Kamis, 06 Agustus 2009

Pelajaran dari Cina

(Tulisan ini telah dimuat di harian Pikiran Rakyat, Bandung, Sabtu 14 Juli 2007 di rubrik Khazanah)

SENI rupa Indonesia kini telah miskin wacana. Yang menguat hanyalah "wachina" seni rupa Indonesia.

Sudah barang pasti, pelesetan dan guyonan itu berpangkal pada kian banyaknya perupa Cina, yang karyanya diimpor di berbagai ruang pajang dan beragam ajang di Indonesia. Mulai di satu galeri yang telah timbul-tenggelam eksistensinya, di Galeri Nasional dan Museum Nasional yang miskin agenda bermutu, hingga ke perhelatan yang dianggap begitu prestisius semacam CP Biennale (yang sekarang sudah almarhum).
Kehadiran mereka mendapatkan apresiasi nilai tinggi hingga berlanjut pada transaksi finansial dengan capaian angka yang melangit. (Bahkan, kolektor kawakan sekelas Oei Hong Djien pun terheran-heran waktu mengetahui harga karya salah satu perupa Cina begitu tinggi, saat berpameran di Indonesia ketimbang ketika dia beli karya perupa yang sama saat berpameran Jerman).
Kerapnya frekuensi kehadiran karya mereka akhir-akhir ini, menjadikan publik seni rupa Indonesia telah cukup karib dengan nama-nama jagoan seni rupa (kontemporer) Cina seperti Yue Min Jun, Fang Lijun, Wang Guangyi, Feng Mengbo, Ju Ming, Zhang Xiaogang, Gu Wenda, Feng Zhengjie, Zeng Fanzhi, Li Zijian, dan masih segudang nama lainnya. Nama mereka telah dengan fasih menyelinap di sela lidah kita, tatkala menyebut nama perupa Handiwirman, Hanafi, Tisna Sanjaya, Sunaryo, Ugo Untoro, Budi Kustarto, Rudi Mantofani, Entang Wiharso, Agus Suwage, Bambang Pramudyanto, Nasirun, Sigit Santoso, dan lainnya.
Identitas visual mereka, yang beberapa di antaranya memanen reputasi tinggi setelah Tragedi Tiananmen 1989, sedikit banyak cukup menghunjam dalam ingatan masyarakat seni di sini. Bahkan, jangan heran beberapa seniman di Indonesia kemudian menjadi pembuntut (epigon) kreativitas mereka. Bukan belajar pada modus, cara berpikir, dan etos kreatifnya, melainkan sedikit banyak memindahkan aspek dan kecenderungan visualitasnya semata.
Projek negara
Fakta ini bukan merupakan realitas yang terpisah, karena dalam waktu berbarengan terjadi juga di belahan dunia lain. Virus "Cinamania" ini bukanlah fenomena lokal atau regional yang hanya dialami oleh Indonesia atau negara-negara di Asia Timur dan Asia Tenggara, melainkan telah menjadi fenomena global, karena para seniman asal Cina itu juga melakukan "penetrasi kultural" ke kawasan yang selama ini dianggap pusat seni rupa, yakni ke Eropa dan Amerika.
Tak hanya senimannya saja yang bermain. Sebut saja misalnya sepak terjang Hou Hanru yang mampu menjadi chief-curator pada perhelatan Venice Biennialle 2003 yang bergengsi itu, dan pada Istanbul Biennale 2007. Atau di London, Inggris, ada satu galeri seni rupa kontemporer, Red Mansion, yang secara khusus dihadirkan di sana sebagai salah satu etalase penting bagi seniman garda depan Cina, dalam upaya menembus dominasi seni rupa Eropa-Amerika yang telah berlangsung berabad-abad.
Di tengah-tengah fakta tersebut, ada realitas lain (yang terlewatkan diketahui oleh banyak di antara kita) yang sedang dikonstruksi secara sistematis dan serius oleh pemerintah serta elemen masyarakat seni-budaya Cina, yakni projek filantropi budaya dan repatriasi budaya (ARTnewsletter Highlights, edisi 3 Januari 2006).
Projek pertama, filantropi budaya, dihasratkan oleh pemerintah dan publik budaya Cina untuk mengalokasikan dana (negara, perusahaan, dan pribadi) demi kepentingan kebudayaan dalam rencana strategis untuk menjadikan Cina sebagai kekuatan kebudayaan penting di dunia. Projek ini, dari pertama dan utama, tidak sekadar ditendensikan untuk mengeruk keuntungan komersial. Salah satu projek yang sedang direalisasikan adalah rencana pembangunan sekitar 1.000 museum seni di seluruh daratan Cina hingga tahun 2015 atau dalam 8 tahun mendatang! Ini untuk melengkapi keberadaan 2.000 museum yang telah ada hingga tahun 2002.
Menariknya, projek-projek kultural ini justru dipelopori oleh lembaga bisnis milik militer yakni Chine Poly Group Corporation yang dipimpin langsung perwira militer yang masih aktif, Mayor Jendral He Ping. Lembaga ini mulai bergerak di ranah seni budaya 1998 lalu.
Setali tiga uang, projek kedua yang juga berlangsung bersamaan adalah repatriasi budaya, yakni gerakan budaya untuk memulangkan kembali artifak, barang, dan karya seni Cina yang telah berada di luar negeri Tirai Bambu itu. Mereka menyiapkan dana awal sedikitnya 100 juta dolar AS (900 miliar rupiah) untuk membeli karya leluhur mereka sendiri, yang terberai ke luar negeri selama puluhan tahun hingga berabad-abad lalu karena berbagai alasan.
Praktik konkret yang tengah mereka mulai adalah membeli karya-karya pahatan batu dari zaman dinasti Qi Timur (550-557 M) dan barang-barang perunggu dari zaman dinasti Zhou Barat (1100-771 SM) yang ada di luar negeri untuk ditempatkan di gedung besar Poly Plaza yang dirancang sebagai museum di distrik Dongcheng, Beijing. Gerakan ini kemudian diikuti oleh lembaga swasta dan perseorangan yang beramai-ramai mengoleksi karya seni dan mendirikan museum.
Indikator pasar
Projek ambisius tersebut kiranya bukanlah isapan jempol belaka, kalau melihat laju perkembangan pasar seni rupa di sana yang sedikit banyak memiliki imbas positif pada pentingnya kehadiran banyak museum. Misalnya angka hasil pelelangan barang dan karya seni di semua balai lelang yang beroperasi di Cina yang untuk tahun 2003 saja telah menyentuh angka 579,9 juta dolar AS, dan melonjak hingga menjadi 1 miliar dolar AS (sekitar 9 triliun rupiah) sepanjang 2004.
Angka ini tentu tidak termasuk transaksi finansial yang terjadi di galeri-galeri atau studio-studio seniman. Belum lagi ada perhelatan Shanghai Art Fair yang selalu dibanjiri pengunjung dari seluruh dunia. Juga event Beijing Biennalle yang telah dianggap serius dan prestisius. Belum beragam perhelatan lain semisal China International Gallery Exposition (CIGE).
Ini bisa menjadi indikator penting, betapa Cina bisa diperhitungkan sebagai medan pasar seni raksasa yang bisa menggoyahkan dominasi Eropa dan Amerika Serikat. Jadi, bukan satu spekulasi tanpa perhitungan cermat kalau 2005 balai lelang Christie’s Asia yang sebelumnya beroperasi di Singapura serta-merta dipindahkan ke Beijing, untuk bertarung secara terbuka dengan Sotheby’s. Belum lagi balai lelang Bonhams yang ikut bermain di kawasan itu mulai 2007 ini.
Indikasi lain yang ditunjukkan oleh Artprice, satu lembaga informasi ihwal pasar seni dunia yang berkedudukan di Prancis, mempertontonkan lanskap menarik. Dalam laporan tahunan Art Market Trends 2006 yang diterbitkan awal 2007, tercatat bahwa pasar lelang di Cina telah merangkak naik dengan menangguk market share 4,9 % dari seluruh penjualan di pasar lelang sedunia. Dominasi memang masih dipegang oleh Amerika Serikat yang menyentuh angka 45,9 % kemudian Inggris (26,9 %), dan Prancis (6,4 %), namun diduga kuat pasar lelang Cina akan mendominasi dalam 10-15 tahun ke depan.
Dalam Art Market Trends 2006 juga tercatat 500 seniman top dunia (baik yang masih hidup ataupun telah meninggal) yang menguasai pasar lelang dunia berdasarkan harga jualnya dalam kurun satu tahun terakhir. Pablo Picasso, dalam daftar itu, menempati peringkat teratas, disusul Andy Warhol, Gustav Klimt, dan seterusnya. Di antara 500 nama itu, 37 di antaranya terdapat nama-nama perupa Cina, seperti Zao Wou-Ki yang berada di urutan ke 30, Zhang Xiaogang (38), hingga nama-nama yang telah populer di Indonesia seperti Yue Minjun (144), Ju Ming (155), Fang Lijun (185), Wang Guangyi (214), atau Zeng Fanzhi (223). Nama-nama itu telah "menyusup" di antara nama besar Edgar Degas, George Braque, Jean Dubuffet, Wassily Kandinsky, Jeff Koons, Damien Hirst, Touluse-Lautrec, Rembrandt van Rijn, Auguste Rodin, dan lainnya.
Reputasi mereka di pasar lelang dunia bisa dibandingkan dengan maestro kita Affandi yang berada di urutan 381 atau seniman Belgia yang berproses di Bali, Le Mayeur de Merpres Adrien Jean (1880-1958) yang berada di peringkat 255.
Cina dan kita
Kilasan paparan di atas telah memberi salah satu penampang penting dari fenomena budaya yang terjadi di negara pemilik Tembok Raksasa itu. Negara memiliki peran serta komitmen yang dibarengi dengan dukungan kebijakan jelas dan konkret, sehingga berimbas secara mutualistik terhadap pelaku seni budaya di sana untuk melakukan geliat kreatif dengan lebih progresif. Di dalamnya, perupa, kurator, galeri, dan lembaga kebudayaan lain menjadi salah satu elemen penting yang bergerak menjadi kreator dan aktor di dunianya.
Beberapa dari mereka, seperti disebut pada awal tulisan, merupakan perupa papan atas yang telah mampu mengubah sistem dan cara berpikir dalam laku kreatifnya sebagai seniman. Sebagai contoh kecil, mereka tak canggung lagi memberlakukan diri sebagai konseptor atas satu karya yang kemudian eksekusinya dikerjakan oleh para "tukang". Mereka juga mengakomodasi sepenuhnya perkembangan teknologi untuk membantu eksekusi karya kreatifnya.
Siasat kreatif yang mampu membedakan kreator sebagai konseptor dan tak harus sebagai eksekutor inilah, yang antara lain menjadikan seniman Cina lebih profesional ketimbang seniman Indonesia. Belum lagi kesadaran untuk membangun jejaring dan keterlibatan mereka dalam perhelatan internasional. Kemudian kemampuan mengasah talenta dalam kerangka sebagai seorang ilmuwan, dan bukan dalam kerangka sebagai seorang tukang, menempatkan diri seniman sebagai kreator yang mampu mengeksplorasi gagasan, bukan sekadar mengekploitasi objek-objek benda sebagai lahan kreatifnya.
Memang tidak mudah mempraktikkannya. Tetapi, ketika kita melengahkannya, perupa Cina akan semakin deras menyerbu banyak galeri atau ruang pajang di Indonesia, dan kemudian menepikan seniman lokal. Di sisi lain, galeri-galeri di Indonesia yang telah kuat menjadi "algojo" penentu eksistensi sebagian seniman, menguatkan diri dengan membentuk asosiasi. Sementara, para seniman jangan-jangan telah mulai tipis spirit komunalitas dan kebersamaannya. Sehingga, dimungkinkan dengan gampang digoyang atau dirobohkan karena tanpa kepemilikan daya resistensi yang memadai.
Sepertinya, kita harus mau belajar dari spirit dan substansi kreatif para kreator Cina itu dan bukan sekadar meniru artifak hasil kreatifnya semata. Kecuali kalau kita memang ingin betul-betul menjadi bangsa epigon yang hobi mengekor.
Atau kita memang bangsa (pem)buntut? ***
Kuss Indarto, Kurator seni rupa, tinggal di Yogyakarta.

sumber : http://kuss-indarto.blogspot.com/




Tidak ada komentar: