Selasa, 04 Agustus 2009

Sedikit Catatan Sekitar Seni Patung

Written by Administrator
Thursday, 06 August 2009 01:24

Geliat seni patung di Indonesia menampakkan titik terang pada awal penghujung tahun 2009 ini. Maraknya pameran dan apresiasi publik terhadap karya-karya tiga dimensi ini memberikan angin segar di tengah muramnya peta perekonomian dunia. Asikin Hasan mengulas perkembangan terakhir seni patung di Indonesia.

Kini kita boleh gembira, kehidupan seni patung makin semarak. Dalam waktu dua atau tiga bulan terakhir ini saja, misalnya, kita menyaksikan beberapa pameran tunggal dan pameran bersama-sama seni patung di Jakarta. Belum lagi pameran patung yang luput dari pemberitaan media yang berlangsung di Bandung, Yogyakarta, dan pelbagai kota lainnya. Beberapa pameran itu memperlihatkan kecenderungan seni masa kini, dengan keragaman karya, idiom, dan media. Lebih menarik lagi, pematung atau mereka yang berminat pada seni trimatra dari kalangan perempuan makin meningkat pula.

Pameran tunggal seni patung Teguh Ostenrik (akhir April 2009) di Gedung Arsip Nasional dan pameran tunggal seni patung Noor Ibrahim (15 April-10 Mei 2009) di Kemang Icon, Jakarta Selatan, memperlihatkan semangat dan gelombang besar itu. Dalam dua tahun terakhir, di sebuah pabrik cukup besar di kawasan Tangerang, Teguh berkarya dengan bahan dasar limbah baja industri. Pelbagai citraan dihidupkannya, antara lain gambaran sosok yang tengah berdiri atau sosok tengah melangkah.

Dari semua itu, sebagian besar terpusat pada bentuk-bentuk yang mengingatkan atau setidak-tidaknya menyarankan wajah-wajah yang dingin, kaku, seperti mumi atau totem. Ada kesan primitivisme tertinggal di situ. Oleh sebab itu, agaknya pameran yang menampilkan karya-karya berukuran 20-250 sentimeter ini ditandai dengan tajuk “deFACEment”.

Teguh tampak mewarisi tradisi seni patung yang mengedepankan aspek pertukangan dan pekerjaan keras di samping gagasan di balik karya-karyanya. Kendati dibantu dua atau tiga asisten di pabrik itu , tak ayal, ia sendiri yang turun mengelas, membentuk, dan seterusnya. Padahal, bisa saja sepenuhnya dia menunjuk para artisan atau tukang untuk menggarap pekerjaan di lapangan, sementara dia duduk di belakang meja selaku konseptor, sebagaimana dipraktikkan para pelukis yang kini banyak membuat patung atau karya-karya trimatra.

Pematung Noor Ibrahim kurang lebih sama seperti Teguh; percaya pada keterampilan tangan. Dalam satu dekade belakangan ini, ia mengembangkan idiom sangat khas. Sesuatu yang ditemukannya secara tak sengaja dalam bekerja, dan mencari media ungkap lain di luar yang telah lazim. Dalam pameran tunggal pertamanya, “Palon” (2008), dan yang baru saja berlangsung, “Lamentation” (2009), Ibrahim memperlihatkan idiom dan karakter karya-karyanya yang khas itu.

Yang juga memperlihatkan aspek pertukangan sangat kuat dalam berkarya adalah pematung muda Redy Rahadian, 36, tahun. Hampir seluruh karyanya yang terbuat dari baja antikarat dikerjakannya sendiri. Latar belakang pendidikannya di bidang rekayasa otomotif, bukan seni patung, mengantarnya pada orisinalitas berkarya. Pada 25 November-16 Desember 2008, perkembangan terakhir karya-karyanya ditampilkan dalam pameran tunggal ketiga di Jakarta. Belum pernah terjadi dalam usia semuda itu seorang pematung telah menyelenggarakan tiga kali pameran tunggal. Semangat yang sama tampak pula pada pematung muda lainnya, misalnya Adi Gunawan dari Yogyakarta dan Septian Hariyoga dari Bandung.

Berkarya menggunakan objek temuan dan barang jadi juga mewarnai pameran patung dalam beberapa waktu belakangan ini. Munculnya karya berdasarkan objek memang bukan hal baru dalam kancah seni rupa. Sejumlah penulis kita bahkan kerap mengait-ngaitkan ini dengan Fountain, karya fenomenal tokoh kelompok dadaisme, Marcel Duchamp. Sekitar tahun 1917, untuk pertama kalinya Duchamp mengenalkan karya tersebut dalam sebuah pameran cukup bergengsi yang diselenggarakan The Society of Independent Artist Inc di New York.

Karya berupa urinal atau tempat kencing yang diberi tanda tangan R. Mutt itu pangkal dari dekonstruksi terhadap seni tinggi. Ketika itu, kapitalisme mulai memompa pelbagai barang dan produk industri yang diciptakan berdasarkan prinsip kegunaan dan juga enak dipandang mata ke dalam kehidupan masyarakat. Dengan memunculkan objek tersebut, Duchamp mencoba memancing pertanyaan mendasar; apa yang membedakan sebuah barang yang disebut sebagai “seni” dan “bukan seni”.

Langkah progresif yang dimulai Duchamp merupakan tanda-tanda akan munculnya arus besar dalam dunia seni, dari kecenderungan filosofis ke arah budaya populer. Di era 1960-an, gagasan tersebut disambut dan dikembangkan kelompok Pluxus, yang memunculkan media baru, seperti seni rupa video, seni rupa pertunjukan, objek, dan pelbagai eksperimentasi lainnya; sebuah upaya inklusivitas seni.

Andy Warhol dengan memanfaatkan ikon dunia pop mengangkat citra sablon dan fotografi setingkat seni lukis. Roy Lichtenstein, pelukis, pematung, dan pegrafis Amerika, menampilkan komik dalam karya-karyanya. Di Indonesia, munculnya Gerakan Seni Rupa Baru pada awal 1975, yang membawa semangat dan arah baru perkembangan seni rupa, dalam sejumlah pamerannya menampilkan pelbagai objek temuan dan barang-barang jadi.

Para pematung masa kini yang memperhatikan banjirnya produk industri menemukan tautan antara desain produk di satu sisi dan kaidah seni patung di sisi lain. Pematung muda Wiyoga Muhardanto, 25 tahun, misalnya, membuat patung mobil seukuran aslinya, dan dengan menekan tombol tertentu, pintu mobil bisa terbuka dan tertutup kembali. Seluruh karya yang ditampilkan dalam pameran tunggal di Selasar Sunaryo Art Space (Januari 2009) bertolak dari barang sehari-hari; tas tangan perempuan, AC, sepeda motor, kamera, mesin ketik, dan sebagainya.

Yang tak kalah provokatif adalah karya-karya yang disajikan pematung Yuli Prayitno pada pameran tunggal di Nadi Gallery (1-13 April 2009). Yuli secara intensif mengolah pelbagai material industri; mainan plastik anak-anak, papan tulis yang tak terpakai lagi, pentol korek api, kasur, karet silikon, dan lain-lain. Dengan media itu, Yuli mencoba mengangkat apa yang disebut orang Jerman sebagai “kitsch” atau kesenian sampah selaku idiom dalam karya-karyanya. Yuli, misalnya, membuat bentuk menyerupai hati yang kita kenal luas sebagai tanda cinta, seperti dalam roman picisan.

Pematung Nus Salomo mengembangkan gagasan seni patung melalui citraan pada dunia animasi dan game. Ia terpesona oleh wacana post-human, sebuah dunia rekaan di masa depan. Pameran tunggalnya, “Deus Ex Machina”, di Ark Gallery, Jakarta (April 2009), menampilkan patung rekaan gabungan bentuk antara manusia di satu sisi dan mesin di sisi lain.

Dalam pameran bersama “Fresh 4 U”, di Jogja Gallery, Yogyakarta (23 Januari-22 Februari 2009), perupa Tisna Sanjaya --yang juga sering menampilkan objek dalam karya-karyanya-- dalam pameran itu menyuguhkan Mobile Seniman, karya yang benar-benar menghadirkan sebuah mobil truk Isuzu 1974 yang pada bak bagian belakangnya dipenuhi tumpukan kanvas. Sedangkan bagian pintu depan digambari dengan wajah Yosef Beuys, tokok perupa kontemporer Jerman yang sangat terkenal.

Dalam pameran itu, turut pula dua pematung muda. Fransgupita, 29 tahun, dengan karya Engine Stop, membongkar mesin sepeda motor Kawasaki dan mengubahnya menjadi sesuatu yang menyarankan bentuk seekor burung. Yang satu lagi adalah Khusna Hardiyanto, 27 tahun, yang menggabungkan bagian tak terpakai dari sebuah gergaji listrik dengan sendok dan garpu.

Pematung lain yang kerap menampilkan objek sebagai dasar berkarya antara lain Rudy Mantovani, Yusra Martunus, Hardiman Radjab, Ichwan Noor, Komroden, dan beberapa pematung lain yang tergabung dalam Asosiasi Pematung Indonesia (API).

sumber : http://www.visualartsmagazine.info/

Tidak ada komentar: