Selasa, 04 Agustus 2009

Memaknai Seni Perhiasan Kontemporer

Written by Administrator
Thursday, 06 August 2009 00:55


Helen W. Drutt English pernah mengatakan “there should be only one way a designer can deal with the human body – jewelry!” Perhiasan pun tidak sekedar pemanis penampilan tapi merupakan sebuah tanda, identitas sosial maupun kultural. Alvi Lufiani membahas perkembangan desain perhiasan kontemporer.



Perhiasan merupakan objek penghias tubuh manusia yang dikenal sejak zaman dahulu kala. Hal ini dapat dilihat pada zaman Mesir kuno. Ratu Mesir yang legendaris, seperti Nefertiti dan Cleopatra, menggunakan berbagai macam perhiasan dari ujung rambut sampai ujung kaki. Perhiasan-perhiasan itu terutama digunakan pada hari-hari khusus, sehingga membuat penampilan mereka makin memesona dan memancarkan keagungan seorang ratu. Seperti halnya make-up yang dipakai, perhiasan itu dipercaya memiliki kekuatan gaib dan khusus diperuntukkan bagi seorang ratu tanpa bisa dialihkan atau dipakai orang lain.

Begitu pula di Indonesia. Keberadaan perhiasan pada masa lampau, khususnya untuk para raja, ratu, dan keluarganya, memiliki bermacam bentuk, gaya, serta bukan sekadar penghias dan pelengkap penampilan tubuh, melainkan juga punya makna simbolik tertentu. Perhiasan bangsawan umumnya dibuat para perajin khusus yang terpilih. Sedangkan perhiasan yang dipakai pada saat-saat tertentu, seperti pada penobatan atau ulang tahun raja dan acara kerajaan lainnya, para pandai emas itu harus melakukan ritual khusus, seperti berpuasa dan bersemadi sebelum merancang perhiasan yang akan diwujudkan --hal yang jamak dilakukan seorang empu atau ahli keris.

Fungsi perhiasan pada zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara juga bervariasi. Perhiasan dapat berfungsi sebagai alat pertukaran, tolak bala, komoditas berharga, dan tentu saja penunjuk status sosial. Sebuah fungsi yang tidak pernah berubah dari dulu sampai sekarang. Para bangsawan menunjukkan kekuasaan dan tingginya status mereka melalui gemerlapnya perhiasan yang mereka kenakan. Hal ini diperkuat dengan digunakannya pattern atau motif, desain, dan bentuk-bentuk tertentu perhiasan yang hanya boleh dikenakan keluarga kerajaan tanpa adanya akses bagi orang kebanyakan untuk mengenakannya. Pattern atau jenis perhiasan khusus tersebut kerap diasosiasikan dengan simbol aristokrasi yang eksistensinya sudah sangat dipahami masyarakat luas.

Pada tataran berikutnya, perhiasan akhirnya mengalami perkembangan menjadi lebih modern. Hal ini ditandai dengan penggunaan alternatif material, yaitu non-precious material, seperti kerang, gelas, kaca, keramik, sampai karet, plastik, dan kain. Seorang pionir pengguna material alternatif adalah Rene Lalique, seniman Art Nouveau asal Prancis yang sebelumnya dikenal orang sebagai seniman stained glass dan pembuat botol parfum. Lalique kemudian beralih menjadi desainer dan pembuat perhiasan menggunakan material yang sangat tidak biasa pada zamannya, seperti kerang dan kaca. Karyanya mendapat sambutan hangat, terutama setelah dikenakan seorang selebriti terkenal pada saat itu. Hal ini cukup mengejutkan ketika masyarakat masih sangat tergila-gila menggunakan emas, platina, dan berlian sebagai bahan utama perhiasan.

Fenomena itu menjadikan awal terbukanya peluang penggunaan material alternatif selain emas, perak, dan platina sebagai material utama perhiasan. Para artis dan desainer perhiasan, baik di Amerika maupun Eropa, mulai giat bereksperimen dengan menggali bentuk-bentuk dan material baru dalam karya-karya perhiasan mereka. Dapat dikatakan bahwa perhiasan kontemporer berawal dari tidak relevannya nilai moneter material yang digunakan untuk membuat perhiasan. Orang mulai menghargai nilai sebuah perhiasan tidak semata dari berapa kadar emas yang dipakai atau berapa karat berlian yang ada. Perhiasan mulai punya posisi dominan dalam mempengaruhi pikiran seseorang dan menjadi “body-conscious”. Uniknya, eksklusivitas perhiasan juga dapat luntur ketika kehadirannya tidak lagi melihat aspek kelamin atau umur tertentu dan golongan mana yang mengenakannya, sehingga perhiasan menjadi lebih fleksibel dan egaliter.

Berangkat dari kondisi tersebut, perhiasan kontemporer menjadi semakin menarik dan mulai mendapat perhatian, khususnya dari para jeweler, serta mendapat penggemar khusus seperti halnya pencinta dunia seni rupa lainnya. Hal yang sangat menarik pada sebuah perhiasan adalah adanya hal-hal besar dari sesuatu yang relatif kecil. Seperti dikatakan Oppi Untracht, “it is a tribute to the skill of jewelers that such a diversity of expression can be achieved in relatively small scale objects”. Walau pada perkembangannya perhiasan kontemporer juga banyak yang berukuran besar, perhiasan berukuran kecil relatif lebih populer bagi masyarakat.

Keistimewaan lain dari perhiasan, ia merupakan objek yang punya kedekatan personal dengan si empunya. Beberapa aspek atau cerita pribadi dalam perhiasan biasanya hanya diketahui si pemilik dan kadang si pembuat perhiasan. Ada beragam kisah yang melekat pada sebuah perhiasan. Misalnya sebuah cincin yang memuat kisah bahagia dan haru ketika dilamar sang pujaan hati, bros peninggalan keluarga yang diberikan seorang ibu kepada putrinya pada hari pernikahan atau perhiasan yang mengingatkan seseorang pada seseorang yang istimewa yang meninggalkan dirinya. Sehingga, ketika perhiasan itu sedang tidak dipakai, ia menjadi sebuah karya seni yang pribadi. Perhiasan dapat menghidupkan sebuah hubungan yang kuat antara objek dan pemiliknya. Suatu hal yang jarang atau tidak dimiliki karya seni visual lainnya.

Pada perkembangannya selanjutnya, dunia seni perhiasan mulai terbagi menjadi tiga kategori, yaitu fine jewelry, costume jewelry, dan art atau studio jewelry. Fine jewelry, sesuai dengan namanya, adalah jenis perhiasan yang terbuat dari logam mulia dan batuan berharga, seperti berlian. Sedangkan costume jewelry dapat berupa perhiasan yang banyak terdapat di department store, memiliki desain yang up to date dan berhubungan dengan fashion. Jenis yang terakhir, yaitu art atau studio jewelry, adalah perhiasan yang terdapat di galeri atau menjadi koleksi museum.

sumber : http://www.visualartsmagazine.info/

Tidak ada komentar: