Selasa, 04 Agustus 2009

Di Tengah Gairah Transmedia, Tebaran Kode, dan Kemasan Hasrat

Written by Administrator
Thursday, 06 August 2009 00:44


Terkait perihal seni rupa Indonesia, atau seni rupa di mana pun, apakah yang masih menarik kita perbincangkan pada hari-hari ini? Di era serba ada dan serba mungkin seperti sekarang, adakah yang masih “tersembunyi”? Apa yang belum dikreasi seniman hari ini? Adakah karya-karya itu yang masih menggetarkan hati, yang masih mengganggu pikiran, atau yang masih memukau kita? Suwarno Wisetrotomo mengulas perkembangan seni lukis mutakhir di Indonesia.



Deretan pertanyaan itu, saya kira, tetap aktual dan relevan ketika kini pada dasarnya semua orang adalah seniman atau kreator. “Karya seni” bisa digubah oleh siapa saja, dengan material dan segala cara, juga dengan hasrat apa pun di baliknya. Setiap saat menyaksikan karya seni rupa --di ruang-ruang pameran, di galeri, di balai lelang, di studio-studio seniman yang mentereng, penuh fasilitas, terpisah dari tempat tinggalnya, atau studio-studio seniman yang pengap, penuh sesak, berebut ruang untuk berkarya dan untuk tidur, dan sebagainya-- yang mempermainkan daya resepsi dan daya ingat; seperti pernah melihat di lain tempat, di buku-buku, di katalogus, di internet, di website, di galeri-galeri, dan lain-lain.

Kemudian bermunculan pertanyaan usang. Misalnya, siapa meniru siapa, siapa mencuri siapa, siapa mengapropriasi siapa, untuk apa meniru, mencuri, atau mengapropriasi? Pertanyaan usang, bahkan kurang bermutu, tetapi tak terelakkan. Namun sesungguhnya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu penting karena menyangkut dasar pemikiran, landasan filosofis penciptaan, atau menunjukkan persepsi estetik seorang seniman. Apakah yang dilakukannya berhenti sekadar meniru, mencuri, dan meng-copy, ataukah di baliknya terdapat hasrat untuk meledek, memarodikan, atau melakukan perlawanan ideologi. Belum lagi ketika dunia pasar hadir begitu massif dan menjadi fakta yang massif pula.

Pasar hadir dan mengepung dengan logika-logikanya sendiri --misalnya, mana yang sedang diminati, yang sedang menjadi tren, yang bisa “dimainkan”, dan sejenisnya-- yang (biasanya) mengabaikan reputasi seniman, catatan kritis para penulis atau kritikus. Akibatnya, seperti tampak telanjang di sekitar kita, pasar yang asyik dan sibuk dengan dirinya sendiri serta tak jarang seniman berada dalam posisi sebagai “sang korban” tanpa mereka sadari. Maka, pertanyaan lama (juga usang) kembali muncul: untuk apa dan apa gunanya karya seni?

Gairah Transmedia

Jika seni modern memercayai tentang misteri, kemajuan artistik, keterampilan master, orisinalitas, kebaruan, seni sebagai ekspresi bernilai adiluhung (high art), dan nilai-nilai sejenis, maka era kontemporer diindikasikan merupakan “perlawanan” atas semua keyakinan itu. Perihal misteri sudah menjadi persoalan yang lebih terbuka, bahkan menjadi profan; kemajuan artistik dan keterampilan master lebih sebagai persoalan “main-main” yang didukung dengan fasilitas teknologi yang semakin canggih; perihal orisinalitas dan kebaruan bukan persoalan yang penting karena semua bisa dilakukan tergantung konteks, dan hasrat yang ingin dikomunikasikan; dan perihal adiluhung tak lagi menjadi keyakinan karena pada dasarnya seni sudah menjadi bagian dari persoalan sehari-hari.

Melihat realitas semacam itu, maka yang terjadi adalah tantangan dalam hal pembacaan dan pemaknaan, karena yang terhidang di sekitar kita adalah produk karya seni, yang beragam varian bentuk, gagasan, presentasi, dan kepentingan. Desain, kriya, fungsi, non-fungsi, fotografi, dua atau tiga dimensional, dan berbagai elemen lainnya menyatu dalam ungkapan seni multimedia atau di bawah payung besar seni rupa.

Lalu sejumlah teoretisi mengatakan, the end of art (Arthur Danto), atau Gianni Vattimo mengupayakan untuk mengembangkan suatu landasan filosofis dalam memahami akhir modernitas dan akibat-akibatnya bagi dunia seni dan ilmu pengetahuan, yang diuraikan dengan menarik dalam The End of Modernity. Pernah pula ditengarai dengan bersemangat tentang berakhirnya seni lukis dan ungkapan sejenis lainnya. Di Indonesia perlu ditengok kembali pernyataan Dede Eri Supria sekitar 30 tahun lalu. Ia mengatakan, terjadi kebangkrutan kecenderungan seni lukis realistik, yang dipicu oleh merebaknya kecenderungan abstrak atau seni rupa non-representasional.

Apakah beberapa pernyataan itu menandakan adanya praktik seni yang mati? Sama sekali tidak! Karena memang pernyataan itu bukan menunjuk pada matinya (salah satu atau salah sekian) praktik seni. Melainkan terkait dengan dasar filosofi, pembacaan, dan pemaknaan atas karya seni. Terkait dengan praktik seni, yang terjadi justru sebaliknya, yakni semua jenis praktik seni demikian marak dan demikian hidup. Teknik, material, cara dan gaya ungkap nyaris tak terbatas; dari yang paling konvensional (lukisan, patung, grafis) hingga yang penuh dengan semangat terobosan. Tidak saja terkait dengan eksplorasi medium, melainkan juga semangat lintas disiplin dan kehendak untuk mengolah keragaman medium.

Para perupa seperti Entang Wiharso, Agus Suwage, Teguh Ostenrik, Rudi Mantofani, Budi Kustarto, Handiwirman Saputra, Bambang “Toko” Witjaksono, S. Teddy D., Nano Warsono, Andre Tanama, Agapetus, Ari Dyanto, Yuli Prayitno, Wedhar Riyadi, Samsul Arifin, Dona Prawita Arisuta, Uji Handoko, Bunga Jeruk Permata Pekerti, Ayu Arista Murti, Radi Arwinda, Faisal Habibi, Terra Bajrhagosa, Ariswan Adhitama, dan Sutrisno terus bergerak mengolah berbagai material. Para perupa ini tidak saja melukis di atas kanvas, melainkan juga mengolah material tembaga, baja, besi, kain, kayu, fotokopi, memanfaatkan lahan kosong, tembok, ruang parkir, atau benda-benda temuan lain untuk karya instalasi dinding atau karya tiga dimensional.

Latar belakang disiplin mereka juga tidak selalu linier; misalnya disiplin seni lukis dan hanya terus melukis. Tetapi lebih dari itu, mereka menjelajahi berbagai kemungkinan: melukis, mematung, menggubah karya-karya objek tiga dimensional, di mana saja, kapan saja. Pantas dicatat adalah sikap mereka yang sama intensifnya, sama seriusnya dalam menanggapi setiap material, setiap ruang, dan setiap peristiwa.

Semua gejala itu menunjukkan dengan jelas suatu kecenderungan kuat bahwa seni rupa hari ini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Sekritis apa mereka dalam merespons sesuatu, tetap saja ketika berkarya lebih didasari sikap main-main dan bersenang-senang. Sepertinya tak ada ritual yang sakral, tak ada lagi ruang yang wingit, tak ada lagi renungan untuk menunggu ilham yang datang. Semuanya bisa direspons dengan cara riang. Namun, jangan lupa, letupan-letupan kritis, sinis, kadang menyodok keras, justru sering datang dari sikap dan cara ungkap semacam itu.

Tebaran Kode

Seliar-liarnya sikap, seperti saya sebut baru saja, bahwa pandangan dan sikap kritis para perupa muda ini justru muncul dari gaya yang tampak penuh canda tawa itu. Setiap bentuk yang digubah pada dasarnya adalah kode yang mengisyaratkan “sesuatu” (gagasan atau pesan tertentu) dan yang pasti adalah isyarat dari semangat zaman. Jika perbincangan ini, misalnya, dikerucutkan hanya di area seni lukis, maka akan terlihat kode-kode terbaru terkait dengan sikap para seniman menghadapi realitas hari ini.

Karya-karya dengan kecenderungan realistik masih menempati urutan pertama, bahkan masih dominan. Dalam kecenderungan ini, akrobatik teknik masih menjadi “taruhan” bagi para penganutnya, baru kemudian kekuatan gagasan yang ingin dikemukakan. Tentu saja dengan segenap variannya, seperti bisa dilihat pada karya-karya Dede Eri Supria, Chusin Setiadikara, Sutjipto Adi, Agus Suwage, Melodia, Yuswantoro Adi, Agung Mangu Putra, Hadi Soesanto, dengan segenap turunannya.

Kecenderungan kedua yang masih dominan adalah mereka yang berada di jalur eskpresif dan dekoratif, seperti ditunjukkan Nyoman Erawan, Heri Dono, Tisna Sanjaya, Eddie Harra, Pande Ketut Taman, Putu Sutawijaya, Made Sumadiyasa, Mahendra Mangku, Dedy Sufriadi, Farhan Siki, hingga generasi Lugas Silabus.

Kecenderungan ketiga adalah para perupa muda yang berproses dengan pendekatan bersenang-senang atau canda-ria. mereka banyak menggunakan pendekatan ornamentasi, komik, kartun, parodi, pastiche, disertai dengan semangat melawan dominasi; dominasi arus utama, dominasi wacana, atau dominasi pasar (meski ujungnya adalah terciptanya pasar baru). Inilah seni rupa hari ini; ketika yang personal, yang sosial, yang komunal, yang politik, yang marah, yang kecewa, yang cinta, yang cengeng, berpadu/dipadukan menjadi bahasa yang cair dan berbeda-beda. Berhadapan dengan karya-karya mereka --sebutlah Bambang “Toko” Witjaksono, Nano Warsono, Wedhar Riyadi, Samsul Arifin, Uji Handoko, RM Soni Irawan, Arie Dyanto, Iwan Efendi, Terra Bajrhagosa, dan nama-nama lain sezaman-- terasa intim sekaligus (bisa) terasing. Mengapa intim, karena bahasa ekspresi, bentuk, dan rupa yang digunakan menjumput dari yang sehari-hari ada dan terjadi di sekitar kita.

sumber : http://www.visualartsmagazine.info/

Tidak ada komentar: