Selasa, 04 Agustus 2009

SENI RUPA ITB DALAM PERKEMBANGAN PERJALANAN SENI RUPA INDONESIA DARI MASA KE MASA1

Oleh: A.D. Pirous 12 September 2001
Lahirnya Pendidikan Tinggi Seni Rupa

Dunia berubah. Tanpa pernah bergerak mundur, lambannya telah menjadi lari yang sangat cepat. Teknologi sebagai unsur budaya, terbukti paling elastis dalam segala perubahannya dan mempengaruhi setiap aspek kehidupan manusia. Secara dramatis, teknologi merubah perspeksi orang tentang ruang, waktu dan jarak. Komunikasi semakin murah, seketika dan mudah. Transportasi semakin cepat. Dunia mengkerut. Konstelasi politik-ekonomi pun berubah. Sovyet pecah, Eropa bersatu, Asia menguat (semoga Indonesia turut juga) dan Amerika semakin tidak populer dengan kebijakan Partai Konservatif-nya. Dimana-mana denyut perubahan selalu ada.
Institut Teknologi Bandung dan FSRD-ITB yang kita cintai ini tidak terlepas dari denyut perubahan dunia, perbenturan ide-ide besar, sistem politik dan laju globalisasi dalam rentang waktu cukup lama. Pendidikan seni rupa di Indonesia dan khususnya Seni rupa ITB, merupakan fakta historis yang embrio-nya bisa ditelusuri hingga ke tahun 1840-an ketika untuk pertama kalinya seni Barat dipelajari orang Indonesia bernama Raden Saleh di beberapa negara Eropa. Kemudian pada masa 1930-an, secara terpisah, munculah organisasi pelukis pertama di Indonesia bernama Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi). Untuk pertama kalinya, sistem pendidikan sanggar mulai berkembang dan semakin subue sesudah masa kemerdekaan.
Organisasi Persagi ini semakin berkembang seiring dengan masuknya pendudukan singkat Jepang di Indonesia. Melalui seniman-seniman Jepang yeng bergabung dalam badan Keimin Bunka Sidosho--- Badan Propaganda Jepang--- seniman Persagi untuk pertama kalinya berkenalan dengan bimbingan teknis dalam melukis ala akademis di bawah bimbingan pelukis Jepang. Selain itu kebiasaan baru diperkenalkan saat itu yaitu melukis di luar studio. Kelak, ketika Ibu kota RI pindah ke Jogyakarta, banyak seniman-seniman --- bekas Persagi yang kemudian masuk Keimin Bunka Sidosho--- turut pindah ke Jogjakarta seiring dengan hangatnya revolusi. Mereka sudah terbiasa dengan melukis jauh dari studio, mengabadikan peristiwa-peristiwa revolusioner mencekam dan bersejarah masa itu dalam organisasi baru Seniman Indonesia Muda (SIM).
1 Tulisan ini dibuat untuk dibacakan sebagi keynote speech pada semiloka pendidikan Seni Rupa ITB, 12 September 2001
Di bawah pimpinan Supeno sebagai menteri pembangunan dan pemuda, dibentuk Seksi Sekretariat Menteri Negara Urusan Pemuda. Badan tersebut secara resmi merekrut SIM(dipimpin Sudjojono) sebagai Seksi Kesenian Bagian Propaganda untuk republik. Pada tahun 1950, ketika revolusi fisik mulai mereda seniman-seniman propaganda kembali ke tempat asal mulanya untuk berkarier sebagai seniman. Sebagian dari kelompok tersebut turut berkiprah menjadi guru saat Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) didirikan (sekarang bernama ISI).
Politik Etis Belanda dalam bentuk kesadaran kaum intelektual demokrat Belanda untuk membayar sebagian kecil kerugian-kerugian Indonesia akibat kolonialisme sedikit banyak mempengaruhi Simon Admiraal dan Ries Mulder untuk mendirikan sebuah sekolah seni rupa segera setelah Jepang meninggalkan Indonesia. Tiga tahun sebelum ASRI Jogjakarta, yaitu tahun 1947, berdiri lembaga pendidikan yang diberi nama Universitaire Leergang voor de Opleiding van Tekenleraren (Balai Pendidikan Seni Rupa Tingkat Universitas Guru Gambar) di Bandung dalam naungan Fakultas Ilmu Pengetahuan Teknik, Universitas Indonesia. Dengan berbagai daya dan usaha dari staf pengajar dan mahasiswanya termasuk Sjafei Sumardja, maka tanggal 2 Februari 1959, diresmikanlah Institut Teknologi Bandung yang merupakan gabungan dari Fakultas Teknik dan Ilmu Pengetahuan Alam. Peresmian itu disertai dengan disahkannya 7 buah departemen, salah satu diantaranya adalah Departemen Perencanaan dan Seni Rupa).
Setelah beberapa tahun kemudian, arah pendidikan mulai bergeser dari institusi penghasil guru gambar menjadi penghasil seniman. Periode ini dimulai dengan dibukanya bidang khusus melukis yang dikemudian hari menjadi seni lukis. Atas pemrakarsa staf pengajar, pada tahun 1957 dibangun pendidikan Seni Interior. Tahun 1963 dibuka bidang keramik, tahun 1964 dibuka bidang seni grafis dan patung. Program Komunikasi Seni Rupa yang lebih berorientasi ke pendidikan seni ditutup dan pindah ke IKIP.
Tahun 1973, ITB memiliki 3 (tiga) Fakultas dengan 7 (tujuh) departemen. Seni Rupa yang tadinya bergabung dalam arsitektur menjadi bagian yang berdiri sendiri yaitu Departemen Seni Rupa dibawah Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan. Periode ini ditandai dengan dibukanya bidang Desain Grafis dan Desain Produk. Departemen Seni Rupa kemudian berubah menjadi Jurusan Seni Rupa pada tahun 1980, masih tetap dibawah Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan. Hingga pada tahun 1984 Jurusan Seni Rupa berdiri sendiri menjadi satu Fakultas. Pada tahun 1988 pembagian organisasi seni rupa ITB demikian : ada dua Jurusan yaitu Seni Murni dan Jurusan Desain. Jurusan Seni Murni terdiri dari satu program studi (S1) dan 4 studio yaitu Seni Lukis, Seni Patung, Seni Keramik dan Seni Grafis. Sedangkan Jurusan Desain memiliki 4 program studi yaitu : Desain Interior, Desain Komunikasi Visual, Desain Produk Industri serta Kria Tekstil. Jurusan terakhir yang lahir adalah Jurusan Kriya.
Dalam usaha mengantisipasi perkembangan keilmuan, pendidikan seni rupa ITB mulai mengembangkan diri dengan membuka Program Magister Seni Rupa dan Desain pada tahun 1989 dan program Doktoral Sejarah Seni pada tahun 1994.

Seni Rupa ITB, langkah dalam Wacana Pembaru
Bagian ini menggambarkan Seni Rupa ITB dalam arus-arus pemikiran dan isme-isme yang ada di Indonesia. Pada tahun 1954, untuk pertama kaliny “Kelompok Bandung” mengadakan pameran lukisan di Balai Budaya Jakart. Pameran yang menggelar karya-karya hasil didikan Seni Rupa Bandung itu mendapat tanggapan yang keras dari para kritikus seni pada saat itu. Tanggapan yang pedas itu tidaklah mengherankan, karenakarya yang dipamerkan saat itu mengandung hal baru dan datang dari konvensi yang baru pula. Tentunya perlu waktu agar konvensi tersebut menjadi milik sepenuhnya masyarakat yang memegang konvensi berbeda.
Pada saat itu, nilai-nilai estetika yang lazim dipahami dan dianggap sebagai kebenaran adalah prinsip Mimesis. Prinsip ini menerangkan bahwa karya seni adalah tiruan alam, dan seorang seniman, pelukis misalnya, mendapat pengakuan atas keunggulannya sejauh ia dapat melukiskan objek-objek alam secara akurat. Sebagai contoh, karya-karya Raden Saleh yang sangat romantis menggambarkan alam. Pelukis-pelukis naturalis seperti Abdullah Surio Subroto (1878-1941), Mas Pringadi (1865-1936), Wakidi dan Basuki Abdullah juga mengacu pada prinsip mimesi ini. Prinsip estetika semacam ini dipahami oleh rakyat kebanyakan, sehingga pada masanya, tokoh seperti Raden Saleh menjadi sosok yang melegenda. Gaya realisme tahun 1930-an dan 40-an juga dapat dikategorikan dalam prinsip mimesis.
Prinsip estetika lainnya yang sangat dominan di kalangan seniman generasi Persagi adalah prinsip yang disebut eskpresivisme. Prinsip ini menjelaskan bahwa karya seni adalah ekspresi emosi seniman. Kunggulan karya seni ditentukan oleh tinggi rendahnya intensitas emosi yang diungkapkan. Seniman tidak lagi berupaya meniru bentuk alam secara akurat atau memperindah karyanya, melainkan berupaya sejujur-jujurnya untuk menghadirkan perasaannya dalam situasi tertentu dalam karyanya. Contohnya adalah karya-karya Affandi yang bergaya ekspresionisme. Bagi kalangan awam. Affandi sulitdipahami karena penampakannya seperti benang ruwet. Padahal, karya Affandi memang memiliki kriteria estetik yang berbeda dari prinsip mimesis, atau dengan kata lain, karya bergaya ekspresionistis tidak dapat dinilai dengan konvensi mimesis yang tak sejalan.
Kesalahan ini yang terjadi. Bagaimana kritikus-kritikus terkemuka pada masa itu menilai gaya baru dengan konvensi-konvensi lama. Mereka menerapkan prinsip ekspresivisme terhadap karya yang justru memperkenalkan prinsip estetika baru yaitu formalisme.
Dalam formalisme, karya seni dipandang sebagai susunan bentuk (form) yang murni, yang unsur-unsurnya terdiri dari garis, warna raut bentuk dan tekstur. Meskipun dalam karya seniman Bandung, objek-objek representasional seperti sosok manusia, pemandangan atau alam benda masih dapat diidentifikasikan,objek-objek tersebut tunduk pada perpotongan garis geometris yang seolah menenggelamkan objek-objek itu dalam susunan tersendiri. Pada tingkatan lanjut, seniman bandung itu tidak lagi memerlukan objek. Mereka berkreasi hanya dengan unsur rupa yang murni. Gaya seperti ini disebut dengan seni abstrak dan menjadi mainstream seni lukis nasional.
Pengamat seni rupa saat itu menuduh bahwa pendidikan Seni Rupa bandung telahmembuat “madzhab” dengan mengajarkan suatu kecenderuangan paling mutakhir dari kesenian rupa Barat. Mereka bahkan menyebut dengan istilah melecehkan : Laboratorium Barat – dan bagaimana seniman Bandung menelan nilai modernismementah-mentah. Para kritikus yang kebakaran jenggot tadi nampaknya lupa bahwa gaya-gaya lama: realisme, naturalisme maupun ekspresionisme yang telah akrab di kalangan masyarakat juga berasal dari Barat.
Bahwa lembaga pendidikan seni rupa Bandung mengembangkan bahasa visual yang “murni” adalah dalam rangka pengkayaan nilai-nilai estetik universal yang – nantinya terbukti – sangat diperlukan oleh masyarakat kita. Bahasa visual yang baru ini ternyata merupakan bahasa yang sebangun dengan arsitektur dan desain. Formalisme dalam seni murni dan fungsionalisme dalam desain dan arsitektur, merupakan kecenderungan estetik internasional di masa tahun ’40 hingga ‘60- an.
Perdebatan pedas pun memiliki berkah. Setidak-tidaknya eksistensi Seni Rupa bandung mendapat pengakuan skala nasional. Terbukti dengan diikutsertakannya karya seni rupa Bandung baik itu karya para asisten dan mahasiswa dalam pameran Konferensi Asia Afrika bersama seniman-seniman senior nasional lainnya. Di dunia kesenian memang terdapat suatu dalil yaitu setiap pembaharuan akan mengalami tantangan. Semakin keras serangan tersebut, pembaharu itu akan semakin eksis, dan eksistensi itu berubah menjadi pengakuan hanya apabila pembaharu itu tetap konsisten. Tahun 1950 - 60-an adalah tahun terror mental, intimidasi bagi seniman Bandung yang dilancarkan oleh organisasi Lekra. Serangan-serangan bagaikan gosokan dan tempaan agar mutiara mampu memancarkan sinarnya.
Tidak hanya seni lukis, grafis pun mulai bangkit. Pada tahun 1972, sekumpulan seniman Bandung melakukan rintisan penting dengan memamerkan teknik-teknik grafis yang berhasil dikembangkan – litografi, etsa, cukilan dan cetak saring – di Balai Budaya Jakarta. Hadir pada masa itu Mochtar Apin, A.D. Pirous, Kaboel Suadi. T. Sutanto dalam sebuah pameran yang baru pertama kali dalam kenisnya.
Konsistensi dalam gaya melahirkan idetitas khas Bandung dengan ciri : formalisme yang kuat, dimensi teknologis yang menyatu, eksplorasi bahan, teknik, serta ukuran. Identitas ini ditemukan dalam karya-karya yang dihasilkan. Sebagai contoh misalnya seni patung. Rita Widagdo, G. Sidharta, Sunaryo dan Nyoman Nuarta telah dikenal jejak-jejaknya lewat patung-patungnya, monumen maupun seni publik atau elemen estetik. Dalam seni lukis dapat kita sebutkan seorang Sunaryo yang begitu terampil dalam eksplorasi bahan-bahan, teknik dan ukuran. Selain itu ada memiliki teknis drawing yang kuat seperti priyanto dan Agus Suwage. Dalam seni grafis kita melihat Tisna Sanjaya dan dalam diri Setiawan Sabana kita melihat eksplorasi terhadap media kertas.
Bagaimana juga seni rupa Bandung tidak anti-tradisi, kita dapat melihat grafikus Haryadi Suadi yang memindahkan tradisi lukisan kaca Cirebon ke dalam grafis bahkan meneruskan tradisi lukisan kaca Cirebon dengan gayanya sendiri. Sementara dalam bidang keramik dapat disebutkan F. Widayanto dengan kemampuan memadukan dayaestetik dengan folklor-follor setempat dan sangat berhasil. Hendrawan Riyanto mengangkat teknik gerabah menjadi bahasa ekspresi kuat.
Selain pusat karya, seni rupa bandung merupakan pusat pemikiran, Perguruan ini melahirkan nama-nama penulis seni seperti Sudjoko, Ahmad Sadali, Wiyoso Yudoseputro. Bahkan Sanento Yuliman telah mendapat pengakuan sebagai kritikus seni nasional walaupun rentang usianya singkat. Jim Supangkat kini menjadi kurator independen yang cukup didengar di kalangan Asia-Pasifik dan menulis artikel-artikelseni. Selain itu, Yasraf Amir Piliang pun terlihat rajin menulis dalam surat kabar maupun buku Dunia yang Dilipat yang menjadi acuan penting dalam diskusi “post-modernisme” di Indonesia.

Seni Rupa ITB : Prestasi Institusi
Kontribusi lain Seni Rupa ITB untuk dunia seni rupa Indonesia adalah dengan disusunnya kurikulum inti pendidikan seni di Indonesia. Konsep ini disususn bersama dengan perguruan lain se-indonesia. Pada awal 90-an, seni rupa ITB bekerjasama dengan Ditmenjur Pendidikan dan kebudayaan untuk mewujudkan standardisasi pendidikan sekolah menengah kejuruan (SMK) dan Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) yang diberlakukan untuk Indonesia.
Seni Rupa ITB sangat aktif dalam menggalang kerjasama-kerjasama dengan pihak internasional di antaranya : JDR 3rd fund, USA, British Council, CRM & O & W Belanda, Curtin University, Perth, Australia, Kyungsang University, Korea Selatan, Chiba University, Jepang, HBK Braundchweig, Jerman, St. Martin College of Arts, London, The Japan Foundation dan lain-lain. Kerjasama dengan pihak lokal antara lain dengan Universitas Trisakti , IKJ, Itenas, STISI dan lain-lain.
Seni Rupa ITB juga pernah dipercaya dalam merancang gedung Conefo (sekarang MPR DPR) yang berskala besar dan hampir melibatkan seluruh pengajar seni rupa. Pada masa orde baru, seni rupa ITB dipercaya untuk menyelesaikan beberapa paviliun Indonesia: Expo 70, Osaka, Expo 85, Tsukuba, Expo Vancouver tahun 1986, Expo 1992 di Spanyol, selain urusan Expo, perancangan interior kapal-kapal penumpang buatan Jerman yang dibeli Indonesia tidak luput didesain oleh pihak ITB.
Demikian kiprah seni rupa ITB sebagai perguruan tinggi yang prograsif berusaha mengembangkan wawasan akademik almamater disamping tidak melupakan pengabdiannya pada kemanusiaan dan masyarakat.

Beberapa Catatan penutup
Melalui catatan ini, saya harap perguruan tinggi tercinta ini dapat melakukan usaha-usaha instrospektif dan terus mencari strategi baru pengembangan keilmuannya :
1 Kondisi masyarakat berubah. Bila pada masa tahun 1950-an pekerjaan seniman belum dianggap sebagai profesi terhormat, dipercaya dan dapatdiandalkan, pada saat kini seniman, desainer, pengkriya adalah seseorang profesional dan dihargai seperti profesi mapan lainnya : dokter, ekonomi, ahli hukum, insinyur dsb. Bila pada masa tahun 50-an kecenderungan menjadi seniman adalah karena idealisme,suatu panggilan jiwa, maka saat sekarang kepentingan material turut memegang peranan. Ada kecenderungan antara idealisme dan materialisme menjadi kabur. Tanpa bermaksud menjadi hitam-putih, seni cenderung menjadi lebih berwajah’komoditi’ dibandingkan sebagai “fenomena kebudayaan”. Strategi pendidikan bagaimana yang harus dikemas?
2 Menciptakan “nilai tambah”. Seni –rupa sangat berperan dapat memberikan nilai tambah suatu produk sebagai barang jadi yang punya daya jual dan daya tarik kepada publik. Kemampuan mendesain bahan baku menjadi bahan jadi-atau mengubah balok gelondongan dan rotan telanjang hutan tropik menjadi perabotan yang menarik, estetis dan laku dijual di pasar internasional. Kita diharapkan tidak lagi mengekspor kayu baku atau rotan baku secara membabi-buta, melainkanmengekspor dengan bangga barang perabot desain Indonesia dengan added value yang lebih besar. Sampai di mana tantangan ini dapat dijawab oleh lembaga pendidikan seni rupa di indonesia ?
3. Ciri identitas: Indigenousity (Identitas kelokalan). Sudah saat kita mengembangakan kajian dan penelitian intensif untuk mencari citra-citra visual yang sangat beragam dari seluruh kelompok etnis yang ada di wilayah Indonesia secara antropologis. Tugas seni rupa adalah menjadi kekhasan, keunikan baik berupa bentuk, bahan, warna dan desain untuk dikembangkan kembali sebagai bahasa dan perangkat baru dalam memberi kekuatan kepada produk Indonesia baik dalam bentuk karya maupun bentuk desain produksi. Kita harus bisa “menjual” desain Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Irian, Aceh, Bali dsb. Identitas etnis, locality, sebagai acuan desain
menjadi sangat penting dalam kontek melemahnya batas-batas bangsa dalam konteks gempuran globalisasi. Apakah Seni Rupa ITB sudah berkiprah dalam menemukan keunggulan khas ini ?
3 Membangun Tripartit antara perguruan tinggi, industri dan pemerintah daerah. Sudah waktunya perguruan tinggi seni rupa berantisipasi untuk bekerjasama dengan berbagai industri untuk membantu mereka menemukan paduan yang ideal antara barang yang kuat, indah dan murah dan bernilai jual. Perguruan tinggi harus peka untuk membagi tugas antara pengembangan pendidikan dan perkembangan citra produk industri di sekitarnya. Perguruan tinggi harus bisa menjadi “rekan penelitian” dan “pengembangan” bagi industri-industri kecil melalui hubungan-hubungan simbiosis. Dalam hal ini perguruan tinggi akan mendapat santunan balik dari insdustri. Dengan demikian, maka Pemda akan kecipratan pajak yang lebih besar dan otonomi kampus, maka kebutuhan akan tripartit yang kuat yang bisa mengangkat dan menjual ratusan item dengan bahan baku tekstil, kulit, kayu, metal dan keramik serta pualam menjadi keharusan yang butuh direalisasikan. Factory Outlet, sumber kemacetan kota, seharusnya tidak hanya berorientasi pada garment saja !
4 Qua Vadis Kurikulum : Akademi atau pendidikan Sanggar ? Dewasa ini timbul suatu kegairahan baru dalam berkesenian yang begitu menggoda bagi para mahasiswa dalam proses belajarnya. Keinginan meloncat menjadi seniman sudah demikian menggebu pada saat proses pendidikan masih berjalan. Sayangnya, kegairahan bagai kepompong berdenyut ini tidak begitu dipahami oleh para pendidik-pendidik seni rupa sendiri. Para guru barangkali tidak merasakan bagaimana murid-murid melihat diri mereka lebih senagai sosok seniman yang sukses bukan sebagai guru yang baik. Interaksi antara guru dan murid seringkali menjadi kabur antara tindakan berkesenian. Patronase antara guru dan murid seringkali menciptakan iklim sanggar dibandingkan dengan akademik. Padahal, proses pendidikan formal akademik adalah suatu fase yang harus ditempuh dengan baik oleh calon-calon seniman sebelum mereka keluar kepompongnya dengan kondisi yang matang. Ada suatu diktum alam yang berlaku untuk calon seniman belajarlah kepada pohon, jangan tumbuh tergesa-gesa. Semua ada waktunya sendiri-sendiri. Seharusnya bagaimana kurikulum pendidikan seni rupa selaku peka terhadap perubahan dan selalu disusun secara berkala adalah pertanyaan sentralnya. Bagaimana Seni Rupa ITB mengantipasi hal ini ? Salah benarnya kurikulum tidak dapat dilihat selama pendidikan berlangsung, tapi lama sesudah itu.
5 Kerjasama dengan pihak lain. Karena semakin beragamnya dinamika dan tantangan yang dihadapi oleh dunia pendidikan seni rupa Indonesia, maka seyogyanya seni rupa ITB lebih tangkas, lebih berangkulan dengan berbagai lembaga pendidikan seni rupa lainnya di tanah air untuk menciptakan pendidikan seni yang lebih kondusif dan solutif persoalan bangsa ini.

A.D. Pirous, Bandung, 12 September 2002

sumber : http://serambipirous.com/

Tidak ada komentar: