Djuli Djatiprambudi: Pelukis Harus Sadar Jejaring
Oleh rumahusaha
| |
Namun, di sisi pelaku industri seni rupa—utamanya pelukis, hal semacam ini memberikan kesempatan yang lebih besar kepada pelukis untuk bisa menikmati kompensasi finansial yang cukup baik. Pelukis-pelukis di Indonesia saat ini bisa dikatakan tidak selamanya identik dengan kemiskinan, sebuah ikon yang dulu identik dengan profesi kesenimanan. Bagi Djuli Djatiprambudi, kurator independen dan peneliti seni, semua ini merupakan konsekuensi dari pasar yang bergerak tanpa bisa diatur oleh siapapun. ”Ini harus disambut oleh pelukis dengan kesadaran baru seperti kesadaran untuk berjaringan,” ujarnya. Jaringan inilah yang kemudian akan mengantarkan pelukis ke momentum kesuksesannya. ”Seorang Masriadi yang lukisannya bisa laku bermiliar rupiah tidak akan pernah mencapai titik setinggi itu tanpa hadirnya kurator, ”art dealer”, galeri, balai lelang, dan pihak lainnya yang terlibat dalam industri seni kontemporer,” tambahnya melanjutkan. Selain mempersoalkan masalah kesadaran untuk berjejaring, Djuli pada diskusi tersebut juga tengah mempersoalkan kontemporaritas seni lukis di Indonesia. Kontemporaritas seni lukis di dunia Barat banyak dipengaruhi oleh pemikiran filsafat kontemporer seperti pemikiran Derrida, Baudrillard, Sartre, dan banyak pemikiran filsafat lainnya. Hal tersebut merupakan landsan fundamental yang menjadikan seni lukis yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran tersebut disebut sebagai seni lukis kontemporer. Keberadaan seni lukis ini juga ditunjang dengan matangnya infrastruktur industri kesenian visual yang berporos pada keberadaan museum. ”Seorang kurator yang menjadi penentu dari suatu lukisan pada abad mdern ini seharusnya memiliki kantor tetap yang letaknya ada di museum,” ujarnya mengkritik. Hal yang kontras saat ini justru tengah berkembang di Indonesia. Seni lukis kontemporer di Indonesia lebih banyak disebabkan oleh hal yang tidak jelas. Tidak ada pemikiran filsafat yang tumbuh berkembang di Indonesia. ”Saya sendiri tidak menemukan korelasi apakah pelukis kita paham dengan pemikiran Derrida dan kawannya,” lanjutnya. Seni lukis kontemporer di Indonesia hadir sebagai konsekuensi atas perkembangan media, seperti komputer. Hal ini juga lebih banyak didukung oleh infrastruktur kesenian yang berada di luas poros museum. ”Harga lukisan yang mahal-mahal itu selalu terjadi di luar museum,” tambahnya. Hal ini dipahami karena tidak ada kebudayaan museum yang berkembang di Indonesia. ”Jadi, saya mengusulkan sebaiknya kita memakai istilah ”seni lukis hari ini” ketimbang ”kontemporer”,”ucapnya. Untuk itulah, Djuli yang menyebut dirinya sebagai kurator independen ini mengusulkan sebuah proses kurasi yang tidak hanya menekankan produk semata tetapi pada proses kreatif yang mendasari suatu karya terjadi. Inilah yang dilabelinya sebagai kuratorial berbasis proses. Pada kuratorial berbasis proses, seorang kurator tidak akan menilai suatu karya seni hanya berdasarkan keluarannya semata tetapi juga pada proses kreatifnya. Diskusi yang dipandu oleh pelukis Putut tersebut kemudian berlanjut dengan cerita hasil kuratorial berbasis proses yang sudah dilakukan Djuli kepada sekelompok petani bunga di Batu, Jawa Timur yang kemudian dikenal publik sebagai kelompok MAOSArt. Kelompok yang baru dua kali berpameran ini saat ini sudah memiliki posisi tersendiri dalam kancah seni lukis Indonesia. ”Ini karena dua kali pameran, dua kali juga karya mereka banyak diborong oleh kolektor-kolektor ternama,” ujarnya. Djuli yang memposisikan diri sebagai pemandu dalam berkesenian bagi Andri, Rokhim, Zirenk, dan Watoni ini sengaja mencegah kehadiran ”art dealer” yang membeli karya lukis mereka. ”Mereka juga tidak memposisikan harga yang terlalu tinggi,” tambahnya. Ini dilakukan Djuli untuk memberikan pemahaman jika dalam kesenimanan juga dibutuhkan karier yang membuat harga seni lukis mereka juga bertahap naiknya. ”Yang penting mereka saat ini bisa beli sepeda motor baru,” sambungnya sembari terkekeh. Pelukis dari kelompok MAOSArt ini sebagian besar di antaranya tidak bersentuhan langsung dengan dunia pendidikan seni formal. Bahkan, Zirenk adalah persona yang tidak menamatkan pendidikan SD-nya sekalipun. Djuli sangat ingin menampilkan profil pelukis yang sukses di Indonesia tidak selamanya harus jebolan dari ISI atau FSRD ITB. Diskusi yang dilabeli dengan ”Rerasan Seni Visual” ini dilangsungkan oleh JRU sebagai bentuk komitmen gerakan terbaru JRU untuk bisa memberikan warna lain dalam perkembangan kesenirupaan di Semarang. ”Ini merupakan bentuk nyata komitmen JRU yang sudah terbukti kiprahnya di ekonomi kerakyatan dengan memberikan inspirasi serupa untuk bisa memberikan kemanfaatan serupa bagi teman-teman pelukis di Semarang,” ujar Koordinator Relawan JRU, iLik sAs dalam pengantar yang disampaikan sebelum diskusi berlangsung. Rerasan yang dilanjutkan dengan acara buka puasa bersama menjadi ajang bertemu sapa beberapa tokoh seni rupa di Semarang. Beberapa pelukis yang hadir antara lain Agus Darto, Nurdami, Putut, dan beberapa nama lainnya. Hadir juga Ketua Kadin Jawa Tengah, Solichedi yang kini bersama dengan rekannya sesama arsitek giat melukis dalam wadah CATS (C’omunitas Arsitek Toewa Semarang). Diskusi kesenian yang berlangsung di tengah bulan Ramadhan ini ternyata mengundang minta positif yang luar biasa. Tetamu yang hadir memadati kursi yang telah disediakan JRU. Selain itu, atmosfer kebersamaan dan kekeluargaan yang kental tampak mengemuka di tengah canda tawa yang hadir di antara sesama pelukis yang seringkali jarang bisa bertemu muka langsung karena berbagai kesibukan kesenimanan. Semoga rerasan ini menjadi awal yang baik untuk menjadikan Semarang sebagai ikon kesenian visual baru di Indonesia... Mari kita wujudkan bersama! |
sumber : http://www.rumahusaha.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar