Negara, Seni Rupa, Kenyinyiran, dan Kambing Hitam
Oleh Halim HD, networker Kebudayaan Forum Panilih Solo
(Ini ada tulisan menarik yang aku ambil dari blognya uda Nasrul Azwar yang moga-moga ada manfaatnya. Tengkiu untuk uda Nasrul Azwar dan mas Halim. Juga txs berat untuk Tita Regol yang kupinjam oleh2 fotonya)
Setiap warga pembayar pajak berhak mempertanyakan dan bahkan menggugat posisi-fungsi negara: sejauh manakah pengelola negara sudah benar-benar menerapkan undang-undang yang telah disepakati, misalnya adakah negara beserta perangkatnya memberikan anggaran yang cukup bagi kehidupan kesenian, dan sejauh manakah anggaran itu memadai bagi missi kesenian yang bisa mencitrakan sebuah bangsa melalui berbagai peristiwa, apakah itu biennale (dan festival). Hal itulah yang dipertanyakan oleh para seniman-perupa dalam diskusi di Yogyakarta seperti yang ditulis oleh Kuss Indarto “Lenyapnya Negara di Seni Rupa” (Kompas, Minggu 1 April 2007). Diskusi itu menggugat posisi-fungsi negara yang tidak pernah mendukung missi senirupa moderen keberbagai peristiwa antrar bangsa.
Gugatan seperti itu senantiasa kita ulangi, mungkin sejak beberapa tahun setelah berdirinya republik ini sebagai sebuah kesepakatan dalam pengelolaan berbagai potensi dan aktualisasi diri dalam wujud senibudaya. Lihatlah Sukarno, betapa dia begitu antusias terlibat dalam ruang dan patung publik di ibukota; dan bagaimana dia berdiskusi dengan seniman-pematung Sunarso dan perancang tata ruang kota dan ahli konstruksi Sutami, seperti dia juga begitu antusias berdiskusi dengan seorang remaja, Andi Nani Sapada yang pada tahun 1947 berumur 18 tahun, penari dan peletak dasar kesenian panggung di Sulawesi Selatan. Gordon Tobing, sang duta kesenian dengan nyanyian rakyat dari Danau Toba, melanglangbuana atas restu Sukarno. Diplomasi kebudayaan sebagai usaha untuk mencitrakan sebuah bangsa adalah “show room” bagi nasionalisme yang sedang ditancapkan bukan hanya di nusantara saja, tapi juga keberbagai mancanegara, agar bangsa-bangsa lain tahu dan paham bahwa ada suatu bangsa yang kaya oleh khasanah tradisi dan kebudayaan. Dan dengan itu pula, Sukarno mengajak warga di nusantara: banggalah jadi bangsa yang memiliki semuanya itu, dan tumbuh-kembangkanlah kekayaan khasanah tradisi dan senibudaya yang ada di bumi nusantara sebagai usaha untuk mengisi kemerdekaan bangsa ini.
Dan kini, jika kita membandingkan dengan politik kebudayaan jaman Sukarno dengan Suharto yang menancapkan ideologi pembangunan dengan segi ekonomi sebagai yang utama, disitu pula sesungguhnya kita bisa melihat suatu perubahan besar posisi seniman-pematung misalnya sebagai kasus, sekedar menjadi pelengkap-penderita: dia tidak lebih dari tukang yang menerima orderan dari para kontraktor yang melambung posisinya lantaran memiliki kekuatan politik-ekonomi yang berkongkalikong dengan para pejabat yang juga memiliki kepentingan ekonomis dan politik. Sama seperti para arsitek yang sekedar dijadikan tukang gambar. Lihatlah patung-patung di ruang publik, untuk mengambil contoh di Solo dan Makassar selama periode Suharto: tak ada yang bermutu, dan bahkan cenderung merusak tata-ruang-pandang warga, misalnya patung selamat datang dengan gaya etnik di Jalan Ribura’ne, Makassar.
Ironi dari jaman pembangunan menunjukan bahwa mereka, seniman-pematung ditekuk harga dirinya melalui berbagai proyek yang mereka dekati sendiri, tanpa mempertimbangkan diri mereka, tanpa harkat-martabat! Jadilah mereka seperti cacing yang melata dibawah sepatu para pejabat dan kontraktor, sama seperti para arsitek yang hanya bisa memulas-mulas bagian depan rumah atau bangunan, dan itupun dengan tipuan dan manipulasi jiplakan dari negeri lain, dengan apologi: mengikuti jaman, sesuai dengan selera globalisasi, dan ditambah sentuhan, konon, citra dan khasanah etnik yang dijadikan lipstik arsitektur. Lihatlah ruko yang bertebaran seperti jamur, atau rumah-rumah pejabat diberbagai daerah yang ruang tamunya bagaikan lobi hotel, atau “show room” toko furnitur dan elektronika.
Dari hal memandang tata ruang perkotaan yang menyejarah dan kini porak poranda itu pulalah kita bisa merenungi, bahwa suatu kekuatan dan kehendak politik yang tidak memiliki cita rasa dan visi serta hanya menekankan segi ekonomi saja, disitu pula kita merasakan benar bahwa posisi-fungsi kehidupan kebudayaan dan kesenian memasuki degradasi total. Ekonomisasi dalam wujud komersialisasi ruang perkotaaan menggusur ruang publik yang semula sebagai wilayah ekspresi bersamaa warga menjadi wilayah dimana tingkah laku ekonomi menjadi sesuatu yang utama, dan disitu pula kesenian kian ter/di-dingkirkan. Di situ pula realitas posisi seniman dan arsitek menjadi subordinatif akibat penerapan politik dan ideologi pembangunan. Dan hal itu pasti pula didukung oleh sikap dan watak seniman dan arsitek yang tidak memiliki harkat-martabat, menjadi bootlicker, mengejar pemuasan ekonomis dan status sosial.
Dari kondisi itu sesungguhnya kita bisa melihat dan melakukan koreksi diri: bahwa para perupa (juga arsitek) jugalah yang lantaran pertumbuhan kelas menengah-atas akibat pembangunan yang dianggap “sukses” mampu mendongkrak posisi sosial dan ekonomi seniman-pelukis khususnya. Tidak sedikit mereka yang jadi miliarder, yang dulu kere-mere-mere, gelandangan terlunta-lunta, kini naik-turun mobil ratusan juta, atau bahkan mendekati semiliar. Dalam konteks ini, suatu berkah yang harus disyukuri. Namun, diantara gelimang kehidupan ekonomi yang baik itu, sangat ironis bahwa para perupa-pelukis masih pula meminta kepada negara, agar mereka diberikan biaya untuk mengikuti berbagai biennale, dengan apologi atas nama citra suatu bangsa, yang diperbandingkannya dengan kondisi negeri lain, yang memang memiliki aparatur yang lebih cerdas dan punya visi. Padahal kita tahu, para pejabat pengelola kesenian dan kebudayaan di negeri ini lebih piawai sebagai tukang pidato. Marilah kita kutip pernyataan yang nyinyir, seperti apa yang dikatakan oleh Surya Yuga, Direktur Kesenian Departemen Pariwisata dan Kebudayaan, yang menyatakan bahwa seniman-perupa Indonesia mesti lebih professional pada era globalisasi. Jika tidak, maka “lampu merah” karena kalah bersaing. Lihatlah perupa Cina berduyun-duyun ke Indonesia. Sementara perupa Indonesia lamban, perlu tiga bulan jika ada undangan. (“Lampu Merah Bagi Seniman Indonesia”, Kompas, 2 April 2007). Disini kita menyaksikan saling tuding: seniman-pelukis menganggap negara dan aparaturnya tidak memiliki tanggungjawab untuk membiayai sebuah missi, disisi lain aparatur negara yang asbun menuding seniman-perupa Indonesia yang kurang sigap menangkap momentum globalisasi.
Jika kita menganggap gugatan kepada negara itu sebagai niat baik, maka sebaiknya perlu pula seniman-pelukis-pematung (dan arsitek) merenungkan kembali dan melihat lebih mendalam di lingkungan sekitarnya: sejauh manakah kalangan perupa-pelukis-pematung memang benar-benar dianggap mewakili suatu bangsa, jika dirinya sendiri tidak pernah melakukan suatu tindakan empati kepada lingkungan kesenian lainnya, misalnya kehidupan tradisi yang sesungguhnya kondisinya jauh lebih jelek, bukan hanya merana, tapi mendekati porak poranda: bukan hanya dijadikan pelengkap penderita, tapi lebih dari itu menjadi sapi perahan kalangan pariwisata swasta maupun pemerintah, elite penguasa lokal atas nama “pelestarian” dan nilai-nilai luhur peninggalan nenek moyang!
Mungkin ada benarnya pernyataan Ben Anderson, pakar Indonesianis dari Cornell University: kelas menengah-atas di Indonesia tidak pernah melakukan pembelaan kepada kalangan petani atau kelas bawah, dalam ceramahnya di Surabaya. Dan sebagian dari kelas menengah-atas itu dalam wujud para seniman-pelukis-pematung yang sibuk dengan dirinya sendiri, sambil mematut-matutkan dirinya dengan dunia internasional. Dan disitu pula kita menyaksikan mereka tak lebih dari bebek kebudayaan, pengekor dengan berbagai gaya yang dipetik dan disulap, dan sekali lagi, seperti kalangan arsitektur, memakai lipstik etnik agar masih dilihat dan dianggap memiliki “nasionalisme” dan bagian dari sejarah peninggalan nenek moyangnya. Maka ketika kalangan perupa gagal, tidak mampu menggali dan mengaktualisasi dirinya secara setara dengan rekannya diberbagai negeri, mereka bersibuk diri menggugat posisi-fungsi negara dalam pencitraan dunia senirupa di tingkat antar bangsa. Dan itu artinya adalah kenyinyiran, dan kenyinyiran itu sama sebangun dengan kenyinyiran pejabat pariwisata yang asbun, dan sama sebangun dalam mencari kambing hitam. ***
sumber : http://kuss-indarto.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar