Senin, 22 Februari 2010

Berandai-andai dengan Museum
oleh Dadang Christanto


Salah satu lanskap di Museum Haida, Vancouver, Canada. (foto: http://elizabethmcclung.blogspot.com/)


(Tulisan di bawah ini telah dimuat di majalah Mata Jendela terbitan Taman Budaya Yogyakarta, Volume III No. 1/2008. Redaksi menganggap bahwa catatan ini bisa menjadi bahan refleksi, terutama sehubungan dengan program pemerintah yang mencanangkan Tahun 2010 sebagai "Tahun Kunjungan Museum". Terlebih lagi dengan pernyataan Menteri Budaya dan Pariwisata (Menbudpar), Jero Wacik, yang menyatakan bahwa "90% Museum di Indonesia tak Layak Kunjung". Simak http://oase.kompas.com/read/2010/02/18/22471944/Menbudpar.90.Persen.Museum.Indonesia.Tak.Layak.Kunjung

Sebuah pernyataan yang ceroboh kalau dikaitkan dengan program "Tahun Kunjungan Museum" yang lebih dulu diluncurkan, namun kemungkinan tanpa survei dan riset yang memadai dari pihak Depbudpar. Selamat membaca!)

***

TULISAN mengenai museum ini tak lebih dari pandangan sepintas mengenai museum, dari museum yang pernah saya kunjungi. Saya bukan orang yang tekun mengamati permesuman, eh maaf, per-me-sum-an. Jadi tak lebih dari sekadar catatan dan ingatan sebagai seorang pelancong yang berkesempatan mengunjungi museum dan berandai-andai tentangnya.

Terang terus dan terus terang, saya selalu dengan antusias menyempatkan diri untuk mengunjungi museum. Apalagi jika berada di suatu kota yang baru atau tak pernah saya kunjungi sebelumnya. Awal dari antusiasme saya melongok museum, ada rasa snob. Biar dikatain saya ini orang yang gak kampungan, berbudaya, warga yang civilize, beradab. Masak sih tempat yang dikunjungi cuma shoping mall aja! Caileh, hehehe…

Nah, dari pengalaman yang awalnya snob macam gini, rupanya menjadi sesuatu "wajib hukumnya". Rupanya snobist dalam beberapa hal amat positif dan diperlukan sebagai langkah awal proses dalam pembentukan minat hingga kemudian menjadi betul-betul kebutuhan yang bukan snob lagi sifatnya.

Di dalam museum saya menemukan keasikkan tersendiri. Dapat berandai-andai, belajar merekonstruksi lekuk-lekuk peradaban manusia dari waktu ke waktu atau penemuan-penemuannya, penjelajahan-penjelajahannya yang luar biasa di permukaan kerak bumi ini. Pokoknya ruang belajar lewat pajangan atau simulasi visual tentang; sejarah, peradaban, penemuan ilmu pengetahuan dan alam.

Di banyak negara maju atau kaya, museum ini selalu mendapatkan tempat yang utama dalam tata kotanya. Serta dipelihara dan didukung oleh pemerintah serta masyarakatnya. Museum dijadikan salah satu landmark atraktif untuk turism. Bahkan sebagai icon kota atau negara.

Peradaban Barat (yang memperkenalkan museum) berakar dari kebudayaan Yunani yang kemudian mengalami pencererahan pada jaman Renaisans. Peradaban Barat, wuss, berteori dikit neh, dibentuk oleh tiga pilar utama, yakni Science (Ilmu pengetahuan), Ethic (Hukum) dan Aesthetic (Keindahan/seni), sebagai penyangganya. Sebagai contoh, kita bisa melihatnya lewat masterplan kota Canberra, Ibu kota Australia.

Kota Canberra adalah kota yang direncanakan. Dengan arsitek berkebangsaan Amerika, Walter Burley Griffin. Pemerintah Australia waktu itu tidak memilih dua kota besar yang sudah ada, Melbourne dan Sydney sebagai pilihan untuk dijadikan ibu kotanya. Namun memutuskan membuat sebuah kota baru.

Jadi membangun kota dengan segala fasilitasnya lebih dahulu, lalu belakangan hunian/penduduk mengisinya. Bukan sebuah kota yang dibentuk atau tumbuh bersama-sama mengikuti pertumbuhan penduduknya. Canberra sendiri didirikan tahun 1911.

Dan ketiga pilar peradaban yang saya sebutkan di atas, di Canberra disimbolkan melalui tiga gedung utama yang megah berjajar berdampingan, National Library (Science), High Court (Ethic) dan National Gallery of Australia (Aesthetic). Dan ketiganya tersebut berhadap-hadapan langsung dengan gedung Parliament House (Demokrasi). Dan simbol-simbol penting peradaban (baca modern) tersebut bisa tersimpulkan/digabungkan lewat gedung megah dengan asitektur posmo yang disebut dengan nama National Museum of Australia yang letaknya tidak berjauhan dari keempatnya itu. Ditepi danau buatan yang luas.

Kesimpulannya yang hendak saya katakan, museum adalah sebuah perlambang yang penting di negara atau peradaban modern. Selain itu, museum adalah tempat/ruang belajar dan pendidikan titik! Gitu aja koq repot menjelaskannya! (pinjam istilah Gus Dur).

Nah, sekarang pandangan atau kesan singkat saya dalam mengunjungi sebagai pelancong museum di Canada dan Jerman yang saya anggap berkesan dan mampu memunculkan andai-andai di benak saya.

Wallah! Kentongan kok berjibun banyaknya, dengan bahan dan bentuknya berbeda. Dipajang berbaris (tiap barisnya panjang 5 meteran). Kentongan berjibun yang saya tonton ini berada di salah satu ruang yang menimpan barang-barang dari Indonesia, di museum Haida di kota Vancouver, Canada. Lalu pikiran saya mulai mengingat-ingat dan mencocok-cocokan, melongok-longok atau membuka kenangan-kenangan/memori yang pernah terekam dalam pengalaman hidup bersama benda yang bernama kentongan. Hehehe… Diam-diam ada rasa bangga dan terharu ketika menontonnya bersanding dengan materials history dari negara-negara lain di museum Haida ini. Wallahhhh… Pakai terharu segala, kayak nonton sinetron aja!

Mulailah saya merangkai kenangan. Ini kan kentongan berwujud "monster hitam" bergigi tonggos, mata bulat melotot dengan tangan memegang palus (kemaluan) yang besar dan panjang sebagai alat pemukulnya. Kalau di tempat asalnya di pulau Bali si "monster hitam" bernama Barong Landung. Weh… yang ini saya kenal banget, sebuah kentongan dari kayu pohon Nangka. Ketika saya kecil, di desa saya adalah pandangan yang biasa di tiap rumah digantungin macam begitu. Alamak! Ini kan ya kentongan dari bambu untuk Siskamling, dan dipukul-pukul dengan irama Dara Muluk sembari ngambil jimpitan beras di kampung-kampung saat ronda.

Loh-loh… apa lagi yang ini, kentongan kayu berkepala Buto, yang dibuat dan dijual di sekitar Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta. Saya masih ingat betul jenis kentongan tersebut terpajang di tepian jalan kalau saya naik angkot Kol Kampus di tahun 70'an. (Kata “kol” merujuk pada kendaraan bertipe Colt produksi Daihatsu, Jepang, yang sangat populer di Indonesia).

Dari kentongan yang berjumlah ratusan itu, saya beralih ke koleksi perhiasan. Ada beberapa lemari kabinet yang lacinya bertumpuk-tumpuk. Beberapa laci saya tarik untuk melihat koleksi di dalamnya. Uuhhuii…! Buuuaannyak betul dan cantik-cantik, semua kelihatan terawat dengan baik. Ya kalung, ya gelang, anting-anting, konde, cincin, dan lain-lain. Saya bayangkan untuk mengagumi dan melihat keseluruhan koleksi perhiasan dari Indonesia yang seabreg ini di museum Haida, ya kira perlu waktu satu minggu sendiri. Ah, waktu saya terbatas, jadi saya tak berlama-lama terpana pada koleksi perhiasan. Kemudian perpindah ke artefak-artefak yang lain dari archipelago yang bernama Indonesia ini, yang sebagian besar tidak pernah saya lihat lagi. Kini bisa dilihat kembali dengan nyaman, terawat dan tersimpan dengan aman di bangunan besar yang asri ini.

Lalu pikiran saya berandai-andai, ini baru Vancouver di negara Canada yang letaknya di ujung utara belahan bumi, yang jarak beribu-ribu mil dari Indonesia dan hubungannya tidak begitu "menyejarah" seperti bangsa Belanda. Kok ya mengapresiasi benda-benda dari Indonesia. Tabik, tabik.

Bagaimana dengan koleksi museum-museum di kota seperti: Leiden, Rotterdam, Amsterdam di Belanda yang berkoloni 350 tahun di Nusantara ya? Belum lagi museum-museum di negara yang kaya seperti Amerika Serikat yang mempunyai banyak lembaga filantropi seperti Rockefeller Foundation, Ford Foundation, Getty Foundation, dan sebagainya. Pasti awesome dan lebih dahsyat banget koleksi yang tersimpan di sana?

Sekarang melancongkan ingatan ke Jerman. Di suatu Minggu pagi yang cerah, weehh, melankolis neh! Saya berada di kota Munchen berniat mengunjungi salah satu museum, eeiitt, ternyata ditutup sementara karena sedang dalam perbaikan gedung. Dan kaki saya langkahkan ke bagian belakang gedung museum tersebut, yang ternyata ada taman yang luas banget yang bernama English Garden.

Busyet!!! Ramai banget orang berjemur di bawah terik matahari. Wuusss… ternyata sebagian besar telanjang bulat, sebagian yang kecil setengah telanjang! Betul-betul pecinta jemuran mereka, sampai lupa menutup auratnya, hehehe… Dasar pelancong rada-rada genit dan bermata Melayu, melihat "museum out-door" dan "eksotik" ini langkah kakinya makin detil, antusias untuk menelisik "koleksi" yang ada di English Garden itu. Ini bener lho bukan gurau, serius untuk saya katakan aktifitas banyak orang berbugil ria di English Garden adalah sebuah museum juga. Dasarnya apa si bung berani mengatakan Museum? Mengada-ada bung!

Begini, coba kita lihat para peneliti, antropolog, sejarawan atau turis Eropa, sebut saja dari Jerman. Saat dia mengunjungi Papua New Guinea (PNG) ketika negara ini masih menjadi koloninya dahulu. Kan ya matanya terbelalak seperti mata saya di English Garden itu. Kan ya sama-sama eksotis tuh pemandangan. Karena hal baru yang tak pernah dilihatnya di negaranya. Si Jerman melihat atau mengangap eksotis kehidupan sehari-hari orang PNG. Si Melayu, melihat pecinta jemuran di English Garden juga sebuah pemandangan yang eksotis. Eksotik atau erotik bung? Hehehe…

Dan itu baru bagi pengalaman masing-masing. Si Jerman dengan PNG, si Melayu dengan English Garden-nya. Kan gitu to ya, ya klop analoginya? Ini alasan pertama.

Sementara alasan kedua, ruang publik, ya sebuah museum juga. Artinya sama dengan keberadaan saya di English Garden dengan si Jerman yang berada di pedalaman PNG. Sebagai medan belajar. Sungguh neh bung sebagai medan belajar? Atau alasan sebenarnya si bung bermata keranjang, hehehe… Cuma bedanya, yang orang Jerman medokumentasikan (foto/film, benda-benda artefak), mengumpulkan/mengoleksi, merencanakan, dan punya sistemnya yang berupa wujud gedung yang kita namakan museum untuk mensosialisasikannya.

Lah kalau saya berasal dari negara yang masih asing terhadap kosep museum seperti di Eropa, ya bisanya berandai-andai saja, yang bisa gratisan. Emangnya gampang mau bikin museum di Indonesia po?

Bagi suku-suku di PNG, menjalankan ritual dan membuat piranti ritual, seperti; patung, topeng, pakaian, tombak, dan seterusnya, adalah biasa dan sehari-hari bagi mereka. Hal biasa di tengah masyarakatnya. Tidak perlu dimuseumkan. Dan apa itu museum? Sesuatu yang abstrakkan? Bagi orang PNG seusai menari misal, ya sudah bubaran. Kembali nyangkul atau berburu.

Jadi segala warna make up atau topeng pada wajahnya yang mempesona itu bukan hal yang penting. Ya, dihapus saja lewat cuci muka. Kapan saja bisa buat lagi sesuai dengan kebutuhan ritualnya. Tidak ada konsep melestarikan untuk dimuseumkan. Tapi bagi si Jerman membuat dokumenasi foto-fotonya, ornamen-ornamennya yang dikenakan orang PNG, dikumpulkan sebagai collection items dan dipamerkan di museum di Jerman sono. Berandai-andai lagilah saya setelah dari English Garden waktu itu.

Dengan pemikiran, kita kan ya hidup sehari-harinya dilingkupi benda-benda lawasan dan berbagai aktifitas ritual disekeliling kita. Pemandangan yang biasakan? Kenapa tidak berani mengoleksi material eksotik dari Barat? Harus berani dong mengandaikan atau berteori kalau Barat juga eksotis?

Menurut saya di dunia Barat juga bisa eksotis kok, ya salah satunya seperti yang di English Gerden itu? Kan ya eksotis sekaligus kontemporer gitu lho. Jadi yang eksotis bukan yang datang atau berasal dari wilayah Oriental tapi juga berasal dari wilayah yang kontinental, gitu lho.

Wuuuss…. telalu jauh bung! Di luar pagar bung! ***
*) Penulis adalah perupa, saat ini tinggal di Australia.



sumber : http://indonesiaartnews.or.id/


Tidak ada komentar: