. Kiranya kedua pertanyaan tersebut merupakan landasan awal untuk studi serta riset saya beserta beberapa kawan-kawan selanjutnya.

Tidak ada komentar: