Kamis, 06 Agustus 2009

ArtVertising:
•> Dr. Oei Hong Djien •> Enin Supriyanto

Iklan dan Seni Rupa: Antara Cinta dan Benci


Perjumpaan seni rupa dan iklan hampir-hampir bersifat mutlak jika kita memandanganya dari perspektif seni rupa kontemporer. Setidaknya, kita bisa melihat kenyataan bahwa modus operandi seorang seniman kontemporer dalam proses produksi artistiknya seringkali mengambil posisi layaknya seorang pencipta iklan: mengambil sumber darimana saja untuk keperluan (artistik) apa saja.






Penciptaan iklan pada dasarnya sama saja. Sebagai seorang yang pernah cukup lama bekerja di industri periklanan (saya bahkan pernah bekerjasama, sekantor, dengan pasangan pengelola pameran ini, Hermanto Soerjanto dan Ima Susanti), saya cukup tahu soal ini. Proses kreatif seorang perancang iklan hampir selalu dimulai dengan niat mempersuasi minat dan perhatian orang banyak, massa, untuk mengenali, mencoba, dan membeli produk atau jasa yang ditawarkan. Dalam rangka itu, iklan tidak pernah mengharamkan sumber apa saja yang bisa diolah untuk mencapai tujuan itu. Selain itu, iklan hampir selalu menyandarkan diri pada kekuatan penyebaran informasi, media massa, dalam lingkup bentuk dan jenis teknologi apapun, untuk menjangkau massa. Tanpa itu, iklan nyaris lumpuh dan tidak punya daya penetrasi yang bersifat massal. Soal ini jadi makin penting karena pasar barang dan jasa masa kini yang jangkauannya mendunia, maka peredaran informasi, barang dan jasa diusahakan untuk terjadi secara semesta dan serentak.

Sudah sejak awal perkembangan periklanan modern di Eropa, kita menyaksikan bagaimana praktik perniagaan memanfaatkan kekuatan seni rupa, meminjam keterampilan seorang seniman untuk keperluan penciptaan iklan yang menarik. Berbagai poster karya Henri de Toulouse Lautrec di Perancis akhir abad ke-19, misalnya, menjadi demikian terkenal melalui karya-karyanya berupa poster iklan untuk berbagai produk minuman, tembakau, sampai tempat hiburan. Kini, karya-karya poster iklan salah seorang pelukis penting dari masa Post-Impressionist Perancis ini diterima sebagai karya seni bermutu tinggi, vintage poster. Ada banyak contoh lain bagaimana pelukis terlibat dalam penciptaan iklan dalam sejarah seni rupa modern.

Kita tahu kemudian bahwa dunia iklan, dengan dukungan kekuatan modal dan perdagangan yang ada dibelakangnya, jadi salah satu kegiatan yang paling produktif dan massif menggempur kehidupan sehari-hari manusia urban dimanapun, tidak hanya dengan berbagai barang dan jasa, tapi terlebih lagi dengan berbagai gejala visual: huruf, gambar, foto, filem iklan, sampai performance dalam on-site advertising. Dari gejala ini, iklan kemudian dipandang sebagai ujung tombak kapitalisme, dan melahirkan masyarakat konsumen-masyarakat yang hidup dengan mengonsumsi berbagai produk dan jasa yang ditawarkan iklan. Tidak salah kalau orang bilang bahwa jika Anda mau menemukan bukti bahwa kapitalisme sudah mulai bercokol di suatu tempat, periksa saja majalah atau landscape kota besarnya: jika ada iklan produk massal di sana, maka kapitalisme pasti sudah hadir di sana. Ada banyak pihak, sampai hari ini, yang terus dengan gencar mengajukan kritiknya terhadap berbagai sisi praktik periklanan, khususnya dalam kaitannya dengan kemampuannya "memanipulasi" kesadaran massa.

Demikanlah, tampak secara umum bahwa praktik periklanan modern kemudian seperti berevolusi secara progresif di jalurnya sendiri, sedang praktik seni rupa juga bergerak dalam alurnya sendiri. Sampai kemudian kesadaran dan pendekatan baru muncul dan menarik perhatian kalangan seni rupa dengan hadirnya Pop-Art di Amerika Serikat.

Sejumlah karya serigrafi Andy Warhol adalah contoh perjumpaan mesra iklan dan seni rupa-yang dalam beberapa dekade perkembangan konvensi Modernisme dilihat sebagai dua praktik yang terpisah jauh, kalau tidak bertentangan. Karya-karya Warhol justru mengambil, hampir-hampir apa adanya, segala citra visual produk konsumsi massa-Coca Cola, Campbell Soup, misalnya-yang popularitasnya di masyarakat jelas-jelas karena genjotan iklan dan upaya pemasaran yang gencar, bukan karena benda-benda itu sebagai produk atau citra visual dinilai serba berseni. Lebih jauh lagi, sejumlah seniman Pop-Art ini kemudian diundang dan dibayar untuk membuat karya khusus untuk kemudian dijadikan iklan. Contoh terbaik adalah sejumlah iklan majalah dan poster untuk minuman Absolut Vodka (Absolut Book: The Absolut Vodka Advertising Story, New Ed edition, 1996)-yang meminta Andy Warhol, Keith Harring, Francesco Clemente, dan sejumlah seniman lain, untuk membuat karya iklan Absolut Vodka versi mereka masing-masing. Pihak Absolut Vodka menyebut bahwa upaya ini adalah cara mereka untuk membangun semacam "galeri seni rupa global." Sampai hari ini, di berbagai negeri, Absolut Vodka masih menjalankan pendekatan iklan-seninya ini, mengundang seniman muda hingga seniman terkemuka untuk membuat karya yang kemudian dijadikan iklan produk Absolut.

Dalam kaitannya dengan perkembangan wacana seni rupa kontemporer Indonesia perjumpaan iklan dan seni rupa bukan pula hal yang baru. Salah satu persitiwa seni rupa yang bisa jadi acuan untuk melihat bagaimana persoalan itu dihadapi oleh seniman Indonesia adalah acara Seni Rupa Baru Proyek I, Pasaraya Dunia Fantasi (Galeri Baru, TIM, Jakarta, 15-30 Juni 1987) seperti yang terumuskan dalam katalog pameran mereka. Bertumpu pada sejumlah riset dan diskusi, para penggagas pameran itu kemudian merumuskan "Manifesto Geraka Seni Rupa Baru 1987" (hal. 4-6). Pokok penting dalam manifesto itu adalah: pembebasan seni rupa Indonesia agar tidak terus menerus terkungkung dalam tradisi dan definisi artes liberales. Langkah strategis itu ditempuh dengan keyakinan bahwa dengan cara itulah seni rupa Indonesia akan bisa "merangkul semua gejala seni rupa." Akhirnya, dalam pameran itu tampillah berbagai jenis karya yang mengadopsi, mengadaptasi, mentransformasi berbagai jenis produk seni rupa dari desain grafis, interior, media massa dan perniagaan, beragam rupa dan benda dari khasanah budaya massa: kalender, sticker, poster film, iklan, komik, sampul majalah, dan lain-lain.

Selain itu, mereka juga merancang presentasi karya layaknya tim penata interior pusat belanja di kota besar. Desain interior pusat perbelanjaan, gejala arsitektur urban yang saat itu mulai bermunculan di Jakarta, juga dimasukkan dalam definisi seni rupa yang telah diperluas itu. Dalam pameran tersebut sudah terlihat bahwa berbagai jenis seni rupa yang muncul dalam budaya massa diupayakan untuk diterima jadi bagian nyata dari praktik seni rupa, tanpa pandangan hirarkis mana yang lebih seni, lebih tinggi, atau lebih rendah. Tapi, sekaligus, tetap ada upaya untuk bersikap kritis terhadap gejala komersialisasi yang megiringi kehadiran berbagai jenis produk budaya massa tadi, setidaknya terlihat dari berbagai karya yang menunjukkan pendekatan satir dan parodi. Harap diingat juga bahwa di Indonesia, setidaknya sejak pertengahan 70-an, saat industri iklan Indonesia mulai marak bersamaan dengan menguatnya industri produk konsumen dan pers, banyak rekan-rekan seniman yang bekerja sebagai perancang artistik di perusahaan iklan. Gendut Riyanto (almarhum), FX Harsono, Haris Purnama, Oentarto, dan lain-lain, semua pernah bekerja atau menguji keterampilan dan kehalian mereka di perusahaan iklan. Jadi, sebagai seniman, mereka memang bergaul di dalam industri iklan, ikut melahirkan dan menyebarkan berbagai ikon dan kode budaya massa ke masyarakat. Sementara di sisi lain, boleh jadi karena masih menyimpan sikap kritis sebagai intelektual dan aktivis kebudayaan, mereka berupaya juga untuk-paling tidak-menertawai diri sendiri dengan membuat karya bernada satir dan parodi terhadap berbagai produk konsumsi dan gejala gaya hidup hiper-konsumsi itu.

Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa hubungan iklan dan seni rupa di Indonesia-atau juga ditempat lain di dunia-adalah hubungan yang intim, yang hampir selalu diikuti dengan hadirnya sikap cinta dan benci. Kita tahu, misalnya, karya-karya Wang Guangyi adalah parodi atas iklan dan merek-merek produk konsumsi ternama yang membanjiri China belakangan ini. Tapi, secara paradoksal karyanya bisa juga kita lihat sebagai bagian dari takluknya karya itu di bawah kungkungan merek-merek ternama yang dipopulerkan iklan. Tanpa pinjaman dan rujukan pada sejumlah ikon merek terkenal, karya-karyanya akan susut jadi sekedar apropriasi gambar-gambar cetak dari masa Revolusi Kebudayaan di China. Meskipun demikian, upaya meminjam dan merujuk pada ikon yang tumbuh dalam budaya massa seperti itu, seperti telah saya nyatakan di awal, adalah sah adanya dalam seni rupa kontemporer. Tak ada hirarki tentang sumber-sumber penciptaan suatu karya seni dalam proses produksi artistik seni rupa kontemporer. Merujuk pada iklan atau kaleng bir sama sahnya dengan meninjam petikan dari kitab suci. Sebagai konsekuensinya, tidak lagi mudah bagi kita untuk menuding: siapa memanfaatkan siapa? Sikap kritis kita hari ini membutuhkan energi kreatif dan sikap ideologis yang jauh lebih kompleks dari sekedar menolak atau menerima komersialisasi dalam budaya massa.

20 tahun sudah berlalu sejak pameran Pasaraya Dunia Fantasi. Kini kita berhadapan dengan sejumlah karya yang dirangkum dalam acara pameran seni rupa bertajuk: "Artvertising, Refleksi Budaya Massa Indonesia dalam Seni Rupa." Tajuk yang memikat dan menantang perhatian dan pemikiran. Tak salah kalau kita berharap bahwa akan ada sejumlah pembaruan dalam karya-karya yang tampil, baik jenis maupun pendekatan kreatifnya. Kalaupun itu tidak terjadi, dugaan saya adalah karena cara pandang dan pemahaman kita pada umumnya masih terselimuti oleh cara pandang steoreotype terhadap iklan dan berbagai jenis produk budaya massa, sikap yang campur-aduk antara cinta dan benci.

Sikap semacam itu boleh jadi terbentuk karena hanya melihat kenyataan dari permukaan saja, dan tidak berupaya menyusup jauh ke akar persoalan. Dunia iklan tidak akan rusak atau runtuh hanya karena dicubit dengan karya berbau satir dan parodi. Alih-alih malah karya semacam itu menjadi corong pengeras suara, amplifier bagi produk yang dijadikan sasaran kritik. Apa yang awalnya diniatkan jadi pemangkas kekuatan iklan, malah berubah jadi pupuk yang menyuburkan kekuatan merek yang awalnya mau dipangkas.

Soal lain adalah kenyataan bahwa dunia iklan punya dorongan modal dan kompetisi yang sedemikian nyata di aras persaingan perniagaan global. Dengan dorongan itu, produktivitas dan kreativitas bisa digenjot sampai titik paling ekstrim, dengan menyedot sumber energi kretaif apa saja, termasuk berbagai idiom baru dalam seni rupa kontemporer, lengkap dengan berbagai pilihan media dan teknologi yang dibutuhkan. Ada banyak produk yang kini beriklan dengan pendekatan site specific installtation, atau public space performance art (Adidas "Vertical Football" di Jepang), staged art photography-macam karya-karya Wang JingSong, street art (graffiti Sony P2P yang kontroversial memenuhi beberapa sudut kota besar di AS) video art dalam serangkaian layar, web art, dan lain-lain-semua sudah ditempuh oleh dunia iklan kontemporer.

Batas antara metoda, teknik, pendekatan, sampai berbagai pilihan medium antara iklan dan seni rupa kontemporer masa kini memang makin tipis atau bahkan kabur. Secara teoritis, setidaknya pemilahan masih mungkin dilakukan dengan cara menilik watak atau kualitas formasi estetik yang membangun kedua praktik jenis kegiatan itu. Iklan, karena tuntutan fungsi komersialnya, mensyaratkan komunikasi yang intens dengan perangkat simbolik yang jelas agar komunikasi-atau apa yang ingin disampaikan bisa tercapai. Untuk keperluan itu, pada umumnya iklan membutuh rujukan (pembanding) sekaligus tujuan (reaksi apa yang diharapkan dari pemirsanya) yang ditunjuk. Tanpa rujukan dan sasaran diluar dirinya sendiri, iklan jadi sulit membangun efektivitas komunikasinya. Makna iklan selalu diharapkan untuk sampai ke titik final.

Sementara itu, pada karya seni rupa-yang baik, tentu saja-rujukan dan tujuan itu justru disusun secara tidak langsung, berlapis-lapis, atau bahkan samar dan kabur sama sekali. Dengan demikian komunikasi yang tercipta bisa bersifat ambigu, berlangsung secara terputus-putus atau berlapis-lapis. Makna yang final ditunda atau dihindari-sehingga berbagai kemungkinan pemaknaan terus terbuka. Jika ujung komunikasi iklan adalah ajakan agar orang pasif dan bersedia membuka dirinya untuk menerima bujukan, maka komunikasi estetik seni rupa justru mendorong orang untuk aktif melakukan refleksi yang hening.

Pertanyaan yang tersisa kemudian adalah seberapa kreatif perupa kontemporer kita menanggapi iklan dan berbagai produk komsumsi massa yang ditwarkan? Sanggupkah mereka mengolah kreatifitas dan melahirkan karya dengan kekayaan metoda, teknik, bentuk, dan simbol-simbol yang melampaui kecanggihan iklan kontemporer? Apakah mereka justru terjebak hanya melulu mendekati iklan dengan sikap kritis yang tanggung-dengan satir, parodi, plesetan? Kalau memang cuma demikian, saya jadi teringat pada rekan saya, Hendro Wiyanto, yang kurang lebih pernah menyatakan: "Banyak seniman Indonesia bisanya main pelesetan. Tapi, seringkali akhirnya malah benar-benar terpeleset."

September 2007
Enin Supriyanto



sumber : http://www.garisart.com/

Tidak ada komentar: