Rabu, 05 Agustus 2009

NEW ICONS: Sebuah Versi

Ditulis oleh Oleh: Djuli Djatiprambudi
Jumat, 13 Juni 2008 07:45

Cacatatan Kuratorial oleh: Djuli Djatiprambudi. Dalam tiap perkembangan sejarah, pasti muncul sejumlah figur yang fenomenal. Figur-figur itu menjadi penanda hadirnya sebuah periode atau zaman dalam alur perkembangan sejarah itu. Kemunculan figur-figur tersebut akibat proses dialektik (merujuk cara pandang Marxian) dalam medan sejarah yang digerakkan oleh mekanisme tawar-menawar dalam struktur sejarah. Dalam proses itulah bertemu berbagai ”tesa/tesis” dengan berbagai ”anti tesa/tesis” untuk kemudian melahirkan ”sintesa/sintesis”.

Tapi, sesungguhnya dalam proses ”menyejarah” (ada dan berbicara dalam sejarah) tidak sesederhana itu. Semua struktur sejarah baik dalam tingkatan individu hingga institusional selalu berusaha menawarkan gagasan dan aksi untuk ”dibicarakan” dalam sejarah. Kata dibicarakan sengaja diletakkan dalam kutip, karena untuk memasuki wilayah ”dibicarakan” memerlukan energi sosial yang cukup besar – berupa modal sosial, modal kultural, modal intelektual.

Maka, tidak aneh kalau kemudian, dalam proses sejarah ada semacam hukum alam. Siapa yang memiliki tiga modal tersebut secara optimal, dialah yang berpotensi memasuki wilayah ”dibicarakan”. Dengan ini, dia (tunggal/individu) atau mereka (jamak/kelompok/institusi) yang ”dibicarakan” akan menjadi tanda atau simpul-simpul sejarah. Dan selanjutnya, simpul tersebut akan menjadi tonggak (mailstone).

Sebaliknya, barangsiapa tidak memiliki tiga modal utama tersebut secara memadai, maka harus rela menjadi penonton (bukan aktor utama) dalam perjalanan sejarah. Namun, sekalipun dia/mereka berposisi menjadi penonton, bukan lantas tidak penting, atau sekadar menjadi ”beban” sejarah. Posisi sebagai penonton adalah posisi yang pasif, sementara posisi sebagai pelaku/aktor utama adalah posisi aktif. Dialektika akan terjadi, justru ketika ada entitas aktif dan pasif tersebut. Inilah, sebabnya, antara aktor utama dan penonton sebenarnya sama-sama penting dalam medan sejarah.

Dengan pemahaman itu, maka yang aktif bukan lantas mendominasi yang pasif, atau yang pasif mencari celah untuk merontokkan yang aktif. Dalam konteks keberlangsungan sejarah semuanya berlangsung dalam posisi emansipatoris. Semua entitas berusaha membangun komunikasi untuk menerjemahkan atau memformulasikan gagasan dalam konteks memberi warna dalam sejarah.

*****
Demikian juga dalam sejarah seni rupa. Ada sejumlah seniman yang ”dibicarakan”, karena dia/mereka secara fenomenal memperlihatkan kinerja yang didasarkan atas modal intelektual, modal sosial, modal kultural. Seniman yang masuk dalam wilayah ”dibicarakan” ini memang bisa jadi sebuah versi saja. Artinya, dia/mereka ketika masuk atau dimasukkan dalam wilayah ”dibicarakan” bukan semata-mata faktor internal (kapasitas gagasan, bakat, ketrampilan, keberanian), tetapi faktor eksternal (akses galeri, kurator, kolektor, art dealer, lelang) juga berpotensi sebagai pendorongnya.

Dalam konteks perkembangan seni rupa sekarang, faktor eksternal itu tampak kuat pengaruh dan kuasanya. Karena itu, implikasinya, jelas bermacam-macam. Gejala yang sangat mencolok, misalnya, adanya sejumlah seniman yang didorong terus memasuki orbit ”dibicarakan” – khususnya di praktik lelang – tanpa memperhitungkan reputasi historis yang dicapai seniman. Di sinilah kita akhirnya, menemukan figur-figur yang sebenarnya belum matang, tetapi justru figur-figur instan (mentalitasnya instan, intelektualitasnya instan, dan akhirnya karyanya juga instan). Mengapa ini bisa terjadi? Karena, dia/mereka didorong terus tanpa diberi ruang untuk mengeksplorasi gagasan dan ruang kontemplasi. Semuanya digerakkan oleh hasrat merebut citra pasar, yang memang masih kelihatan artifisial.

*****
Kuratorial ini bertolak dari latar belakang di atas. Terpilihnya Agung Suryanto ”Tato”, Isa Ansory, Joni Ramlan, Toni Ja’far, dan kelompok MAOSart (Andrie, Watoni, Rokhim, Zirenk) dalam kuratorial bertajuk New Icons bertolak dari faktor internal dan eksternal yang mempengaruhinya. Ini tidak bisa dihindari dan tidak bisa dipungkiri. Sekalipun, harus saya akui bahwa seniman yang saya pilih tersebut juga semata-mata versi saya – versi yang saya dasarkan atas pengamatan saya yang terus-menerus mengikuti gerak-gerik dinamika reputasi kesenimanan mereka. Dan karena ini sebuah versi, maka resikonya, saya akan memasuki wilayah perdebatan.

New Icons (ikon-ikon baru) yang saya maksudkan dalam konteks ini sebenarnya juga sebuah versi itu sendiri, ketika saya membaca dinamika perkembangan seni rupa kontemporer di Jawa Timur. Hasil pembacaan saya menghasilkan nama-nama tersebut, yang kemudian saya representasikan dalam pameran ini.

Kata ”baru/new” dapat dipahami sebagai bentuk penegas dari kata ”ikon/icon”. ”Baru” dalam konteks ini menjelaskan soal representasi seputar gagasan, bahasa ungkapan, cita-rasa (artistik), teknik dan medium, yang memang dapat dibedakan dari kecenderungan sebelumnya. Pengertian ”baru” dalam konteks ini lebih merujuk pada kondisi multipolar (banyak kutub) – seniman berusaha terus mencari kemungkinan-kemungkinan gagasan/bentuk/bahasa/identitas untuk melahirkan ”karya” yang lebih segar dan cerdas (smart), tidak terjebak pada kondisi stagnasi (mengulang-ulang gagasan dan bahasa ungkapan yang hampir sama).

Ini memang berbeda dengan kecenderungan sebelumnya, yang lebih diwarnai pola monopolar (satu kutub/kemungkinan), yang justru dihindari secara wacana dan praktik oleh para seniman yang saya pilih ini. Artinya, para seniman yang hadir dalam pameran ini memang secara tegas memiliki bingkai multipolar. Dia/mereka bekerja dalam kerangka menerjemahkan dinamika seni rupa kontemporer yang disemangati oleh paradigma percepatan dalam berbagai hal. Percepatan gagasan, percepatan menangkap kecenderungan, percepatan mengakses informasi, percepatan membangun jejaring, semuanya beroperasi di tengah proses kreasinya.

Agung Suryanto ”Tato” secara cerdas memainkan berbagai bentuk di bidang kanvas dengan cara atau perspektif yang keluar dari keumuman dalam melihat sebuah bentuk. Di karyanya itu, kita melihat betapa dia dengan tangkas membedah bentuk/konstruksi dengan memecah ke berbagai sudut pandang. Pandangan normal yang biasanya monopolar menjadi multipolar atau setidaknya bipolar. Ini terasa sekali, dia berhasil ”mengecoh” persepsi kita terhadap tafsir satu perspektif. Di lukisan-lukisannya ini, dia mempertontonkan betapa relatifnya bentuk itu, bila perspektifnya dipecah dalam berbagai perspektif. Inilah yang menandai karyanya saya masukkan sebagai ikon.

Isa Ansory, sekalipun masih memainkan subject matter boneka, tetapi dia cukup berhasil menyuguhkan cara jelajah baru. Boneka itu diletakkan dalam titik jelajah visual yang bermatra lebih dinamis, lebih memberi makna terhadap ruang, dan makin menekankan pada resonansi visual – efek makna yang diakibatkan oleh manipulasi objek (boneka) ke dalam objek lain (selimut boneka bermetamorfosis menyatu dengan alam). Ini juga sebagai karya penting yang cukup membuka peluang memasuki titik jelajah yang lebih ”liar”.

Toni Ja’far juga masih dengan tekun membongkar subject matter batu. Dalam karyanya kali ini tampak jelas dia ingin menyoal batu tidak dalam tingkatan benda semata, tetapi batu itu disejajarkan dengan benda lain (semacam cangkul/gancu) untuk mencapai ketunggalan makna. Keduanya merupakan benda yang memiliki bobot makna seimbang, karena sama-sama dalam lokus persoalan yang kurang lebih sejajar atau berimpitan. Lokus makna itu bisa kita pahami dalam konteks hidup dan daya hidup. Namun, satu hal yang menjadi kekuatan Toni justru terletak pada jelajahnya pada kemungkinan ruang yang dibangun dari torehan warna yang sangat efektif, meninggalkan jejak ruang yang ilusif, kaya, dan tampak berdimensi kuat.

Joni Ramlan juga menorehkan kejutan. Goresannya yang padat dan berisi itu kini tampil memukau. Saya melihat kekutan Joni terletak pada dinamika garis yang sangat mengalir, spontan, tetapi tetap terkontrol. Dinamika itu meninggalkan kesan mendalam soal kepekaannya membuat sublimasi terhadap bentuk dan ruang. Semua unsur tampak kompak, efektif, dan mencuatkan bahasa ungkap yang mapan. Dalam karya yang mengambil subject matter sepeda, misalnya, tampak sekali karya ini memiliki kekuatan mereduksi bentuk secara realistik (fotografis) menjadi hadir sebagai representasi kekuatan cita-rasa. Bentuk itu hadir bukan didorong oleh ketepatan bentuk (presentasi), tetapi bentuk itu telah sampai pada taraf representasi cita-rasa (gagasan soal keindahan). Inilah yang menandai Joni sebagai ikon.

Sementara itu, kita akhir-akhir ini dikejutkan oleh kehadiran kelompok MAOSart. Kelompok ini beranggotakan empat pelukis; Andrie Suhelmi, Watoni, Rokhim, dan Zirenk. Kelompok ini memasuki medan seni rupa kontemporer dengan perspektif multipolar. Karya-karyanya yang tampil belakangan menyedot perhatian publik seni rupa lantaran mereka menggunakan pola appropriasi dalam memformulasikan gagasan dan bahasa ungkapnya. Pola ini memang disengaja untuk membongkar makna soal seni itu sendiri yang oleh sementara pihak hanya dipermainkan dalam medan elite. Karya seni terlalu dibingkai dalam medan yang terlampau sempit, karena hanya dipermainkan oleh kalangan elite terbatas. Dengan latar belakang itu, kelompok ini sengaja membenturkan apa yang dianggap ikon elite dengan ikon yang dianggap remeh-temeh. Hasilnya, memang kemudian menerbitkan parodi atau sinisme. Tapi, parodi ini menjadi tampak enak dilihat, karena di situ kita masih menemukan ruang untuk mempertanyakan daya kritis kita.

Pemetaan yang saya lakukan ini memang masih menyimpan ruang yang bisa diisi oleh seniman lain. Artinya, ada banyak kemungkinan di masa mendatang ”New Icons” akan menampilkan figur-figur lainnya.

Soal menghadirkan atau dihadirkan memang sesungguhnya soal perspektif dan pilihan. Sejarah memang pada akhirnya mereduksi, tapi juga mengoreksi posisi dan eksistensi. Seniman yang baik, tentu akan sadar soal ini. Namun, akan lebih baik, jika seniman terus-menerus sadar bagaimana konfigurasi sejarah itu terus bergulir, dan bagaimana sejarah selalu dengan paradigma yang melatarbelakangi terus berupaya membuat ”peta baru”, atau ”ikon baru”. **** Djuli Djatiprambudi: Lahir di Tuban, 12 Juli 1963. Pendidikan S1 diperoleh di jurusan Pendidikan Seni Rupa IKIP Surabaya (sekarang Universitas Negeri Surabaya/Unesa), S2 dan S3 (Program Studi Ilmu Seni Rupa) di Sekolah Pascasarjana ITB.

Copyright © 2009 pasarsenilukis!. All Rights Reserved.
pasarsenilukis.com

sumber : http://pasarsenilukis.com/

Tidak ada komentar: