Selasa, 04 Agustus 2009

Kontemporer Indonesia 1996-2006:
Reformasi, Perubahan dan Peralihan

“Sebagian dari pemuda-pemuda ini akhirnya berkompromi dengan nilai-nilai lama,
tetapi sebagian kecil mencoba mencari kebahagiaan dengan berpaling pada diri sendiri.”
Soe Hok Gie, “Sebuah Generasi yang Kecewa”, 1969

6 Desember 2005 yang lalu, di Gedung Purna Budaya Yogyakarta, saya menyampaikan beberapa pokok pikiran dan kritik saya terhadap penyelenggaraan Bienal Seni Rupa Yogya 2005 (Consciousness of Here and Now) dalam sebuah acara diskusi sebagai bagian dari rangkaian acara Biennale itu. Acara diskusi itu berlangsung malam hari dan cukup seru, meskipun yang hadir tak terlalu banyak. Keluar ruangan, saya bergabung dengan sejumlah seniman yang sedang duduk-duduk, ngobrol di teras depan gedung Purna Budaya, gedung yang jadi pusat pameran Bienal Yogya. Puluhan botol bir tergeletak di lantai. Seperti bisasa, ngobrol-ngobrol ini berlangsung secara lesehan ala Yogya. Di dekat saya duduk seorang perupa muda yang belakangan mulai giat berkarya, berpameran, dan karyanya mulai diminati galeri dan kolektor. Saya tanyakan padanya: “Jadi, siapa saja menteri yang diganti oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono malam ini?” Dia tidak segera menjawab. Malah, ia melihat saya dengan pandangan bertanya. Mungkin ia bingung, mengapa saya tiba-tiba mengajukan pertanyaan seperti itu di tengah obrolan ngalor-ngidul antar seniman malam itu. Dia balik bertanya: “Lhoh, emangnya ada pergantian menteri ya, Mas?”

Ya, beberapa minggu menjelang akhir tahun, berbagai media massa di Indonesia sebenarnya sudah ribut mempersoalkan desas-desus bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, presiden Republik Indonesia ke-5 yang terpilih melalui Pemilu—akan melakukan reshuffle dalam kabinet menterinya. Rupanya, di Yogya malam itu, tak ada seniman yang berminat atau memperhatikan soal itu. Padahal, pengumuman oleh Presiden pada saat itu sedang berlangsung di Balai Agung, yang tak seberapa jauh dari gedung Purna Budaya.

Tanggapan rekan seniman tadi terhadap pertanyaan saya itu tiba-tiba membuka soal yang agak mengganggu pikiran saya selama beberapakali berkunjung ke Yogya untuk bertemu dan mewawancarai sejumlah seniman, mengumpulkan bahan-bahan untuk buku ini. Ini kota Yogya. Seniman di sini, sejak masa tahun 1940-an sudah dekat dengan soal pergerakan politik, bergabung dengan pejuang revolusi kemerdekaan Indonesia. Sejumlah karya penting pada masa awal seni rupa Indonesia moderen muncul dari masa ini. Dan melalui karya-karya itu, seni rupa moderen Indonesia seperti mendapatkan dasar legitimasi bagi keberadaannya: nasionalisme. Sejumlah nama besar dalam seni rupa Indonesia moderen, juga muncul dari masa ini. Atau, tak usah terlalu jauh. Di akhir 1997, dan kemudian memuncak di tahun 1998 dan 1999, kota ini ikut bergolak dalam arus besar yang kemudian dikenal dengan istilah Gerakan Reformasi, gerakan massa, mahasiswa dan pemuda, juga seniman, yang menumbangkan kekuasaan Suharto dan rejim Orba-nya. Secara khusus misalnya periode menjelang Reformasi, dan 2-3 tahun setelah masa puncaknya di tahun 1997-1998, suasana politik ini boleh dikatakan mendominasi kesibukan sehari-hari para politisi, kalangan intelektual, juga para perupa di Indonesia pada umumnya. Sejumlah peristiwa seni rupa, juga karya-karya, menunjukkan dengan jelas bagaimana ekspresi para perupa terkait dengan soal-soal sosial-politik.

Tentu saja, akan sangat simplistis jika menganggap bahwa berbagai perkembangan dalam praktek seni rupa kontemporer Indonesia—terlebih dalam dua dekade terakhir ini—melulu terkait dengan perubahan-perubahan yang terjadi di lapangan sosial-politik. Cara pandang seperti itu akan mudah dikecam sebagai tindakan yang mensubordinasi seni (rupa) di bawah politik. Tapi, secara khusus jika kita perhatikan apa yang terjadi di Indonesia dalam periode 1996-2006, maka dalam waktu yang singkat ini, setidaknya pada paruh yang pertama, telah terjadi perubahan-perubahan yang sangat penting dalam peri kehidupan sosial-politik di Indonesia. Sedemikian pentingnya, sehingga menafikan pengaruhnya terhadap praktek seni rupa adalah hal yang berlebihan pula. Itulah sebabnya, sebagian dari esai saya kali ini perlu dimulai dengan upaya menjelaskan sejumlah soal yang menyangkut perubahan-perubahan di bidang sosial-politik itu. Dan disana-sini, akan terkuak berbagai dimensi hubungan yang terjadi antara perubahan-perubahan sosial politik itu dengan perubahan yang terjadi dalam praktek seni rupa kontemporer Indonesia 10 tahun terkahir ini. Perubahan dalam bidang seni rupa itu, pada akhirnya tidak sekedar terbaca pada perubahan yang nyata dalam kode-kode visual yang hadir dalam karya-karya mereka, tetapi juga pada kesadaran, motivasi, pandangan subyektif dari para seniman terhadap situasi sosial-politik dan budaya di sekitar mereka. Dengan cara ini, setidaknya saya berusaha memahami berbagai aspek perkembangan yang terjadi dalam praktek seni rupa kontemporer Indonesia secara “lengkap”: menelusuri konteks sosial-politik, membaca tanda-tanda visual, sekaligus memahami perubahan intensi dan motivasi subyektif para senimannya.

Untuk memulainya, perlu dinyatakan di sini bahwa sebenarnya seluruh seniman yang karya-karyanya dimuat dalam buku ini berasal dari generasi yang menjalani kehidupan masa kanak-kanak, remaja, dan masa mudanya dalam suasana sosial-politik yang tidak demokratis di Indonesia. Kekuasaan Suharto, presiden ke-2 RI yang otoriter itu, telah berlangsung selama 32 tahun. Kekuasaan politik Suharto baru berakhir di tahun 1998, saat ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden setelah digoyang oleh gerakan Reformasi. Gerakan Reformasi ini mendapatkan daya geraknya dari berbagai gejolak sosial-politik yang datang bersamaan dengan krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia Tenggara di pertengahan 1997.

Tetapi sejumlah tanda-tanda ketidakpuasan masyarakat Indonesia terhadap Suharto sudah mulai muncul secara cukup jelas sejak awal tahun 90-an. Dan, sejumlah seniman, dengan berbagai cara, sebenarnya sudah terlibat dalam aktivisme pro-demokrasi itu secara acak dan seringkali di bawahtanah. Dalam acara Binennale Seni Rupa Jakarta IX (Desember 1993-Januari 1994), misalnya, sejumlah seniman sudah memasukkan soal-soal sosial politik dalam karya mereka. Acara ini tidak hanya penting karena berhasil menampung karya-karya serupa itu dalam suatu acara pameran resmi dan besar di ibukota Jakarta, tapi juga berhasil memberi dasar legitimasi teoritis bagi berbagai pembahasan tentang wacana seni rupa kontemporer Indonesia sampai satu dekade berikutnya.

Dengan cara dan pendekatan berbeda, karya-karya Dadang Christanto, Heri Dono, Semsar Siahaan, Arahmaiani, dan FX. Harsono di Biennale Jakarta IX ini jelas-jelas mengandung pesan dan kritik sosial. Sementara beberapa yang lain telah menunjukkan keberanian mereka untuk bereksperimen dan berekspresi dalam soal bahan, idiom visual dan bentuk karya. Karya-karya instalasi, dan juga performance art, boleh dibilang sangat menonjol dalam acara ini. S. Teddy, salah seorang perupa yang beberapa tahun kemudian muncul sebagai salah satu nama yang cukup penting dalam peta seni rupa kontemporer di Yogya, mengaku bahwa karya-karya dalam acara Biennale jakarta IX itu sangat berkesan dan memengaruhi pandangan keseniannya. Sebagai mahasiswa yang baru saja masuk ke lingkungan perguruan tinggi seni rupa di Yogya (ISI) ketika itu, ia bersama sejumlah temannya berangkat ke Jakarta dan kemudian terkagum-kagum dengan berbagai karya yang ada dalam acara itu. Dari soal tema sosial-politik, keleluasan dan kebebasan pengolahan bahan, idiom visual, dan bentuk karya, semuanya memberi inspirasi bagi angkatannya untuk berani berkarya dengan tanpa beban.

Tentu saja, dunia seni rupa kontemporer ini, dengan segala eksperimentasi bentuk dan simbol-simbolnya, tidak serta-merta terbaca sebagai suatu kekuatan politik yang mengancam kekuasaan rejim ketika itu. Kegiatan-kegiatan di lingkaran kesenian ini bisa terus berjalan. Namun demikian, sebenarnya sudah terjalin berbagi bentuk relasi dan komunikasi antara sejumlah perupa dengan rekan-rekan mereka di lingkunagn pemuda dan mahasiswa pro-demokrasi.

Meskipun akan terlalu gegabah tegas-tegas menyatakan bahwa seniman dan seni rupa kontemporer Indonesia masa awal 90-an punya peran dan sumbangan besar terhadap terjadinya Reformasi, saya beranggapan bahwa berbagai praktek kesenian mereka telah ikut menyebarkan dan menyuburkan wacana tentang “perubahan” yang terus bergulir sejak pertengahan tahun 90-an sampai ke masa puncak Reformasi (1997-2000). Setidaknya itu terjadi di lingkungan seniman, mahasiswa dan pemuda (aktivis) dari kalangan menengah kota. Meminjam penjelasan Agung Kurniawan dalam suatu percakapan di Yogya, Desember 2005: “Masa-masa itu semua orang tahu bahwa menyuarakan berbagai kritik dan protes secara terbuka tidak mungkin. Saya sadar memilih untuk berkomunikasi di lingkungan teman-teman sendiri. Lewat seni rupa dan galeri, kita bisa menyuarakan itu semua. Lingkungannya memang terbatas, tapi ‘bahasa’ kita sama, nyambung. Kita tidak bicara kepada massa”.

Dalam pembahasan sosioligisnya yang membandingkan peran seniman Malaysia dan Indonesia di masa-masa krisis ekonomi-politik akhir 90-an itu, Sumit K. Mandal juga sampai pada kesimpulan yang serupa dengan apa yang diungkapkan Agung Kurniawan itu. Ia menyampaikan: Barangkali tidak ada kelompok sosial lain yang memiliki posisi lebih baik daripada pekerja seni untuk merebut kembali ruang publik agar secara simbolis dapat membuat upaya-upaya demokratisasi yang secara intensif pada akhir 1990-an menjadi kelihatan.

Dalam catatan saya, Semsar Siahaan, misalnya, sudah sering menyertakan gambar dan lukisannya tentang buruh dan kekerasan militer dalam berbagai acara demonstrasi buruh. Moelyono, salah seorang perupa yang paling lama bergerak di wilayah pedesaan memraktekkan seni rupa penyadaran, juga dekat dengan kalangan aktivis. Demikian juga halnya dengan Dadang Christanto, FX Harsono, serta Agus Suwage. Kedekatan ini tidak harus dibaca sebagai hubungan yang melulu menempatkan para perupa ini dan karyanya adalah “alat politik”. Hubungan ini justru menunjukkan “modus operandi” yang unik dalam perkembangan praktek seni rupa Indonesia di tahun 90-an itu: keinginan para seniman untuk mengomunikasikan gagasan dan ekspresi kesenian mereka kepada publik luas, sambil tetap menjaga integritas dan motivasi personal mereka dalam ekspresi estetik. Tarik-menarik antara keinginan berkomunikasi dengan lingkungan sosial dan keinginan untuk berekspresi secara personal ini adalah mekanisme yang mendorong berbagai bentuk eksperimentasi dan ekspresi estetik dalam karya-karya mereka. Sampai pada masa-masa awal Reformasi di tahun 1997-2000, boleh dikatakan bahwa sejumlah karya seni rupa kontemporer Indonesia yang paling berhasil dan penting adalah karya-karya yang menunjukkan keberanian senimannya untuk masuk dalam situasi tarik-menarik ini dan kemudian menghasilkan sintesa estetik yang kreatif menghadirkan simbol-simbol yang dapat jadi sarana untuk, meminjam istilah Sumit K. Mandal tadi, “merebut kembali ruang publik”.

Pertemuan wilayah sosial dan personal ini terasa mulai menguat di pertengahan 90-an. Kegelisahan dan juga kejenuhan akan kekuasaan Orde Baru-Suharto akhirnya hadir dalam bentuk nyata ketika sejumlah mahasiswa dan pemuda—sebagian dari mereka adalah mashiswa dari perguruan tinggi di Yogyakarta—“tiba-tiba” mendirikan partai politiknya sendiri.

Dalam suatu kesempatan berbincang di Yogyakarta beberapa waktu lalu, S. Teddy mengenang bahwa masa-masa itu: “rasanya aneh kalau kita tidak terlibat dalam gelombang aktivisme politik pemuda-mahasiswa.” Sementara terlibat didalamnya terasa “alamiah”, begitu saja. Seluruh situasi ini seperti bergerak bersamaan ke satu kesepakatan: “perubahan”. Menjelang Pemilu 1997, saat kesekian kalinya Golkar—partai penguasa pendukung Suharto sudah bisa dipastikan akan menang, dan Suharto akan naik lagi jadi Presiden Indonsia untuk ke-7 kalinya—sejumlah seniman diundang oleh Galeri Cemeti untuk ikut dalam sebuah acara seni rupa bertajuk “Slot in The Box”. Acara ini, dari judulnya, jelas ingin menarik asosiasi publik sedekat mungkin kepada suasana dan persoalan Pemilu. Seniman yang tampil, dan karya-karya mereka, banyak yang terang-terangan mengeritik dan mengomentari kondisi sosial-politik yang serba stagnan saat itu. Salah satu peserta, Agung Kurniawan, menampilkan karya gambarnya yang berjudul “Commemorating 30 years of the Holy Family” (1997). Karya ini menampilkan parodi tentang keluarga Suharto yang tampil bagai badut-badut dengan segala atribut kekayaan dan kekuasaan mereka, di bawah tenda lebar seperti dalam sebuah pesta besar, dengan latar hutan tropis yang gundul terbabat habis.

Beberapa bulan setelah peristiwa itu, krisis ekonomi, dan kemudian beralih jadi krisis multidimensional, melanda Indonesia. Berbagai demonstrasi mahasiswa, pemuda, rakyat, terus memuncak sampai tahun berikutnya, 1998. Tanggal 21 Mei 1998, secara resmi Suharto menyatakan mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan pada wakilnya, BJ Habibie. Peristiwa di hari itu menjadi “hadiah ulang tahu paling hebat” yang diterima oleh Arahmaiani, perupa perempuan yang sejak tahun 80-an telah sibuk bereksperimen dalam bentuk performance dan instalasi yang mempersoalkan berbagai norma sosial, agama dan posisi sosial perempuan. Tanggal itu memang tanggal ulangtahunnya. Tapi, berbagai peristiwa kerusuhan dan kekerasan yang terjadi di seputar kejatuhan Suharto itu akhirnya membuatnya lelah dan gelisah. Ia memutuskan untuk pindah dari Jakarta ke Yogya dan kemudian Magelang, untuk mendapatkan lingkungan yang lain, untuk merefleksikan lagi segala gagasan dan kerja keseniannya. Aktivisme yang berkobar-kobar tampaknya tidak bisa terus menerus jadi pembakar semangat kreatif seorang seniman.

***
Tak hanya Arahmaiani yang merasa atau berpikir demikian.

Agus Suwage, yang juga dalam berbagai kesempatan ikut dalam berbagai aktivisme masa itu, sampai pada titik peralihan sikap yang serupa. Ia mengaku “bingung dan tidak tahu harus berbuat apa” dengan berbagai kerusuhan yang terjadi. “Perubahan” yang diangankan itu ternyata membawa begitu banyak kekacauan dan korban. Ia sempat merasa frustasi, tak mampu berkarya selama hampir setahun. Beberapa bulan setelah kerusuhan Mei di Jakarta, 1998, ia pindah ke Yogya bersama istri dan anaknya. Ia baru menemukan kembali motivasi berkarya di tahun 1999. Karyanya, Pressure and Pleasure (instalasi, 1999) ikut serta dalam pameran “AWAS! Recent Art from Indonesia” yang dipamerkan ke sejumlah negara Eropa, Australia, dan Jepang.

Pameran ini adalah salah satu pameran penting adalam perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia di saat gaung Reformasi masih terasa. 9 perupa yang karyanya tampil dalam pameran ini—Agung Kurniawan, Agus Suwage, Arahmaiani, Bunga Jeruk, EddiE Hara, Hanura Hosea, Heri Dono, Krisna Murti, Nindityo Adipurnomo, Samuel Indratma, S. Teddy D, Popok Tri Wahyudi (tiga nama ini juga bergabung dalam Kelompok Apotik Komik), dan Tisna Sanjaya—adalah mereka yang selama ini, dengan berbagai cara dan karya, sebenarnya ikut dalam aktivisme seni rupa-politik di tahun-tahun menjelang Reformasi. Dalam pameran “AWAS!” ini bisa terlihat peralihan sikap dan motivasi dalam karya-karya mereka. Bisa dipahami, bahwa jika selama ini negara Orde Baru—dalam wujudnya yang paling nyata: Suharto dan militer—menjadi musuh utama bagi perubahan, maka saat perubahan itu sudah datang, “musuh-musuh” yang tak terduga sebelumnya mulai bermunculan. Berbagai soal yang selama ini sembunyi dibalik tilam, mulai merayap keluar. Suharto tak hanya jatuh dari kursi kekuasaannya. Sambil terjungkal, ia juga menjatuhkan kotak Pandora hingga terbuka dan melesatlah segala isinya. Berbagai peristiwa kekerasan, kerusuhan, terus terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Persoalan suku, agama, partisipasi politik yang tersebar dalam berbagai kepentingan politik, berhamburan dan bertabarakan di ruang sosial.

Sejumlah seniman mulai mengambil jarak, sambil mempertanyakan semua makna perubahan ini. Agus Suwage, misalnya, mulai mencari bahasa ungkap yang baru. Dari sinilah mulai bermunculan karya-karyanya yang menghadirkan potret dirinya dalam berbagai mimik lucu di tengah lingkungan yang serba ironis. Ia menempatkan dirinya sendiri sebagai bagian dari masyarakat dan sekaligus jadi sasaran tembak bagi parodi, kritik, dan pandangan sinisnya terhadap segala perilaku orang dalam euforia politik ini. Ia jelas-jelas “mulai kesal dengan orang-orang yang membawa nama agama, suku, membuat kerusuhan, mengorbankan orang lain, berebut kekuasaan”.

Seperti yang tampil dalam pameran “AWAS!” itu, sudah tampak kecenderungan baru yang lain lagi. Kecenderungan ini bisa diamati dalam dua kelompok. Pertama, muculnya generasi baru seangkatan S. Teddy, Samuel Indratma, dan teman-temannya, dan munculnya perupa perempuan seperti Astari, Sekar Jatiningrum, IGK Murniasih, dan lain-lain. Pada kelompok pertama, mulai terlihat keinginan untuk melepaskan diri dari tema-tema sosial politik itu dan menggesernya pada persoalan-persoalan yang lebih dekat pada wilayah personal dalam kehidupan berkesenian mereka. Dari motivasi semacam ini, tidak hanya lahir kegiatan kelompok seniman semacam Apotik Komik dan Kelompok Seni Rupa Jendela, tapi juga berbagai upaya untuk memunculkan kode estetik yang “lain” dari masa-masa euforia sosial-politik. Kelompok Jendela, secara khusus, nantinya akan hadir paling depan dalam “penghilangan” narasi-narasi kritik sosial yang pernah memenuhi kanvas-kanvas lukisan masa Reformasi.

Sementara pada kelompok kedua, dari kalangan perupa perempuan, muncullah narasi dan ekspresi estetik yang selama ini nyaris tak pernah hadir dalam berbagai wujud karya seni rupa kontemporer Indonesia: persoalan personal perempuan, dalam berbagai sisinya, yang dipandang dari sudut perempuan. Nama-nama seperti Astari, Sekar Jatiningrum, Aytjoe Christine, IGK Murniasih, Tita Rubi, dan lain-lain, selain Arahmaiani yang memang sudah memulai kiprahnya jauh lebih awal, mulai memperkaya khasanah seni rupa kontemporer Indonesia di akhir tahun 90-an ini. Seksualitas perempuan tak lagi sekedar sebatang tubuh penghias kanvas, tapi kawah yang bergolak dengan sejumlah persoalan. Yang personal dan yang sosial dari sudut pandang perupa perempuan ini bertungkuslumus mengajukan pertanyaan dan jawaban. Musuh tak lagi hadir dalam personifikasi negara, militer, penguasa, tapi ada lebih banyak lagi musuh dalam nilai-nilai budaya yang konservatif dan hipokrit.

Soal terakhir ini menjadi pilihan ekspresi Agung Kurniawan yang paling mutakhir. Ia, seperti Agus Suwage, sempat “lumpuh” tak bisa berkarya selama hampir setahun setelah pameran “AWAS!” Ia merasa kehilangan motivasi berkarya setelah berbagai gejolak perubahan sosial-politik yang terjadi. Ia merasa tak lagi punya kekuatan dan sumbangan untuk perbaikan. Optimisme pada penyebaran sikap kiritis di lingkungan sendiri seperti diyakininya beberapa tahun sebelumnya kini menguap. Dalam refleksinya itu, ia sempat membuat karya yang menunjukkan sikap sinisnya terhadap karya-karya bertema sosial politik yang ternyata jadi incaran kurator dari lembaga kesenian kontemporer di Eropa, Amerika, atau Jepang. Ia beranggapan bahwa suara kirtis yang mestinya mendorong perubahan itu ternyata tak lebih dari sekedar “komoditi” bagi dunia seni rupa kontemporer “dunia”. Ia memutuskan untuk mencari kejelasan motivasi berkarya yang bebas dari komodifikasi dan jebakan konstruksi identitas ini. Dengan kata lain, Agung Kurniawan menyadari bahwa berbagai kekuatan lembaga-lembaga dari lingkungan seni rupa itu sendiri ternyata bisa melakukan “provokasi kode stetik” yang menggiringya untuk terus berkarya dengan mode tertentu. Kebebasan kreatif dan kesadaran kreatifnya terancam. Melalu refleksi inilah ia sampai pada penemuan persoalan baru yang dianggapnya bisa menantang dirinya sendiri sekaligus masyarakat disekitarnya. Beberapa tahun terakhir ini karya-karyanya menjadi sangat provokatif dan liar mencampuradukkan soal hasrat dan perilaku seks serta norma (agama). Dalam bahasanya sendiri: “Saya ingin menerobos batas tabu saya sendiri, saya ingin menghadirkan yang bobrok, buruk, busuk, dalam seni itu sendiri dan berbagai norma moralitas di sekitar saya”. Dengan cara yang lain, dari kubu perempuan, soal-soal seksualitas ini khususnya, dengan sangat nakal dan provokatif hadir dalam karya-karya IGK Murniasih. Sungguh sayang, perupa perempuan yang penuh semangat ini akhirnya dikalahkan oleh kanker rahim yang menyerangnya. Ia meningga pada tanggal 11 Januari 2006 lalu.

***
Perkara hipokrisi masyarakat ini, berpadu dengan kesadaran bahwa si seniman sendiri tak bisa atau tak ingin menjadi “pahlawan pembebasan” mewarnai motivasi dan juga pemilihan kode-kode visual yang ditampilkan oleh seniman di Indonesia saat ini. Pada pilihan yang lebih jauh, sejumlah perupa kembali pada wilayah personal yang paling dalam, atau menjadikan persoalan pencarian pemecahan atas persoalan-persoalan estetik formal, dan narasi yang terbungkus allusi berlapis-lapis sebagai pokok utama dalam karya-karyanya. Ini adalah ciri yang kuat bisa ditemukan dalam karya-karya anggota Kelompok Jendela, misalnya. (Baca, box khusus tentang kelompok Jendela dalam buku ini.)

Beralihnya perhatian dari soal-soal sosial-politik ke arah soal-soal formal-estetik ini tidak harus diartikan sebagai dinamika pendulum—yang berayun ke arah “bentuk” setelah dulunya bergerak ke arah “isi”—dalam perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia dekade terakhir. Kiranya kondisi sosiologis yang melingkupi para seniman juga ikut berpengaruh dalam hal ini. Secara umum bisa dikatakan bahwa Agus Suwage, Agung Kurniawan, Arahmaiani, dan rekan-rekan seangkatannya mempunyai jaringan sosial yang memungkinkan mereka berdekatan dengan berbagai kelompok sosial-politik yang “berbahasa sama”—seperti dikemukakan Agung Kurniawan—dan mendapat bahan serta respon yang memadai untuk mendorong mereka menghasilkan karya-karya dengan narasi sosial-politik di suatu masa. Kemudian, barulah setelah berbagai ketegangan sosial itu bergerak dengan dinamikanya sendiri, dan bahkan pada akhirnya meninggalkan mereka hanya sebagai penonton di sisi jalan, mereka kembali berjarak dengan segala ketegangan sosial itu. Dengan jarak yang cukup ini tersedia ruang bagi mereka untuk melakukan pendekatan yang reflektif, atau bahkan esoteris dalam kerja kreatif mereka.

Tentu saja, tidak berarti bahwa semua seniman dari era ’80-an ini kemudian menjauh dari segala tema politik, baik dengan sikap pesimis ataupun sinis. Heri Dono, misalnya, masih terus memasukkan berbagai komentar sosial-politik dalam karyanya. Ia menanggapi perubahan di Indonesia dengan optimis. Ia menyatakan bahwa kebebasan yang mulai terbuka ini memberi peluang baginya untuk menyampaikan pesan yang lebih lugas, tidak lagi harus berkerut-kening mencari cara untuk menyelubungi pesan-pesannya sedemikian rupa agar tidak dikenali sebagai “protes” oleh penguasa. Heri Dono, salah satu seniman Indonesia yang paling rajin dan sering diundang ke berbagai forum seni rupa internasional, juga merasa bahwa ia tidak lagi harus berkutat dengan berbagai isu yang hanya lokal Indonesia. Ia melihat berbagai persoalan dunia juga harus diamati dengan sikap kritis, dan kemudian ditampilkan lagi dalam ungkapan estetis di hadapan forum-forum internasional itu. Sejak peristiwa 9/11 di New York, AS, dan terutama kemudian genderang perang yang ditabuh Bush dengan menyerang Afganistan dan Irak, Heri Dono mulai menjadikan soal perang sebagai bahan renungan dan parodi dalam karya-karyanya. Tema ini masih terus ia hadirkan sampai pamerannya yang paling mutakhir di Indonesia pada bulan Januari lalu (HeriWARDono, Galeri Soemardja, ITB Bandung).

Hal yang serupa juga dilakukan oleh Dadang Christanto. Ia, yang sejak 1999 sudah bermukim di Australia, masih terus tekun mengolah tema-tema kekerasan dan kekejaman terhadap kemanusiaan. Bisa dikatakan bahwa sejak awal perjalanan keseniannya Dadang sudah bergulat dengan tema ini. Tema ini muncul dalam karya Dadang bukan sekedar sebagai hasil pengamatannya atas suatu persoalan yang ada di luar dirinya. Tema kekerasan ini justru datang dari pengalamannya sendiri, dari kenangan dan ingatannya sendiri tentang peristiwa tragis yang dialami orangtuanya di masa pengganyangan kaum Komunis di Indonesia tahun 1965. Sedemikian tekun upaya Dadang untuk mengenang dan menghadirkan kembali ingatan dan renungannya akan berbagai peristiwa kekerasan itu sampai kita kemudian bisa melihat karya-karyanya menjadi semacam ‘ruang terapi’ untuk mengatasi suatu pengalaman traumatis. Dalam banyak karyanya Dadang Christanto telah berhasil mengatasi tegangan antara yang politis dan estetis, antara yang sosial dan personal. Karyanya dapat dikatakan berhasil secara politis, karena justru simbol-simbol estetis yang diolahnya berhasil menyusup dalam kesadaran publik yang melihat dan menikmati karyanya sampai memunculkan empati yang mendalam. Ini berlaku untuk karya-karyanya yang jelas bertolak dari trauma politik di tahun 1965, seperti misalnya dalam instalasi yang sangat puitis dan menggetarkan: Red Rain (1998-2002) sampai karya-karyanya yang sudah menyentuh persoalan korban manusia yang lebih universal sifatnya, seperti dalam gambar-gambar di atas kertas dari seri karya Count Project (1999).

Selanjutnya, jika dibandingkan dengan pada generasi yang lebih muda—mereka yang mulai berkarir secara profesional sebagai seniman di pertengahan 90-an—pada umumnya memang sejak awal merasa “berjarak” dengan segala hingar-bingar politik masa-masa Reformasi itu. Setidaknya, sebagian besar dari mereka ketika itu masih disibukkan dengan persoalan kuliah atau persoalan keyakinan untuk bekerja penuh sebagai seniman.

Budi Kusstarto, misalnya, saat ramai-ramainya masa Reformasi sedang mendapatkan kesempatan kerja melukis untuk beberapa kafe di Swiss. Artinya, ia relatif aman secara finansial di tengah krisi ekonomi yang melanda Indonesia ketika itu, dan sekaligus tak punya kedekatan geografis maupun psikologis untuk masuk dalam dinamika perubahan itu secara langsung. Ia, hidup di negeri asing, kemudian kembali ke tanah air dengan beban perasaan kesepian dan keterasingan yang mendalam. Ia mulai serius berkarya, melukis, di tahun 1999. Sudah sejak masa ini ia berusaha mengungkapkan soal kesepian dan keterasingan diri ini dalam karya-karyanya baik patung maupun lukisan. Pada patung-patungnya misalnya, ia seringkali melakukan mutilasi atas tubuhnya sendiri. Kepala dan bagian-bagian tubuh yang serba terpisah itu tidak lagi bisa dibaca sebagai refleksi dari berbagai kekerasan yang terjadi disekitarnya. Tubuh yang terpotong-potong itu adalah bentuk pergolakan pemikiran tentang soal-soal eksistensi pribadi: soal pikiran dan tubuh yang tak sejalan, soal aku yang “real” dan aku yang “maya”. Lukisan-lukisannya juga menghadirkan soal dan suasana yang serupa.

Suasana keterasingan diri dan kesepian ini juga banyak hadir dalam karya-karya Ugo Untoro. Seniman ini, yang rajin membaca berbagai buku sastra dan filsafat, dalam suatu perbicangan dengan saya, menyatakan bahwa “suasana kericuhan politik masa reformasi itu hanya sempat menyita perhatian saya sebentar saja. Selebihnya, saya lebih banyak gelisah merenung sendiri.” Selanjutnya, ia mengatakan: ”Saya tidak bisa berkarya dengan dorongan dari luar. Saya hanya berkarya melalui perenungan mendalam atas hal-hal yang paling menyita perhatian saya.”

Ini menjelaskan bagaimana ia bisa sangat tekun mengolah satu hal, dan kemudian meninggalkannya setelah menganggap hal itu tidak lagi menyita perhatian dan pikirannya. Dari sikapnya yang mengambil jarak, juga kenyataan bahwa ia tinggal di sebuah desa di pinggiran kota Yogyakarta, kita bisa menyaksikan bagaimana Ugo menghadirkan soliloquy dalam karya-karyanya. Karya-karyanya adalah gambaran dunia yang hening, tapi sekaligus sedemikian besar dan luas, menenggelamkan sosok manusia atau benda-benda yang terkesan kecil dan ringkih didalamnya. Suasana seperti itu umumnya bisa kita rasakan dalam seri karyanya yang menampilkan tokoh-tokoh wayang—yang kadang penuh humor—dan karya-karyanya yang kontemplatif dan metaforis dengan berbagai tampilan kuda, atau hujan.

Suasana keterasingan yang lain, bisa juga muncul dari ketegangan saat berhadapan dengan kondisi sosial-budaya, khususnya agama. Di Indonesia, dengan mayoritas penduduk beragama Islam (Sunni), tidak bisa dipungkiri bahwa nilai-nilai budaya yang konservatif menjadi dominan. Kita bisa melihat bagaimana Arahmaiani secara tekun menggarap tema hipokrisi, kekerasan, dan persoalan gender dalam karya dan perfomance-nya.

Belakangan ini, seorang perupa dari Bandung, Dikdik Sayahdikumulah, yang besar di lingkungan keluarga pesantren, juga mengangkat soal serupa. Situasi sosial di Indonesia saat ini mulai sangat dipengaruhi oleh berbagai kelompok agama yang dengan lantang mengemukakan kepentingan politiknya yang selama ini dibungkam oleh rejim Suharto. Dikdik Sayahdikumullah punya pengalaman traumatis dengan masalah ini. Ayahnya, seorang ulama yang mempelajari aliran Syiah, berkali-kali mendapat intimidasi dan bahkan ancaman kekerasan dari lingkungan Islam disekitarnya yang mengganggap bahwa ia—dan keluarganya—memraktekkan Islam yang sesat. Dari pengalaman sosial semacam itu, Dikdik mulai memasukkan pertanyaan-pertanyaan seputar soal keimanan, sikap toleran, serta hubungan sosial “ideal” dalam masyarakat Islam ke dalam karya-karyanya dari periode tahun 2003-2004. Dalam karya-karya terakhirnya ia banyak menggambarkan sudut-sudut kota yang serba kabur, asing dan sepi. Ini tidak hanya menunjukan rasa keterasingan diri sendiri. Ia menyebutkan bahwa ia sedang mencoba menampilkan “edited memories” dalam lukisan-lukisan itu. Dengan cara itu ia bisa memilah-milah pengalaman hidup di lingkungan kota yang serba sibuk dan penuh kompetisi, dan mencai cara agar ia bisa terus menikmatinya.

***
Ada dimensi lain dari suasana keterasingan di tengah berbagai perubahan sosial-politik yang terjadi di Indonesia satu dekade terakhir ini. Bagi seniman dari Kelompok Jendela misalnya, mereka merasa bahwa perkembangan seni rupa Yogya pada masa Reformasi itu justru mendominasi dan akhirnya membatasi ruang ekspresi yang ingin mereka buka seluas-luasnya. Saat itu, menurut Alfi, dalam percakapan bersama teman-temannya di Yogyakarta menjelang pembukaan Biennale Yogya Desember 2005 lalu, seni rupa Yogya dipenuhi oleh karya-karya bercorak “abstrak-ekspresionis” dan “protes sosial”.

Dari berbagai kesempatan diskusi bersama, mereka yang kebetulan sama-sama berasal dari suku Minang, Sumatera Barat, yang merantau ke kota Yogya, sampai pada kesimpulan bahwa mereka sama-sama tidak ingin melahirkan karya-karya yang “heroik”, tapi juga tidak yang serba abstrak. Mereka ingin sama-sama menemukan sebuah bahasa simbolik, tapi juga membebaskan masing-masing anggota untuk menemukan sendiri dalam menggubah dunia rupa simbolik itu. Tak ada manifesto atau kredo yang lahir dari kelompok ini sejak awal pemunculan mereka di tahun 1996. Mereka, dalam kata-kata Yunizar, hanya berusaha “menikmati sepuasnya pekerjaan” mereka.

Sampai saat ini, dengan ragam media yang tak terbatas, setiap anggota kelompok Jendela telah menemukan bahasa simbolik yang mereka maksudkan. Karya-karya mereka pada umumnya menunjukkan kecermatan penggarapan rupa dan bentuk, baik dalam berbagai objek trimatra ataupun dalam lukisan. Di dalam karya-karya itu segala macam unsur rupa—garis, bentuk, warna, bayangan, tekstur, dan sifat-sifat bahan, diolah dengan teliti, seolah tiap bagian itu menawarkan “kenikmatan” yang sedemikan sensuous, indrawi. Sementara pada sisi simbolik, benda dan bentuk yang hadir dalam karya mereka, nyaris tidak memberi petunjuk bagi sebuah pesan jelas atau aliran kisah. Simbolisme pada karya-karya mereka tidaklah serupa dengan watak simbolisme pada penggambaran dunia yang surreal. Simbolisme Kelompok Jendela seringkali menempatkan diri kita seolah di padang rumput, gurun pasir atau negeri antah-berantah dengan tabir fatamorgana dihadapan kita: membawa kita pada asosiasi-asosiasi, dugaan-dugaan serba samar yang setiapkali harus ditunda kepastian pesan dan maknanya.

Hal yang sama juga bisa kita temukan dalam karya-karya obyek mereka. Pendekatan seperti ini, dalam obyek atau patung, setidaknya di Yogyakarta, sudah muncul dalam karya Anusapati di awal tahuan 90-an. Anusapati pernah mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan seni rupa di New York di tahun 1990. Kembali ke Indonesia, ia segera dihadapkan dengan ketegangan melihat bagaimana modernisasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang dianggapnya superfisial, hanya mengkilat dan meriah di permukaannya saja, dan melupakan kekuatan dan identitas tradisi.

Karya-karya obyek dan patung kayu yang diciptakannya menunjukkan bagaimana Anusapati dengan cerdas melakukan kritik terhadap “Modernisme” dalam hal bahan, teknik, bentuk dan isi. Bahan yang ia gunakan hampir selalu berupa kayu yang terbuang, yang tidak lagi dilihat sebagai benda berharga, yang tua, rusak atau retak sekalipun. Secara teknik, ia menggunakan teknik paling sederhana yang lazim digunakan tukang kayu di desa-desa di Indonesia, mengolah kayu hanya dengan perkakas parang atau golok. Secara bentuk, ia meminjam idiom bentuk dari berbagai peralatan kayu yang masih banyak digunakan orang-orang desa di Jawa. Dan dalam hal pesan, karya-karyanya itu jadi berbicara lantang tentang lingkungan, konsumerisme, sampai sisi buruk teknologi modern bagi lingkungan dan kehidupan sehari-hari masyarkat Indonesia.

Di pertengahan 90-an, beberapa karya patung dan instalasinya menunjukkan bahwa Anusapati juga ingin memperjelas pesan-pesannya dengan mengangkat tema kerusakan lingkungan hidup. Seperti juga beberapa teman seangkatannya, setelah berbagai kericuhan politik di masa Reformasi dan sesudahnya, Anusapati merasa gelisah dengan berbagai kekerasan dan kerusuhan yang terjadi. Ia, meskipun merasa optimis dengan suasana perubahan dan kebebasan yang ada sekarang, tetap khawatir dengan potensi kekerasan yang bisa muncul tiap saat di Indonesia. Ia mengatakan: “Saya sangat memikirkan nasib anak dan istri saya.” Rumah, kemudian jadi tempat paling aman bagi dirinya dan keluarganya untuk menjauh dari segala kekisruhan di luar. Sempat merasa kehlangan energi dalam berkarya selama beberapa tahun, belakangan ini justru rumah dan keluarga itulah yang jadi pokok utama dalam karya-karyanya. Karyanya (…… 2005?) yang tampil dalam Bali Biennale, adalah contoh nyata bagaimana ia mengolah tema itu.

***
Dengan ulasan sekilas tadi, bisa dinyatakan bahwa gerak perubahan yang serba cepat dalam pusaran medan-sosial politik semasa Reformasi tidak hanya berhasil menyedot sejumlah seniman untuk terlibat didalamnya, seperti yang dikemukakan S. Teddy tentang kedekatannya dengan sejumlah mahasiswa aktivis ketika itu. Perubahan besar itu ternyata juga melontarkan sejumlah orang ke luar arus, mendorong mereka sampai wilayah asing, teralienasi, dan kemudian memaksa mereka untuk membangun dunia makna bagi diri mereka sendiri.

Persoalan penjelajahan estetik-formal, serupa dengan apa yang ditempuh oleh Kelompok Jendela, kini makin menguat jika kita menyaksikan munculnya berbagai kelompok dalam peta seni rupa kontemporer Indonesia setelah tahun 2000. Masa ini juga ditandai dengan makin mudahnya orang memiliki berbagai perangkat teknologi digital, yang berpengaruh langsung terhadap cara produksi dan presentasi karya-karya seni yang muncul belakangan ini. Secara umum, Alia Swastika, program manager Rumah Seni Cemeti menganggap bahwa: “rekan-rekan seniman muda ini tidak lagi bergulat dengan persoalan bentuk, tapi dengan soal proses.” Seni rupa Indonesia, dalam banyak karya dan kegiatan seni rupa para seniman muda ini tidak lagi mementingkan hadirnya artefak karya, benda-benda. Kedudukan benda-benda sebagai hasil proses kreatif diganti oleh “peristiwa” yang bisa menyediakan ruang kontak sosial bagi rekan-rekan selingkungan mereka sendiri, ruang gaul. Dan itu, sudah cukup bermakna sebagi upaya untuk bertemu dan bergaul lagi dengan publik.

Bahwa Indonesia, dan dunia, sedang mengalami berbagai perubahan penting saat memasuki alaf baru ini, sudah jamak kita akui. Sejumlah paradigma lama yang membingkai cara pandang dunia yang selama ini berlaku, sedikit demi sedikit–atau dalam beberapa peristiwa–tiba-tiba, rontok. Sementara itu, pada saat yang bersamaan, paradigma baru belum lagi tersusun jelas. Secara sosiologis, inilah situasi peralihan. Susana semacam itulah yang saat ini membingkai lingkungan penciptaan karya seni rupa di Indonesia. Tak ada lagi musuh utama. Berbagai gejala dan persoalan sosial seperti muncul serentak dan menuntut penyelesaian sesegera mungkin.

Di sisi lain, aspek komersial yang menjadikan karya-karya seni ini sebagai komoditi juga terus berlangsung. Setelah Reformasi, makin banyak galeri dan kolektor yang berminat pada karya-karya seni rupa kontemporer ini. Di tengah suasana seperti ini, kecenderungan mannerisme seperti dapat tempat pas untuk berkembang. Dalam sebuah diskusi di Jakarta, sebagai penutup acara pameran “Quota 2005” (Langgeng-Aikon Gallery, Jakarta, Desember 2005-Januari 2006) , Jim Supangkat, kurator senior di Indonesia, menyatakan kekhawatirannya bahwa bagian terburuk dari perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia bisa ditengarai saat munculnya trend tertentu yang diterima luas, baik secara komersial maupun intelektual. Ini adalah tanda bahaya terjadinya mannerism tadi. Saya setuju. Hanya saja, saya merasa bahayanya jadi lebih mengamcam karena mannerisme yang dimaksud Jim Supangkat bisa tipis bedanya dengan epigonisme.

Di sisi lain, saya masih bisa cukup mudah menemukan munculnya kelompok-kelompok seniman muda yang terus bergairah berkarya, nyaris tanpa batasan dan jauh dari kesan mannerisme. Karya dan kegiatan yang dilakukan oleh Kelompok ruangrupa di Jakarta, atau CommonRoom di Bandung, misalnya, adalah hasil dari proses kerja kreatif yang menyerap dan menggunakan berbagai piranti digital lengkap dengan keriuhan kode-kode visualnya, dari games hingga filem, dari foto hingga video, dari virus komputer hingga internet, dari teks sms sampai musik, DJ, dan clubbing. FX Harsono, perupa yang juga cukup sering menggunakan piranti digital untuk mengolah karya cetak grafisnya, sempat menyampaikan pandangannya juga dalam diskusi itu. Ia beranggapan bahwa berbagai gejala “anti-estetik” pada sejumlah karya perupa Indonesia belakangan ini perlu diterima sebagai kenyataan munculnya sebuah generasi yang baru dalam seni rupa kontemporer Indonesia. Para pelakunya adalah anak-anak muda yang sedari kecil telah berhadapan dengan dunia multimedia digital. Maka, dari sana pulalah berbagai eksplorasi kreatif akan mereka jalankan. Demikian pula sikap berkarya mereka tampaknya menjadi serba instan dan tak terduga. Kalau ditanyakan apakah ada konsep atau alasan tertentu mereka memadukan berbagai benda, bentuk dan teknik dalam karya mereka, maka mereka seringkali hanya menjawab: “yah… kayaknya asyik aja, fun! Cool aja!” Saya kira, FX Harsono, seperti juga saya, sedang berusaha menangkap dan memahami gejala-gejala saja.

Saya tak bisa meramalkan seperti apakah peta seni rupa kontemporer Indonesia, katakanlah 5 tahun atau 10 tahun ke depan. Siapa yang bisa? Ini zaman peralihan.

Sampai saat-saat akhir saya menyelesaikan tulisan ini, suasana sosial-politik yang melingkupi praktek seni rupa kontemporer Indonesia masih sedang menghadapi ketegangan. Ada kelompok Islam yang menuduh instalasi “Pinkswing Park” (2005) karya Agus Suwage dan Davy Linggar–yang sempat dipamerkan dalam acara CP Biennale Urban/Culture, 2005, di Jakarta–sebagai karya pornografi yang menghina agama. Mereka mengadukan seniman, penyelenggara Bienal, dan juga model yang fotonya tampil dalam karya itu ke pihak kepolisian. Sementara di DPR, para anggota parlemen juga sedang berusaha meloloskan Undang-Undang Anti-Pornografi, yang sampai saat ini masih memancing berbagai perdebatan dan kontroversi. Semua ini menunjukkan sekali lagi bahwa praktek seni rupa kontemporer Indonesia masih akan terus berada di tengah ketegangan sosial-politik di Indonesia yang baru menikmati demokrasi kurang dari 10 tahun.

***
Enin Supriyanto
Jakarta, Februari 2006

sumber : http://penabuluan.multiply.com/

Tidak ada komentar: