Kompas, Minggu, 13 Juli 2008
Belakangan ini beredar cukup luas pertanyaan ”apakah seni kontemporer” yang punya tujuan praktis menemukan pengertiannya yang bisa digunakan untuk mengenali ciri- cirinya pada karya seni (rupa).
Keinginan itu tidak akan mudah terpenuhi karena ruang makna ”seni kontemporer” kosong. Isi ruang makna ini jejak-jejak pemikiran modern yang sudah tidak dipercayai lagi tetapi menjadi pangkal persoalan seni kontemporer. Karena itu, upaya terbaik memahami seni kontemporer adalah mengenali jejak-jejak pemikiran modern—berkembang sampai pertengahan abad ke-20—pada ruang maknanya.
Pemikiran modern itu percaya dunia modern bersifat homogen. Tidak terpecah-pecah oleh kebudayaan etnik dan tradisi-tradisi. Dalam pemikiran modern, dunia yang terpecah-pecah ini mencerminkan dunia masa lalu.
Dipengaruhi keyakinan itu, persoalan tradisi dan budaya tidak populer pada pemikiran modern. Para pendukungnya tidak suka menggunakan istilah ”kebudayaan modern” walau tidak sampai menyebut istilah ini salah.
Dalam teori-teori budaya ada keyakinan seni adalah tanda penting budaya. Dalam pemikiran modern pemahaman ini tersingkir. Bila seni dikaitkan dengan budaya akan muncul bermacam-macam seni mengikuti keragaman tradisi. Pada pemikiran modern, hanya ada satu seni di dunia modern yang homogen, yaitu seni modern.
Premis-premis seni modern ini muncul di Eropa pada abad ke-19 melalui pemikiran filosof-filosof Kant dan Hegel. Sejumlah pandangan melihatnya sebagai terusan perkembangan seni pada kebudayaan Barat. Namun lebih banyak yang melihatnya sebagai pemikiran yang muncul bersama pemikiran modern lain—kebanyakan muncul di Eropa juga.
Seni modern itu berkaitan dengan dunia pemikiran. Seperti dikemukakan Hegel, muara dari semua ekspresi seni adalah filsafat. Mencerminkan pemikiran modern yang mengutamakan kemajuan, seni modern percaya juga pada keperintisan dan seni diniscayakan berjalan mendahului zamannya. Karena itu, seni modern disebut juga seni avant garde. Demi terobosan seniman berada di luar zamannya, di luar masyarakat dan di luar semua konvensi sosial.
Dipengaruhi materialisme—yang mendasari seluruh pemikiran modern—seni modern mengutamakan kekonkretan (dalam upaya memahami ”the real”). Karena itu, manifestasi seni modern yang utama adalah seni rupa (membawa sifat konkret). Persepsi ini membuat seni rupa menjadi ”jantung” seni modern. Pemikiran seni terkonsentrasi di dunia seni rupa ini dan sejarah seni rupa modern dipercaya mencerminkan sejarah seni modern. Infrastruktur seni modern yang paling kompleks, megah, dan mahal—museum-museum— adalah infrastruktur seni rupa.
Seni modern dekat juga dengan ilmu pengetahuan yang menandai kejayaan dunia modern. Ilmu pengetahuan menggali dunia material dengan kepercayaan pada obyektivitas. Seni modern adalah seni yang diarahkan mencari obyektivitas (mencari the real presence of being).
Seperti ilmu pengetahuan, seni modern mengenal otoritas yaitu pranata (lembaga dan orang-orang) yang dipercaya paling menguasai ”ilmu seni” dan mampu menentukan cutting edge perkembangan yang menandakan terobosan baru. Persepsi ini membuat seni modern merupakan bagian infrastruktur seni yang dikendalikan otoritas seni dan bukan bagian dari budaya apalagi masyarakat (kebanyakan).
Pemikiran modern itu bertahan cuma enam dekade pada abad ke-20. Sesudah itu muncul tanda-tanda keruntuhan. Salah satu tanda penting keruntuhan ini adalah gagalnya proyek besar konstruktivisme menghimpun semua pemikiran dalam perkembangan seabad untuk menemukan esensi yang bisa menunjukkan hukum-hukum alam dan kehidupan (universal laws).
Seperti kisah keruntuhan menara Babil, upaya mengatasi hambatan bahasa dalam penghimpunan pemikiran seabad itu goyah ketika dikritik melalui gramatologi Derrida, khususnya tentang pengertian ”presence”. Kritik ini seperti membuka kotak pandora berbagai ”keburukan” pemikiran modern tanpa bisa dicegah muncul ke permukaan.
Pada pergolakan itu, pemikiran budaya muncul ke permukaan. Pangkalnya adalah sikap kritis melihat pengabaian budaya dan masyarakat pada pemikiran modern yang membuat dunia modern yang dibayangkan sama sekali bukan representasi kehidupan (modern) masa kini. Dari kritik ini muncul pemikiran baru yang berpangkal pada pertanyaan, lalu apakah ”budaya masa kini” (contemporary culture ).
Pemikiran seni dipengaruhi pergolakan itu dan memunculkan perubahan besar dalam memahami seni. Berkembang kesadaran bahwa seni bukan bagian dari infrastruktur seni yang dikendalikan otoritas seni, tetapi bagian dari budaya. Seniman tidak berada di luar masyarakat dan karena itu ekspresi seni berkaitan dengan budaya yang sedang dipersoalkan yaitu contemporary culture. Dari sini muncul istilah ”seni kontemporer” atau contemporary art.
Dua pemikiran berlawanan arah bisa disebutkan sebagai agenda pencarian makna seni kontemporer. Di satu sisi, bagaimana menempatkan budaya yang mencerminkan tradisi dan keragaman ke lingkup budaya kontemporer. Di sisi lain, bagaimana melihat globalisasi yang melahirkan keseragaman—seperti prediksi pemikiran modern— dalam budaya kontemporer.
Di dunia tari, teater, dan musik yang diabaikan pemikiran seni modern (sastra senantiasa dikaji terpisah) pemahaman tentang keragaman budaya tidak menimbulkan pergolakan. Sejak dekade 1960 muncul upaya mencampurkan estetik modern dan estetik tradisi-tradisi. Maka di dunia tari, teater, dan musik, gejala seni kontemporer sudah bisa dibaca.
Pencapaian itu tidak terlihat di dunia seni rupa yang di masa lalu merupakan ”jantung” pemikiran seni modern. Terjadi upaya sulit melepaskan pemahaman seni yang sudah terstruktur. Pergolakan pemikiran yang terjadi tidak bisa melepaskan diri dari epistemologi Cartesian (mendasari pemikiran modern) yang bipolar. Kendati terkesan paling heboh, gejala di dunia seni rupa ini memacetkan pemikiran seni kontemporer dan membuat ruang makna ”seni kontemporer” masih kosong.
Ketika pertanyaan, apakah seni kontemporer meluas di Tanah Air, kehebohan di dunia seni rupa yang mencuri perhatian itu membangun sangkaan bahwa persoalan seni kontemporer adalah persoalan seni rupa. Di dunia seni rupa Indonesia, contemporary art, dibaca, dipahami, dan dikaji sebagai ”seni rupa kontemporer”, yang lepas dari ”seni kontemporer”. Terjadi distorsi pemahaman yang mengandung kebingungan karena tidak umum diketahui bahwa istilah ”art” dalam bahasa Inggris berarti ”seni” dan sekaligus ”seni rupa”—dalam bahasa Indonesia keduanya terpisah dengan jelas.
Pengertian ”art” dalam bahasa Inggris itu mencerminkan persepsi seni pada pemikiran modern yang sulit dipahami dan membuat peluasan seni modern ke tingkat dunia gagal karena membingungkan. Di dunia seni rupa Indonesia, muncul persoalan seni dunia yang mutakhir, kebingungan ini merambat ke pemahaman seni kontemporer.
Jim Supangkat Kurator Independen
sumber : http://koran.kompas.com
1 komentar:
Agan yg baik hati, saya permisi copas artikel anda buat ngerjakan tugas kampus. ^,^ Sankyou!
Posting Komentar