Karakter Pameran Berbagai Era
Written by Administrator
Thursday, 06 August 2009 01:04
Pertumbuhan dan perkembangan seni rupa Indonesia modern selama 80 tahun terakhir tak bisa dipisahkan dari penyelenggaraan pameran yang diadakan institusi pemamer. Agus Dermawan T. mengulas berbagai karakter pameran-pameran dalam berbagai periode di sejarah seni rupa Indonesia
Melalui pameranlah, karya-karya itu hadir ke mata publik, gagasan perupa tersosialisasi ke tengah masyarakat, dan karya-karya perupa terdistribusi ke banyak pihak. Dalam tilikan sejarah, pameran seni rupa Indonesia memiliki karakter berbeda-beda pada setiap zamannya.
Era Kunstkring: Dengan Harga
Pada 1930-an, institusi penyelenggara pameran yang paling dominan di Indonesia adalah Bataviasche Kunstkring. Bahkan institusi “lingkaran seni Batavia” ini punya gedung khusus yang dibangun P.A.J. Moojen di Jalan Heutszboulevard (kini Jalan Teuku Umar). Gedung itu kemudian dijadikan kantor imigrasi, lantas disulap jadi Buddha Bar yang kontroversial. Bataviasche Kunstkring lebih diperuntukkan bagi para perupa Hindia Belanda, walaupun sekali-sekali secara “sangat selektif” memprogramkan pameran pelukis bumiputra.
Institusi ini merupakan lembaga puncak seni rupa Hindia Belanda, karena ia membawahkan kunstkring-kunstkring lain di berbagai daerah, seperti Bandungsche Kunstkring, Semarangsche Kunskring, atau Surabayasche Kunstkring. Karena itu, institusi Bataviasche Kunstkring sering memamerkan karya-karya terbaik anggota kunstkring berbagai daerah dalam paket yang disebut “Bondscollectie”. Pameran bond yang cukup besar diadakan pada 11 Maret sampai 11 April 1937.
Pameran di Bataviasche Kunstkring tentu prestisius. Apalagi, institusi yang dikuratori Jan Frank dan dipimpin Nyonya De Loos Haaxman ini pernah menggelar koleksi P.A.Regnault, yang menyajikan lukisan Van Gogh dan lain-lain. Sehingga pameran selalu jadi pertunjukan yang menarik keinginan orang untuk menonton. Lantaran itu, pameran di sini mengenakan tiket 25 sen gulden sekali masuk. Siapa pun yang masuk harus dengan pakaian necis, formal, sopan, dan sedapat mungkin bisa berbahasa Belanda. Sehingga --seperti diceritakan Omar Basalmah-- bumiputra yang jelata penampilannya jangan harap bisa menonton.
Bagaimana dengan perangkat informasi dan apresiasinya? Bataviasche Kunstkring menerbitkan katalog hitam-putih yang ketika itu tentu dianggap bagus. Biasanya dalam katalog hanya terdapat sepercik prakata pengelola galeri. Namun, dalam penulisan riwayat hidup mereka tampak bersungguh-sungguh, walaupun tidak dalam kolom besar. Yang menarik, di setiap sisi kanan judul lukisan selalu terdapat harga. Misalnya: Emil Rizek, “Hanengevecht-Bali”, olieverf, paneel…. f. 75,-. Atau: L.Van den Berg, “Straatje in Oud-Batavia”, olieverf, doek …. f.125,-. Bagi mereka, pameran adalah juga forum penjualan.
Di Jakarta, pada kurun itu juga bergiat galeri milik penerbit dan toko buku Kolff yang disebut Kunszaal Kolff, di Noordwijk 13 (kini Jalan H. Djuanda). Sementara di Bandung, yang paling terkenal adalah St. Lucasgilde. Karena mereka mengacu pada penyelenggaraan Bataviasche Kunstkring, maka semua gaya acara dan perangkat apresiasinya mirip-mirip saja. Begitu juga kebijakan diskriminasinya atas bumiputra.
Era Jepang: Untuk Masyarakat
Kegiatan pameran Bataviasche Kunsktkring berakhir pada 1942, di kala Jepang datang. Jepang melihat diskriminasi institusi Belanda tersebut, dan mereka lantas mendirikan Keimin Bunka Sidhoso atau lembaga kebudayaan Jepang. Dalam lembaga ini dibentuk pusat latihan berkesenian dengan melibatkan seniman-seniman Indonesia senior, seperti Basoeki Abdullah, S. Sudjojono, dan Agus Djaya sebagai pelatih. Bahkan Keimin Bunka Sidhoso memberikan penghargaan juara bagi lukisan-lukisan terbaik yang dipamerkan. Sehingga seniman seperti Henk Ngantung dan Hendra Gunawan yang pernah memenangi kejuaraan itu punya kebanggaan sepanjang zaman.
Penjajah baru ini selalu mengorganisasi pameran dengan sangat bersungguh-sungguh. Jika Belanda merancang pameran seni rupa dengan eksklusif, maka Jepang justru membuka pintu pameran selebar-lebarnya untuk khalayak ramai. Sudjojono mengatakan bahwa cara Jepang ini untuk “cari muka”. Semboyan politik Jepang yang didengungkan ketika itu adalah “Bersatoelah Bangsa Asia”. Sementara semboyan yang lebih spesifik, yang di antaranya berkait dengan kebudayaan, adalah “Ajia-no Ajia” atau “Asia untuk Asia”.
Jepang memang sangat aktif menggiatkan pameran di berbagai tempat yang gampang diakses publik. Sejak Maret 1942 sampai April 1944, ada 14 acara pameran yang digelar. Jumlah luar biasa untuk waktu sesingkat itu. Pada zaman Jepang, reputasi rekor penonton pameran juga terpecahkan. Pergelaran “Tenno Heika: Techo-setsu” 1944, pameran memperingati ulang tahun Kaisar Jepang, dalam tempo 10 hari ditonton oleh 11.000 orang! Pameran yang melibatkan 60 pelukis Indonesia ini diselenggarakan di gedung Keimin Bunka Sidhoso, Jalan Noordwijk 39, Jakarta.
Pameran di era Jepang juga menerbitkan katalog, walaupun dalam jumlah tidak banyak dan dalam cetakan sederhana. Sehingga terkesan katalog itu hanyalah formalitas dan dokumen. Penjualan juga diadakan. Lantaran pada masa itu keadaan sosial ekonomi Indonesia sungguh susah, maka lukisan atau patung yang terjual terposisi sebagai “benda istimewa”. Itu sebabnya, perupa zaman itu selalu ingat, betapa sembilan lukisan Indonesia dalam pameran tersebut dibeli Pemerintah Jepang dan diikutkan dalam pameran keliling Asia Timur Raya.
Era Merdeka: Pesta Rakyat
Semangat ala Jepang itu berhasil menghinggapi jiwa para seniman Indonesia di masa merdeka. Sehingga para seniman pejuang tak terlampau ingin menggelar karyanya di gedung yang dianggap eksklusif. Andai di tempat khusus, seniman membuka pintu lebar bagi masyarakat banyak. Pameran Hendra Gunawan bisa diambil sebagai contoh.
Pelukis ini mengadakan pameran tunggal di Gedung Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Jalan Malioboro, Yogyakarta. Pameran yang diadakan pada 1946 itu merupakan pergelaran lukisan pertama pada era Indonesia merdeka. Dalam acara ini, Hendra melibatkan belasan gelandangan sebagai “pagar ayu” untuk menyambut Presiden Soekarno yang akan meresmikan pameran. Ide Hendra tentu bukan mencari sensasi, melainkan untuk meneruskan spirit keterlibatan seniman dengan rakyat yang masih menderita. Lalu pameran pun menjadi seperti pesta rakyat.
Visi pameran seperti ini juga menghinggapi hasrat Dullah, mantan pelukis istana Presiden Soekarno. Bahkan sampai dunia kesenilukisannya menginjak tahun 1970-an. Ia memilih berpameran di Aldiron Plaza, Blok M, Jakarta, daripada di galeri yang tertutup. Di Yogyakarta, ia memilih berpameran di Gedung Agung yang bisa didatangi masyarakat luas. Pameran seperti yang dilakukan Hendra dan Dullah ini hanya memerlukan katalog edisi terbatas. Lebih lanjut, apresiasi literer atau reproduksi karya dibuat dalam bentuk flyer karena bersifat massal.
sumber : http://www.visualartsmagazine.info/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar