(Teks ini dimuat dalam katalog pameran "Up & Hope", di D'Peak Art Space, 8-27 Agustus 2009. Foto karya Budi "Swiss" Kustarto, Ketika Itu, 2009)
[Pertama]: “Mengenang” Booming
Masa-masa boom seni rupa yang hingar-bingar tampaknya luruh sudah. Masa bulan madu pada kurun 2007-2008 yang menghinggapi para perupa di kawasan Asia itu—tentu termasuk perupa Indonesia di dalamnya—banyak memberi guncangan yang terasa cukup fenomenal. Pada beberapa segi bisa pula dikategorikan sebagai “keajaiban” karena banyak hal belum pernah terjadi sebelumnya, seperti melesatnya harga karya seorang seniman yang jauh di atas perkiraan.
Fenomena tersebut, yang bisa terlacak dari deretan angka-angka, menyeruak dari rumah-rumah lelang yang bertebar di seantero jagad. (Tentu saja menyebut data kuantitatif yang berasal dari balai lelang terkadang bisa diasumsikan memberi bias pemahaman oleh sebagian kalangan karena diduga mereduksi beberapa hal yang substansial berkait dengan seni, yakni soal nilai-nilai). Kita bisa menyimak dan menyuplik banyak data dalam Contemporary Art Market 2007/2008 (Artprice Annual Report) yang dirilis pada pertengahan 2009 oleh lembaga Artprice dan FIAC yang berkedudukan di Paris.
Dari laporan itu, di antaranya bisa diketahui ada 9 nama perupa kontemporer Indonesia yang masuk dalam deretan 500 Besar seniman dunia yang karyanya terjual dengan harga tertinggi di bursa lelang, yakni I Nyoman Masriadi (berada di urutan 41), Agus Suwage (122), Rudi Mantovani (142), Putu Sutawijaya (152), Yunizar (176), Handiwirman Saputra (250), Budi Kustarto (316), Jumaldi Alfi (384), dan M. Irfan (481). Nama-nama itu menyeruak di antara sekitar 160-an seniman papan atas China, antara lain Zhang Xiaogang, Zeng Fanzhi dan Yue Minjun yang masing-masing berada di urutan kelima, 6 dan 7. Mereka juga menyelip di antara nama-nama perupa kelas dunia dewasa ini yang publik secara bersama telah mafhum kualitas pencapaian estetiknya, seperti Jeff Koons, Jean-Michel Basquiat, Damien Hirst, serta Richard Prince yang secara berurutan berada di deretan pertama, 2, 3 dan 4.
Dalam “kerumunan” itu juga tercetak nama-nama besar lain yang karya-karyanya begitu penting dan berpengaruh dewasa ini, seperti Takashi Murakami yang berada di urutan 8, Keith Haring (16), Anish Kapoor (18), Rudolf Stingel (20), Yoshitomo Nara (21), Banksy (22), Anselm Kiefer (25), Cindy Sherman (26), Gilbert & George (28), Julian Schnabel (47), dan ratusan nama top lain. Ada belasan nama seniman India juga Jepang di dalamnya. Termasuk pula beberapa gelintir nama seniman Korea, Taiwan, Pakistan, Thailand, Filipina, dan lainnya. Dengan berderetnya ratusan nama seniman Asia dalam daftar 500 Besar seniman terlaris di dunia itu, kekuatan kualitas karya seniman Asia tampaknya mulai diapresiasi dengan baik, meski tetap dengan dugaan kontroversinya. Misalnya dugaan adanya konspirasi para pemilik modal China yang mengangkat keberadaan seniman China lewat kekuatan kapitalnya. Entahlah, barangkali “politik kesenian” seperti ini juga terjadi pada kasus yang serupa dengan kecenderungan pem-Barat-an seni rupa untuk menghegemoni seluruh kekuatan seni rupa dunia.
Apapun, entah itu bagian dari kekuatan yang dikonstruksi lewat konspirasi ataupun berlangsung dengan “alamiah”, faktanya, kekuatan pasar seni rupa di Asia telah merangsek dengan sangat mencengangkan. Gelembung pasar seni (buble market) yang kian membesar dalam kurun boom 2007-2008 telah menghasilkan realitas yang tak bisa dielakkan, yakni: 10 Besar negara di dunia yang memiliki balai lelang terlaris, 5 negara di antaranya berada di Asia. Amerika Serikat—masih menurut Contemporary Art Market 2007/2008 (Artprice Annual Report)—menempati level utama dengan mengeruk hasil penjualan hingga menyentuh 348 juta Euro dari seluruh balai lelang yang beroperasi di sana. Berikutnya berturut-turut adalah Inggris (262 juta Euro), China (259 juta), Prancis (15 juta), Taiwan (14 juta), Singapura (13 juta), Italia (10 juta), Jerman (6 juta), Uni Emirat Arab (4) juta, dan Jepang (3 juta). Data ini sedikit banyak telah memberi indikasi yang tegas akan kuatnya geliat pertumbuhan pasar (lelang) seni rupa di dunia, sekaligus luruhnya dominasi pasar Eropa dan Amerika Serikat atas kawasan lain yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Dengan asumsi angka penjualan sebesar 641 Euro juta pada negara-negara Amerika Serikat dan Eropa (yang masuk 10 Besar) berbanding 293 juta pada negara-negara di Asia(yang juga masuk 10 Besar), maka dengan kentara mempertontonkan potensi yang besar bagi kekuatan Asia, terutama China, untuk membalikkan posisi dengan mendominasi pasar seni rupa pada kurun waktu 10-15 tahun ke depan.
Potensi ini juga dapat ditengarai oleh kekuatan lain yang mendukung dugaan dominasi pasar tersebut, yakni berdayanya balai lelang dalam menyerap pasar. Pada masa booming 2007-2008 yang lalu diketahui bahwa ada 10 balai lelang terkuat di dunia berdasar besaran angka penjualan tertinggi. Dua peringkat teratas masih dihegemoni oleh dua legenda balai lelang karya seni dari kekuatan “Anglo-Saxon”, yakni dua Titan yang selalu bertarung saling mengalahkan: Sotheby’s dan Christie’s. Sementara 6 dari 10 Besar balai lelang berpengaruh di dunia sekarang berada dan dimiliki oleh para pemodal (di) Asia, yakni Poly International Auction Co.,Ltd yang konon sahamnya dimiliki oleh lembaga militer pemerintah China, lalu China Guardian Auctions Co., Ltd., Borobudur Chinese Contemporary Auction Ptd.Ltd., Ravenel Art Group, Zhong Cheng Auctions Co.Ltd, Shanghai Hosane Auction Co., Ltd., dan Beijing Council International Auctions. Detil data atas balai lelang berikut angka-angka perolehan dalam tahun 2008 dapat disimak dalam tabel di bawah ini:
Peringkat Balai Lelang Perolehan Tahun 2008
1 Sotheby’s € 14,536,000
2 Christie’s € 14,403,900
3 Phillips de Pury & Company € 8,706,150
4 Poly International Auction Co.,Ltd € 7,189,350
5 China Guardian Auctions Co., Ltd. € 6,791,400
6 Borobudur Chinese Contemporary Auction Ptd.Ltd. € 5,721,540
7 Ravenel Art Group € 5,712,374
8 Zhong Cheng Auctions Co.Ltd € 5,452,460
9 Shanghai Hosane Auction Co., Ltd. € 5,159,200
10 Beijing Council International Auctions € 4,663,950
Sumber: Contemporary Art Market 2007/2008 (Artprice Annual Report), p. 18
Kilasan informasi di atas memberi sepercik gambaran atas situasi pasar global yang berkembang pada kurun buble market ketika beberapa “keajaiban” terjadi. Angka-angka itu bisa saaja tidak cukup akurat, namun secara umum pasar bergejolak secara positif, dan Asia (terutama China) dengan meyakinkan merangsek naik menjadi kekuatan pasar seni rupa dunia yang pantas dicermati oleh pemilik hegemoni, Eropa dan Amerika Serikat.
Namun fenomena tersebut memang masih betul-betul menjadi tanda tanya besar, seperti halnya buble sabun yang gampang menggelembung namun juga dengan singkat meletus dan lenyap tanpa sisa. Ini ditengarai oleh situasi ekonomi global yang tiba-tiba redup dengan drastis pada pertengahan 2008. Kondisi euforia pasar seni yang melambung mengawang-awang, tiba-tiba seperti dihempaskan jatuh dari keadaan semula. Banyak pihak memberi penanda atas gejala berputarnya situasi pasar ini pada kurun Oktober 2008 yang disebut sebagai “Black October”. Setelah “berpuncak” pada peristiwa pelelangan karya Damien Hirst di Sotheby’s London tanggal 15-16 September 2008, selanjutnya pasar bergerak turun secara signifikan. Bila sebelumnya angka-angka hasil pelelangan bergerak pada kisaran 80%, maka pada bulan Oktober menukik tajam. Semua turun drastis! Sotheby’s hanya mampu mencatat angka 27%, Christie’s hanya mencapai 45%, dan Phillips de Pury & Company tak lebih dari 46%.
Dan selanjutnya bisa ditebak. Dengan cepat kondisi ini bergerak dengan gegas untuk lalu menular kemana-mana, termasuk di Indonesia, hingga kini. Dan bersama-sama publik belum tahu, sampai kapan situasi paceklik seperti ini akan berlangsung.
[Kedua]: Booming dan Implikasinya
Di seberang surutnya masa-masa penuh hingar-bingar dalam pasar seni rupa, tampaknya, banyak persoalan yang bisa ditimba. Booming seni rupa yang sempat berlangsung sekitar 2 tahun terakhir ini telah memberi pengantar publik seni rupa atas ragam tema perbincangan—dengan segala risiko dan pro-kontra yang nyaris selalu menyertainya. Dalam kajian budaya popular, realitas ini tidak bisa dilepaskan dari pandangan terhadap hakikat kebudayaan itu sendiri yang bergantung pada konteks produksi dan distribusinya, serta juga pada konteks konsumsi dan resepsinya. Dalam pemahaman yang lebih meluas atas hal tersebut, beberapa hal bisa ditengarai sebagai “isu” perbincangan.
Pertama—dan yang paling mengemuka tentu saja—adalah masalah angka-angka rupiah yang berdenting dengan deras di gendang telinga. Ini menjadi “wacana” (!) tersendiri yang penuh hingar-bingar di tengah kerapnya frekuensi pameran yang kian tak terbendung jumlahnya. Ihwal angka-angka itu, tentu kita telah jamak mengikuti dari beragam media, termasuk “media” gosip antar-kawan, antar-seniman di sekitar kita. Ada yang berujung pada problem paradigmatik yang menyoal uang sebagai alat ukur utama dalam membincangkan problem seni rupa. Di samping ada pula yang yang menyoal problem pasar dan uang sebagai bagian yang bersifat komplementer (bukan primer) bagi progres wacana kreatif dalam seni rupa. Artinya, dengan berkurangnya hamburan denting rupiahpun, sebenarnya, jagad seni rupa tidak akan terpengaruh untuk tetap berupaya bergerak mencari dan menemukan kebaruan-kebaruan.
Kedua, bergesernya problem kontemporerisme di tengah-tengah publik seni rupa. Publik tiba-tiba digayuti oleh sebuah pemahaman “definitif” yang “baru” bahwa seni rupa kontemporer adalah karya seni lukis yang mengacu pada kecenderungan visual dari karya para seniman yang berproses di China (daratan). Penyempitan pemahaman ini—meski naif dan konyol—telah sedikit menggeser pemahaman yang sebelumnya juga diasumsikan tidak kalah sempitnya, yakni bahwa karya seni rupa kontemporer adalah karya-karya dengan medium di luar seni lukis yang banyak diperkenalkan oleh Cemeti Art House selama bertahun-tahun sebelumnya. Saya kira—tanpa tendensi apapun—fakta ini menarik karena mengentalnya penunggalan paham yang dikemukakan oleh Cemeti itu sedikit demi sedikit luluh justru oleh kekuatan pasar dan masyarakat penyangganya. Bukan oleh pemilik sistem pewacanaan yang berpotensi untuk membangunnya, misalnya kampus atau akademisi seni. Saya harus menegaskan bahwa Cemeti Art House tak salah ketika dia mencoba mengonstruksi dirinya hingga menjadi sosok yang kuat dan mumpuni. Namun ketika dia (diasumsikan oleh publik) menjadi pusat pembenaran dan pemahaman atas “seni rupa kontemporer”, itu menjadi persoalan, karena kemudian berpotensi menciptakan pusat dan bukan pusat. Maka, pola partnership dalam proses pewacanaan seni rupa dimungkinkan terjadi.
Ketiga, adanya anggapan yang kuat bahwa booming seni rupa telah berpotensi mendangkalkan pencapaian kreatif para seniman. Tak banyak pencapaian estetik atau kreatif yang sangat signifikan di tengah laju pasar uang yang bergelimang saat booming menggejala. Seniman tak lagi banyak “menemukan”, namun sekadar “mereproduksi” atau “mengulang-ulang” karya kreasinya. Ini bisa jadi hanya asumsi dari kalangan yang cukup berseberangan dengan kekuatan pasar, atau memang sesungguhnya benar-benar tak banyak pencapaian kreatif yang kuat di kalangan seniman. Bahwa kuantitas pameran berlangsung kian banyak itu merupakan fakta. Namun ihwal peningkatan kualitas karya kreatif, perlu pengkajian lebih lanjut.
Lalu, apakah dengan surutnya booming sekarang ini, akan sangat berpengaruh pada situasi kreatif seniman dalam berkarya? Apakah pencapaian kreatif akan makin menguat karena seniman tidak lagi banyak digoda oleh helaan kepentingan pasar? Apakah eksperimen kreatif pada diri seniman senantiasa berjarak dengan soal yang berbau uang atau kapital?
[Ketiga]: Menera(p)kan Harapan
Dengan banyak mempertimbangkan realitas di atas, maka perhelatan pameran ini dibuat. Pameran Up & Hope merupakan sebuah upaya “ringan” dan tak begitu mengikat bagi pembacaan, pengharapan, sekaligus juga penilaian seniman dalam melihat situasi dunia kreatif (dan segala rentetan dampak ikutannya) setelah booming seni rupa 2007-2008 berakhir. Seniman peserta pameran ini diharapkan bisa memberi apresiasi sedikit lebih jelas, dengan caranya sendiri tentang situasi setelah booming ini. Dengan demikian, sebenarnya praktik kuratorial ini tidak mencoba mengintervensi lebih jauh terhadap seniman dalam melakukan eksekusi karya secara lebih ekstrem. Justru pendalaman atas tema-tema yang selama ini digeluti oleh seniman ini yang akan bisa digali lebih lanjut. Dari kecenderungan yang telah biasa dibuat oleh seniman peserta itulah lalu tema Up & Hope ini diletakkan, didalami, dan bisa disubversi. Sebagai salah satu kurator, saya memiliki banyak ekspektasi terhadap para perupa untuk mampu memberi pengayaan atas gagasan kuratorial ini dalam pengaplikasiannya secara visual.
Upaya ini menjadi menarik sekaligus berisiko karena mengajak sekian banyak seniman peserta dengan beragam pengalaman mereka. Ada yang telah terbiasa berpameran dengan keketatan tema kuratorial. Ada pula seniman yang sama sekali tak peduli dengan apapun tema kuratorial itu disodorkan. Ada lintas generasi antar-seniman peserta yang sedikit banyak memberi garis “pemetaan awal” untuk menyodorkan hipotesis atas pola pemikiran seniman dalam menyikapi problem kreatif dan ekstra-estetika yang diimplementasikannya dalam karya. Atas rentetan karya yang terpajang dalam pameran ini, publik—setidaknya saya secara pribadi—masih tetap berasumsi kuat bahwa para seniman ini tidak sekadar memposisikan dirinya sebagai homo aestheticus yang “sekadar” menggapai-gapai tangannya dalam kerangka kreatif atau estetik. Namun juga berpotensi sebagai homo socius atau makhluk sosial yang berkemungkinan untuk membaca tanda-tanda zaman yang berkelebat di ruang sosial yang bisa jadi berada di seberang lingkup disiplin dirinya sebagai seniman.
Berpijak dari pemahaman dan ekspektasi ini, publik bisa menyimak karya Reach Out yang dikreasi oleh Ugy Sugiarto. Seniman otodidak asal Wonosobo, Jawa Tengah ini tidak sekadar menerakan jejak artistiknya yang memukau lewat kemampuan melukis secara hiper-realistik, namun juga menampakkan intensinya pada problem sosial yang masih saja aktual di tengah-tengah banyak problem sosial kemasyarakatan di negeri ini. Karya Reach Out yang mengambarkan citra tangan kanan yang seolah menyembul keluar dari lumpur dan tampak antara menggapai dan hendak mencakar. Ini dengan lekas mengingatkan publik pada para korban Lumpur Lapindo yang mulai Juni 2006 hingga sekarang tak putus dirundung bencana buatan manusia. Bahkan terus menambah areal bencana dan korban. Malah secara sistematis media (bahkan mungkin didukung oleh negara) menafikkan persoalan dengan menggeser terminologi kasus tersebut dari Lumpur Lapindo menjadi Lumpur Sidoarjo, untuk merujuk pada lokus dimana bencana itu berada, bukan pada lembaga apa penyebabnya. Tangan berlumpur pada karya Ugy bagai sebuah resistensi untuk menggapai-gapai harapan. Ugy, saya kira, menjadi satu di antara sekian banyak perupa dalam pameran ini yang menggali problem sosial sebagai salah satu sandaran bagi proses kreatifnya.
Sementara deretan lain, ada karya Masih Ada Jalan Keluar yang dikreasi oleh I Made Widya Diputra a.k.a. Lampung. Ini merupakan satu dari sekian banyak perupa muda yang masih bersetia untuk menyuntuki aspek lirisisme dalam karya rupa. Dalam lirisisme ini segi kebentukan, komposisi, keseimbangan antar-obyek visual yang berada di dalamnya diberi porsi yang amat memadai, bahkan melampaui problem substansi karya yang menyoal tema di seberang aspek visual. Dan memang di situlah aspek lirisisme itu bergerak: mencari substansi lewat dan bersama kekuatan dunia (ke)bentuk(an). Saya menduga karya Lampung ini seperti meneruskan kontinuitas abstrak ekspresionime ala perupa Bali yang berproses di Yogyakarta yang amat popular sekitar satu dasawarsa lalu. Pola abstrak ekspresionisme yang dominan terpotong oleh beragamnya pilihan-pilihan kreatif muncul oleh dinamika seni rupa di Yogyakarta, juga oleh kebuntuan corak kreatif itu sendiri.
Tajuk karya Lampung seolah memberi indikasi bagi kesenimanannya yang berupaya menyusup dan mencari jalan keluar atau solusi bagi pencapaian dan kebaruan yang dimungkinkan terjadi. Karya Lampung tak sekadar menarik dari sisi visual karena kemampuannya untuk menaklukkan ragam material, namun juga karena secara “moral” bisa memberi pengayaan atas dunia bentuk pada keseluruhan karya dalam pameran ini. Setidaknya, selama ini, publik seni rupa terus diterpa oleh beberapa “trend” visual yang menarik namun juga sangat dikhawatirkan cukup “menyesatlan”. Belum lama berselang masyarakat seni rupa Indonesia digelontori oleh “air bah” lukisan ala “seni rupa kontemporer China” yang diimpor ke sini dan lalu diadaptasi, direpetisi bahkan dipindahkan secara “mentah-mentah” oleh banyak perupa Indonesia. Kemudian, ketika itu mulai surut, sekarang ini, ada “trend” merebaknya lukisan “street art” yang merujuk pada karya-karya bercorak graffity, stencil art, raw art, dan sebagainya yang bahan referensinya dengan mudah dijumput di dunia maya. Semuanya “mudah”, semuanya tiba-tiba menjadi “trend” dan menguasai garis pewacanaan bahwa seolah-olah itulah yang terdepan dan termutkahir pencapaiannya. Inilah bagian kecil dari ritus seni yang selalu bergerak mendinamisasikan dirinya. Ada yang bergerak alamiah, ada pula yang dikontruksi dengan implikasi untuk (terkadang) menggeser bahkan meniadakan yang lain. Inilah sebuah risiko.
Pameran ini saya kira berupaya untuk menumbuhkan dan merayakan optimisme bagi menguatnya keberagaman dalam seni rupa. Pasar yang melemah akan tetap dirayakan dengan pencapain-pencapaian kreatif yang terkadang lalai diagendakan ketika booming tiba. Harapan, memang, harus selalu dibangkitkan.
sumber : http://kuss-indarto.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar