Kamis, 06 Agustus 2009

Klinik Seni TAXU
dan Perubahan Persepektif Berkesenian

Wayan Arsana Dalam beberapa dasawarsa terakhir,seni rupa Bali mengalami dua perubahan paradigmatik. Pertama, perubahan dari orientasi penciptaan yang bersifat sosial religius yang dipraktekkan di pura, puri, balai banjar menuju orientasi penciptaan yang mengacu pada kepentingan pasar dalam hal ini turisme.Kedua, dari orientasi penciptaan yang mengacu pada kepentingan pasar ke orientasi penciptaan seperti yang dimaksudkan sebagai seni rupa kontemporer Indonesia.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam bidang seni rupa berbarengan dan menjadi bagian dari perubahan kebudayaan atau transformasi kultural secara lebih luas. Di mana dalam kurun waktu yang sama kebudayaan Bali sedang mengalami perubahan yang paradigmatik pula.Para pemikir kebudayaan melihat perubahan ini sebagai guncangan terhadap akar budaya.Serangan budaya baru menciptakan suatu penetrasi dan alienasi yang sampai menyentuh “daerah sakral” kebudayaan dan ruang batin manusia Bali.
Perubahan kebudayaan ini memperlihatkan berbagai sisi yang saling bertabrakan, baik pada tataran realitas maupun konsepsi.Di satu sisi pariwisata mempercepat Bali dan kebudayaannya masuk dalam wilayah baru yang lebih luas yaitu arena globalisasi, di mana sikapinklusif,berbagai bentuk keterbukaan,wacana multi kultural, transkultural harus dihormati. Tetapi apa yang dimaui dan kemudian diamini sebagai kebutuhan pariwisata adalah Bali yang eksotik, Bali sebagai konstruksi masa lalu. Budaya yang hendak dijadikan komoditas dirumuskan dalam proyek pariwisata budaya. Pengejawantahanya adalah seperti apa yang tersirat dalam wacana “pelestarian budaya Bali”. Kebudayaan Bali disangkarkan dengan berbagai hiasan dan sanjungan. Di sini esensi kebudayaan yang seharusnya dinamik dianulir, tentu dengan sejumlah kepentingan. Terciptalah suatu kondisi paradoks sebagai akar berbagai konflik kebudayaan di Bali.
Perubahan pertama berkaitan dengan dibukanya Bali sebagai daerah tujuan wisata, diikuti dengan kebijakan pembangunan yang menitikberatkan pada sektor pariwisata. Dalam era pembangunan pariwisata ini, berbagai citra Bali mulai diproduksi. Eksotisme khas Bali, ibarat menemukan benda antik tanpa terlalu banyak bersusah-susah dengan sangat cepat mencapai kondisi booming pariwisata. Ekonomi meningkat, kemakmuran meningkat. Dalam batasan tertentu konflik masih bisa diredam. Tidak terjadi tegangan. Perubahan diadaptasi tanpa konflik.
Eksotika jadi subject matter utama di atas kanvas para perupa Bali, baik yang akademis maupun yang non akademis. Pada tataran formal terjadi perkembangan pesat dan dibaca sebagai tonggak modernisme. Perjumpaan dengan prinsip formal barat, hasilnya adalah gado-gado yang renyah, ada yang memang khas Bali,ada yang secara retoris berusaha menempelkan citra. Di saat yang sama kampung-kampung pelukis meluas. Produktivitas karya yang luar biasa, menjamurnya infrastruktur. Benar-benar suatu era produktivitas Bali. Fanatisme budaya menguat.
Rekayasa konstruksi tidak selamanya dapat dipertahankan. Konstruksi melawan arus dinamik akhirnya melahirkan atau memicu berbagai polemik dan kemudian berbagai kubu pendapat serta berbagai sikap. Lebih dari itu yang pasti adalah telah terjadi semacam kritisisme budaya, namun terkadang dengan semena-mena pariwisata dijadikan tersangka.
Kini ketika pariwisata Bali mulai surut, model pembangunan Bali yang memprioritaskan pada pembangunan pariwisata mulai mengalami revisi, kritik bermunculan. Sementara seni rupa Bali juga mengalami kritisisme, gagasan-gagasan mulai diperluas. Muncul arus-arus pemikiran baru. Arus pemikiran lama diberontaki dengan soal-soal yang lebih luas, semisal: politik, ekonomi, sosial dan berbagai fenomena budaya global, dan lain sebagainya. Walaupun sebuah kenyataan terdapat pula arus penciptaan yang lain yaitu, generasi baru yang meneruskan gaya lukisan tradisional Bali. Polemik di seputar kebutuhan membangun wacana semakin meluas.
Satu sisi positif dari dua perubahan ini semakin menghantarkan seni rupa Bali pada forum yang lebih luas. Atau dengan kata lain terjadi proses nasionalisasi dan internasionalisasi. Apa yang kita sadari sekarang, seni rupa Bali berada dalam wilayah internasional, dalam lingkaran peta seni rupa dunia. Hal itu jelas menuntut perubahan cara pandang kita terhadap kesenian kita dan arena baru itu. Bila yang pertama baru sebatas pertunjukkan karya-karya lewat jasa ekspatriate maupun birokrat dalam berbagai misi kebudayaan, yang kedua sudah mengarah kepada kesadaran bahwa di samping menampilkan karya, juga yang tak kalah pentingnya adalah menampilkan wacana.
Dalam arena nasional maupun internasional seni rupa Bali akan berhadapan dengan sejumlah aturan main, pergumulan wacana, pembentukan aringan kerja, kompetisi, dialog dan negosiasi. Yang menarik adalah selain berhasrat lebih luas ternyata tanpa disadari Bali sebagai wilayah Indonesia di luar pusat (Jawa), rupanya telah menjadi sebuah medan seni rupa tempat digelarnya event seni rupa bertaraf internasional.
Kondisi-kondisi di atas mengharuskan tinjauan terhadap beberapa soal yang, walaupun berdimensi lokal, menjadi penting. Pertama, berkaitan dengan kata “kerja berkesenian’’ yang dulu hanya menekankan pada produk kekaryaan, sekarang harus dilengkapi dengan penekanan pada aspek pemikiran. Kedua, berkaitan dengan kondisi kesenirupaan di Bali yangmemperlihatkan beberapa kelemahan mendasar. Ketiga, berkaitan dengan usaha membangun budaya kritis, baik menyangkut persoalan seni rupa maupun kebudayaan secara lebih luas. Dalam konteks ketiga soal inilah visi Klinik Seni TAXU bisa dimaknai. Adapun visi itu adalah sebagai berikut:
1. Bila saat ini seni rupa dipahami sebagai kerja pemikiran dan kekaryaan, maka pertanyaan lanjutannya adalah bagaimana menciptakan suatu kondisi untuk memicu produktivitas pemikiran dan kemudian produktivitas karya. Sesuatu yang bersifat metodis bahkan teknis di dalamnya harus mengandung usaha-usaha strategis. Namun tentu saja pilihan itu tergantung pada kesadaran masing-masing. Komunitas adalah salah satu jawabannya.
Kebutuhan akan produktivitas pemikiran jelas memerlukan basis intelektual, tempat berbagai pemikiran digulirkan atau didiskusikan. Memang pernyataan ini terkesan eksklusif dan elitis. Sebagaimana sekarang ini, di era kebangkitan masyarakat sipil, berbagai komponen masyarakat secara swadaya tanpa berkaitan dengan kekuasaan berlomba-lomba membangun komunitas untuk mengelola agenda masing-masing. Sebuah komunitas adalah kebutuhan logis. Seni rupa saat ini dipahami sebagai bangunan wacana, di mana suatu produk pemikiran harus teridentifikasi dengan jelas.
Dalam arena dan wacana yang luas itulah, peluang kreatif dan eksistensi ditemukan kesahihannya. Baju identitas, sebagaimana dalam wacana Pluralisme, tidak dapat hanya berdasarkan kebedaan dan keunikan yang tidak punya dasar argumentasi. Eksistensi tidak dapat menunjukkan dirinya sebagai pemain yang berada di luar forum yang kemudian menjadi berbeda dan kemudian unik.
2. Berkaitan dengan kondisi kesenirupaan di Bali, sebagaimana beberapa kegiatan dan polemik belakangan ini menyiratkan beberapa ketimpangan diantaranya berkaitan dengan soal infrastruktur dan kemandulan wacana.
Infrastruktur atau berbagai fasilitas seperti; galeri,museum,fasilitas seni milik pemerintah terbilang cukup lengkap.walaupun dengan pengelolaan yang kurang mendukung iklim berwacana karena yang lebih menonjol adalah sisi bisnis.
Tingkat produktivitas karya yang begitu tinggi,berbagai event,pameran digelar di mana-mana ternyata tidak diikuti oleh perkembangan wacana yang cukup berarti. Di saat yang sama tumbuh kesadaran akan pentingnya peranan kritik. yang ada hanyalah model kritik jurnalistik. Berbagai peristiwa dan pemikiran yang dilontarkan tidak menghasilkan pemahaman yang jelas apalagi dapat dijadikan acuan. Kesimpang siuran tidak dapat dihindari. Sebabnya adalah tidak adanya institusi nilai atau dalam istilah Mamanoor,lemahnya suprastruktur.
Belakangan usaha-usaha pembangunan suprastruktur sudah nampak olehbeberapa lembaga dan perorangan. perlu dimunculkan lagi baik secara kuantitas maupun kwalitas untuk mendukung sebuah ruang dialog yang argumentatif.
3. Mengapa memakai istilah TAXU? Dalam wacana kebudayaan Bali kontemporer, taksu muncul menjadi istilah yang kian populer. Sebagaimana setiap polemik akan selalu diciptakan istilah-istilah kunci untuk memudahkan komunikasi dalam usaha memahami suatu objek persoalan. Taksu dalam hal ini bisa dikatakan menjadiistilah kunci dalam beberbagai perdebatan menyangkut pokok soal kebudayaan Bali yang semenjak beberapa dasawarsa terakhir semakin menguat. pihak-pihak yang ikut terlibat dalam berbagai polemik seolah sepakat untuk menggunakan istilah ini.
Beberapa contoh penggunaannya semisal: taksu alam Bali telah memudar, seniman bertaksu , karya bertaksu dan lain sebagainya. Penggunaannya sangat luas, mengandung makna pencapaian prestasi dan kejayaan budaya.Yang diperbincangkan adalah kebudayaan Bali yang jadi.Kebudayaan Bali yang bertaksu.Taksu menjadi lambang identitas budaya, menjadi jargon,semboyan yang lama-kelamaan menjadi parau.
Kini taksu bergeser maknanya dari dialektika menjadi euforia, semacam retorika budaya yang pemakaiannya mulai latah dan kemudian absurd.Terjadi semacam pendangkalan pemaknaan, dengan demikian perlu dikritik dari taksu menjadi TAXU, untuk memberi semacam pertanda perubahan cara berpikir. Tidak ada sesuatu yang ideologis di sini, pun tidak ada maksud menggugatsesuatu yang pantas dimaknai dengan taksu.
Mari mendiskusikan berbagai fakta maupun wacana untuk menemukenali apa-apa yang telah terjadi maupun apa-apa yang mau direkayasa sebagai sebuah konstruksi, dengan tetap mengacu pada penghormatan terhadap esensi kebudayaan yang dinamik tanpa harus takut kehiangan identitas. Kita telah menjadi warga dunia,ini fakta bukan retorika dan harus diawali dengan,”Upacara Me-TAXU”***

sumber : http://taxu.netfirms.com/

Tidak ada komentar: