Jalan Pintas Kurator Indonesia...
Putu Fajar Arcana dan Dahono Fitrianto
Kompas, 19 Maret 2006
Kalau Anda ingin jadi kurator di Indonesia, sangat mudah. Cukup paham sedikit teori perupaan, amati foto-foto lukisan, serta memiliki kemampuan menulis pengantar dalam katalog, serta merta Anda bisa disebut kurator. Ini membuktikan betapa seorang kurator berada antara memanfaatkan atau dimanfaatkan oleh pemilik galeri.
Praktik kuratorial semacam ini hanya melahirkan pameran-pameran dengan tujuan komersial. Memang bukan sesuatu yang terlarang. Tetapi, di situ seni hanya ditempatkan sebagai barang dagangan semata. Karena itu, dalam sejarah komersialisasi seni rupa kita pernah terjadi ”goreng-menggoreng”, di mana lukisan disamakan dengan lembar-lembar saham. Para ”penggoreng” berkepentingan nilai nominal lukisan melonjak tajam dalam waktu yang relatif singkat. Di situ keuntungan material sangat menjanjikan....
Keadaan ini pula yang turut campur melahirkan apa yang kemudian dikenal dengan boom seni rupa Indonesia pada awal tahun 1990-an. Pada saat itu sebenarnya secara berbarengan istilah kurator baru dikenal dalam dunia seni rupa kontemporer Indonesia. Setidaknya Jim Supangkat sudah mulai mengadopsi praktik kuratorial sebagaimana dilakukan oleh para kurator independen di Eropa dan Amerika Serikat.
”Kerja kuratorial itu sepenuhnya tidak komersial,” tegas Jim Supangkat yang pernah mengelilingi sejumlah museum seni rupa di Jepang sebagai pelajaran awalnya menjadi kurator. Waktu itu Jim bahkan telah menerakan kata ”kurator independen” dalam kartu namanya.
Kata ”independen” ini dalam sejarah seni rupa kontemporer Indonesia terasa aneh. Karena kata ini menjadi antitesa dari kemapanan kerja para kurator museum di Eropa dan Amerika Serikat sekitar tahun 1970-an. Para kurator yang tidak tertampung oleh museum menyelenggarakan pameran-pameran tandingan di luar museum, seperti ruang-ruang terbuka dan gudang. Sekitar awal tahun 1990-an, muncullah istilah ”kurator independen”, yang tidak hanya menjadi tandingan para kurator museum, tetapi juga menyimpan pengertian gerakan seni rupa progresif.
Di Indonesia tidak pernah ada institusi museum seni rupa kontemporer. Oleh sebab itu, pengertian kurator langsung menempel pada institusi seperti galeri komersial.
Bandingan
Lokakarya para kurator bertajuk ”The Multi-Faceted Curator” 6-11 Maret 2006 lalu di Jakarta dan Bandung secara jelas memberi bandingan betapa kerja kurator di Indonesia seperti meretas jalan tumbuh sendiri.
Kurator asal Perancis Keren Detton memang mengakui kerja kuratorial di Eropa pun sampai sekarang sebenarnya berbeda-beda. Ketika praktik kuratorial berkembang begitu pesat, seni rupa tak bisa lagi hanya dipahami dari teori-teori tentang seni rupa an sich. Di Eropa kemudian berkembang apa yang disebut critical curatorial studies, yang mengadopsi kajian-kajian dalam filsafat seni dan juga cultural studies. Bahkan, belakangan, menurut Jim Supangkat, kerja kuratorial menjadi sangat interdisipliner dengan berkembangnya kajian-kajian feminisme, sosial-politik, dan kebudayaan. Kerja kurasi kemudian lebih berorientasi pada masalah-masalah multikulturalisme. ”Zaman ini disebut sebagai curation on the move...,” kata Jim.
Keren Detton mengatakan, dalam praktik kuratorial di Perancis, yang memiliki tradisi museum cukup lama, pandangan kuratorial selalu berhadapan dengan promosi museum. Sementara di Belanda, sebelum seseorang menjadi kurator, ia harus magang terlebih dahulu kepada seorang kurator senior. Dan, di Inggris lebih mengembangkan pendidikan akademis para kurator.
”Kita seluruhnya tidak memiliki itu. Mungkin tertinggal antara 10-15 tahun,” ujar kurator Enin Supriyanto, yang turut menjadi peninjau dalam lokakarya kurator yang diikuti para kurator dari Asia dan Eropa itu.
Menurut pengamatan Enin, kurator yang kini ada di Indonesia boleh dikatakan sebagian besar otodidak. ”Mereka umumnya berasal dari para seniman yang kemudian banting setir menjadi kurator,” ujar dia. Itu artinya rata-rata kurator Indonesia tidak pernah mengecap pendidikan kuratorial sebagaimana umumnya kurator di negara-negara Eropa, Amerika, Jepang, China, dan Korea.
Berdasarkan kenyataan itu, pada akhir lokakarya Enin Supriyanto membuat satu proposal agar para kurator asing membantu kemungkinan membentuk lembaga independen pendidikan kurator. ”Ini yang kita butuhkan sekarang agar seni rupa kita tidak melulu mengabdi kepada kepentingan-kepentingan komersial,” kata Enin.
Apabila lembaga ini terbentuk, dia akan menjadi jalan pintas bagi ”pencetakan” para kurator yang benar-benar menguasai bidang pekerjaannya. Tidak sebagaimana yang terjadi sekarang, di mana para kurator seolah hanya dijadikan alat oleh galeri untuk membuka peluang pasar. Jika situasi ini terus-menerus berlangsung, seni rupa Indonesia tidak akan pernah mencapai satu pewacanaan yang progresif.
Tipuan
Kurator Agung Hujatnikajennong bahkan mengatakan kondisi kuratorial di Indonesia sekarang ini penuh dengan tipuan. ”Tidak perlu melakukan riset atau kajian-kajian mendalam, cukup buat satu pengantar di katalog pameran, kita sudah bisa jadi kurator. Ini sebenarnya tipuan...,” kata Agung.
Kerja kuratorial sebagaimana diadopsi Jim Supangkat dari Barat harus dimulai dengan mengolah tema, menyeleksi seniman, melakukan diskusi intensif dengan seniman, merancang penyusunan pameran dan katalog. ”Jadi, kanvasnya para kurator itu ruang pameran, bagaimana menyusun pameran agar orang mendapatkan sesuatu dari situ,” kata Jim.
Pada kita, tidak sebatas aktivitas seperti pameran, kegiatan semisal biennale saja memperlihatkan pola kerja seperti membuka toko. Karya-karya dikumpulkan dari berbagai seniman lalu dipajang di ruang pamer, sebagaimana memajang barang di toko-toko kelontong. Kerja kuratorial hanya dilakukan dengan metode mencocokkan karya dengan tema yang diusung biennale.
”Padahal, kerja kurator itu termasuk mewacanakan pameran sehingga mudah melacak duplikasi-duplikasi atau patahan-patahan dari sejarah seni rupa dunia. Sekarang ini kita tidak tahu seni rupa kita seperti apa,” ujar Enin Supriyanto.
Akibat ketidaktahuan itu, seni rupa seolah-olah tidak memiliki jarak lagi dengan pasar. Nilainya selalu ditentukan oleh hitungan-hitungan nominal, yang dengan sangat mudah memancing spekulasi. Maka, hal yang lumrah kalau kesuksesan sebuah pameran selalu diukur dari seberapa karya yang terjual.
Biantoro, pemilik Nadi Gallery, mengakui bahwa dalam setiap pameran ia selalu mengukurnya dengan nilai-nilai nominal. ”Termasuk karya-karya instalasi, saya selalu tanya kepada perupanya berapa karya itu kalau dijual. Bukan apa-apa, tetapi untuk memudahkan kalau ada kolektor tanya,” kata dia.
Kendati begitu, ia menolak jika dikatakan selalu berorientasi pada keuntungan material. ”Saya selalu siap terhadap kemungkinan tidak satu pun karya yang terjual kalau gelar pameran,” tambah dia. Galeri miliknya memang beberapa kali menyelenggarakan proyek seni rupa yang melibatkan kerja kuratorial secara penuh, sejak penentuan tema sampai menggelar karya di ruang pamer.
Bagi perupa Jeihan Sukmantoro, cara kerja kurator Indonesia membuatnya tidak percaya pada lembaga itu. Karenanya, hampir setiap pamerannya ia olah sendiri. ”Paling-paling kita perlu pengantar dalam katalog saja,” kata dia.
Perupa Nyoman Nuarta juga mengungkapkan hal yang sama. Bahkan, ia sama sekali tidak pernah bekerja sama dengan kurator. ”Kurator itu syaratnya pertama-tama ia harus lebih pintar dari senimannya,” kata dia.
Komentar-komentar itu menunjukkan betapa dunia kuratorial di Indonesia sangat dekat pemaknaannya dengan pengertian gallery owner di Barat. Di Eropa, misalnya, galeri-galeri komersial hampir selalu dikelola oleh gallery owner yang memiliki pendidikan akademis art history. ”Mereka menyeleksi karya, memajang, dan memberi pewacanaan sendiri,” kata Jim Supangkat.
Kerja kuratorial yang sampai ke Indonesia bahkan lebih ”miskin” dibandingkan dengan aktivitas gallery owner di Barat. Situasi itu tidak saja disebabkan oleh ketiadaan institusi, seperti museum (seni rupa kontemporer) dan lembaga pendidikan art history serta kursus singkat menjadi kurator, tetapi juga ”kerakusan” pasar telah membawa arah seni rupa condong mengutamakan nilai nominal. Sungguh bisa dihitung dengan jari para seniman kita yang melakukan eksperimentasi sebagai dasar pewacanaan seni.
Oleh sebab itulah seni rupa kita seolah tidak bergerak ke mana-mana. Bahkan, dalam lokakarya para kurator itu, tampak benar bahwa kita tertinggal dari negara-negara ASEAN lain, semisal Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Negara-negara ini terus bergelut dengan dunia pewacanaan melalui proyek-proyek seni, entah itu melakukan redefinisi terhadap koleksi museum peninggalan kolonial sebagaimana dilakukan di Filipina atau secara berkala mengundang kurator-kurator internasional seperti terjadi di Vietnam.
Sementara kita cukup sibuk dengan urusan-urusan pasar yang nanti bisa jadi membuat penulisan sejarah seni rupa kita dipenuhi oleh ledakan-ledakan seperti boom seni rupa dan goreng-menggoreng itu. Dan artinya, kita sangat miskin dalam pencapaian estetik....
sumber : http://www.mediabolon.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar