Rabu, 05 Agustus 2009

WANTED: Indonesian Art Critic(ism)!
oleh Saut Situmorang*

Isu paling penting yang sedang mendominasi wacana seni
kontemporer ¨Csastra, teater, film dan seni rupa¨C
Indonesia bukanlah soal tidak adanya masterpieces
baru, seperti yang secara umum sering dikeluhkan, tapi
adanya krisis kritik(us) seni. Krisis kritik(us) seni
ini akan lebih gamblang terlihat kalau kita tempatkan
posisi ¡°kritik(us)¡± seni Indonesia dalam perspektif
seni internasional. Dalam konteks wacana seni
internasional, sebuah isu yang telah mendapatkan
interogasi besar-besaran paling tidak selama sepuluh
tahun terakhir ini adalah kanonisasi karya seni. Dalam
dunia sastra misalnya, pengarang-pengarang novel
berbahasa Inggris asal negeri-negeri Dunia Ketiga,
baik dari Asia, Afrika maupun Amerika Tengah/Karibia,
telah mempertanyakan politik sastra yang melakukan
seleksi novelis-novelis tertentu yang dimasukkan dalam
kanon sastra sementara membiarkan yang lainnya
tenggelam dalam obskuritas. Para pengarang novel
berbahasa Inggris asal bekas negeri jajahan Kerajaan
Inggris, seperti Chinua Achebe dari Nigeria, tidak
tercantum nama dan karyanya dalam daftar para
pengarang yang mesti dipelajari di sekolah-sekolah di
negerinya sendiri, yang cuma berisi nama-nama novelis
asal Inggris! Bayangkan bagaimana nasib mereka dalam
kurikulum sekolah-sekolah di negeri Inggris sendiri!
Kolonialisme kanon sastra seperti ini terdapat secara
umum di negeri-negeri bekas jajahan Kerajaan Inggris
dan akhirnya mendapat perlawanan dalam apa yang saat
ini dikenal sebagai ¡°Studi Pascakolonial¡±.
Sebelumnya, gerakan Feminisme telah lebih dulu
mempertanyakan politik sastra patriarki, terutama di
budaya Barat, yang menyingkirkan begitu banyak
pengarang perempuan dari kanon sastra tanpa argumen
yang adil dan masuk akal. Apa yang bisa digarisbawahi
dari kasus Feminisme dan Studi Pascakolonial ini
adalah bahwa kritik(us) seni (tidak hanya dalam dunia
sastranya) berperanan besar dalam mendekonstruksi
realitas kanon seni mereka hingga menyebabkan
perubahan yang positif dalam wacana seni budaya
mereka.

Kita tentu masih ingat bagaimana Clement Greenberg
seorang diri berhasil menjatuhkan pamor mapan Cubisme
di New York tahun 1940an dan menggantikannya dengan
sebuah gerakan seni lokal yang tidak dianggap apa-apa
sebelumnya karena asal-usul lokalnya itu (bukan
made-in-Paris, seperti Cubisme), Ekspresionisme
Abstrak, atau Abstract Expressionism. (Ada yang
menarik dengan resepsi aliran seni ini di Indonesia,
yaitu bahwa istilah Abstract Expressionism
diterjemahkan menjadi Abstrak Ekspresionisme ketimbang
Ekspresionisme (yang) Abstrak! Apa tidak mungkin telah
terjadi kesalahkaprahan konsep/ide dari kesalahan
penterjemahan ini?!)

Sekarang bagaimana dengan Indonesia? Apakah kita punya
persoalan pascakolonialitas dalam relasi seni kita
dengan seni Barat? Dalam konteks sastra Indonesia,
kenyataan bahwa sastra Indonesia tidak memakai bahasa
bekas negeri penjajah Belanda sebagai medium ekspresi
telah membuat isu pascakolonialitas tidak bertumpu
pada persoalan bahasa tapi pada hal-hal lain yang juga
merupakan kondisi akibat penjajahan Barat yang dialami
negeri ini, seperti hibriditas identitas (black skin
white masks, istilah Frantz Fanon) yang sekaligus
mempengaruhi pengalaman hidup sehari-hari kita sebagai
subjek pascakolonial. Tetralogi novel Karya Buru
Pramoedya Ananta Toer merupakan contoh karya
pascakolonial dalam sastra kontemporer Indonesia.

Dalam konteks seni rupa Indonesia, kita tentu masih
ingat pengalaman pahit betapa karya-karya
¡°masterpiece¡± seni rupa modern Indonesia hanya bisa
diterima dalam pameran museum etnografi sewaktu
dikelilingkan di Amerika Serikat di awal 1990an.
Orientalisme yang dilakukan oleh institusi seni rupa
Amerika Serikat itu tentu saja bisa kita artikan
macam-macam, tapi apa yang biasanya luput dari keluhan
adalah impotensi para ¡°kritikus¡± seni Indonesia
untuk bicara tentang seni Indonesia di luar sana.
Sudah menjadi tanggung jawab profesi bagi
mereka-mereka yang dianggap dan menganggap dirinya
¡°kritikus¡± seni Indonesia untuk mampu
menerangjelaskan di mana sebenarnya keunikan seni rupa
Indonesia hingga karya-karya seni rupa Indonesia
semestinya dipamerkan di tempatnya yang pantas, yaitu
galeri seni rupa modern/kontemporer, bukan sekedar
sebagai pajangan oksimoron di museum etnografi.

Di dalam negeri sendiri belum lama berselang terjadi
skandal seni rupa dengan adanya tuduhan bahwa para
¡°kritikus¡± seni rupa Indonesia terlibat dalam proses
goreng-menggoreng harga karya dalam posisinya sebagai
perantara antara seniman dan kolektor. Tuduhan yang
bukan sekedar tuduhan omong kosong itu sebenarnya
hanya penekanan kembali atas apa yang sedang
menjangkiti wacana seni modern kita, persoalan krisis
kritik(us) seni. Kalau kita membaca koran-koran
Indonesia edisi hari Minggu misalnya, yaitu edisi yang
umumnya berisi kolom seni, kita akan menemukan betapa
sedikitnya ¡°review¡± atas event seni yang ditulis
oleh para ¡°kritikus¡± seni kita. Biasanya apa yang
bisa kita baca hanyalah semacam laporan berita
bersifat pseudo-review dan itupun kebanyakan ditulis
oleh wartawan bidang seni koran masing-masing. Para
¡°kritikus¡± seni kita nampaknya lebih tertarik
menulis artikel lepas ¡°esei koran¡± dan kalaupun
mereka menulis review maka biasanya merupakan resensi
atas pameran-pameran/peristiwa seni tertentu yang
konteksnya kalau tidak ¡°kanon lokal¡± maka sesuatu
yang ¡°made-in-luarnegeri¡± (Eropa atau Amerika
Serikat). Di luar sumbangan pemikiran mereka yang
tidak memadai ini, mereka umumnya belum pernah
menghasilkan satu buku pun yang berisi pembahasan
kritis atas satu isu tertentu atau seorang seniman
tertentu. Pada umumnya kritikus seni Indonesia
¨Csastra, teater, film dan seni rupa¨C hanyalah
¡°eseis koran¡± belaka dan belum menyumbangkan apa-apa
yang berguna bagi wacana seni modern/kontemporer kita.


Galeri/rumah/ruang seni adalah alternatif dari kritik
seni di Indonesia. Ironis memang tapi
galeri/rumah/ruang seni jauh lebih relevan dalam
proses pengenalan seni rupa Indonesia kepada publik
sekaligus merupakan tempat di mana perkembangan seni
rupa kontemporer Indonesia bisa dengan lebih seru
dinikmati. Absennya tradisi kritik(us) seni kita ©¤hal
ini bisa juga dijadikan bukti gagalnya sistem
pendidikan seni di perguruan tinggi yang sangat
berorientasi pada ¡°memproduksi¡± seniman ketimbang
menghasilkan pemikir/kritikus seni©¤ dan (kebutuhan
akan) majalah/jurnal seni rupa yang berbobot
intelektual (yang masih belum ada sampai saat ini)
membuat posisi galeri/rumah/ruang seni tidak lagi
sekedar tempat ¡°pameran¡± karya tapi juga tempat lalu
lintas ide-ide, konsep-konsep sampai isme-isme yang
sedang ngetren dalam wacana seni kontemporer kita.
Sebuah pameran yang diikuti baik seniman senior maupun
junior, misalnya, apalagi kalau dilakukan dengan
standar kuratorial yang ketat, akan merupakan sebuah
peristiwa pembelajaran sejarah seni yang sangat baik.
Pameran seperti ini akan dengan konkret menunjukan
dinamisme pencapaian yang telah dilakukan para seniman
kita di tengah-tengah sunyinya kehidupan berkesenian
yang tidak memiliki tradisi kritik(us) seni yang
representatif.

*Saut Situmorang, penyair, tinggal di Jogjakarta.

sumber : http://www.apakabar.ws/

Tidak ada komentar: