Selasa, 04 Agustus 2009

Seni Untuk Kehidupan

Written by Administrator
Thursday, 06 August 2009 01:00


Perjalanan sejarah performance art atau “seni penampilan” (meminjam istilah yang pernah dilontarkan almarhum Sanento Yuliman) di Indonesia memang belum lama. Arahmaiani, perupa, mencermati perkembangan cabang seni ini dalam perkembangan dunia seni rupa Indonesia akhir-akhir ini.



Genre seni yang mulai menampakkan cikal bakalnya lewat kemunculan happening art pada penghujung 1970-an ini tampaknya terus berkembang, sekalipun sifatnya flaktuatif. Tanpa gemebyar pasar dan gelitik kritik, nyatanya memang jenis seni yang hingga saat ini masih dianggap kontroversial itu, kok ya, bertahan dan bahkan berkembang --terus mencoba menjawab tantangan zaman. Mereka yang menerjunkan diri ke ranah seni yang ketat disiplin diri ini memang tidak banyak tapi biasanya bersifat militan.

Para praktisi atau penampil dari berbagai generasi datang dan pergi. Memang ada yang hanya muncul selintas atau hilang-timbul, tapi juga ada yang terus bertahan. Bahkan sebagian dari praktisi generasi awal ada yang masih terus berkarya hingga saat ini. Praktisi muda pun nyatanya terus saja bermunculan. Tampaknya seni yang tak menyediakan tempat untuk didefinisikan secara baku ini memiliki daya tarik tersendiri. Kecenderungan bersifat hybrid (dalam arti merupakan medium yang mencampurkan berbagai macam disiplin) memang menjadi medan eksplorasi kreativitas yang menawarkan tantangan unik.

Selain kemungkinan untuk berkarya secara tunggal atau kelompok dan pergelaran yang bisa dilakukan di sembarang tempat, tentulah memiliki “kekuatan” atau “daya sentuh” tersendiri. Pekerja kreatif yang cenderung senang bereksperimen, tak pelak, akan tergoda untuk memasuki wilayah “tanpa aturan” ini.

Medium yang membuka lebar-lebar pintunya pada kemungkinan penjelajahan dari berbagai sisi ini telah memberi ruang dan peluang untuk “diisi” dengan segala macam kemungkinan gagasan, teknik, maupun konsep. Dengan kebebasan yang tampak sedemikian leluasa seperti itu, memang di satu sisi bisa menjadi semacam jebakan dan seniman bisa “tersesat” jika tak memahami aturan main yang sudah diberlakukan. Artinya, sekalipun bersifat sedemikian “anarkis”, sebetulnya ada hal-hal dasar yang perlu dipelajari dan dipahami, yang akan memungkinkan praktisi sanggup memformulasikan estetika seni penampilanya dengan baik. Sedangkan di sisi lain, bagi seseorang yang kreatif dan memiliki kemampuan di berbagai bidang, medium ini bisa menampung gagasan yang tak bisa diakomodasi medium yang bersifat spesialis.

Kenyataan bahwa kurangnya penelitian dan pencatatan karya maupun kajian dan kritik merupakan kendala yang belum juga teratasi hingga saat ini. Bahwa jenis seni seperti ini sulit dikomersialkan adalah kenyataan yang sepertinya sudah dimaklumi oleh siapa pun yang terlibat di dalamya. Sesungguhnya memang awal kemunculan genre macam ini merupakan tandingan dari seni yang mulai mapan dan menjadi komoditas semata. Rupanya seniman yang ingin tetap memiliki kebebasan untuk berekspresi dan tidak mau terkooptasi kemapanan ataupun pasar akan menawar dan tak begitu saja patuh pada hal-hal yang didiktekan oleh mereka yang memiliki otoritas (dalam ranah apa pun). Dan situasi ini selalu terus berulang, entah dalam konteks waktu berbeda ataupun konteks sosial, politik, ekonomi, maupun budaya yang lain ataupun yang berubah.

Jika memperhatikan peta penyebaran dan aktivitas para praktisi di berbagai kota di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, Semarang, Surabaya, Denpasar, dan Makassar, bisa disimpulkan bahwa kehidupan dan perjalanan seni penampilan masih dinamis dan penuh vitalitas. Para seniman setia mendedikasikan diri pada proses kreatif yang cukup menuntut dan bahkan terkadang memerlukan semacam “pengorbanan”.

Infrastruktur yang miskin tampaknya tidak menjadi hambatan berarti. Perhatian yang minim dari lembaga yang seharusnya mendukung ataupun apresiasi yang kurang dari masyarakat juga tidak mematahkan semangat mereka. Kenyataan hidup dan definisi seni pun tak bosan dan tak lelahnya terus dipertanyakan. Seakan tak ada kata menyerah, sekalipun seninya kerap diragukan dan bahkan terkadang disepelekan --mereka terus berkarya dan terus bertanya.

Dalam rentang perjalanan yang relatif masih pendek, sebagian dari penampil ini malah mampu berkiprah di arena internasional. Mereka bersaing dengan seniman-seniman mancanegara dan sanggup membangun jaringan yang cukup kuat dengan para penampil maupun organisasi festival di berbagai pelosok dunia. Di antara mereka juga ada yang menyelenggarakan festival, baik dalam skala lokal maupun internasional.

Sebut saja Perfurbance di Yogyakarta yang dimotori Iwan Wijono dan diorganisasi Performance Klub, Jatiwangi Art Festival di Cirebon yang dikomandoi pasangan seniman Arif Yudi dan Loranita Theo, IIPAE di Jakarta yang diorganisasi Atiq Setyowati, dan belakangan di Surabaya pun diadakan festival berskala internasional (SIPAE) yang diorganisasi Ilham J.Baday dan kawan-kawan. Juga ada Un-diclosed Territory di Bali dan Solo yang diorganisasi Melati Suryodarmo.

Selain itu, ada pula ruang-ruang tampil atas inisiatif seniman sendiri, seperti Asbestos di Bandung yang dikelola pasangan seniman Mimi Fadmi dan Christiawan. Mereka menyediakan ruang dan fasilitas untuk para penampil berekspresi. Seniman lokal maupun dari kota lain dan mancanegara datang dan tampil di sana. Ruang Rupa di Jakarta juga memberi dukungan kepada para penampil. Begitu pula Kedai Kebun Forum ataupun Rumah Seni Cemeti di Yogyakarta.

Perlu dicatat juga adanya kelompok-kelompok penampil yang bekerja sama atau saling mendukung di antara para anggotanya. Antara lain Sakit Kuning Collectivo dan Rewind Art di Jakarta, Performance Club dan Taring Padi di Yogyakarta, Gadung Melati di Desa Sengi, lereng Merapi, dan Koloni Hitam di Bandung (untuk menyebut beberapa yang sangat aktif dan sering tampil dalam aksi-aksi publik).

Adapun karya-karyanya tampak cukup beragam dalam tema maupun pendekatannya. Dari beberapa contoh karya yang dibuat para penampil di berbagai kota, jika dianalisis lebih lanjut, bisa dilihat kecenderungan-kecenderungan tertentu yang disebabkan kondisi dan situasi lingkungan yang melingkupi. Sekalipun demikian, ada ciri yang hampir selalu mewarnai, yaitu sifatnya yang kritis --yang hampir selalu merupakan respons atas kondisi yang dinilai kurang genah atau kurang manusiawi. Entah itu menyangkut isue sosial politik (yang banyak digarap penampil kita) maupun soal-soal yang lebih bersifat psikologis ataupun respons terhadap sistem ekonomi yang kurang adil serta kritik terhadap pemahaman agama yang sempit dan menindas.


sumber : http://www.visualartsmagazine.info/

Tidak ada komentar: