Rabu, 05 Agustus 2009

Menyoal Wacana dan Pasar Dalam Medan Seni Rupa Indonesia

hary cahaya_rupture-1140x150-oil on canvas 2008

Oleh : I Wayan Seriyoga Parta.

Sistem apresiasi dalam seni rupa terdiri dari galeri, museum, kurator, kritikus dan tentunya kolektor. Dalam keadaan normal semua elemen ini beroperasi sesuai dengan porsinya masing-masing mengkonstruksi nilai karya seni sehingga lahir karya yang bermutu. Kurator dalam ini bertugas mendampingi seniman merumuskan konsep sebuah even pameran yang pada akhirnya melahirkan rumusan/kesimpulan dari proses kreatif seniman yang tertuang dalam karya mengantarkannya kepada audien. Galeri memberikan ruang dan fasilitas bagi apresiasi tersebut, sebagai konfensasi dari jerih payah tersebut galeri berhak mengambil presentase yang rasional ketika ada penjualan.

Galeri disamping memamerkan karya juga mempersiapkan jejaring “pasar” (bisa kelektor/kolektor sementara) sebagai bentuk apresiasi terhadap nilai dari karya yang dipamerkan secara material. Kehadiran kritikus dalam hal ini sangat penting dengan penguasaan ilmu seni yang dimiliki kritikus kemudian membedah memberi catatan, sanggahan, kritik, bagi karya. Sehingga nilai yang dibangun benar-benar melalu mekanisme kontrol yang baik, karya-karya yang kemudian dianggap memiliki nilai yang tinggi kemudian masuk ke dalam museum.

Dari sistem ini tentunya kita tidak melihat kontroversi antara wacana dan pasar, keduanya merupakan elemen (infrastruktur) apresiasi seni rupa. Namun apakah sistem itu sudah berjalan dengan semestinya di Indonesia. Nah ini baru persoalan. Dalam konteks Indonesia yang dominan dalam sistem apreasi seni rupa adalah pasar, ditandai dengan tumbuh semakin banyaknya galeri baru dengan jaringan pasarnya masing-masing yang memiliki kepentingan bisnis serta menjamurnya Balai Lelang yang kini menjadi ajang untuk mendongkrak harga seniman. Hal ini berbanding terbalik dengan kehadiran kurator apalagi kritikus yang bisa dibilang tidak ada. Tidak dapat dipungkiri untuk memasuk profesi kritikus penulis kita mungkin harus berpikir dua kali, karena minimnya apresiasi material bagi profesi ini. Secara sederhana bias dikatakan “menjadi kritikus harus siap hidup pas-pasan”.

Berbeda dengan kurator yang kini justru sedang dibutuhkan kehadirannya, ini fenomena yang menarik. Kelahiran bom pasar seni lukis ke tiga di Indonesia sejak dua tahun terakhir ini membawa sedikit perubahan dari fenomena bom pasar sebelumnya. Pemain baru atau pemain lama (galeri) kini di-sadar-kan bahwa mereka tidak bisa bermain sendiri dalam lingkaran apresiasi. Mereka kini “sadar” peran kurator adalah penting dalam sebuah even pameran. Sehingga kini bukan hanya seniman saja yang jadwalnya padat, tapi juga para kurator sudah ditunggu oleh beberapa galeri untuk mengkurasi pameran di galeri mereka. Kita berharap fenomena ini benar-benar kesadaran bukan sekedar tren sekedar kontemporer.

Namun begitu sistem apresiasi seni rupa Indonesia masih sangat timpang dengan tidanya museum seni rupa dan mekanisme kritik yang hampir tidak jalan. Jadi riuhya dinamika pasar seni rupa kita sekarang tidak dibarengi oleh kontrol dari kritik seni rupa, ini jelas merupakan satu ketimpangan. Yang nantinya dapat kembali mengulang fenomena pada bom seni lukis tahun 1990-an. Pasar kala itu bergerak dengan mekanismennya sendiri dengan cara mengakomodir seniman muda untuk diorbitkan dalam jaringan pasar. Sehingga munculah serangan dari para penulis seni rupa mengkritisi ketimpangan yang terjadi dalam fenomena tersebut. Dan kemudian muncul ketegangan antara pasar dan wacana.

Sementara fenomena yang lain adalah munculnya Balai Lelang yang kini jumlah terus saja bertambah, dengan genjar menggelar lelang. Fenomena Balai Lelang adalah satu persoalan lagi yang sedang dihadapi oleh seni rupa Indonesia, kini sepertinya tidak jelas lagi aturan main yang dipakai. Jika pada tahun 1990-an pernah muncul istilah “seniman kompetisi” di tengah maraknya berbagai kompetisi seni rupa pada waktu itu seperti; Philip Morris Art Award, Nokia Art Award, hingga Indofod Art Award. Maka kini muncul istilah seniman “Balai Lelang” seniman yang dibesarkan oleh balai lelang seniman dalam kategori ini tidak perlu susah-susah masuk dalam mekanisme galeri. Cukup dengan membuat karya yang “keren” memimjam ikon sana-sini dari seniman yang telah terkenal atau cara yang paling mudah mengikuti arus selera pasar. Kemudian sesekali ikutan pameran bersama atau tunggal di galeri, maka dikenalah dia, bahkan banyak seniman yang tidak pernah terlihat dalam ajang pameran namun selalu muncul dalam acara lelang. Balai lelang kini menjadi wahana untuk mendongkrak eksistensi harga seniman.

Munculnya art management disisi lain memberikan kemudahan bagi seniman seniman tidak lagi perlu bersusah payah berhubungan langsung dengan galeri, atau para pembeli. Tugas seniman kini hanyalah berkarya dan jadwal sudah dilist rapi dalam agenda yang disusun oleh manajemen. Kebangkitan pasar yang kesekian kali ini tentu ada memberi dampak yang besar bagi dinamika seni rupa di tanah air. Pertanyaan yang muncul kini, dapatkah fenomena yang telah dipaparkan secara singkat di atas berdampak positif bagi semua elemen yang ada di dalamnya, dan bukan menjadi bencana bagi perkembangan seni rupa ?

sumber : http://yogaparta.wordpress.com/


1 komentar:

yogaparta mengatakan...

halo mas, wahyu..

terima kasih telah memposting tulisan saya..

sukses selalu..

salam
yoga