Selasa, 04 Agustus 2009

Selayang Pandang Seni Rupa Kontemporer Indonesia:
Di Tengah Arus Turbulen



Oleh: Gustaff H. Iskandar**

Kira-kira beberapa bulan yang lalu saya mendapatkan email dari seorang teman. Sebagai gambaran, teman saya ini ceritanya adalah seorang mantan mahasiswi sekolah bisnis yang kebetulan tahu banyak mengenai perkembangan seni rupa terkini di Indonesia. Setelah mendapatkan gelar master ekonomi di sebuah universitas terkemuka di kota London, dia pulang ke Bandung pada tahun 2003 dan langsung dipercaya menjadi analis ekonomi di sebuah bank asing di Jakarta. Katakanlah namanya Vivian, biasa dipanggil Teh Vivi. Meskipun posturnya tidak terlalu tinggi, dia memiliki gerak-gerik yang lincah dan pembawaan yang aktif. Tidak heran kalau banyak orang yang betah ngobrol berlama-lama membicarakan berbagai topik yang diminatinya. Kalau saya tidak salah, dulu dia juga dikenal sebagai pemain bass dari D.A.N.T.E., sebuah band dub elektronik yang lumayan ngetop di kota Bandung. Untuk saya, hal inilah yang tampaknya membuat dia begitu dikenal di lingkungan kota kelahirannya.

Teman saya ini cerita kalau akhir-akhir ini dia sering keluar masuk galeri dan museum agar bisa terus mengikuti perkembangan seni rupa Indonesia. Selain itu, dia juga rajin datang ke pembukaan pameran, mulai dari pameran kecil hingga pameran sekelas Biennale ataupun festival. Kadang dia juga suka menghabiskan waktu untuk nongkrong di studio beberapa seniman yang dia kenal hanya untuk ngobrol-ngobrol dan menghabiskan waktu luang dengan mengamati karya seni yang ada di situ. Dalam emailnya, dia juga bercerita sedang berada di Istanbul. Disana dia sempat melihat karya kelompok ruangrupa yang tengah berpartisipasi dalam acara pameran seni rupa dua tahunan, Istanbul Biennale 2005. Nama ruangrupa memang cukup banyak dikenal selama 6 tahun belakangan ini. Selain aktif menyelenggarakan berbagai kegiatan seni rupa di Jakarta, kelompok ini juga rajin diundang ke beberapa event seni rupa di luar negeri. Ada banyak proyek mereka yang menyoroti berbagai persoalan ruang urban di kota Jakarta. Diantaranya sebutlah workshop video bertema “urban space” yang dipamerkan pada acara OK Video Festival 2003 yang diselenggarakan di Galeri Nasional Jakarta. Workshop ini antara lain diikuti oleh Wahyu Sulasmoro, R.E. Hartanto, Oliver Zwink, Henry Foundation, Irwan Ahmett a.k.a Iwang, dsb.

Dulu sekali saya pernah berkunjung ke rumah teman saya ini. Untuk ukuran seorang mantan mahasiswi sekolah bisnis, kegemarannya mengamati perkembangan seni rupa di tanah air bagi saya sudah sampai pada level “gila-gilaan”. Bagaimana tidak, di ruang belajar rumahnya saya menemukan bertumpuk buku kecil berisi catatan berbagai karya seni yang pernah ia lihat, baik secara langsung maupun dari buku ataupun internet. Selain itu, pada jejeran rak buku di salah satu sudut ruangan, saya menemukan sederetan folder yang berisi kliping koran, biografi seniman, potongan artikel dari majalah, buku seni rupa, katalog, dan berbagai bentuk terbitan yang berisi berbagai informasi mengenai seniman, karya seni dan pameran-pameran seni yang melibatkan seniman Indonesia; baik yang diselenggarakan di dalam negeri maupun di manca negara. Semua tersusun rapi dan diberi kode khusus yang dibagi kedalam beberapa periode dan istilah yang spesifik: Era Kolonial, Mooi Indie, Era Revolusi Fisik, LEKRA, Era Revolusi Sosial 1965, Era Orde Baru, Abstrak Bandung, Peristiwa Desember Hitam, Gerakan Seni Rupa Baru, Paska GSRB, Sumber Waras, Perengkel Jahe, Surealisme Yogya, dsb., dsb. Dipojok rak yang agak lenggang, saya mendapati folder yang paling baru bertuliskan “Paska 1998”.

Secara sepintas, tampaknya istilah-istilah ini tidak terlalu memiliki arti yang kongkrit. Namun setelah ditelisik lebih jauh, rupanya istilah-istilah ini punya persinggungan yang erat dengan berbagai situasi sosial, politik, ekonomi, sampai pada persoalan-persoalan kebudayaan secara umum di Indonesia. Mulai dari zaman kolonial sampai sekarang. Bagi teman saya ini, aktifitas kesenian merupakan sebentuk interaksi intensif yang mempertautkan seniman dengan lingkungannya. Oleh karena itu, untuk memahami karya seni ada baiknya kita juga berusaha untuk memahami konteks dimana dan bagaimana karya seni itu diciptakan melalui sudut pandang yang bermacam-macam. Menurutnya dengan cara seperti ini kita tidak hanya bisa memahami karya seni secara utuh, tetapi juga dapat melihat berbagai persoalan yang ada di belakangnya. Tidak heran kadang teman saya ini memanfaatkan karya seni sebagai acuan untuk melakukan berbagai analisa perkembangan ekonomi di Indonesia. Baginya karya seni adalah instrumen analisa ekonomi yang paling mutakhir saat ini.

Dia memberi contoh peristiwa boom seni lukis di New York pada tahun 1980-an yang antara lain juga disebabkan oleh peristiwa kebangkitan ekonomi Amerika yang dihantui resesi sampai akhir 1970-an. Setelah Amerika berhasil keluar dari resesi melalui berbagai kebijakan politik-ekonomi Ronald Reagan, dunia usaha mendapatkan energi optimisme baru yang kemudian berimbas pada bidang kebudayaan secara luas. Di bidang seni rupa, terjadi berbagai transaksi karya seni dengan nilai finansial yang nyaris absurd. Karya Julian Schanbel yang berjudul Notre Dame terjual dengan harga US$. 93.500,- dalam sebuah pelelangan pada tahun 1983. Angka ini didahului oleh penjualan spektakuler dari karya Willem de Kooning (Police Gazette, 1955) yang terjual dengan harga US$. 180.000,-; dan karya Jasper John (Double White Map, 1965) yang terjual dengan harga US$. 240.000,-. Keduanya dilepas pada acara lelang “America’s Pop Collector: Robert C. Schull – Contemporary Art at Auction” yang diselenggarakan pada tanggal 18 Oktober 1973. Pada tahun 1980 karya Jasper John yang berjudul Three Flags (1958) ditaksir seharga US$ 1.000.000,- oleh Whitney Museum yang berbasis di kota New York. Ada gosip tidak resmi yang menyatakan kalau berbagai transaksi karya seni di era ini merupakan konspirasi yang sengaja dirancang oleh badan intelejen Amerika yang bekerjasama dengan berbagai institusi penyandang dana di Amerika semisal The Rockefeller Foundation. Tujuannya cuma satu: memindahkan pusat perkembangan seni rupa modern dari Paris (Eropa) ke New York (Amerika). Konon melalui cara seperti ini pemerintah Amerika berhasil menarik dana investasi segar yang digunakan untuk membenahi kondisi ekonomi mereka.

Terus terang peristiwa di atas mengingatkan saya pada era boom seni lukis yang melanda perkembangan seni rupa di Indonesia pada akhir era 1980-an. Pada saat itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang ditopang oleh industri minyak dan properti memang tengah berkembang pesat. Dalam catatan yang dibuat oleh Sanento Yuliman (Boom! Ke mana Seni Lukis Kita?, 1990), stabilitas politik dan ekonomi yang dibangun oleh pemerintahan Orde Baru membawa berkah tersendiri bagi para pelukis di masa itu. Ada banyak orang kaya baru (OKB) yang membeli karya seni secara kalap dengan harga yang tidak masuk akal. Namun ada beda yang sangat mencolok. Apabila boom seni lukis di New York mampu melahirkan banyak institusi seni yang menyokong perkembangan seni rupa secara ajeg semisal Museum of Modern Art dan The Metropolitan Museum of Art, di Indonesia yang terjadi malah kebalikannya. Setelah masa boom seni lukis meredup, kebanyakan institusi seni seperti pusat-pusat kebudayaan, galeri dan museum (terutama yang disokong oleh pemerintah) ikut-ikutan bangkrut dan melarat. Dari sedikit yang bertahan adalah beberapa galeri pribadi dan institusi seni yang didukung oleh dana dari luar negeri maupun pusat-pusat kebudayaan asing. Pertumbuhan ekonomi di era Orde Baru yang ditopang oleh hutang luar negeri ternyata kandas oleh korupsi, dan hal ini menyebabkan perkembangan seni rupa menjadi kembang-kempis. Mati segan, hidup tak mampu.

Namun setelah era boom seni lukis, perkembangan seni rupa di Indonesia tidak mati sepenuhnya. Ada beberapa institusi pendidikan, seniman, akademisi dan para aktivis kebudayaan yang berani mengambil inisiatif di masa krisis. Sebutlah Rumah Seni Cemeti & Kedai Kebun di Yogyakarta; Selasar Sunaryo Art Space, Galeri Soemardja dan Jendela Ide di Bandung; Galeri Lontar dan Galeri Cemara di Jakarta, dsb. Melalui tempat-tempat semacam ini – meskipun sayup-sayup – aktifitas seni rupa kontemporer di Indonesia masih terus berlanjut. Belum lagi berbagai kelompok seniman muda yang aktifitasnya meningkat selama kurun waktu 10 tahun terakhir. Kemunculan kelompok-kelompok ini sepertinya juga merupakan gejala yang tidak terhindarkan. Aktifitas yang dilakukan oleh beberapa kelompok seniman muda semisal Daging Tumbuh, Mess 56, ruangrupa, dsb., setidaknya juga menunjukan pola perubahan yang penting. Harap diingat, kegiatan kelompok seniman pada era Orde Baru selalu ditekan dan dicurigai. Hanya seniman yang tidak terlibat di dalam kegiatan politik praktis yang bisa beraktifitas dengan aman. Alasannya tidak lain karena di era Orde Lama ada banyak kelompok seniman dan organisasi kesenian yang dijadikan basis aktifitas partai politik berhaluan komunis, ideologi yang dilarang secara resmi oleh pemerintah Orde Baru karena dituduh sebagai biang kerok kekacauan sosial politik di tahun 1965. Terlepas dari masalah ideologi, saat ini bagi sebagian seniman muda beraktifitas dalam kelompok bisa jadi merupakan salah satu strategi untuk mengantisipasi situasi ekonomi yang tidak menentu. Selain dapat menunjang kegiatan mereka, rupa-rupanya keberadaan berbagai kelompok semacam ini juga menjadi wadah yang dapat mengakomodasi berbagai kecenderungan artistik baru yang sulit diterima oleh berbagai institusi seni yang lebih mapan.

Selain beberapa kecenderungan di atas, berbagai event seni rupa skala besar sampai saat ini juga masih bisa diselengarakan meskipun dengan jalan yang tertatih-tatih. Sebut saja beberapa event seperti Yogya Biennale, Bali Biennale, CP Open Biennale, ataupun OK Video Festival. Bagi teman saya, hal ini juga bisa dilihat sebagai tanda yang cukup baik. “Itu tandanya ekonomi di Indonesia masih menjanjikan!”, ujarnya suatu ketika. Lebih jauh lagi, menurutnya secara umum Indonesia saat ini tengah diterpa gejala turbulen yang dipicu oleh transisi politik dan proses demokratisasi yang dimulai sejak tahun 1998. Dampaknya baru terasa sekarang ini. Perubahan yang serba cepat dan situasi yang serba tidak menentu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses turbulen. Jangan heran kalau CP Open Biennale 2005 yang memamerkan karya Agus Suwage dan Davy Linggar (Pinkswing Park, instalasi, 2005) memicu kontroversi dan mendorong organisasi massa seperti FPI mengambil jalan ekstra-konstitusi dengan mengancam organisasi penyelenggara biennale. Dalam situasi semacam ini berbagai bentuk gesekan dan tumbukan nilai merupakan sebuah peristiwa yang tidak terhindarkan. Hal ini menuntut para seniman untuk siap berakrobat supaya bisa tetap bertahan dan berkarya secara konsisten sehingga dapat mendorong terjadinya perubahan zaman. Oleh karena itu, menurut teman saya sebetulnya periode paska 1998 adalah periode yang sangat menarik dalam perkembangan sejarah seni rupa di Indonesia. “Namanya juga zaman peralihan. Tidak ada yang pasti dalam situasi transisi semacam ini. Situasi turbulen adalah sebuah situasi yang serba mengambang. Di dalam situasi seperti ini berbagai bentuk perubahan senantiasa bergerak dengan cepat. Makanya kalau ada tabrakan itu wajar. Tolong kamu catat, tidak ada yang stabil di dalam arus turbulen. Apapun bisa terjadi. Oleh karena itu menurut saya ini merupakan situasi yang sangat menarik”, tulisnya sebagai penutup.

Kyai Gede Utama, 02 Mei 2006

**penulis adalah seniman, bekerja untuk Bandung Center for New Media Arts/ Common Room Networks Foundation
Kyai Gede Utama, 02 Mei 2006

sumber : http://hetero-logia.blogspot.com/

Tidak ada komentar: