Kriya sebagai Seni Rupa Kontemporer?
Written by Administrator
Perkembangan seni kriya dalam kancah seni rupa kontemporer belum banyak didengar gaungnya. Asmudjo Jono Irianto mengulas masalah seni kriya kontemporer, perkembangan dan hambatan-hambatan serta tantangan yang dihadapi cabang seni ini.
Sebagai tulisan yang diniatkan sebagai refleksi, tulisan mengenai kriya kontemporer ini sejak awal memiliki masalahnya sendiri. Ya, bermasalah, sebab apa yang dimaksud dengan ruang lingkup kriya sampai saat ini masih menjadi wilayah yang cair, lebar, beragam, dan bertingkat. Kriya kerap dipadankan dengan istilah kerajinan tangan. Namun bisa juga merujuk pada barang-barang fungsional dan dekoratif --buatan tangan-- yang berkarakter individual. Adakalanya kriya menunjuk pada karya seni --biasanya disebut kriya seni.
Dalam seminar nasional terakhir mengenai kriya, beberapa minggu lalu, di ISI Yogyakarta, beberapa pemakalah berusaha meyakinkan bahwa kriya berbeda dari kerajinan tangan (handicraft). Memang ada kecederungan pada lingkup perguruan tinggi seni rupa bahwa kriya termasuk dalam seni tinggi, kendati saya merasa, yang dimaksud juga bukan merupakan wilayah seni rupa turunan tradisi fine art. Beberapa istilah yang coba mereka terapkan berkenaan dengan kesejatian kriya tidak merujuk pada kelas objek, tapi pada kondisi dan karakter tertentu, seperti orisinalitas, keunikan, serta dikerjakan dengan craftsmanship dan skill yang tinggi.
Bagi saya, hal itu tidak menjadi penjelasan yang cukup operasional untuk mengurung kategori produk atau objek yang disebut kriya. Apalagi, dalam penjelasan berikutnya dikatakan bahwa kriya yang “orisinal” dan unik tersebut kerap ditiru perajin dan diproduksi sebagai kerajinan tangan yang massal. Bagi saya, hal tersebut lebih berkaitan dengan perkara “desain” produk handicraft, khususnya produk barang hias. Barangkali ada desain barang hias yang cukup baik dan banyak peminatnya, lalu ada pihak-pihak lain yang meniru. Namun tentu saja hal itu tidak serta-merta menjadikan barang yang dibuat berdasarkan hak cipta desain sebagai kriya dan yang menirunya sebagai kerajinan tangan.
Bagi saya, keduanya tetap produk handicraft. Tentu produsen yang memiliki desain asli memproduksi handicraft dengan cara dan kualitas yang baik berbeda dari para penirunya, yang bisa dikatakan sebagai “pencuri” rancangan pihak lain.
Sementara itu, dalam beberapa pameran kriya, kita dapat menemukan karya-karya yang tak ada bedanya dengan karya seni. Hal ini menunjukkan bahwa istilah kriya memang cenderung memiliki sub-klasifikasi kelas objek. Hal ini menunjukkan bahwa upaya yang kerap dilakukan pihak perguruan tinggi seni rupa memaksakan adanya kelas objek yang paling tepat untuk mewakili sebutan kriya sebagai tidak produktif.
Barangkali disiplin kriya memang disiplin yang batasannya cair. Hal ini berbeda dari disiplin seni rupa dan desain yang batas-batas disiplinnya lebih ajek. Kendati istilah seni rupa juga bisa dinilai sebagai istilah yang luas dan beragam, seni rupa mutakhir (= seni rupa kontemporer) dan seni rupa dalam konteks perguruan tinggi selalu mengacu pada perkembanganya yang paling akhir serta merujuk pada lingkup dan makna seni rupa yang terakhir --sesuai dengan wacana dan teori paling advance.
Dengan kata lain, seni rupa sebagai disiplin dalam pendidikan tinggi tidak terganggu oleh istilah-istilah seni yang common sense, seperti istilah “seni memasak” atau “seni kerajinan”. Istilah “seni” dalam frasa tersebut jelas merujuk pada pengertian seni sebagai keahlian atau keterampilan. Hal ini menunjukkan bahwa lingkup seni rupa dalam perkembangannya yang paling mutakhir telah menjadi wilayah yang mapan. Sementara itu, kenyataan pengertian istilah kriya yang masih dapat ditarik ke sana kemari oleh berbagai pihak --dari wilayah yang berbeda-- menunjukkan bahwa istilah tersebut belum mengacu pada lingkup yang cukup ajek.
Kalaupun pihak-pihak dari perguruan tinggi ingin menetapkan batasan yang cukup ajek berkenaan dengan pengertian disiplin kriya, maka dibutuhkan eksistensinya para pekriya dan karyanya yang cukup menonjol. Kenyataannya, sampai saat ini, kedua perkara itu belum dapat ditunjukkan oleh lingkup kriya. Di satu sisi, perguruan tinggi seni rupa masih terus mencoba mengonstruksikan makna istilah kriya. Di sisi lain, makna yang coba dibangun harus diakui masih samar. Beberapa istilah yang kerap ditawarkan: keunikan, keterampilan, material alam, karakter personal, keindahan, kegunaan, dan lain-lain, menjadi kumpulan istilah yang tak membantu, sebab menjadi keistimewaan yang juga dimiliki dunia seni rupa dan desain.
Lebarnya ranah kriya, sayangnya, tidak disikapi dengan upaya mengklasifikasikannya pada sub-kategori kriya. Menurut saya, hal ini penting, sebab kriya dengan orientasi bisnis (=produksi) tentu masalah dan wacananya berbeda dari kriya dengan orientasi seni. Demikian pula kriya sebagai bagian lingkup seni terapan (applied art/decorative art) tentu berbeda orientasi dan masalahnya dari kriya yang berorientasi menjadi bagian praktek seni rupa kontemporer.
Istilah kriya kerap dipadankan dengan istilah craft dalam bahasa Inggris. Secara umum, kelas objek yang ditunjuk istilah craft adalah barang-barang buatan tangan, baik barang hiasan maupun fungsional. Istilah handicraft sesungguhnya menegaskan barang-barang buatan tangan. Namun istilah handicraft juga kental dengan stigma inferior, sebab seolah-olah hanya mengandalkan kerajinan dan keterampilan tangan --dianggap tidak mengutamakan kreativitas, kebaruan, dan karakter personal.
Yang menarik, istilah barang kerajinan atau kerajinan tangan dalam bahasa Indonesia mengalami stigma serupa. Itu sebabnya, pada saat ini banyak pihak berusaha menggantikan istiah kerajinan tangan yang berkonotasi inferior dengan istilah kriya. Hal ini juga mengindikasikan adanya persepsi banyak pihak bahwa barang kerajinan yang kualitasnya baik masuk dalam kategori kriya. Tentu harus dipahami bahwa perubahan istilah tak serta-merta mengubah kualitas suatu barang. Kendati memiliki potensi sangat besar dan terbukti memberikan kontribusi ekonomi, harus diakui bahwa kualitas kebanyakan barang kerajinan tangan buatan perajin Indonesia belum menggembirakan.
Istilah handicraft atau kerajinan tangan yang memang menekankan pentingnya keterampilan tangan umumnya merujuk pada barang-barang buatan industri rumah tangga dan sentra-sentra kerajinan tangan tradisi. Selain itu, ada pula barang-barang hias dan fungsional yang dibuat para seniman dan desainer. Mendiang Hildawati, yang terinspirasi oleh istilah artist-craftsman, mengusulkan istilah “seniman-perajin” bagi para seniman atau desainer yang membuat barang-barang hias. Umumnya para seniman yang memproduksi barang-barang hias memiliki studio yang dikelola secara mandiri dan biasanya dibantu beberapa karyawan.
Pada saat ini, di Jakarta, Yogya, Bandung, dan Bali tumbuh studio-studio keramik, kayu, tekstil, perhiasan, dan logam yang kebanyakan dikelola seniman dan desainer lulusan perguruan tinggi. Adakalanya studio-studio itu tumbuh membesar dan menjadi industri skala menengah. Hal ini, misalnya, ditunjukkan oleh produksi keramik yang dikelola Widayanto, jewelry produk Runi Palar, tekstil Obin, dan kayu Singgih Susilo Kartono (yang menghasilkan radio ber-casing kayu).
Istilah fine-craft, design-craft, atau kriya individual barangkali menjadi istilah yang tepat untuk menunjuk lingkup dan produk kriya yang dihasilkan para seniman dan desainer tersebut. Produk-produknya memang memiliki kelas di atas barang-barang kerajinan umumnya karena kualitas rancangan, pengerjaan, bahan, estetik, dan tidak ketinggalan karakter personalnya. Selain sebutan artist-craftsman, sebutan lain yang tepat untuk mereka adalah designer-maker --istilah yang juga populer di Barat.
Kendati mulai bermunculan, kekayaan budaya material, sumber daya alam, dan manusia di Indonesia membutuhkan lebih banyak artist-craftsman dan designer-maker. Produk yang mereka hasilkan dapat memberikan nilai tambah yang jauh lebih besar dari kebanyakan barang kerajinan. Produk fine-craft mereka diharapkan memberikan pengaruh dan dapat menghela agar kualitas barang-barang handicraft di tingkat produksi grass root ikut meningkat.
sumber : http://www.visualartsmagazine.info/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar