Senin, 22 Februari 2010

Empu Ageng untuk Edhi Sunarso
oleh Kuss Indarto


Edhi Sunarso (kiri) bersama almarhum Prof. Soedarso Sp., M.A., saat menerima Lifetime Achievement Award dalam penutupan Biennale Jogja IX-2007, pertengahan Januari 2008. (foto: dokumen BJ IX)


Patung Dirgantara itu masih berdiri gagah. Orang mengakrabinya dengan menyebut Tugu Pancoran. Namun kini tak lagi segagah tahun 1964 saat patung itu mulai mewujud setelah menghabiskan dana Rp 12 juta. Sementara sang pemesannya, Bung Karno, baru memberikan dana Rp 5 juta untuk kemudian mencicil pelahan meski tak hingga lunas. Maklum, keburu dijatuhkan oleh rezim baru, Soeharto.

Sang pematung itu sendirilah yang kemudian, dengan segala upayanya, melunasi kekurangan pendanaan untuk biaya pengecoran patung perunggu, pengangkutan, dan sebagainya. Aneh, tanggung jawab negara tiba-tiba seolah ditimpakan seutuhnya di lipatan dompetnya. Dan beban sosial pun ditangguk olehnya sekeluarga: dia dituduh pemeluk komunisme hanya gara-gara bersetia merampungkan Tugu Pancoran yang diorder Presiden penganjur Nasakom itu.

Itulah potongan jalan hidup seniman Edhi Sunarso yang kenyang pengalaman getir. Semua kegetiran yang paling getir dalam hidup serasa telah dialaminya dan dilalui oleh ayah dari 4 anak kelahiran Salatiga, 2 Juli 1932 itu. Termasuk kegetiran tatkala menatap kembali Tugu Pancoran karyanya yang kini dikepung tanpa kesantunan oleh dua jalur jembatan layang (fly-over) yang membujur di kanan-kiri tubuh tugu. Sepertinya, tak ada penghargaan secuilpun di benak para pengelola kota Jakarta.

Karyanya yang lain yang monumental bagi perjalanan seni patung sekaligus perjalanan bangsa ini antara lain Tugu Muda di Semarang, tugu Pembebasan Irian Barat, tugu Selamat Datang (Bunderan HI), monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya di Jakarta. Lalu tugu Pahlawan Nasional Kolonel Slamet Riyadi di Ambon, tugu Jenderal Ahmad Yani di Bandung, tugu Jenderal Gatot Subroto di Surakarta, tugu Pahlawan Samudera Yos Sudarso di Surabaya, tugu Yos Sudarso di Biak, Irian Barat, tugu Pahlawan Tak Di Kenal di Digul Papua, monumen Sultan Thaha Syaifudin di Jambi, dan masih banyak lagi. Entahlah keadaan semua karyanya itu kini.

Tapi, apapun, kegetiran hidup Edhi telah banyak ditutup oleh beragam pencapaian yang penting bagi keberadaannya sebagai seniman yang bergerak di medan seni patung. Pengakuan sosial sudah mulai banyak hinggap di balik kepak sayap kesenimanannya. Terakhir, tahun 2007, Edhi mendapatkan Lifetime Achievement Award di Biennale Jogja IX-2007.

Kini, Edhi Sunarso mendapatkan kembali legitimasi kesenimanannya dari lembaga tempat dia pernah bernaung sebagai mahasiswa tak resmi dan tempat melabuhkan pengalamannya untuk mengajar: ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta. Perguruan seni tua itu menyematkan penghargaan untuk Edhi: Empu Ageng. (Empu kurang lebih berarti orang yang memiliki keahlian dalam bidang seni, dan ageng berarti agung atau besar)

Menurut Rektor ISI Yogyakarta, Prof. Dr. Soeprapto Soedjono, M.A., Senat Institut telah berbulat kata memberi penghargaan atas keempuan pematung senior Yogyakarta tersebut. Banyak pertimbangan penguat demi alasan itu, antara lain karena pencapaian dan prestasinya dalam dunia seni patung yang menjadikannya sebagai tokoh nasional yang mumpuni dari dunia seni (rupa). Bagi ISI Yogyakarta, ini adalah kesempatan kedua menyematkan gelar Empu Ageng setelah sebelumnya, tahun 2004, memberikan kepada seniman di disiplin seni karawitan, Ki Tjokrowasito.

Kenapa bukan doctor honoris causa? Profesor Soeprapto mengakui bahwa belum ‘bisa’ memberikan gelar tersebut karena secara akademis ada tuntutan mendasar bagi sebuah perguruan tinggi untuk menabalkan gelar itu, yakni telah meluluskan doktor (S3). Dan ISI baru membuka program tersebut namun sampai awal 2010 ini belum sampai meluluskan seorang doktor pun. Kenapa tidak sabar hingga ISI layak menyematkan doctor honoris causa? Menurut doktor penyuka fotografi ini, problem empu ageng atau doctor honoris causa sekadar istilah yang tak perlu diperdebatkan lebih jauh. Substansinya adalah lembaga ISI Yogyakarta telah berniat baik untuk memberi penghargaan yang teramat prestisius terhadap ketokohan dan prestasi seniman seni rupa bernama Edhi Sunarso. Penyematan penghargaan itu juga masih berkait dengan rentetan program ulang tahun ke 25 ISI Yogyakarta, setelah sebelumnya dipuncaki dengan gelaran pameran besar seni visual Exposigns, 25-30 November 2009 lalu.

Pengukuhan sosok Edhi Sunarso sebagai Empu Ageng dilakukan pada hari Kamis, 14 Januari pukul 09.00 WIB di kampus ISI Yogyakarta, Sewon, Bantul. Setelah itu juga dilakukan peresmian patung 'Potret Wajah Terakhir Putra Fajar’ yang disumbangkan oleh Edhi Sunarso kepada kampus ISI Yogyakarta. Letak patung itu berada di dekat gerbang utama di sisi timur kampus, tak jauh dari keriuhan jalan Parangtritis km 6,5. Malamnya, pameran tunggal Retrospektif Edhi Sunarso dibuka di Jogja Gallery.

Penghargaan ini tentu teramat penting untuk memberi penanda atas sepak terjang seniman senior yang kian digerus lupa oleh para (calon) seniman yunior. Apalagi di tengah kibasan komersialisme yang terus berkibar di kanvas seni rupa kini, penghargaan terhadap sosok senior kian redup. Banyak yang berpacu demi aspek komersialitas, yang tentu cukup berjarak dengan pahit-getir hidup dan proses berkesenian seperti yang puluhan tahun menerpa seniman semacam Edhi Sunarso.

Selamat, Pak Edhi! Semoga terus menginspirasi generasi kini!
*) Redaksi Indonesia Art News



sumber : http://indonesiaartnews.or.id/


Tidak ada komentar: