Senin, 22 Februari 2010

Yang Mikroskopik dan yang Gigantik
oleh Satmoko Budi Santoso


Karya bertajuk "Kuda Batik" milik perupa Dunadi berbahan baku resin


SEEKOR kuda raksasa setinggi 7,12 meter buru-buru menyergap perhatian publik begitu memasuki area Jogja Expo Center selama 25-30 November 2009. Karya bertajuk Kuda Batik milik perupa Dunadi berbahan baku resin yang ia buat spesial guna memenuhi hajatan akbar pameran alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta era 1950-an hingga sekarang itu adalah sebiji karya dari 600-an karya yang dipamerkan. Exposigns itulah tajuk hajatan pameran akbar 551 alumni ISI Yogyakarta ini yang meliputi karya seni murni, desain, kriya, fotografi, dan video art. Tentu, karya Dunadi tersebut bisa sebagai jendela membidik lebih jauh bahwa pameran yang dibuka oleh Menteri Pendidikan Nasional Prof Dr Muhammad Nuh ini cukup punya tendensi menghadirkan yang "ter" dari tangan para perupa, entah itu terbaik, terbesar, teraneh, terkecil, terkreatif, dan "ter" yang lain. Sebagaimana pameran akbar lainnya, cukup kuat pula terbaca ambisi para perupa untuk menerobos batas konvensionalitas visualisasi karya. Di tangan para kurator keroyokan seperti Suwarno Wisetrotomo, Mikke Susanto, Sudjud Dartanto, Kuss Indarto, dan I Gede Arya Sucitra, maka ruang kuratorial yang longgar pun diberikan kepada para perupa. Cukup banyak perupa yang kemudian memunculkan karyanya dengan kesadaran bentuk berupa respons ruang. Itulah yang menjadikan banyak karya di dalam pameran ini hadir secara gigantik dan sekaligus kontras yang berlawanan adalah mikroskopik.

Kesadaran karya dengan wujud respons ruang dengan bentuk gigantik itu selain pada karya Dunadi misalnya terjadi pada karya Rudi Mantofani yang bertajuk Saatnya Menyentuh Dasar berupa pisau besar berbahan aluminium, teflon, dan kayu berukuran 100x150x350 cm. Karya lain yang berbentuk mikroskopik dalam pengertian jauh lebih kecil dari ukuran yang sewajarnya namun bisa ditafsirkan sebagai bagian respons ruang misalnya saja bisa dilihat pada karya Putu Sutawijaya yang bertajuk Menggapai. Karya ini adalah berupa sosok orang berukuran mini dengan bahan plat besi dan kawat. Orang-orang mini tersebut bisa ditafsirkan bagaikan melayang beterbangan menggapai sesuatu yang menjadi tujuan cita-citanya.

Representasi karya yang hadir di dalam pameran ini selain bisa dibaca dan dimaknai dalam koridor unjuk gigi karya seni rupa yang eksploratif juga menyisakan kesempatan pada seni foto dan video art yang dalam banyak hal kurang mendapatkan ruang aktualisasi. Oleh karenanya, kita bisa menjenguk karya seperti milik Hery Sasongko, Dicky Suprayogi, maupun yang lain. Ada jenis karya yang bisa dikategorikan murni main-main alur, objek, dan angle penceritaan maupun karya yang bertendensi mengusung isu tertentu seperti halnya dunia pendidikan. Pada karya Hery Sasongko alur isu dunia pendidikan itu hadir secara eksplisit ketika sosok seorang bocah anak keluarga miskin tetap harus bersekolah setiap harinya. Setidaknya, melalui karya video art tersebut kita dapat melongok sejauh mana eksplorasi visual mereka mendapatkan apresiasi pertaruhan kualitas.

Dari jejeran karya para perupa legendaris level Djoko Pekik, Tino Sidin, sampai yang muda sekarang, sebetulnya yang juga penting ditandai dari pameran ini adalah apakah sejumlah perupa yang memamerkan karyanya memang mengalami peningkatan kreativitas. Taruhlah pameran ini juga sebagai langkah mengukur sampai di mana para perupa tersebut bergelut dengan bahan atau juga media yang digunakan. Sebut saja misalnya Heri Dono yang kali ini lebih memilih berkarya bukan merupakan berbahan kanvas. Dalam karya yang bertajuk Donosaurus & Friends on Journey ia lebih memilih bahan mixed media berukuran 275 x 150 x 150 cm. Karya berangka tahun 2009 itu merefleksikan manusia kekinian yang cenderung sudah seperti dinosaurus dalam watak dan perilakunya: suka memakan secara rakus dan tak peduli yang lain. Sosok para manusia yang berkepala dinosaurus di dalam mobil tersebut divisualisasikan suka memakan dalam interpretasi rakus.

Saya melihat, ini adalah pameran edukatif yang cukup berhasil dalam memetakan pelaku kreatif di dunia seni rupa. Dari bilik labirin satu ke bilik labirin berikutnya, pengunjung dapat menikmati eksplorasi estetika dalam khazanah naturalisme, surealistik, realistik, dan yang lain. Berbagai kecenderungan gaya, aliran, atau mazhab estetik dapat ditemui di dalam pameran ini. Dengan begitu, tamasya wacana aliran, estetika, dan eksplorasi bentuk pun mendapatkan katup yang ideal.

Meski begitu, jika ditilik dalam bingkai pameran edukatif, tetap ada yang belum sempurna dari pameran kali ini. Setidaknya dalam hal pembuktian peserta yang terlibat, yang "hanya" 551 orang. Jika dibandingkan dengan total alumni ISI Yogya yang ribuan, maka angka itu baru segelintir persen. Kelak ke depan, jika mau bersabar, boleh jadi dalam momentum ulang tahun ISI Yogya yang kesekian, akan lebih dipikirkan lagi soal angka peserta pameran yang lebih dimaksimalkan. Setidaknya, jika mampu mendekati angka 75 persen dari total alumni sepanjang ISI Yogya berdiri maka akan menjadi bernilai jauh lebih alternatif dalam hal tengokan rekam jejak proses kreatif berkarya.

Secara teknis, problem mendasar dalam pameran ini bagi saya adalah persoalan display karya. Misalnya saja, begitu penikmat seni selesai memasuki bilik labirin satu dan pindah ke bilik labirin berikutnya ternyata karya seni yang ditampilkan sudah sangat kontras. Habis lukisan, patung, foto, patung lagi, foto lagi, patung lagi, lukisan lagi, begitu seterusnya terkesan loncat-loncat. Ini boleh jadi persoalan sepele dan maunya bermaksud penyegaran antarkarya namun justru sangat mengganggu konsentrasi penikmatan. Rentang panjang sejarah proses kreatif para perupa bukankah semestinya diwujudkan dalam bentuk jejak rekam yang tergarap dengan baik pada persoalan display karya? Contohnya, karya lukisan dijadikan satu pada satu blok atau ruang tertentu di sisi barat, setelah itu baru sebelah timurnya blok patung, kemudian sebelah timurnya lagi blok foto, dan seterusnya. Jadi, ada upaya pengelompokan jenis karya sehingga penikmat seni lebih mudah dalam melakukan pemetaan.

Secara psikis dan pikiran, model display seperti yang dilakukan pameran kali ini adalah sangat melelahkan. Jika kembali pada hakikat pameran edukatif, mestinya upaya display dalam bentuk pengelompokan mendapatkan perhatian yang serius. Sehingga ada banyak karya yang nyantol dalam ingatan daripada tercerai-cerai dan hanya satu-dua yang akhirnya nyantol di ingatan. Di samping itu adalah waktu pameran yang terlalu pendek sehingga seakan-akan membatasi kesempatan apresiator secara lebih luas lagi. Bukankah pameran ini juga diam-diam mempunyai kemauan mengukuhkan Yogyakarta sebagai ibukota seni rupa Indonesia? Jika memang benar, maka momentum isu yang perlu digarap bisa dengan cara mengadakan pameran selama mungkin sehingga isu yang diinginkan dapat terus bergulir, awet, tidak mudah hilang. Memori publik pun bakalan terkondisi dengan baik. Memang, idealnya, sudah tidak ada masalah lagi dengan aspek keuangan sehingga mau pameran dua minggu pun tak masalah.

Catatan lainnya yang juga penting diperhatikan adalah persoalan klasik namun tetap saja substansial yakni soal porsi antara "yang tua dan terkenal" dan "yang muda dan baru muncul" perlu perimbangan penggarapan isu yang pas. Apa mau dikata, jika diperhatikan secara global lebih banyak pengunjung tetap terjebak hanya memperhatikan "yang tua dan terkenal"."Yang muda dan baru muncul" nasibnya menjadi tak begitu mendapatkan respons. Karena, bagaimanapun hampir setiap pameran menghadapi 2 tipe pengunjung yakni pengunjung substantif dan pengunjung simbolik. Pada pengunjung substantif dapatlah diasumsikan sebagai orang yang datang untuk pertimbangan apresiasi estetika sedangkan pada pengunjung simbolik terasumsikan sebagai penggembira. Nah, membidik dua segmen pengunjung ini pastilah membutuhkan strategi isu dan juga display yang memadai sehingga keduanya bakalan sama-sama merasakan kepuasan begitu pula dengan objek tontonannya terapresiasi dan terperhatikan semuanya.

Namun, terlepas dari semua kekurangan, yang pasti semua penikmat seni dapat memilih sesuai selera hati, karya manakah yang menjadi tambatan perhatiannya. Bahkan, bagi penyuka komik, misalnya, maka di dalam pameran ini cukup terakomodasi dengan baik. Hal itu terlihat pada karya komik milik Jan Mintaraga yang teramat membetot kenangan. Belum lagi bagi yang ingin menengok karya RJ Katamsi, Direktur Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) pertama sebagai cikal bakal ISI Yogya juga ikut mengada diri. Nah, sejumlah gambaran sebagaimana yang terpapar ini tentu saja akan membantu para penikmat seni menyimpulkan bahwa upaya kurator dalam bekerja sudah cukup serius. Artinya, sejumlah kelemahan dan kekurangan yang mungkin saja ada tetap tertutupi dengan hasil kerja keras yang sesuai bukti konkret.

Tentu, out put-nya kita menunggu apakah dari pameran edukasi ini akan menginspirasi para perupa terkini sehingga mampu mengada diri dengan karya yang jauh lebih bernilai alternatif lagi. Tentu pula, terpulang kepada para perupa terkini bagaimanakah caranya mentransformasi spirit, bentuk, gagasan, atau aspek lainnya sehingga dapat memperkaya capaian berkarya ke depan. Pameran ini merupakan bagian penjelas bahwa kreativitas adalah merupakan jalan mutlak mencapai derajat inovasi. Maka, kata kuncinya adalah kembali kepada satu kata kreativitas itu sendiri, yang dalam laku bisa teramat kompleks dan berujung kepuasan, kebahagiaan, dendam, kecewa, atau bahkan frustrasi. ***
*) Pemerhati seni rupa. Tinggal di Yogyakarta


sumber : http://indonesiaartnews.or.id/

Tidak ada komentar: