Kamis, 06 Agustus 2009

SIGIarts Talkshow
Saturday, March 21, 2009
Topik yang diberikan panitia pada saya untuk diskusi ini kurang lebih adalah: “apa yang menginspirasi dan mempengaruhi seniman masa kini dalam berkarya”. Tentu saja ini sebuah topik yang selain tidak mudah juga luas. Selain itu, pertanyaan tersebut juga membawa kita pada persoalan wilayah atau konteks yang dilibatkan: apakah persoalan keprofesian seni (karir kesenimanan), konsep estetik, metode/teknik atau ideologi kesenian? Demikian pula, bagaimana kedudukan seniman yang dimaksud? Apakah calon seniman, seniman muda yang baru muncul atau seniman ternama? Tak hanya itu, pada era seni rupa kontemporer yang katanya plural dan anything goes menyebabkan apapun mungkin mempengaruhi dan menginspirasi seniman.


Era seni rupa kontemporer juga adalah era di mana kita tak bisa lagi yakin mengenai batas-batas dan makna seni. Itulah situasi yang menyebabkan Arthur Danto menyimpulkan bahwa era seni rupa kontemporer adalah era the end of art. Namun Danto juga menegaskan bahwa era the end of art bukanlah era the death of art. Yang dimaksud dengan era the end of art, adalah terbebasnya seniman dari beban sejarah, dan dengan sendirinya terbebas dari kanon seni yang hegemonik. Seniman bebas menentukan agenda, arah, dan metode seninya. Apapun dimungkinkan, sebagaimana diutarakan oleh Danto, “Nothing in art could any longer be invalidated by the criticism that it was historically incorrect. Anything and everything was now avalaible for the artist.”


Yang menarik, terbebasnya seni dari determinasi sejarah dan kanon hegemonik, menjadikan seni, di satu sisi semakin sulit, namun di sisi lain menjadi semakin mudah. Dalam hal ini harus dikatakan bahwa salah satu konsekuensi logis pluralisme adalah kebebasan seniman untuk menetapkan tujuan, konsep dan medium karyanya. Demikian pula seniman bebas mencari kedalaman makna dan nilai seni, menyuruk pada dataran filofofis (mencari nilai-nilai sublim) atau sebaliknya sedangkal mungkin, hanya mau bicara perkara keseharian yang remeh temeh. Namun, yang juga menarik, tak soal sublim atau dangkal, kenyataannya kedua kemungkinan yang bertolak belakang tersebut umumnya—pada medan seni yang advance infrastruktur dan wacana seninya (= Barat)—selalu dibicarakan pada dataran discursive practice, yaitu proses pemaknaan dan pemahaman (-persoalan) budaya. Discursive practice pada seni rupa kontemporer akan melibatkan perbincangan teori, kritik dan wacana seni, dan pada saat ini memasukkan pula tinjauan dari disiplin ilmu-ilmu lain: sosial, lingustic, cultural study, visual culture, dll. Discursive practice merupakan saluran pemikiran lebih lanjut dan lebih canggih dari persoalan yang ditampilkan seniman melalui karyanya. Tujuannya mengelaborasi, mengamplifikasi dan menimbulkan kesadaran lebih lanjut pada publik—mengenai persoalan tersebut—, setidaknya publik seni. Pada kenyataannya banyak karya-karya seniman kontemporer mengandung pesan mengenai persoalan sosial-politik-budaya, seperti: etnisitas, gender, minoritas, kelas sosial, lingkungan, dll. Tak terhindarkan pewacanaan seni pun menjadi semakin luas, mendalam dan kompleks.


Dalam dataran praksis, apa yang disebut karya seni rupa kontemporer kadang tampak membingungkan, tidak masuk akal dan mengganggu. Kadang karya-karyanya hanya berupa proses atau aktifvitas, (seperti :community-based art activity atau seni keterlibatan). Sementara seniman-seniman lebih muda umumnya asik dengan karya-karya yang menggunakan perangkat (gaget) teknologi informasi, dikenal sebagai new media art. Pada prinsipnya karya-karya tersebut bisa ditandai karena menimbulkan pertanyaan: (But) is it art? Ya, karya-karya yang dimaksud adalah karya-karya yang dianggap penting—diperbincangkan dan dimaknai—justru karena tampilannya tidak seperti karya seni. Kecenderungan karya-karya seperti itu dalam seni rupa kontemporer ditengarai sebagai kecenderungan neo-avant garde. Neo avant-garde ini berpangkal pada kecenderungan avant-garde pada awal abad 20, yaitu seni rupa yang menentang institusi seni tinggi, menyerang establishment seni dan cenderung anti-estetik. Kelompok seniman yang diidentikkan dengan avant garde adalah kelompok Dada, dengan salah satu seniman legendarisnya: Marchel Duchamp. Itu sebabnya neo avant-garde juga kerap dijulukis neo-Dada.


Tetapi, jika diamati lebih lanjut, khususnya di Indonesia, maka apa yang dihadapi publik seni pada pameran-pameran seni rupa kebanyakan adalah karya-karya yang memang tampil dengan identitas “seni”—tanpa timbul pertanyaan: is it art? Memang kebanyakan karya seni pada pameran seni rupa di Indonesia adalah seni lukis, seni patung dan kadang seni grafis—diselingi oleh karya-karya new media art di ruang-ruang alternatif, atau kadang di bienal, seperti pada Bienal Jakarta baru-baru ini. Mengapa tampilan seni rupa kontemporer Indonesia secara dominan diisi oleh karya-karya “konvensional” terutama seni lukis? Barangkali istilah konvensional bukan istilah yang tepat, sebab di era pluralisme ini setiap seniman bebas memilih mediumnya, dengan kata lain, setiap medium memiliki konvensinya sendiri. Dalam konteks seni rupa modern istilah konvensional merupakan petunjuk bahwa—terutama—lukisan disepakati dan terbukti menjadi medium bagi penerapan prinsip-prinsip dan konsep seni rupa modern. Hal itu ditunjukkan oleh dominasi seni lukis dalam kronologi gaya-gaya seni lukis yang mendasari perjalanan seni rupa modern dunia. Dalam konteks ini, apakah wajah seni lukis saat ini menunjukkan kadar konvensi seperti yang ditunjukkan seni lukis modern yang modernis-formalis? Dengan mudah disimpulkan bahwa wajah seni lukis kontemporer lebih menunjukkan tampilan yang bertentangan dengan seni lukis modern. Jika seni lukis modern sibuk dengan upaya mencari esensi seni lukis, maka seni lukis kontemporer kembali menjadi wilayah representasional. Artinya, kanvas bagi seniman kontemporer merupakan bidang tempat menampilkan persoalan.


Saat ini seni lukis, seperti juga seni rupa lainnya kembali menjadi wilayah representasi—tentang apapun. Hal ini menjadikan seni lukis teremansipasi, setelah pernah dalam watku singkat di tahaun 70-an seni lukis direndahkan—kerena menanggung dosa kebuntuan seni rupa modern. Seni rupa kontemporer secara tidak langsung menjadikan seni lukis kembali penting, sebagai wahana untuk menarasikan beragam persoalan manusia dan kebudayaan . Hal itu menunjukkan kepiawaian—para pembela dan pendukung—seni lukis dalam memutihkan kembali seni lukis dari “kebuntuan” seni rupa modern. Hebatnya, disamping diputihkan, citra seni lukis sebagai medium kelas atas pun tetap terbawa. Posisi penting seni lukis telah teruji oleh perjalanan waktu. Singkatnya, di era anytning goes dan plural ini, justru seni lukis dapat memberikan jaminan mengenai identitasnya sebagai “karya” seni. Tentu saja, apa yang saya utarakan tak bermaksud menyatakan bahwa lukisan-lukisan yang diberi status “seni” otomatis berkualitas atau memiliki nilai tinggi. Demikian pula, tak serta merta sebuah kanvas dengan balutan cat dan citraan di atasnya bisa dianggap seni. Sebab status sebagai karya seni rupa (kontemporer) tak serta merta menjadikan sebuah karya bernilai dan berkualitas. Persoalan penilaian dan penghargaan merupakan persoalan tersendiri, melalui proses yang melibatkan para penentu “nilai seni” seperti kritikus, kurator, pengamat seni, art dealer dan kolektor.


Dalam azas pluralisme seni rupa kontemporer, seni lukis bisa dipandang sebagai kategori yang “netral”, yang bisa dimuati kepentingan, ideologi, pesan dan intensi sang seniman. Seni lukis bagi senimannya bisa dikembalikan pada persoalan sejarah dan wacana seni lukis—baik mengafirmasi maupun menegasi—atau sebaliknya sekadar bidang untuk membangun citraan—dengan cara hand made (=dilukis) agar tetap terbangun aura uniqueness. Dalam hal keunikan (one of a kind) seni lukis memiliki kelebihan sebagai wilayah representasional—dibandingkan fotografi dan print. Apa yang dipaparkan menunjukkan mengapa seni lukis menduduki posisi dominan dalam seni rupa kontemporer Indonesia. Namun demikian, dominasi seni lukis juga disebabkan situasi medan seni kontemporer di Indonesia.


Dalam beberapa perbincangan, saya kerap mengutarakan bahwa seni rupa kontemporer di Indonesia terutama berlangsung dan tampil di galeri-galeri komersial. Hal ini disebabkan mandulnya ruang-ruang institusi formal seni rupa yang dikelola negara. Tak bisa dihindari bahwa ruang-ruang seni komersial memiliki logikanya sendiri—yaitu terutama profit. Dengan logika tersebut sulit bagi galeri komersial untuk dibebani menampilkan karya-karya seni eksperimental—kendati kadang mereka juga mencoba menampilkannya. Wajar jika galeri komersial mendahulukan karya-karya yang diminati pasar. Karena itu tak mengherankan jika manifestasi seni rupa kontemporer Indonesia didominasi seni lukis. Beruntung bahwa booming seni lukis Indonesia menunjukkan selera pasar yang cukup beragam. Namun, harus diakui selalu ada trend seni lukis tertentu yang cukup dominan. Umumnya trend tersebut diawali oleh seniman blue chip yang karyanya diperebutkan oleh pasar. Kecenderungan atau gaya melukis seniman bersangkutan akan menjadi trend karena akan ada beberapa seniman lainnya mengikuti, dengan harapan karya-karyanya juga segera diserap oleh pasar.


Satu hal yang bisa dicatat dari seniman-seniman yang sukses dibranded dan menjadi seniman blue chip adalah kesadaran karir. Kesadaran karir (menjadi seniman dengan sikap profesional) menjadi penting pada saat pameran seni rupa terutama dilakukan oleh galeri-galeri komersial. Sebagai konsekuensi dari karirisme tersebut, seniman—terutama seniman muda—harus melihat kepentingan dan kebutuhan pasar. Hal tersebut bisa dilihat dari seniman-seniman yang telah sukses karir kesenimanannya. Tak bisa disangkal bahwa pasar terutama menghendaki seni lukis. Maka tak mengherankan jika banyak seniman muda berkarya dengan medium lukis—tak penting latar belakang studi seni rupanya, sebab siapapun saat ini boleh menjadi “pelukis.” Bagi para pelukis muda, maka karya-karya pelukis yang telah sukses dipasar bisa menjadi acuan. Sikap dan plihan seniman muda terhadap trend yang ada di pasar sangat bergantung pada “modal” finasial, wacana dan ketrampilan yang dimilikinya. Mereka bisa sekadar menjadi follower, mendaur ulang atau mencoba mencari kemungkinan lain. Beruntung pluralisme menyediakan banyak kemungkinan “aesthetically correct”. Jika seorang seniman muda dinilai menghasilkan karya yang cukup kuat, maka selanjutnya dia tinggal menunggu “ditemukan” dan dibranding oleh medan seni rupa Indonesia(art dealer/galerist, kurator, kolektor dan balai lelang).


Untunglah, saat ini selera kolektor terhadap seni lukis cukup beragam. Hal ini menunjukkan bahwa kolektor semakin terbuka dan pengetahuannya semakin luas. Hal ini juga menjadikan seni lukis semakin terbuka terhadap beragam kemungkinan. Pada saatnya, kesediaan menerima keberagaman gaya seni lukis juga mendorong kolektor untuk tergerak mencoba meluaskan koleksinya pada karya-karya non lukis, seperti karya-karya tiga dimensi. Bahkan belakangan ini, karya-karya video art pun mulai dikoleksi oleh para kolektor. Tentu saja kenyataan ini merupakan suatu hal yang menggembirakan.


Akhirnya, kembali pada pertanyaan awal: apa yang mempengaruhi seniman muda dalam berkarya? Saya pikir jawabannya adalah justru kemungkinan menjadikan seni sebagai karir atau profesi mempengaruhi calon seniman atau seniman muda untuk terus berkarya. Dengan kata lain, keyakinan bahwa seni ada pembutuhnya, bahwa seni ada pembelinya menjadikan para seniman muda meneruskan keyakinan berkeseniannya. Pendapat ini sepertinya mendudukan pasar sebagai faktor determinan. Barangkali, saat ini dengan infrastruktur seni rupa kontemporer Indonesia yang dominan diisi oleh galeri komersial memang pasar menjadi determinan. Harapannya: pasar menjadi semakin canggih dan dapat menerima karya-karya lebih sulit. Dengan begitu justru posisi mereka makin kuat dan menentukan, sebab hal itu menunjukkan bahwa pasar tak hanya menjadi agen kapital, namun juga berlaku sebagai lembaga kultural, sebagaimana dijelaskan oleh Olav Velthuis,


At the same time, however, dealers are cultural institution which serve as gatekeepers to the artworld; they elect and select artists from many who seek to be presented, and promote new, innovative value that may go against the grain.”


Jika pasar mampu menyerap beragam kemungkinan seni, maka seni rupa kontemporer Indonesia akan makin subur dan berkembang. Berkaitan dengan pertanyaan awal, apa yang menginspirasi seniman muda dalam berkarya? Bisa dijawab bahwa pasar yang canggih bisa menjadi wilayah inspiratif. Jika selera pasar semakin beragam, canggih dan suka dengan kebaruan, maka dengan sendirinya hal tersebut manjadi sumber inspirasi dan pemicu bagi seniman-seniman muda untuk menerobos, dan menghasilkan “kebaruan-kebaruan” berikutnya. Jika hal ini sampai terjadi, maka seni rupa kontemporer Indonesia dapat maju dan berkembang tanpa harus bersandar pada fasilitas seni yang disediakan dan dikelola pamerintah—yang sebetulnya juga boleh dikatakan tidak ada. Maka, akhirnya semoga selera pasar seni rupa Indonesia semakin canggih.

Asmudjo Jono Irianto



sumber : http://www.sigiarts.com

Tidak ada komentar: