Senin, 08 Februari 2010

APT 6 Kehilangan Aura
oleh Tim Indonesia Art News

Perupa Dadang Christanto di sela karyanya yang bertajuk They give evidence,
yang digelar 25 Februari hingga 15 Mei 2005, di Asian galleries,
Art Gallery of New South Wales, Australia. (foto: www.artgallery.nsw.gov.au)


ASIA PACIFIC TRIENNALE (APT) ke-6 berlangsung akhir 2009 hingga April 2010 di Queensland Art Gallery (QAG), Brisbane, Australia. Satu seniman Indonesia, Rudi Mantovani, terlibat sebagai peserta. Ini merupakan perhelatan APT ke-6 setelah berlangsung pertama kali tahun 1993. Kala itu, ada beberapa perupa Indonesia menjadi peserta. Dadang Christanto salah satunya, di samping ada nama Tisna Sanjaya, Heri Dono, FX Harsono, dan lainnya. APT sendiri dianggap sebagai salah satu barometer penting untuk melihat perkembangan seni rupa kontemporer di Asia Pasifik. Diikuti oleh negara-negara Asia Pasifik yang notabene berada di luar jangkauan geografis pusat seni modern (Barat: Eropa-Amerika), APT menegaskan kecenderungan-kecenderungan praktik seni rupa kontemporer yang mengacu pada bingkai posmodern.

Kali ini, Dadang Christanto hadir kembali di APT dalam kapasitasnya sebagai salah satu pembicara simposium yang menjadi bagian melekat dari perhelaan tersebut. Berikut ini adalah hasil wawancara tertulis Indonesia Art News dengan perupa kelahiran Tegal, Jawa Tengah, tahun 1957 ini.

Dalam Asia Pacific Triennalle (APT) 6, Anda teribat tidak sebagai peserta pameran, namun pembicara seminar di dalamnya ya…

Seperti APT sebelumnya (APT V, 2006), saya menjadi salah satu pembicara dalam seminar. Pada APT VI yang di buka Desember lalu juga “didhapuk” (mendapat kehormatan) menjadi salah satu pembicara dari banyak pembicara (yang saya tak ingat nama-namanya) dalam seminar sehari penuh.

Isu apa yang Anda ketengahkan dalam presentasi tersebut?

Saya diminta berbicara untuk memberi pembandingan di antara APT-APT yang sebelumnya. Dan bagi saya yang menarik adalah ketika APT I, pada tahun 1993. Seperti kita tahu dan alami bersama di tahun itu regime Orde Baru tengah berkuasa. Dan keberanian kuratorialnya (waktu itu deputi direkturnya Dr. Caroline Turner) berani berisiko memilih segelintir seniman muda dari Indonesia yang “klandestin” untuk disertakan, di antara seniman-seniman mapan peserta dari Indonesia ketika itu. Saya kira ini terjadi juga di beberapa negara Asia lainnya. Hal seperti inilah yang membuat suasana APT (yang pertama terutama) menjadi “bergelora” ajang pamerannya. Kini APT cenderung institusional, lebih memilih seniman mapan, kurang berani berisiko untuk membuat suasana cair dengan masyarakat pemirsa. Saya juga mengritik travel ban (larangan bepergian) ke Indonesia yang dilakukan pemerintah Australia hal ini sangat tidak fair. Dampaknya pada cara kuratorial APT menjadi berjarak bahkan absurd. Masak kurator memilih atau investigasi seniman Indonesia ketemu di Singapura?

Dari manakah gagasan atas materi presentasi Anda muncul? Dari personalitas Anda yang telah sekitar 10 tahun menetap di Australia, atau sebagai manusia Indonesia dengan ingatan masa lampau yang terus berjejak? Atau problem lain?

Tentu saja dari pengalaman melihat relatif dekat, baik dari sisi art wold Indonesia dan Australia. Dan dua kali sebagai seniman yang mengikuti APT (APT I dan APT III).

Secara umum, apa isu utama APT 6 kali ini, terutama yang tampak dari garis pemikiran kurator Suhanya Raffel?

Dalam banyak perhelatan seni, selalu ingin menjaring sebanyak-banyaknya pengunjung, tak terkecuali APT, bahkan ada beberapa karya di APT mengharap pengunjung berpartisipasi langsung. Alih-alih mengusung semangat di atas, malah kehilangan auranya. Menyambung pemikiran apa yang saya sampaikan dalam seminar, APT V dan VI terasa betul APT sekarang ini berjarak dengan para pengunjungnya. Hal demikian bisa terjadi ke luar dan ke dalam diri di institusi di Queensland Art Gallery itu sendiri. Ke luar, bisa berupa hambatan berbentuk “kemanjaan” kuratorial enggan beranjak ke wilayah yang lebih profesional. Pada level tertentu, juga mengidap arogansi. Ke dalam, bisa bersifat personal officially. Keakraban antara seniman dan panitia tidak muncul seperti yang pernah terjadi di awal-awal APT yang lebih welcome dalam menyambut senimannya. Hal ini disinggung seniman Robyn White (New Zealand), yang pernah ikut APT I dan kini ikut lagi di APT VI sebagai seniman peserta.

Bagaimana garis pemikiran Suhanya Raffel itu dan aplikasinya pada karya-karya seniman yang tergelar di APT 6? Apakah cukup kuat titik relasinya satu sama lain?

Terus terang hingga sekarang ini saya belum secara utuh keseluruhan karya yang tersajikan di APT VI ini. Pasti saya akan secara khusus melihat dan syukur bisa khusuk, hehehe… sebelum pameran ditutup April mendatang. Jadi belum “greng” memberi jawaban untuk pertanyaan ini. Tapi ada satu catatan yang saya simpan, yakni ketika melihat dan menghadiri curatorial talk (oleh kuratornya) karya-karya seniman Korea Utara (Korut). Untuk pertama kalinya karya-karya dari negara Komunis ini di hadirkan dalam APT. Karya-karya yang ditampilkan ada dua bagian. Bagian pertama memasang karya-karya model photorealism penuh senyum optimis menyongsong masa depan, kepalan tangan, bendera merah berkibar-kibar dan seterusnya, pokoknya corak realisme sosial ala negara otoriterlah, pesanan partailah. Bagian kedua: lukisan-lukisan realis cat air gambar foto diri si pelukisnya dan beberapa pemandangan alam. Persis genre lukisan tahun 30’an atau Moscow studies. Kesan saya kuratorialnya miskin investigasi, sehingga terjadi simplicity. Hitam-Putih dalam melihat kesenian, terlalu sederhana cara pandangnya merespon kreativitas. Pemikiran saya begini, Korut ini kan bertetangga (sebangsa) dengan Korea Selatan, tak jauh berseberangan dengan Jepang dan punya kelonggaran ke China di perbatasannya. Ketiga negara yang ada di sekeliling Korut ini sungguh luar biasa gemuruh perkembangan seni rupa kontemporernya. Apakah komunis Korut tidak tertembus informasi teknologi (internet) dari luar? Atau teori Hegemoni dari Antonio Gramci adalah sebuah teori omong kosong, di mana seniman adalah unsur organik yang tak bisa dihegemoni oleh regime totaliter sekalipun? Jika kita mempercayai teori Gramci tersebut, maka kuratorial Korut di APT adalah “malas” atau tidak fair melihat kesenian/seniman kontemporer di Korut. Masak tidak ada zona “abu-abu” dalam seni kontemporer di Korut, yang ditampilkan hitam-putih semata. Begitu gampang percayakah kita pada keganasan pemerintahan Komunis?

Kalau dalam peta seni rupa dunia, bagaimana posisi APT sekarang? Apakah bisa menjadi titik penyeimbang bagi perhelatan seni rupa di kawasan lain?

Bagaimanapun harus diakui, sebagian besar (di Indonesia) karier para seniman dapat melejit ke perhelatan seni dunia lebih luas adalah (setidaknya) pernah di APT. Dan event macam APT ini, tempat pertemuan seniman dikawasan tersebut. Seperti saya sendiri, dulu saya tidak pernah ketemu dengan seniman dari Thailand, Pilipina, Papua New Guine, India, dan lain-lain di Indonesia, di Thailand atau di Pilipina. Jadi event semacam APT ini mendekatkan atau mempertemukan para seniman dari negara dunia ketiga.

Apa yang bisa Anda lihat dari Indonesia dengan karya Rudi Mantovani menjadi “representasi” perhelatan APT 6 ini?

Persoalannya adalah “gaya priyayi” dari kurator APT untuk “masuk” langsung melihat perkembangan senirupa kontemporer Indonesia. Lha kalau menyeleksi dari siapa yang rajin mengirim katalog ke Queensland Art Gallery dan ketemu senimannya di lobi hotel di Singapura, apa yang mau diharapkan? Kemarin saya barusan ke GOMA, Gallery of Modern Art (untuk urusan yang lain) dan saya dengar Russel Storier (kurator untuk kawasan Asia Tenggara) tengah berada di Indonesia saat ini. Salut, suatu terobosan yang bagus. Apa itu travel ban? ***



sumber : http://indonesiaartnews.or.id/

Tidak ada komentar: