Senin, 08 Februari 2010

Dayak di Era Bahuela
oleh Satmoko Budi Santoso


Salah seorang pengunjung tengah menikamati karya grafis Mieling di
Bentara Budaya Yogyakarta. Pameran berlangsung 2-11 Februari 2010.
(foto: satmoko)


BORNEO 1840-an. Demikianlah kisaran gambar grafis CW Mieling, seseorang asal Belanda tersebut. Bertempat di Bentara Budaya Yogyakarta 2 hingga 11 Februari 2010 mendatang, karya grafis Mieling yang berjumlah puluhan bakalan mengejutkan mata pandang kita. Betapa tidak, lewat tajuk pameran Zuide Borneo karya-karya grafis Mieling yang bisa dibilang bernilai sebagai artefak kebudayaan itu menyuguhkan gambaran yang begitu mempesona tentang berbagai hal. Terutama yang berkaitan dengan aktivitas masyarakat suku Dayak di Kalimantan Selatan. Mulai dari aktivitas keseharian mencari bahan makanan, penyembuhan penderita penyakit tertentu lewat jasa seorang balian atau dukun, peperangan, penguburan mayat, atau hal lainnya yang berkaitan dengan kehidupan umum masyarakat Kalimantan Selatan di era bahuela itu.


Yang unik, karya grafis Mieling ini dibuat dalam ukuran kecil, yakni dalam kisaran 13x23 cm. Memang, apa yang dipamerkan kali ini merupakan bagian dari ilustrasi buku seorang peneliti antropologi, D.C.A.L.M. Schwaner yang pada 1843 pernah mengadakan penelitian dan menulis buku tentang dua sungai besar, yakni Sungai Barito dan Sungai Kahayan. Maka, jadilah buku itu diperkaya dengan karya-karya Mieling ini, yang berupa grafis lithografi berwarna. Grafis lithografi merupakan salah satu teknik dalam seni grafis yang prosesnya lewat pemindahan gambar dari batu litho. Hanya saja, khusus untuk pameran kali ini, karya grafis Mieling yang notabene untuk buku tersebut sebagian sengaja diperbesar dengan bantuan teknik digital print foto sehingga pengunjung dapat menikmati dalam ukuran yang cukup nyaman. Rata-rata diperbesar sebesar kalender bahkan ada sejumlah karya grafis yang diperbesar menjadi dua kali ukuran kalender yang lazim.

Boleh jadi, bagi para perupa sekarang, apa yang dipamerkan dari karya Mieling kali ini akan mampu menginspirasi sejumlah hal. Pertama, kekuatan kedalaman secara visual yang mampu menyeret masa lalu begitu dekat dengan kita dan terkesan sangat perfek. Kedua, cara pandang Mieling dalam sejumlah gambarnya jika dicermati secara jeli seperti halnya mata seorang fotografer. Oleh sebab itu, bisa jadi kita akan mendapatkan pelajaran yang begitu berharga soal cara pandang jika mengandaikan diri sebagai mata seorang fotografer. Di mana mata seorang fotografer adalah selalu tertantang membidik obyek sedetail mungkin dan tidak ada yang ingin hadir secara sia-sia.

Dalam sudut pandang studi kebudayaan, maka para antropolog barangkali bakalan mempertimbangkan karya Mieling ini dalam sudut pandang yang substansial perihal kesetiaan masyarakat dalam mengarungi budayanya. Kita tahu, tidak hanya di tahun 1840-an, di era sekarang pun kedudukan dukun di dalam konstelasi masyarakat Dayak masih cukup signifikan. Ini menunjukkan, betapa kebudayaan yang sudah bertahan selama ratusan tahun itu tidak mengalami pergeseran yang cukup urgen. Dengan kata lain, jiwa dalam kebudayaan masyarakat tersebut tidaklah mengalami perubahan yang berarti. Kalau pun ada perubahan bisa dikatakan hanya merupakan aksesoris permukaannya saja, misalnya dalam hal pakaian, itu pun tidak secara penuh.

Dalam kaca mata ini pula dapat dikatakan soal potensi seni grafis yang mampu menjadi alternatif jalan dan obyek terapan bagi penelitian-penelitian antropologis atau disiplin ilmu lainnya. Saya membayangkan, kelak di masa depan, akan lebih banyak lagi hasil obyek penelitian semacam ini. Artinya, obyek penelitian yang non-tekstual kecuali yang berbicara adalah karya visual grafis itu sendiri.

Nilainya juga seperti esei foto, yang mewacanakan dirinya dalam capaian kualitas visual. Bukan capaian tekstual dengan referensi yang melelahkan. Ibarat mata memandang, sekali melotot maka tuntaslah segala ganjalan yang berkaitan dengan hal apa pun yang menjadi misteri obyek. Bukan tidak mungkin, jenis penelitian semacam ini akan mempunyai tempat tersendiri di tengah masyarakat yang sesungguhnya benar-benar sebagai pembaca serius ataukah bukan. Jangan-jangan, yang serius membaca teks memanglah tidak begitu banyak dan diam-diam sebagian besar tetap menggemari bahasa gambar.

Dengan begitu, posisi perupa pun bisa tertantang hadir tidak hanya dalam lingkup ruang pamer di galeri saja. Lebih dari itu kehadiran bentuk buku bisa membuat setiap perupa mempunyai jalan mengaktualisasikan diri dengan cara yang beragam. Bisa jadi, ketika perupa melirik lahan buku adalah obyek garapan alternatifnya, maka ia akan meraih nilai apresiasi yang lebih prestisius jika sekadar hanya mengisi rutinitas absen berkala di galeri saja.

Ayo, apakah para perupa tertantang menggunakan media buku sebagai ajang aktualisasi gagasan visualnya? Bayangkan, apa yang terjadi jika perupa seperti Nasirun, misalnya, membuat seri lukisan dalam bentuk buku? Bukan ukuran finansial laku ataukah tidak dulu yang menjadi sandaran target, namun apakah kira-kira reaksi yang bakalan terjadi di belakang hari jika media semacam itu banyak digunakan sebagai alternatif aktualisasi para perupa… ***



sumber : http://indonesiaartnews.or.id/

Tidak ada komentar: